PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

PENDAHULUAN

Imam Abu Hanifah adalah salah seorang imam yang empat dalam sejarah islam, ia lahir dan meninggal lebih dahulu dari para imam-imam yang lain. Karena dialah yang kita bicarakan lebih dahulu dari imam-imam yang lain. Imam Abu Hanifah seorang berjiwa yang besar, dalam arti kata seorang yang berhasil dalam hidupnya, dia seorang yang bijak dalam bidang ilmu pengetahuan tepat dalam memberikan sesuatu keputusan bagi sesuatu masalah atau peristiwa yang dihadapi.

Karena dia seorang yang berakhlak atau berbudi pekerti yang luhur, ia dapat menggalang hubungan yang erat dengan pejabat pemerintah, ia mendapat tempat yang baik dalam masyarakat pada masa itu, sehingga beliau telah berhasil menyandang jabatan atau gelar yang tertinggi yaitu imam besar (al-Imam al-‘Adham) atau ketua Agung. Imam Abu Hanifah terkenal sebagai orang ahli dalam ilmu Fiqh di negara Irak, beliau juga juga sebagai ketua kelompok ahli fikri (Ahlu-Ra’yi). Ia mendapat penghargaan masa itu, seorang utusan yang di antar oleh Abdullah bin Al-Mubaraq (seorang pejabat ketika itu) berkata: “imam Abu Hanifah adalah akal ilmu pengetahuan” dan perutusan lain pun berkata ia sebagai pakar dalam ilmu Fiqh.

 PEMBAHASAN

1.      Biografi Abu Hanifah
Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin al-Nukman bin Tsabit bin Zufi al-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal al-Qur’an.
Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang al-Qur’an beliau sempat berguru kepada Imam Ashim, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Hammad ibn Abu Sulaiman al-Kufi, tak kurang 10 tahun lamanya.
10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H, Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan kota Kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh al-Manshur. Karena penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.
Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan, Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu, sastra, sya`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Selain mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan teologinya, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan Khawarij.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional (ahl ra`yi). Di Iraq sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat Rasulullah yang bernama Ibn Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha`i, lalu Hammad bin Abi Sulaiman al-Kufi (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu. Ia murid dari al-Qamah bin Qais dan al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan hadisnya sebagai nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah Kufah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.

Prinsip-Prinsip yang Dipegang Abu Hanifah
Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari al-Qur’an atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
Prinsip yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhadap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.

2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam satu nas disebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqasid al-syari’ah.
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a)    Dilalah lafad umum (am) adalah qath’i seperti lafadz khash;
(b)   Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
(c)    Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
(d)   Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e)    Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya,
(f)    Menggunakan istikhsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.


Metode Istinbath Yang Digunakan Abu Hanifah
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu:
"آخذ بكتاب الله، فإن لم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذت بقول الصحابة، آخذ بقول من شئت، وأدع من شئت منهم، ولا أخرج عن قولهم إلى قول غيرهم، فأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبي وابن سيرين وعطاء وسعيد بن المسيب وعدد رجالا، فقوم اجتهدوا، فأجتهد كما اجتهدوا."
“Saya berpegang pada Kitab Allah. Jika tidak, saya mengambil sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak aku hendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila salah satu urusan belum diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Atha’ dan Sa’id al-Musayyab serta yang lainnya, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad.”

A.    al-Qur’an
Terkait hal ini, imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa al-Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq. Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk al-Qur'an.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Alasan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa al-Qur’an merupakan hujjah dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia adalah, al-Qur’an diturunkan dari Allah swt, disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti al-Qur’an merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.

B.     al-Sunnah
Bila Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam al-Qur'an, dia mencarinya dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. al-Hasyr: 7)
Para ulama sepakat bahwa hadits shahih merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rasulullah saw. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:
·            Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal
·            Perawi harus muslim
·            Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
·            Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rasulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.
Selanjutnya Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:
-                    Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya.
-                    Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.
-                    Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.
Diantara para perawi yang tidak faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman al-Farisi, dan Anas ibn Malik.

C.     Ijma` Sahabat
Para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول . . .
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (Q.S. An-Nisaa: 59)
Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1.              Penguasa dunia seperti Raja, Presiden, Sultan, atau Umara.
2.              Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.
Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang mukhalafah dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan ulil amri di atas termasuk kepada poin kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam untuk diikuti.
Kedudukan ijma` sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada hakikatnya ijma` adalah milik ummat Islam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya dianggap abash dan benar.
Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma` itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti. Menurut jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.

D.    Qiyas
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah al-Qur’an, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyas, memiliki alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar manusia mau menggunakan akalnya. Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya: Ambillah pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam kitab-kitab ushul fiqih, ialah:
·                 al-Ashl, sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul `alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)
·                 al-Furu`, yaitu : sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang diqiyaskan), al-mahmuul (yang dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
·                 Hukum asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-furu`.
·                 al-`illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (furu`), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.

E.     Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushulfiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnai (pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan ini.
Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli (umum) dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan Istihsan.
Dari penjelasan istihsan menurut syara’ jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:
Pertarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) dan qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh dari macam yang pertama Istihsan ialah seorang pewakaf apabila mewakapkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkanya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami, namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang tersembunyi, kemudian ia  berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.

F.      `Uruf (adat)
Imam Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `Urf dan kebiasaan. Maka `Urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi melalui perkataan).
`Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk elit mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.
Uruf terbagi kepada dua macam, yaitu:
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara`, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan (seserahan) juga maskawin yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.
Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`. Tradisi `Urf fasid yang masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum nikah.
Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ianya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib diperhatikan.
Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan
العادة شريعة محكمة
Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum.
Sebagai bukti legalitas `Urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `Urf mereka.

Ciri dan Contoh Ijtihad Abu Hanifah
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’, diantaranya :
a.              Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.
Pada awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad sependapat dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al–Rasyid (salah seorang raja Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”. (Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b.             Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata.Dengan demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
c.              Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua rakaat sebagaimana shalat id, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.

Perbedaan Istinbath Abu Hanifah Dengan Imam Mazhab Yang Lain
Ø   Manhaj/metode Abu Hanifah dalam mengistinbathkan hukum adalah al-Qur’an, Hadis, Pendapat Sahabat, Qiyas, Istihshan, Ijma’ Dan Uruf.
Ø   Istinbath Mazhab Maliki adalah al-Qur’an, Hadis, Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih Murshalah, Istihshan, Sadd al-Zarai, Uruf.
Ø   Sumber Hukum Imam Syafi’i Nash (al-Qur’an Dan Hadis), Ijma’, Pendapat Para Sahabat, Qiyas.
Ø   Dasar mazhab Hanbali adalah Nash al-Qur’an dan Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada penentangnya, (dia tidak menamakannya dengan ijma’ tapi wara’), jika sahabat berbeda pendapat maka beliau memilih salah satunya jika sesuai dengan al-Qur’an dan hadits, kemudian menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya, dan didahulukan dari pada Qiyas (hadits Dha’if yang diterima adalah jika orang/rawi yang belum mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai dituduh berdusta), sumber lain dalah Qiyas.
Berikut adalah perbedaan mazhab Abu Hanafi dengan mazhab yang lain dalam istilah-istilah Fiqh, yaitu:
a.              Fardu Dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiah, menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardu adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qat’i (pasti), semisal Shalat, Haji, zakat, sedangkan wajib adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil Zhanni (ada kesamaran), seperti Khitan, Akikah dan Lain-lain.
b.             Jumhur ulama selain kalangan Malikiyah menyamakan istilah Sunnah dengan Mandub, Nafilah, Mustahab, Tathawu’, murghab fih, Ihsan dan husn. Sedangkan menurut Hanafiah adalah suatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah saw. Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa uzur, mandub dan mustahab adalah suatu yang Rasulullah tidak terus menerus melakukannya meskipun beliau tidak mengerjakan sesudah menggemarkannya pada orang lain.
c.              Menurut mazhab Hanafi, makruh terbagi dua yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih, makruh tahrim adalah makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti, contoh, bertunangan dengan tunangan orang lain, sedangkan makruh tanzih adalah larangan melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana, sedangkan jumhur ulama memandang makruh hanya satu jenis saja.
d.             Rukun menurut ulama Hanafi adalah suatu yang kewujudan suatu yang lain adalah bergantung pada kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu, menurut jumhur, Rukun adalah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan suatu meskipun ia berada diluar hakikat sesuatu itu.

Murid dan Pengembangan Mazhab Sesudah Beliau serta Buku Utama Mazhab
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah: Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, Waki' bin Jarah, Ibn hasan al-Syaibani.
Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'ah (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Huzaemah Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan bahwa, Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu: Fiqhul Akbar, Al-`Aalim wal Muta`allim, Musnad Fiqh.
Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mazhab ahlu ra`yi yang hidup dan berkembang sampai sekarang.

PENUTUP
Kesimpulan
Abu Hanifah lebih mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
Pemikiran beliaupun mulai tergugah dan terbentuk dalam satu paradigma yang kuat, ketika beliau menaruh perhatian besar pada ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat Irak. Hingga menjadikan beliau berani berdialog dan berdebat dengan penganut agama dan aliran yang berbeda.
Beliau memiliki konsep yang jelas dalam pengambilan hukum agama dari sumber-sumbernya. Dalam Tarikh Baghdad disebutkan sebuah pernyataan dari Abu Hanifah mengenai konsep yang digunakannya, yakni “Aku merujuk kitab Allah. Bila aku tidak menemukan (dasar hukum) didalamnya, aku akan merujuk sunnah. Bila di dalam keduanya aku juga tidak menemukan, aku akan merujuk perkataan para sahabat; aku akan memilih pendapat siapa saja dari mereka yang ku kehendaki, aku tidak akan pindah dari satu pendapat ke pendapat sahabat yang lain. Apabia didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, ibnu Sirrin, al-Hasan, al-Atha’, Sa’id ibnu Musayyab, dan sejumlah seorang yang lainnya, dan mereka semua sudah berijtihad, maka aku akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Imam Abu Hanifah, selain terkenal dalam mengambil keputusan, beliau juga dikenal sebagai pelopor pertama dalam menyusun kitab fikih secara kelompok-kelompok dalam pengklarifikasiannya. Diawali dari bab bersuci (taharah) kemudian disusul shalat dan seterusnya. Hingga pada generasi ulama berikutnya metode ini diikuti oleh ulama-ulama yang sangat familiar, seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan ulama lainnya.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Asy-Syanawi, Biografi Imam Abu Hanifah, Solo: Aqwam, 2013.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah.
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Amzah, 2004
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, cet ke-9, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Tanggerang Selatan: Logos Wacana Ilmu, 2003
M. Hasan Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Mahmud Syalthut, Fiqh Tujuh Mazhab, Cet I, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2008
Mujiyono Nurkholis, Kehidupan, Pemikiran, dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka; Terjemah al-Immat al-Fiqh al-Tis’ah, Bandung: al-Bayan, 1994.
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2011
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Cet II, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis