PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH
PENDAHULUAN
Imam
Abu Hanifah adalah salah seorang imam yang empat dalam sejarah islam, ia lahir
dan meninggal lebih dahulu dari para imam-imam yang lain. Karena dialah yang
kita bicarakan lebih dahulu dari imam-imam yang lain. Imam Abu Hanifah seorang
berjiwa yang besar, dalam arti kata seorang yang berhasil dalam hidupnya, dia
seorang yang bijak dalam bidang ilmu pengetahuan tepat dalam memberikan sesuatu
keputusan bagi sesuatu masalah atau peristiwa yang dihadapi.
Karena
dia seorang yang berakhlak atau berbudi pekerti yang luhur, ia dapat menggalang
hubungan yang erat dengan pejabat pemerintah, ia mendapat tempat yang baik
dalam masyarakat pada masa itu, sehingga beliau telah berhasil menyandang
jabatan atau gelar yang tertinggi yaitu imam besar (al-Imam al-‘Adham)
atau ketua Agung. Imam Abu Hanifah terkenal sebagai orang ahli dalam ilmu Fiqh
di negara Irak, beliau juga juga sebagai ketua kelompok ahli fikri (Ahlu-Ra’yi). Ia mendapat penghargaan masa itu, seorang utusan yang di antar oleh Abdullah
bin Al-Mubaraq (seorang pejabat ketika itu) berkata: “imam Abu Hanifah adalah
akal ilmu pengetahuan” dan perutusan lain pun berkata ia sebagai pakar dalam
ilmu Fiqh.
PEMBAHASAN
1. Biografi Abu Hanifah
Menurut
sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin al-Nukman
bin Tsabit bin Zufi al-Tamimi. Beliau
masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di
lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin
Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di
sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal al-Qur’an.
Dalam
hal memperdalam pengetahuannya tentang al-Qur’an beliau sempat berguru kepada
Imam Ashim, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang
yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah
belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Hammad ibn
Abu Sulaiman al-Kufi, tak kurang 10 tahun lamanya.
10
tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H, Imam Abu Hanifah pergi
meninggalkan kota Kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di
sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah
bin Abbas ra.
Semasa
hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya,
ahli zuhud, sangat tawadhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau
tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah
menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh al-Manshur. Karena
penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di
makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah
sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.
Menurut
Huzaemah Tahido Yanggo, dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab
menjelaskan, Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis,
nahwu, sastra, sya`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa
itu. Selain mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan
teologinya, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu
tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan
Khawarij.
Selanjutnya,
Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat
pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional (ahl ra`yi). Di Iraq
sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh
sahabat Rasulullah yang bernama Ibn Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian
beralih kepada Ibrahim al-Nakha`i,
lalu Hammad bin Abi Sulaiman al-Kufi
(wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu.
Ia murid dari al-Qamah bin Qais dan al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan
pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah
Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah itu ia sempat
mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan hadisnya sebagai
nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kufah sepakat
untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah Kufah. Selama itu ia
mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu
merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Prinsip-Prinsip yang Dipegang Abu Hanifah
Abu
Hanifah dikenal sebagai Ahl Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik
yang diistimbathkan dari al-Qur’an atau
pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi
ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu
hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu al-Qur'an, Sunnah, Ijma'
Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
Prinsip
yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode
Dialektika
Dengan
menggunakan analogi terhadap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh
hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran
individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
2. Metode
Istihsan
Yaitu
upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam satu nas disebabkan
adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqasid
al-syari’ah.
Sedangkan
cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a)
Dilalah
lafad umum (am) adalah qath’i seperti lafadz khash;
(b)
Pendapat
sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
(c)
Banyaknya
yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
(d)
Adanya
penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e)
Apabila
perbuatan rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya,
bukan riwayatnya,
(f)
Menggunakan
istikhsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Metode Istinbath Yang Digunakan Abu
Hanifah
Langkah
ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu:
"آخذ بكتاب الله، فإن
لم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول
الله صلى الله عليه وسلم أخذت بقول الصحابة، آخذ بقول من شئت، وأدع من شئت منهم، ولا
أخرج عن قولهم إلى قول غيرهم، فأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبي وابن سيرين وعطاء
وسعيد بن المسيب وعدد رجالا، فقوم اجتهدوا، فأجتهد كما اجتهدوا."
“Saya
berpegang pada Kitab Allah. Jika tidak, saya mengambil sunnah Rasulullah saw.
Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil
pendapat sahabat yang aku kehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak aku
hendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang
lain. Bila salah satu urusan belum diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim,
al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Atha’ dan Sa’id al-Musayyab serta yang lainnya,
maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad.”
A.
al-Qur’an
Terkait
hal ini, imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa al-Qur'an
merupakan sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa al-Qur'an
adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah
sumber yang muttafaq. Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda
pendapat mengenai terjemah al-Qur'an ke
dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga
termasuk al-Qur'an.
Diantara
dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan shalat
dengan menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa al-Qur’an merupakan hujjah dan
hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan ditaati
oleh manusia adalah, al-Qur’an diturunkan dari Allah swt, disampaikan kepada
manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang
kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini
mengandung arti al-Qur’an merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk
mendatangkan yang semisalnya.
B.
al-Sunnah
Bila Imam Hanafi
tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam al-Qur'an, dia mencarinya
dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya. (Q.S. al-Hasyr: 7)
Para
ulama sepakat bahwa hadits shahih merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda
pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di
lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan
ahad dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir,
namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits
yang di riwayatkan dari Rasulullah saw. oleh seorang, dua orang atau jama'ah,
namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Para
Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan
syarat berikut:
·
Perawi
sudah mencapai usia baligh dan berakal
·
Perawi
harus muslim
·
Perawi
haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
·
Perawi
harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar
dari Rasulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.
Selanjutnya Imam
Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:
-
Perbuatan
perawi tidak menyalahi riwayatnya.
-
Kandungan
hadits bukan hal yang sering terjadi.
-
Riwayatnya
tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.
Diantara
para perawi yang tidak faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah,
Salman al-Farisi, dan Anas ibn Malik.
C.
Ijma` Sahabat
Para
ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan
salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-Qur’an
dan al-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`.
Posisi ijma` sebagai sumber hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa
ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول . . .
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya). (Q.S. An-Nisaa: 59)
Pada
lafazh ulil amri di atas, mengandung dua pengertian sebagaimana yang
ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1.
Penguasa
dunia seperti Raja, Presiden, Sultan, atau Umara.
2.
Penguasa
agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.
Kedua
macam ulil amri di atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama
mereka tidak bertentangan dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang
mukhalafah dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan ulil amri di
atas termasuk kepada poin kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki
kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka terhadap hukum suatu
masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam untuk diikuti.
Kedudukan
ijma` sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan
bahwa pada hakikatnya ijma` adalah milik ummat Islam secara keseluruhan.
Imam mujtahid merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka
sebagai wakil ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang
disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah,
maka keputusannya dianggap abash dan benar.
Menurut
Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda
pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma` itu dapat dianggap
sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti. Menurut jumhur ulama ijma’
sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila merupakan
kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
D.
Qiyas
Jumhur
ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat
setelah al-Qur’an, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas
sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyas, memiliki alasan yang
kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Qur’an terdapat banyak ayat
yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar manusia mau
menggunakan akalnya. Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya: Ambillah pelajaran wahai
orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas
memiliki empat rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya kalau salah satu dari
empat rukun ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-rukun yang
empat tersebut banyak dibicarakan dalam kitab-kitab ushul fiqih, ialah:
·
al-Ashl, sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis
`alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul `alaih (yang dijadikan
pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)
·
al-Furu`, yaitu : sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis
(yang diqiyaskan), al-mahmuul (yang dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah
(yang diserupakan).
·
Hukum
asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi
hukum pada al-furu`.
·
al-`illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum
pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (furu`),
maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
E.
Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut
istilah ulama ushulfiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar),
atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnai
(pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan
perpalingan ini.
Selanjutnya
pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang
tersembunyi, lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut
dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian
kasuistis dari hukum yang bersifat kulli (umum) dan
menurut hukum lainya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan Istihsan.
Dari
penjelasan istihsan menurut syara’ jelaslah bahwasanya istihsan
ada dua macam, yaitu:
Pertarjihan
qiyas khafi (yang tersembunyi) dan qiyas
jali (nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh dari macam yang
pertama Istihsan ialah seorang pewakaf apabila mewakapkan sebidang tanah
pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air
minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkanya, berdasarkan
istihsan.
Menurut
qiyas semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang mana
menyebutkanya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah, bahwasanya yang
menjadi tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan
kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali
dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya.
Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa
menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali dengan
hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Dalam
contoh yang diatas tersebut terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua
qiyas, yang pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua qiyas yang
tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami, namun seorang mujtahid mempunyai
dalil yang memenangkan qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan
ini adalah “istihsan”. Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi
istihsannya.
F.
`Uruf (adat)
Imam
Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang
dijadikan sumber dalam ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah
dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa
perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat
istiadat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada perbedaan
antara `Urf dan kebiasaan. Maka `Urf yang bersifat perbuatan
adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling
memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi melalui
perkataan).
`Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun
mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari
masyarakat, dan kelompk elit mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena
sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara
khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.
Uruf
terbagi kepada dua macam, yaitu:
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia, dan tidak
bertentangan dengan dalil syara`, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan,
tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu
yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan akad jasa pembuatan
(produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan
(seserahan) juga maskawin yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi seperti ini
dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil
yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.
Adapun
`Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan
tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`. Tradisi `Urf fasid yang
masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum nikah.
Terkait
`Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ianya wajib
dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang mujtahid
haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Di dalam
pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah
menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu
telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan
mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara`,
maka `Urf wajib diperhatikan.
Oleh
karena itu, para ulama ushul mengatakan
العادة شريعة محكمة
Adat
merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum.
Sebagai
bukti legalitas `Urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat
mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `Urf mereka.
Di
bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh
tasyri’, diantaranya :
a.
Bahwa
benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah
(pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual,
diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk
masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan
wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif
telah meninggal dunia.
Pada awalnya,
Abu Yusuf dan Muhammad sependapat dengan Abu Hanifah. Ketika
melakukan ibadah haji bersama Harun al–Rasyid (salah seorang raja Dinasti
Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar bin Khattab yang tidak dibolehkan
untuk dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini kemudian dimuat
dalam Hadits Bukhari (Lihat Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu,
Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan
hibahkan. Ia berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke Abu Hanifah ia
pasti akan mengubah pendapatnya”. (Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b.
Bahwa
Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara
perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi
pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu,
menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata.Dengan
demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
c.
Abu
Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua
rakaat sebagaimana shalat id, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu rakaat.
Imam
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah
pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi
perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah,
yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua
masa tersebut.
Madzhab
Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat
luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat
gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat
bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Perbedaan Istinbath Abu Hanifah
Dengan Imam Mazhab Yang Lain
Ø Manhaj/metode Abu Hanifah dalam mengistinbathkan hukum adalah al-Qur’an,
Hadis, Pendapat Sahabat, Qiyas, Istihshan, Ijma’ Dan Uruf.
Ø Istinbath Mazhab Maliki adalah al-Qur’an,
Hadis, Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih Murshalah, Istihshan,
Sadd al-Zarai, Uruf.
Ø Sumber Hukum Imam Syafi’i Nash (al-Qur’an
Dan Hadis), Ijma’, Pendapat Para Sahabat, Qiyas.
Ø Dasar mazhab Hanbali adalah Nash al-Qur’an dan Hadits, fatwa
sahabat yang tidak ada penentangnya, (dia tidak menamakannya dengan ijma’ tapi
wara’), jika sahabat berbeda pendapat maka beliau memilih salah satunya jika
sesuai dengan al-Qur’an dan hadits, kemudian menggunakan hadits mursal, dan
hadits dha’if jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya, dan didahulukan
dari pada Qiyas (hadits Dha’if yang diterima adalah jika orang/rawi yang
belum mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai dituduh berdusta),
sumber lain dalah Qiyas.
Berikut
adalah perbedaan mazhab Abu Hanafi dengan mazhab yang lain dalam
istilah-istilah Fiqh, yaitu:
a.
Fardu
Dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan
Hanafiah, menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardu adalah kewajiban yang
dituntut dengan dalil yang Qat’i (pasti), semisal Shalat, Haji, zakat,
sedangkan wajib adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil Zhanni (ada
kesamaran), seperti Khitan, Akikah dan Lain-lain.
b.
Jumhur
ulama selain kalangan Malikiyah menyamakan istilah Sunnah dengan Mandub,
Nafilah, Mustahab, Tathawu’, murghab fih, Ihsan dan husn. Sedangkan menurut
Hanafiah adalah suatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah saw. Namun
kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa uzur, mandub dan mustahab adalah
suatu yang Rasulullah tidak terus menerus melakukannya meskipun beliau tidak
mengerjakan sesudah menggemarkannya pada orang lain.
c.
Menurut
mazhab Hanafi, makruh terbagi dua yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih, makruh
tahrim adalah makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti, contoh,
bertunangan dengan tunangan orang lain, sedangkan makruh tanzih adalah larangan
melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman
seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana, sedangkan jumhur ulama
memandang makruh hanya satu jenis saja.
d.
Rukun
menurut ulama Hanafi adalah suatu yang kewujudan suatu yang lain adalah
bergantung pada kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu, menurut
jumhur, Rukun adalah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan suatu meskipun ia
berada diluar hakikat sesuatu itu.
Murid dan Pengembangan Mazhab Sesudah Beliau serta Buku Utama Mazhab
Sepeninggal
beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup
banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah: Abu Yusuf, Abdullah bin
Mubarak, Waki' bin Jarah, Ibn hasan al-Syaibani.
Sedangkan
di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'ah
(kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan
oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Huzaemah
Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems
mengemukakan bahwa, Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu: Fiqhul
Akbar, Al-`Aalim wal Muta`allim, Musnad Fiqh.
Menurut
Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik
mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau
masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya
dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi
mazhab ahlu ra`yi yang hidup dan berkembang sampai sekarang.
Kesimpulan
Abu
Hanifah lebih mengutamakan ra`yi ketimbang khabar
ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada
beberapa dalil syara' yaitu al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas,
Istihsan, dan 'Urf.
Pemikiran beliaupun mulai tergugah dan
terbentuk dalam satu paradigma yang kuat, ketika beliau menaruh perhatian besar
pada ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat Irak.
Hingga menjadikan beliau berani berdialog dan berdebat dengan penganut agama
dan aliran yang berbeda.
Beliau memiliki konsep yang jelas dalam
pengambilan hukum agama dari sumber-sumbernya. Dalam Tarikh Baghdad disebutkan
sebuah pernyataan dari Abu Hanifah mengenai konsep yang digunakannya, yakni
“Aku merujuk kitab Allah. Bila aku tidak menemukan (dasar hukum) didalamnya,
aku akan merujuk sunnah. Bila di dalam keduanya aku juga tidak menemukan, aku
akan merujuk perkataan para sahabat; aku akan memilih pendapat siapa saja dari
mereka yang ku kehendaki, aku tidak akan pindah dari satu pendapat ke pendapat
sahabat yang lain. Apabia didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, ibnu Sirrin,
al-Hasan, al-Atha’, Sa’id ibnu Musayyab, dan sejumlah seorang yang lainnya, dan
mereka semua sudah berijtihad, maka aku akan berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad”.
Imam Abu Hanifah, selain terkenal dalam
mengambil keputusan, beliau juga dikenal sebagai pelopor pertama dalam menyusun
kitab fikih secara kelompok-kelompok dalam pengklarifikasiannya. Diawali dari
bab bersuci (taharah) kemudian disusul shalat dan seterusnya. Hingga pada
generasi ulama berikutnya metode ini diikuti oleh ulama-ulama yang sangat
familiar, seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan
ulama lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz Asy-Syanawi, Biografi Imam Abu Hanifah, Solo: Aqwam,
2013.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah.
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan
Biografi Empat
Imam Mazhab, Jakarta: Amzah, 2004
Jamil Ahmad, Seratus Muslim
Terkemuka, cet ke-9, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Mazhab, Tanggerang Selatan:
Logos Wacana Ilmu, 2003
M. Hasan Ali, Perbandingan Mazhab
Fiqih, Cet II, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000
Mahmud Syalthut, Fiqh Tujuh
Mazhab, Cet I, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2008
Mujiyono Nurkholis, Kehidupan,
Pemikiran, dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka; Terjemah
al-Immat al-Fiqh
al-Tis’ah, Bandung: al-Bayan, 1994.
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2011
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi
Ulama Salaf, Cet II, Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2007
Komentar
Posting Komentar