Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis
Al-Ra’yi
merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih
banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, dan al-hadis
merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih
dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu.
Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam
menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang
hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah
dan Kufah.
A. Pendahuluan
Menurut
Muhammad al-Husein al-Hanafi, pada masa tabi’in diperkirakan muncul pada masa
awal berdirinya Bani Umayyah dan berakhir pada abad ke II H. Dengan demikian
periode inii merupakan masa transisi antara sahabat dengan masa timbulnya
Imam-imam mazhab baik dari kalangan sunni dengan tokohnya atau dari kalangan
Syi’ah.
Pada priode ini
dikenal dua kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam, pertama
adalah aliran yang cenderung memberikan kelonggaran ketika menetapkan hukum
suatu masalah dan metode ijtihadnya banyak berorientasi kepada penalaran
(ra’yi), qiyas serta kajian terhadap maksud dan tujuan diturunkannya syari’at
Islam. Kedua adalah aliran yang cenderung bersifat ketat ketika menetapkan
hukum suatu masalah sebab lebih mengedepankan hadis ketimbang penalaran. Kedua
kelompok yang berbeda ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul hadis. Makalah
ini akan mencoba memaparkan lebih lanjut tentang faktor-faktor yang melatar
belakangi munculnya kedua aliran tersebut, metode istinbat hukun serta
tokoh-tokohnya dan sebagainya.
B. Ahl Ra’yi.
1. Latar
Belakang Kemunculan.
Ahl Ra’yi
merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih
banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini
muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut
Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor, yakni:
Keterikatan
yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang
dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang
sering menggunakan ra’yu.
Minimnya mereka
menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis yang
disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad
bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping
itu, mereka juga meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk
menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap
hadis dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang
sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya hadis yang
dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka
lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu
jumlahnya yang tidak sedikit.
Munculnya
berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini
muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu,
terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika
budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus
dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka
untuk menggunakan ra’yu.
2. Keitimewaan
Ahl Ra’yu
Para ulama
menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu memiliki beberapa keistimewaan tertentu, di
antaranya:
Banyaknya
hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak taqdiri yaitu
hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum muncul ketika itu.
Hal ini sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang
mereka temukan terutama yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih
dahulum maju ketimbang Islam. Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan
dampak terhadap produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fiqh termasuk
dalam melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum terjadi.
Dalam
pelegeslasian huku, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan tetapi
mereka juga memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan relevansi
syari’at dengan peristiwa konkrit. Hal ini dilakukan karena syari’at dipandang
sangat cocok dengan akal (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memberikan
maslahat kepada manusia.
Seefektifnya
mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang
ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari
kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang
mampu selamat dari kriteria tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah nabi dapat
terpelihara dengan baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul-muncul hadis
da’if dan maudhu’.
3.
Tokoh-Tokohnya.
Beberapa tokoh
yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:
1. Alqamah bin
Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
2. Masruq bin
Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3. al-Qadi
Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
4. Sa’id bin
Jubair (w. 95 H).
5. al-Sya’bi
Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4. Metode dalam
Pelegeslasian Hukum Islam
Berdasarkan
uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian hukum lebih
banyak menggunakan ra’yu ketimbang hadis. Bila timbul suatu masalah yang
memerlukan jawaban hukum maka mereka terlebih dahulu mencari dalilnya di dalam
Alquran. Bila ketentuan hukumnya tidak mereka temukan, mereka mencarinya di
dalam hadis, yang dalam hal ini mereka memberikan kriteria yang ketat sehingga
sedikit hadis-hadis yang lolos seleksi, meskipun tentu saja tidak berarti bahwa
mereka tidak menggunakan hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis yang
menerangkan masalah tersebut maka mereka menggunakan penalaran, dan penggunaan
ra’yu inilah yang banyak mereka terapkan dalam penetapan hukum.
Termasuk dari
metode penalaran yang mereka gunakan adalah istihsan, yaitu suatu metode
penetapan hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek qiyas dengan arahan utamanya
ditujukan kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan tetapi pola
istihsan yang mereka gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi
berserta murid-muridnya.
Salah satu
contoh yang dapat dikemukakan adalah putusan hukum yang ditetapkan oleh Qadi
Syuraih agar orang yang diberi amanah untuk menjaga barang titipan memberi
ganti rugi bila barang tersebut rusak di tangannya. Padahal menurut hadis nabi
bahwa orang yang menjaga amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi bila barang
titipan rusak di tangannya. Putusan hukum seperti itu yang ditetaokan oleh
Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis tersebut, akan tetapi
beliau memandang perlu menetapkan hukuman agar tidak terjadi peyepelean
terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Dari kasusu ini jelas bahwa putusan
yang diambil Syuraih lebih mengedepamkan aspek ra’yu ketimbang hadis.
C. Ahl Hadis
1. Latar Belakang
Kemunculan.
Sesuai dengan
namanya, maka ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam
pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu.
Kelompok ini merupakan kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz
(Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah,
Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Menurut para
ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
adanya ketertarikan
terhadap metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah bin Umar yang
sangat kuat berpegang pada hadis.
banyaknya hadis
yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hiudp pada zaman nabi banyak yang
tinggal di Hijaz terutama di Mekkah dan Madinah.
gaya hidup
orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak sedinamis dan seheterogen di
wilayah Iraq.
masalah-masalah
baru yang memerlukan fatwa sangat minim sekali, hal ini di samping karena
penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.
2.
Keistimewaan.
Di antara
bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok ahl hadis adalah:
Sangat kuat
berpegang terhadap hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam
penukilan hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari
penduduk Hijaz adalah siqat.
Tidak suka
mempersoalkan atau mendiskusikan masalah-masalah yang belum muncul karena akan
mendorong penggunaan ra’yu.
Dalam memahami
suatu nash, sangat berpatokan kepada makna zahir nash dan tidak mendiskusikan
lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
Tidak
menggunakan ra’yu kecuali pada saat terpaksa.
3.
Tokoh-Tokohnya.
Di antara
tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang tujuh,
yaitu:
1. Abu Bakar
bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin
Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin
al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin
Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin
Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah
bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
4. Metode
Legislasi Hukum.
Ahl al-Hadis,
sesuai dengan namanya sangat menguatamakan penggunaan hadis ketimbang ra’yu.
Setiap permasalahan yang muncul, mereka mencari jawabannya di dalam Alquran,
bila tidak diketemukan, lalu mereka mencarinya di dalam hadis merskipun berupa
hadis ahad, dan bila juga tidak diketemukan maka mereka tidak mengeluarkan
fatwa akan tetapi mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah sahabat dan
tabi’in terutama pendapat para khalifah rasyidun dan para fuqaha lainnya.
Apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, maka dilihat siapa yang
paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan pendapat,
maka mereka memilih pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan
demikian terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa bila pada
sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya.
D. Penutup
Ahl al-Hadis
dan Ahl Ra’yi adalah dua kecenderung dalam metode pelegislasian hukum Islam.
Hal ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas dan heteroginitas penduduk
yang mendiami tempat tersebut. Ahl Hadis yang berkembang di Hijaz mempunyai
banyak sumber hadis karena sahabat yang mendengar nabi lebih banyak tinggal di
wilayah ini, di samping itu, penduduknya juga termasuk homogen yang tentu tidak
akan melahirkan terlalu banyak persoalan. Sedangkan Ahl Ra’yi yang berkembang
di Iraq lebih sedikit mendapatkan hadis, baik karena sumbernya atau
kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis karena banyaknya hadis maudhu’.
Iraq juga dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai
perdaban, percampuran perdaban inilah yang melahirkan berbagai masalah yang
membutuhkan pemecahan hukum.
Meski dikatakan
sebagai Ahli Ra’yi, mereka masih menggunakan hadis, perbedaannya dengan Ahl
Hadis adalah dalam mendahulukan ra’yu ketimbang hadis ahad yang oleh Ahl Hadis,
hadis ahad didahulukan ketimbang ra’yu.
Urutan sumber
hukum yang dipakai oleh Ahl Hadis adalah:
1. Alquran.
2. Hadis.
3. Ijma’
(konsep ijma’ pada abad II).
4. Hadis Ahad
Sementara
sumber hukum Ahl Ra’yi adalah:
Alquran,
Hadis,
Ijma’
Ra’yu (Qiyas,
Istihsan dan sebagainya).
Daftar Pustaka
·
Ahmad, Abd al-Hay. Syazarat al-Zahab
fi Akhbar Imam Mazhab, jil. I. Kairo: al-Maktabah al-Qudsy, 1350 H.
·
Fath, Ahmad Abu. Kitab al-Mukhtarat
al-Fathiyat fi Tarikh al-Tasyri’ wa Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah an-Nahdhah,
1924.
·
Hanafi, Muhammad al-Husein.
al-Madhkal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, jil. I. Kairo: an-Nahdhah al-Arabiyah,
1969.
·
Musa, Muhammad Yusuf. Tarikh Fiqh
al-Islami. Mesir: Dar al-Kitab, 1958.
·
Qayyim, Ibn. I’lam al-Muwaqqin, jil.
I. Kairo: Munir ad-Dimasyqi, t.th.
·
Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh
al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th.
·
Syalbi, Yusuf as-Sayyid. Muhadarat
fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962.
·
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jil.
I. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.
·
Tim Penulis. Ensiklopedi Islam, jil.
V. Jakarta: Ichtiar Baru, 1999.
·
Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar
Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
·
Zahrah, Abu. Muhadarat fi Tarikh
al-Mazahib al-Fiqhiyat . t.p.: Ma’hal ad-Dirasah al-Islamiyah, 1996.
at s= � a m �3 @1 gan pendapat ulama-ulama terdahulu; (c)
memerangi orang-orang yang menyimpang dari aqidah kaum salaf seperti
kemusyrikan, khurafat, bid’ah, taqlid dan tawasul; (d) kembali kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
3. Tokoh-tokoh
pembaharu Islam antara lain: (a) Arab Saudi: Muhammad bi Abdul Wahab,
Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha; (b) Mesir: Hasan al
Bana; (c) Turki: Tewfik dan Dr. Abdullah Jedwat, Mehmed Akif, Zia Gokalp dan
Musthafa Kemal Attaturk; dan (d) India/Pakistan: Syah Waliyullah, Sir Sayid
Ahmad Khan, Sayid Amir Ali, Muhamad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah; dan (e)
Indonesia: K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari dan Ahmad Surkati.
tranguQgramga-Peoria Keith Hunt https://wakelet.com/wake/Ury-f2dgdF5NIF991wKpz
BalasHapuspecmamava
0anlurostni_1980 Vida Terrell Speedify
BalasHapusVysor
Eset NOD 32
lodardestfib