Sanad dan Matan Hadist


Pendahuluan
Dalam mempelajari sanad Hadis Nabi SAW, seseorang harus mengetahui dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas Hadis tersebut, yaitu al-Sanad dan al-Matan. Kedua unsure Hadis tersebut begitu sangat penting artinya dan antara yang satu dan yang lainny saling berhubungan erat, sehingga apabila salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap, dan dapat merusak, eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Suatu berita yang tidak memiliki sanad, menurut ulama’ Hadis tidak bisa di sebut ssebagai Hadis; dan kalupun disebut juga dengan Hadis maka ia di nyatakan ssebagai Hadis palsu (mawdhu’) demikian halnya juga dengan matan, ssebagai materi atau kandungan yang dimuat oleh Hadis, sangat menentukan keberadaan sanad, karena tidak akan dapat suatu sanad atau rangkaian para perawi di sebut ssebagai Hadis apabila tidak ada matan atau materi Hadisnya, yang terdiri dari atas perkataan,perbuatan, atau ketetapan (taqrir) Rasul SAW.

Dan di dalam penilaian suatu Hadis, unsur sanad dan matan adalah sangat menentukan. Oleh karenanya yang menjadi objek kajian dalam penelitian penelitian Hadis adalah kedua unsur tersebut, yaitu sanad dan matan.
Uraian berikut akan menjelaskan tentang sanad dan matan Hadis serta berbagai permasalahan yang berhubungan dengan keduanya.


A. PENGERTIAN SANAD
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu “yang di perpegangi (yang kuat)/yang bias di jadikan pegangan”. Atau dapat juga di artikan: “ sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah”.
Sedangkan secara terminologi, sanad berarti:  sanad adalah jalannya matan yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.
Al-Tahanawi megemukakan definisi yang hampir senada;
Dan sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan Hadis, yaitu nama-nama para perawi secara berurutan.
Jalan matan tersebut di namakan dengan sanad  adalah karena musnid berperang kepadanya ketika menyadarkan matan ke sumbernya. Demikian juga para Huffazh menjadikan ssebagai pegangan (pedoman) dalam menilai suatu Hadis, apakah Shahih atau  Dha’if.
Sebagai contoh dari sanad adalah sering yang terlihat dalam Hadis:
Yang artinya: “imam Bukhori meriwayatkan, ia berkata, “telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘telah menceritakan kepada kami ‘abd al-Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, ‘telah menceritakan kepada kami ayyub, dari abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, baliau bersabda,’ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa allah dan Rosul-Nya lebih di cintai dari pada selain keduany, bahwa ia mencintai seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali-kepada-kekafiran sebagaimana Ia benci masuk ke dalam neraka’.”
Pada Hadis di atas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai kepada matan Hadis,
Yaitu Bukhori, Muhammad ibn al-mutsanna,’Abd Wahab al-Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas r.a. rangkaian nama-nama itulah yang disebut dengan sanad  dari Hadis tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk sampai kepada matan Hadis dari sumber yang pertama.
Masing-masing orang yang menyampaikan Hadis di atas, secara sendirian disebut dengan rawi (perawi/riwayat), yaitu orang yang menyampaikan, atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah di dengar atau di terimanya dari seseorang (gurunya), dengan demikian, apabila kita melihat contoh Hadis di atas, maka Hadis tersebut di riwayatkan oleh beberapa orang perawi, yaitu :
  1. Anas r.a……………….                      sebagai perawi pertama
  2. Abi Qabilah ………….                       sebagai perawi kedua
  3. Ayyub ………………`                       sebagai perawi ketiga
  4. Abd al-Wahhab al-Tsaqafi…              sebagai perawi ke empat
  5. Muhammad ibn al-Mutsanna…..        sebagai perawi kelima
  6. Bukhori……………                           sebagai perawi terakhir
Imam Bukhori sebagi perawi terakhir dapat juga disebut sebagai muharrij, yaitu seorang yang pernah menukil atau mencatat suatu Hadis pada kitabnya, dan dari segi ini Bukhori adalah seorang yang men-takrij Hadis di atas.
Apabila kita melihat dari segi sanad, yaitu jalan yang mrnyampaikan kita pada matan Hadis, maka urutannya adalah sebagai berikut:
  1. Muhammad ibn al-Mutsanna ….        Sebagai sanad pertama atau awal sanad
  2. Abd al-Wahhab al-Tsaqafi….             Sebagai sanad kedua
  3. Ayyub ……………………                Sebagai sanad ketiga
  4. Abi Qilabah……………….                Sebagai sanad keempat
  5. Anas r.a……………………..             Sebagai sanad kelima atau akhir sanad

Ada beberapa istilah yang erat hubungannya dengan sanad, yaitu isnad, dan misnid.
  1. Isnad
Isnad secara etimologi berarti menyandarkan sesuatu pada yang lain, sedangkan menurut istilah, isnad berarti : mengangkat Hadis pada yang mengatakannya(sumbernya), yaitu menjelaskan matan dengan meriwayatkan Hadis secara musnad.
Disamping itu, isnad juga dapat di artikan dengan menceritakan jalannya matan.

  1. Musnad
Musnad adalah bentuk isim maful dari kata kerja asnada, yang berarti sesuatu yang di sandarkan kepada yang lain.
Secara terminology, musnad mengandung tiga pengertian, yaitu :
      1.  Hadis yang bersanbung sanad-nya dari perawinya sampai kepada ahir sanad-nya,
Dengan pengertian ini tercakup didalamnya Hadis Marfu’ ( yang di sandarkan kepada Rosul SAW), Mawkuf (yang di sandarkan kepada sahabat), dan maqthu’ (yang di sandarkan kepada Tabi’in). akan tetapi pada umumnya penggunaan istilah Musnad  di kalangan ulama’ Hadis, adalah terhadap berita yang datang dari Nabi SAW dan bukan yang datang dari selain beliau, Al-Hakim dan para ahli  Hadis lainnya secara tegas menyatakan:
Tidak di pergunakan (yaitu istilah musnad) kecuali terhadap Hadis marfu’ dan Muttashil (bersambung sanad-nya) dan itulah pendapat yang paling sahih.
Kitab yang menghimpun Hadis-Hadis Nabi SAW yang di riwayatkan oleh sahabat, seperti Hadis-Hadis yang di riwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya, adalah kitab Musnad Imam Ahmad. Sebagai masdar (masdar mimi) mempunyai arti sama dengan sanad.

  1. Musnid
Kata musnid adalah isim fa’il dari kata asnada-yusnidu, yang artinya.”orang yang menyandakan sesuatu kepada yang lain.” Sedangkan pengertian dalam ilmu Hadis  adalah :
Hadis dengan menyebut sanad-nya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekedar meriwayatkannya saja.

B. Peran Sanad dalam pendokumentasian Hadis dan penentuan kualitas Hadis
Ada dua perana penting yang dimiliki Sanad dalam kaitannya denga Hadis, yaitu: Pertama, peranannya dalam pendokumentasian hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan Hadis, baik dala bentuk tulisan atau dengan mengandalkan daya ingat yang setia dan tahan lama; kedua, peranannya dalam menetukan kualitas Hadis. Untuk lebih jelasnya berikut akan di bahas tentang kedua peranan yang dimiliki  oleh Sanad ini.

  1. Pernan sanad dalam pendokumentasian Hadis
Sebagaimana telah dianjurkan pada bab terdahulu mengenai sejarah himpunan dan pengkodifikasian Hadis, terlihat begitu besarnya peranan yang di mainkan oleh masing-masing perawi Hadis dalam rangka mencatat dan memlihara keutuhan Hadis Nabi SAW. Kegiatan pendokumentasian Hadis, terutama pengumpulan dan penampaian Hadis-Hadis Nabi SAW, baik melalui hafalan maupun melalui tilisan  yang  di lakukan oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabi’I al-Tabi’n, dan mereka  yang datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu di sebut Sanad, sampai generasi yang di bukukan Hadis-Hadis tersebut, seperti Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal, Bukhori, Muslim, dan lainnya, telah menyebabkan kepemeliharaannya Hadis-Hadis sampai di tangan kita seperti sekarang ini.
Berdasarkan sejarah periwayatan Hadis, para perawi mulai dari tingkatan sahabat sampai Ulama’ Hadis masa pembukuan Hadis, telah melakukan pendokumentasian Hadis melalui hafalan, dan tulisan. Bahkan menurut Al-Azami, pada tingkatan sahabat pengumpulan dan pemeliharaan Hadis dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (į) Learning by memorizing, yaitu dengan cara mendengarkan setiap perkataan dari Nabi SAW secara hati-hati dan menghafalkannya; (ii) Learning thorough writing, yaitu mempelajat\ri hadis dan menyimpannya dalam bentuk tulisan. Dalam cara ini yaitu penyimpanan dan penyampaian Hadis dalam bentuk tulisan, terdapat sejumlah sahabat, yaitu seperti Abu Ayyub al-Anshori (w.52 H), Abu Bakar Al-Siddiq (w.13 H), Abd Allah ibn Abbas (w. 68 H) Abd Allah ibn Umar (w.74 H), dan lain-lain. (iii) learning by practice, yaitu para sahabat mempraktikkan setiap apa yang mereka pelajari mengenai Hadis, yang diterimanya baik melalui hafalan maupun tulisan.
Demikian cara Sahabat dalam menerima dan memelihara Hadis-Hadis Nabi SAW. Cara demikian tetap di pertahankan oleh para Sahabat dan Ulama’ yang datang setelah mereka, setelah wafatnya Nabi SAW. Khusus mengenai kegiatan penulisan hadis yang dilakukan oleh masing-masing generasi periwayat Hadis, mulai dari gegerasi sahabat, generasi Tabi’in, Tabi’I al-tabi’in, sampai para Ulama’ sesudah mereka, telah di dokumentasikan oleh M.M. Azami didalam disertasi doktornya yang berjudul studies early hadith literature.
Dalam perkembangan berikutnya, proses pendokumentasian Hadis semakin banyak dilakukan denga tulisan. Hal ini terlihat dari delapan metode mempelajari Hadis yang di kenal di kalangan Ulama’ Hadis, tujuh di ataranya, yaitu metode kedua sampai kedelapan, adalah sangan tergantung kepada meteri tertulis, kedelapan metode tersebut adalah:
1.            Sama’, yaitu bacaan guru atau nuridnya-muridnya. Metode ini berwujud dalam empat bentuk, yakni: bacaan secara lisan, bacaan dari buku, tanya jawab, dan mendiktekan.
2.            Ardh, yaitu bacaan para murid kepada guru. Dalam hal ini para murid atau seseorang tertentu yang di sebut qari’, membacakan hadis di hadapan gurunya, dan selanjutnya yang lain mendenganrkan serta membandingkan denag catatan mereka atau menyalin dari catatan tersebut.
3.            Ijazah, yaitu memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah hadis atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dahulu hadis atau buku tersebut dibaca di hadapannya.
4.            Munawalah, yaitu memberikan kepada seseorang sejumlah hadis tertulis untuk di riwayatkan/disebarluaskan, seperti yang di lakukan al-zuhri (w.124 h) kepada al-tsauri, al-auza’i, dam lainnya.
5.            Katibah, yaitu menuliskan hadis untuk seseorang yang selanjutnya untuk di riwayatkan kepada orang lain.
6.            I’lam, yaitu memberitahu seseorang tentang kebolehan untuk meriwayatkan sebuah hadis dari buku tertentu berdasarkan atas otoritas ulama’ tertentu.
7.            Washyyat, yaitu seseorang meriwayatkan sebuah buku atau catatan tentang hadis kepada orang lain yang di percayainya dan di perbolehkannya untuk meriwayatkannya kepada orang lain.
8.            Wajadah, yaitu medapatkan buku atau catatan seseorang tentang hadis tanpa izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan hadis tersebut kepada orang lain. Dan cara yang seperti ini tidak di pandang oleh ulama’ hadis sebagai cara untuk menerima atau mempelajari hadis.
Melalui cara-cara di atas, masing-masing Sanad Hadis secara berkesinambungan. Mulai dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’I al-tabi’in, dan seterusnya sampai terhimpunnya Hadis-Hadis Nabi SAW di dalam kitab-kitab Hadis seperti yang kita jumpai sekarang, telah memelihara dan menjaga keberadaan dan kemurnian Hadis Nabi SAW, yang merupakan sember kedua dari ajaran Islam. Kegiatan pendokumentasian Hadis yang di anjurkan oleh masing-masing Sanad tersebut diatas, baik melalui hafalan maupun tulisan, telah pula di dokumentasikan oleh para Ulama’ dan para peneliti serta kritikus Hadis. Kitab-kitab Hadis yang muktabar dan standart, seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, dan lainnya, didalam menuliskan Hadis juga menuliskan secara urut nama-nama Sanad Hadis satu persatu, mulai dari Sanad pertama sampai Sanad  terakhir.
Kegiatan pendokumentasian Hadis yang telah di lakukan oleh para Sanad
Hadis sebagai mana telah di jelaskan di muka, merupakan satu konstribus besar bagi keterpeliharaan dan kesinambungan ajaran agama Islam yang telah di sumbangkan oleh para Sanad Hadits
  1. Peranan Sanad dlaam penetuan kualitas Hadis.
Status dan kualitas suatu Hadis, apakah dapat di terima atau di tolak, tergamtung pada Sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila Sanad suatu Hadis telah memenuhi sarat-sarat dan kriteria tertentu, demikian juga matan-nya, maka Hadis tersebut dapat di terima sebagi dalil untuk melakukan sesuattu atau menetapkan hokum atas sesuatu. Akan tetapi, apabila sarat-sarat tidak terpenuhi, maka Hadis tersebut di tolak dan tidak dapat dijadikan sebagai Hujjah.
Kualitas Hadis yang dapat di terima sebagai dalil atau Hujjah adalah Shahih dan  Hasan, dan keduanya di sebut juga sebagai Hadis maqbul (Hadis yang dapat diterima sebagai dalil atau dasar penetapan suatu hokum) diantara sarat qabul dalam suatu Hadis adalah berhubungan erat dengan Sanad Hadis tersebut, yaitu:
1.            Sanad-nya bersambung
2.            Bersifat adil
3.            Dhabith
Dan sarat selanjutnya berhubungan erat dengan matan Hadis yaitu:
4.            Tidak Syadz,
5.            Hadis tidak terdapat padanya illat
Dari lima keriteria yang di sebut diatas agar suatu Hadis dapat di terima sebagai dalil atau Hujjah, tiga diantaranya berhubungan dengan Sanad  Hadis tersebut. Suatu Hadis manakala Sanad-nya  tidak bersambung atau terputus, maka Hadis tersebut didak bias di terima sebagai dalil atau Hujjah. Keterputusan sanad dapat terjadi pada awal sanad, baik satu orang perawi atau lebih (disebut Hadis mu’allaq), atau pada akhir sanad(disebut Hadis mursal). atau terputusnya Sanad satu orang (munqathi’), atau dua orang atau lebih secara beryrytan (mu’dhal), dan lainnya. Demikian juga halnya jika Sanad Hadis mengalami cacat, baik cacat yang berhubungan dengan keadilan para perawi, seperti pembohong, fasik, pelaku bid’ah, atau tidak di ketahui sifatnya , atau cacatnya berhubungan dengan ke-dhabith-annya, seperti sering berbuat kesalahan, buruk hafalannya, lalai, sering ragu, dan menyalahi keterangan orang-orang terpercaya. Keseluruhan cacat tersebut, apabila terdapat pada salah seorang perawi dari suatu Sanad Hadis, maka Hadis tersebut juga dinyatakan Dha’if dan ditolak sebagai dalil, merupakan topic pembahasan pada bab selanjutnya.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa Sanad suatu Hadis sangat berperan dalam menentukan kualitas Hadis, yaitu dari segi dapatnya diterima sebagai dalil (maqbul) atau tidak (mardud).
Karena begitu pentingnya peranan dan kedudukan Sanad dalam menentukan kualitas suatu Hadis, maka para Ulama telah melakukan upaya-upaya untuk mengetahui secara jelas dan rinci mengenai kedatangan masing-masing Sanad suatu Hadis. Upaya dan kegiatan ini berwujud dalm bentuk penelitian Hadis, khususnya penelitian Sanad Hadis. Kitab-kitab yang disusun dan memuat tentang keadaan para perawi Hadsi, seperti data-data mereka, biografi mereka, dan keadaan serta sifat-sifat mereka, diantaranya adalah:
a)            Karya yang membahas tentang riwayat idup para sahabat seperti :
-          Al-isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab,oleh ibn Abd al-barr al-Andalusi.
-          Usud al-Ghabat fi Ma’rifat al-Shahabat, oleh Iz al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Muahammad  ibn al-Atsir al-Jaziri (w. 630 H)
-          Al-Ishbat di Tamyiz al-Shahabat, oleh ibn Hajar al-Asqalani (w. 582 H).
b)            Kitab-kitab Thabaqat seperti :
-          Al-Thabaqat al-Kubra, oleh Abu Abd Allah Muhammad ibn Sa’d al-Waqidi (w. 230 H);
-          Tadzikirat al-Huffaz, oleh Abu Abd Allah Ahmad ibn Usman al-Dzahabi (w. 748 H).
c)            Kitab-kitab yang memuat riwayat hidup para perawi Hadis secara umum, seperti :
-          Al-Tarikh al-Kabir, oleh imam al-Bukhori (w. 256 H).
-          Al-Jarah wa al-Ta’dil, ileh ibn Abi Hatim (w. 372 H).
d)           Karya-karya yang membuat para perawi Hadis dari kitab-kitab tertentu, seperti:
-          Al-Hidayat wa al-Irsyad fi Ma’rifat Ahl al-Tsiqat wa al-Sadad, oleh abu Nashr Ahmad ibn Muhammad al-Kalabadzi (w. 398 H) (kitab-kitab ini memuat secara khusus para perawi Hadis dari kitab Shahih al-Bukhori).
Sedangkan kitab-kitab yang memuat biografi para perawi Hadis yang terdapat di d`lam al-kutub al-sittah dan lainnya adalah:
-                al-kamal fi Asma’ al-Rijal, oleh Abd al-Ghani al-Maqdisi (w. 600 H).
-                Tahzib al-Kamal, oleh al-Mizzi (w.742 H); Tahdzib al-Tahdzib, oleh Al-Dzahabi (w. 748 H).
-                Tahdzib al-Tahdzib, oleh Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), dan lain-lain.

C. Matan Hadis
Matan Hadis secara bahasa berarti: Sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah).
Secara terminoligi berarti: Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) Sanad, yaitu berupa perkataan.
Atau dapat di artikan sebagai: Yaitu lafad Hadis yang memuat berbagai pengertian.
Dari hadi berikut, yang artinya:
Imam Bukhori meriwayatkan ia berkata: “telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘telah menceritakan kepada kami Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda,’ Ada tiga hal yang apabila seorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih di cintai dari pada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia membenci kembali-kepada-kekafiran sebagai mana ia membenci masuk kedalam api Neraka’.”

D. sebab-sebab terjadinya perbedaan kandungan Matan.
Yang di maksud dengan “kandungan matan” disini adalah teks yang terdapat di dalam matan suatu Hadis mengenai suatu peristiwa, atau pernyataan yang di sandarkan kepada Rosul SAW. Atau tegasnya kandungan matan adalah redaksi dari matan suatu Hadis.
Penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadis adalah kerena adanya periwayatan Hadis secara makna, yang telah berlangsung sejak masa sahabat, meskipun di kalangan para sahabat sendiri terdapat kontroversi pendapat mengenai periwayatan secara makna tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan di uraikan mengenai penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan Hadis tersebut.

1.      Periwayatan Hadis secara makna
Sering di jumpai di dalam kitab-kitab Hadis perbedaan redaksi dari matan suatu Hadis mengenai suatu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya periwayatan Hadis yang di lakukan secara maknanya saja (riwayat bi al-makna),bukan berdasarkan redaksi yang sama, sebagai mana yang di ucapkan oleh Rosul SAW. Jadi, periwayatan hadis yang di lakukan secara makna adalah penyebab terjadinya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadis. Suatu hal yang perlu di pahami, sebagai mana yang telah di uraikan pada bab terdahulu, bahwa tidak seluruh Hadis di tulis oleh para sahabat pada masa Nabi SAW masih hidup. Dan, bahkan keadaan yang demikian  terus berlanjut sampai masa sahabat sab Tabi’in, sebelum inisiatif penulisan dan pembukaan Hadis secara resmi di ambil oleh Khalifah Umar ing Abd al-Aziz di penghujung abad pertam hijriyah dan diawal abad kedua Hujriyah. Selama masa tersebut, sebagaian dari Hadis-Hadis itu, terutama yang terdapat pada perpendaharaan sahabat dan Tabi’in yang menolak untuk menulis Hadis, diriwayatkan hanya melalui lisan ke lisan.
Dalam hal periwayatan Hadis tersebut, yang memunkinkan untuk di riwayatkan oleh para sahabat sebagai saksi pertama sesuai/sebagai mana menurut lafad atau redaksi yang di sabdakan Rosul SAW (riwayat bi al-lafzh) hanyalah Hadis dalam benruk sabda (aqwal al-Rodsul). Sedangkan Hadis-hadis yang tidak dalam bentuk perkataan, seperti hadis Af’al (perbuatan) dan hadis Taqrir (pengakuan dan ketetapan) Rosul SAW, hanya di munkinkan di riwayatkan secara makna (riwayat bi al-Makna).
Hadis-hadis yang dalam bentuk aqwal pun, tidak seluruhnya dapat di riwayatka  secara lafad. Hal tersebut disebabkan tidak munkin seluruh sabda Nabi SAW itu di hafal secara harfiyah oleh para sahabat dan demikin juga oleh Tabi’in yang datang kemudian. Sebeb lainnya, juga tidak semua sahabat mempunyai kemampuan menghafal tingkat kecerdasan yang sama, dan hal ini memberi peluang terjadinya perbedaan redaksi dan fariasi pemahaman terdapat redaksi Hadis yang di terima mereka dari Nabi SAW, yang selanjutnya akan berpengaruh ketika mereka meriwayatkannya kepada sahabat yang tidak mendenganr secara langsung dari Nabi SAW, atau kepada para Tabi’in yang datang kemudian.
Selain itu, terdapat sebagian sahabat yang membolehkan periwayatan hadist secara makna. Di antara mereka itu adalah: ‘Abd Allah ibn Masud, Abu Darda’, Anas ibnu Malik, ‘Aisyah, ‘Amir al-Sya’bi, Ibrahin Al-Nakha’i, dan lain-lain.
Abd Allah ibn Masud, misalnya, ketika meriwayatkan Hadist kadang-kadang mengatakan:
Rosulullah SAW bersabda begini, atau seperti ini, atau mendekati pengertian seperti ini.
‘Aisyah r.a. suatu ketika menjawab pertanyaan ‘Urwah Ibnu Zubair ketika Ibnu Zubair menanyakan perbedaan redaksidari suatu Hadist yang di perolehnya dari ‘Aisyah. Dengan mengatakan:
Maka dia (‘Aisyah) menjawab, “apakah kau mendengar perbedaan dalam maknanya?” aku (ibn Zubair) mengatakan, “tidak.” ‘Aisyah selanjutnya mengatakan, hal tersebut (periwayatan denga redaksi yang berbeda, namun maknanya sama) tidak mengapa (yaitu boleh) untuk di lakukan.
Dikalangan Tabi’in dan Ulama’ yang datang kemudian, juga ada yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, seperti al-Hasan al-bashri, Ibrahim al-Nakha’I, dan Amir al-Sa’bi. Mereka memberika isyarat kepada para pendengar atau yang menerima riwayat mereka bahwa sebagian Hadis yang mereka riwayatkan tersebut adalah secara makna. Hal tersebut mereka lakukan denga cara mengiringi riwayat mereka itu denga kata-kata (sebagai mana sabda beliau), (dan yang seumpama ini).

2.      Beberapa ketentuan dalam periwayatan Hadis secara makna
Para Ulama’ berbeda pendapatmengenai apakah selain sahabat boleh meriwayatkan Hadis secara makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 573 H/1148 M) berpendapat bahwa selain sahabat Nabi SAW tidak di perkenankan meriwayatkan Hadis secara makna. Alas an yang di kemukakan oleh ibn al-Arabi adalah : pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahsa arab yang tinggi (al-Fashahah wa al-balghah), dan kedua, sahabat menyakdikanlangsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.
Akan tetapi, kebanyakan Ulama’ Hadis membolehkan periwayatan Hadis secra makna meskipun dilakukan oleh selain sahabat, namun dengan beberapa ketentuan. Diantara ketentuan-ketentuan yang di sepakati para Ulama’ Hadis adalah:
a.                        Yang boleh meriwayatkan Hadis secara makna hanyalah mereka yang benae-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan Hadis akan di hinder dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
b.                       Periwayatan dengan makna di lakukan bila sangat terpaksa, misalnya karena luapa susunan secara harfiyah.
c.                        Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya Ta’abbudi, seperti bacaan dzikir, do’a, adza, takbir, dan syahadad, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami “al-Kalim.”
d.                       Periwayat yang meriwayatkan Hadis secara makna, atau mengalami keraguan akan susunan matan Hadis yang di riwayatkannya agar menambahkan kata-kata, atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan Hadis yang bersangkutan.
e.                        Kebolehan periwayatan Hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya Hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi), maka periwayatan hadis harus secara lafaz.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka para perawi tidaklah bebas dalam meriwayatkan Hadis secara makna. Namun demikian, kebolehan dalam melakukan periwayatan secara makna tersebut telah memberi peluang untuk terjadinya keragaman susunan redaksi matan Hadis, yang sekaligus akan membawa ke pada terjadinya perbedaan kandungan matan, yang dalam hal ini yang di maksudkan adalah redaksi Hadis itu sendiri.
Perbuatan redaksi matan Hadis tersebut terjadi terutama karena adanya perbedaan sanad Hadis, dan perbedaan sanad itu sendiri terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan perawi. Perawi yang berbeda akan menyebabkan kemunkinan terjadinya perbedaan dal menerima suatu riwayat dan perbedaan dalam ketentuan yang di pedomani serta aplikasinya dalam periwayatan Hadis secara makna.
Sebagai contoh kasus, dalam hal perbedaan redaksi matan Hadis yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan sanad, adalah Hadis tentang niat. Hadis tersebut dapat di jumpai didalam kitab-kita shahihi al-Bikhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Suna  Nasa’I, Sunan ibn Majah, dan Musnad Ahmad ibn hanbal. Sahabat Nabi yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad Hadis tersebut adalah Umar ibn al-khathab. Di Shahih al-Bukhori saja Hadis tersebut terdapat di tujuh tempat. Nama-nama perawinya Thabaqat (tingkatan) pertama sampai dengan yang keempat, yaitu:
1.            Umar ibn al-Khattab
2.            Alqamah ibn Waqqash al-Laitsi
3.            Muhammad ibn ibrahim al-Tamimi,
4.            Yahya ibn Sa’id al-Ansori

Akan tetapi, terdapat perbedaan perawi pada Thabaqat kelima yaitu:
1.            Sufyan ibn Uyainah
2.            Malik ibn Anas
3.            Abd al-Wahhab
4.            Hammad ibn Zaid

Perbedaan perawi juga terjadi pada thabaqat keenam yaitu sebelum al-Bukhori yakni:
1.            al-Humaydi Abd Allah ibn Zubair
2.            Abd Allah ibn Maslamah
3.            Muhammad ibn Katsir Musaddad
4.            Musaddad
5.            Yahya ibn Qaz’ah
6.            Qutaibah ibn Sa’id
7.            Abu Annu’man
Perbedaan yang terjadi pada sanad yang di sebabkan oleh perbedaan perawi pada Hadis-Hadis Bukhori di atas, telah mengakibatkan terjadinya perbedaanan-perbedaan redaksi pada matannya dan, perbedaan tersebut telah kelihatan sejak dari awal matannya yang terdiri dari liam redaksi yang berfariasi yaitu :
Perbedaan yang di timbulkan oleh periwayatan secara makna tidak hanya terjadi dalam hal redaksi, tetapi juga dalam hal pemilihan kata-kata, sesuai dengan perbedaan waktu dan kondisi dimana perawi itu berada, yang kata-kata tersebut diduga mengendung makna yang sama dengan kata-kata yang lazim di pergunakan pada masa Rosul SAW.

3. Meringkas dan menyederhanakan matan Hadis
Selain perbedaan susunan kata-kata dan perbedaan dalam memilih kata-kata untuk redaksi sesuatu Hadis, permasalahan yang juga di perselisihkan oleh para Ulama’ dan berpengaruh terhadap redaksi matan suatu Hadis adalah mengenai tindakan meringkas atau menyederhanakan redaksi dari suatu Hadis. Sebagian Ulama’ ada yang mutlak tidak membolehkan tindakan tersebut. Hal itu sejalan dengan pandangan mereka yang menolak periwayatan Hadis secara makna. Sebagian lagi ada yang membolehkannya secara mutlak. Namun kebanyakan para Ulama’ Hadis dan merupakan pendapat yang terkuat adalah membolehkannya dengan persyaratan. Sarat-sarat tersebut, sebagai mana yang di rangkum oleh Syuhudi, adalah sebagai berikut :
1.            Yang melakukan peringkasan itu bukanlah periwayat Hadis yang besangkutan,
2.            Apabila peringkasan di lakukan oleh periwayat Hadis, maka ahrus telah ada Hadis yang di kemukakannya secara sempurna.
3.            Tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-istisna’) sarat, penghinggaan (al-Ghayah), dan yang semacamnya.
4.            Peringkasan itu tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam Hadis yang bersangkutan.
5.            Yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah mengetahui kandungan Hadis yang bersangkutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis