TAFSIR AYAT TENTANG ORANG KAFIR
1.
QS. Al-Baqarah ayat 120
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ .( ١٢٠)
Artinya: “Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebelum kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenarnya)". dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah pengetahuan
datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Asbab Nuzul
Diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi yang bersumber dari
Ibnu Abbas: Bahwa kaum Yahudi Madinah dan kaum Nashara Najran mengharap agar
Nabi Saw shalat menghadap kiblat mereka. Ketika Allah SWT membelokkan kiblat
itu ke ka’bah, mereka merasa berkeberatan. Mereka berkomplot dan berusaha agar
Nabi Saw menyetujui kiblat sesuai dengan agama mereka. Maka turunlah ayat ini
(Al-Baqarah ayat 120) yang menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang
Nashara tidak akan senang kepada Nabi Muhammad walaupun keinginannya
dikabulkan.
Tafsir
Surat al-Baqarah ayat 120 ini memang sering
ditafsirkan secara sempit oleh sebagian kaum muslim, sehingga beberapa orang
muslim mudah membenci dan mudah berprasangka buruk kepada orang yang beragama
lain setelah membaca ayat ini, padahal secara fakta yang dibencinya kadang
tidak pernah melakukan kesalahan ataupun kejahatan kepada yang membencinya,
seolah-olah ayat ini menjadi provokator untuk menimbulkan rasa benci di hati
kaum muslimin terhadap agama lain jika penafsirannya kurang tepat.
Perhatikan pula ayat sebelumnya, yaitu al baqarah ayat
119:
إِنَّا
أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَ نَذِيْرًا وَلاَ تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ
الْجَحِيْم
Sesungguhnya telah Kami utus
engkau dengan kebenaran, pembawa berita gembira dan peringatan ancaman. Dan
tidaklah engkau akan ditanya dari hal ahli-ahli neraka.
Dari ayat 119 ini jelaslah bahwa firman Allah ini
ditujukan secara pribadi kepada nabi Muhammad S.A.W , selanjutnya diteruskan
lagi dalam ayat berikutnya yang masih berhubungan, jadi ayat 120 dari surat al
baqarah menunjukan keadaan ketika ayat ini turun, dan keadaan serta watak suatu
kaum bisa berbeda pada setiap zamannya,
termasuk watak kaum yang ada di tempat lain.
Jika sebagian kaum muslim yang salah menafsirkan ayat
ini mudah membenci atau mudah berprasangka buruk kepada orang yang
berkepercayaan lain, tentunya akan mempengaruhi i image dan citra agama islam
sendiri di dunia internasional, seolah-olah agamanyalah yang mengajarkan
kebencian kepada kaumnya. Padahal agama seharusnya dapat membersihkan jiwa
manusia dari sifat – sifat “kotor” seperti kebencian, iri, serakah, fitnah,
mementingkan hawa nafsu, insting suka membunuh seperti binatang buas, dan
berbagai sifat “kotor lainnya, agar jiwa kita menjadi bersih ketika menghadap
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bila sudah waktunya nanti.
1). Upaya sejak dini memisahkan risalah dan pembawa
risalah-nya terungkap jelas melalui ayat ini. Yaitu dengan cara memalingkan
Rasul dari risalah yang dibawanya. Agen utama mereka ialah orang-orang Yahudi
dan Nashrani. Pertama-tama mereka datang membujuk Rasul, tetapi karena gagal,
mereka kemudian melakukannya dengan menyebarkan intrik dan indoktrinasi. Pertama-tama
mereka menyebarkan berita yang diakuinya sebagai ajaran yang bersumber dari
Kitab Suci mereka. “Dan mereka (kaum Yahudi) berkata: ‘Kami sekali-kali tidak
akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.’ (2:80).
Tujuannya, menjustifikasi supremasi mereka terhadap Rasul dan pengikutnya tanpa
harus meninggalkan kebiasan-kebiasaan lama mereka seperti ajaran baru Nabi
Muhammad. Paling tidak, kalau umat Rasul sudah mau berpandangan bahwa “semua
agam sama saja”, sudah cukuplah. Tidak perlu mereka pindah agama, cukup
mengakui supremasi agama-agama lain. Lalu, mereka (yahudi dan Nashrani)
sama-sama datang kepada Rasul dan berkata:“Sekali-kali tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.” (2:111). Harapannya,
Rasul ‘memakan’ pancingan mereka. Dan dengan begitu mereka memalingkan Rasul ke
pihak mereka, bersekutu dengan mereka, menjalankan agenda-agenda mereka,
membiarkan mereka mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan negara dan
bangsanya, menggelontorkan investasi dengan cara membeli aset-aset yang berada
di bawah kontrol Madinah; kendati—secara de-facto—Rasulullah tetap sebagai
‘Kepala Pemerintahan’ yang sah dan dipanuti oleh umat, bangsa, dan negaranya.
Itu sebabnya, di sini, Allah tidak
menggunakan kata الدِّينِ (ad-dĭyn, aturan hidup), tapi kata مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir). Artinya Rasul tidak perlu
mengganti الدِّينِ
(ad-dĭyn, aturan hidup), gelar kerasulan, dan baju keagamaannya. Mereka (Yahudi
dan Nashrani) juga tidak perlu muncul ke permukaan. Mereka cukup berada di
balik layar saja. Yang kelihatan memimpin tetap Rasul. Tetapi yang Rasul musti
lakukan ialah melaksanakan rencana-rencana kerja mereka. Apakah Rasul termakan
oleh muslihat seperti itu? Tidak. Karena Beliau adalah Khalifah Ilahi yang sah,
yang dikontrol langsung oleh Allah sebagai Mursil-nya, yang tak pernah lagi
berfikir tentang kepentingan pribadi dan dunianya, maka perangkap politik
seperti itu tidak mempan baginya. “Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang
(penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah
mengusirmu itu, yang (tekita) Kami membinasakan mereka, maka tidak ada seorang
penolongpun bagi mereka. Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang
datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang
baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (47:13-14)
2). Anak kalimat لَن
تَرْضَى عَنكَ [lan tardhā ‘anka, sekali-sekali tidak
akan pernah redha kepadamu (Muhammad)] menarik untuk diselami. Tiga kata yang
ada di anak kalimat ini masing-masing memiliki maknanya yang dalam, kaitannya
dengan masa depan Islam (terhitung sejak zaman Rasul hingga kini dan di
masa-masa mendatang). Pertama, kata لَن (lan) adalah huruf nafĭ (negasi) yang termasuk jenis taukĭd
(kata penguat atau penegas), untuk menegaskan bahwa negasi yang terjadi di situ
sifatnya berkelanjutan, seterusnya, selama-lamanya, sama lamanya dengan usia
keberlakuan al-Qur’an. Karena Kitab Suci samawi terakhir ini berlaku hingga
Hari Kiamat, maka fungsi لَن (lan) sebagai negasi taukĭd di ayat ini juga berlaku sampai
Hari Kiamat. Kedua, kata تَرْضَى (tardhā) yang kata dasarnya رضى (ra-dhi-ya), oleh al-Mawrid al-Qareeb Dictionary diartikan
dengan “to be satisfied (with), content (with); to content oneself (with), to
be pleased (with); to accept (to), agree (to), approve (of)”. Sedangkan penulis
Kamus Kontemporer Arab-Indonesia mengartikannya dengan “merestui, meridhai,
senang”. Makanya penulis Kamus al-Munawwir menyebutnya sebagai lawan dari kata سَخِطَ
(sa-khi-tha) yang berarti “marah, murka, benci”. Ketiga, kata عَنكَ
(‘anka), yang aslinya berasal dari dua penggal kata: عَن (‘an) dan كَ (ka). Kata عَن (‘an) sebetulnya adalah bagian dari kata تَرْضَى
(tardhā), sehingga lengkapnya harus berbunyi تَرْضَى
عَن (tardhā ‘an). Sehingga yang paling
penting di dalam kata عَنكَ (‘anka) ini ialah huruf كَ (ka)-nya yang merupakan dhamĭr mukhathab mufrad (kata ganti
orang kedua tunggal) untuk Rasulullah. Disinilah menariknya, huruf كَ
(ka)-nya untuk Rasulullah, sementara Rasulullah manusia biasa (secara bilogis)
yang kematiannya juga pasti. Padahal tadi dikatakan bahwa kata لَن (lan)
menunjukkan negasi taukĭd yang sifatnya berkelanjutan, selama-lamanya. Kalau
huruf كَ
(ka)-nya hanya dibatasi pada Rasulullah saja, secara otomatis makna yang
dikandung kata لَن (lan)
menjadi terbatas, bahkan masa berlakunya sangat-sangat singkat dibanding usia
keberlakuan al-Qur’an, keberlakuan risalah kenabian. Agar ayat لَن تَرْضَى عَنكَ (lan
tardhā ‘anka) terus berlaku, seperti disifati oleh kata لَن (lan),
sepanjang keberlakuan al-Qur’an dan risalah kenabian, maka yang bisa difahami
di situ ialah bahwa ayat ini memberikan indikasi yang begitu jelas tentang
mustinya selalu ada satu sosok ilahi di setiap masa yang mengganti posisi Rasul
di huruf كَ
(ka)-nya. Sosok-sosok inilah yang akan menerima keberlakuan ayat 120 ini pada
dirinya. Kalau sekiranya yang dituju bukan satu sosok khusus, maka ayatnya akan
seperti ini: “Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kalian ridha kepada mereka.
Tetapi jika sekiranya kalian ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak
ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (9:96)
3). Menurut al-Wahidi, ayat ini turun berkenaan dengan
permintaan cease-fire (gencatan senjata) orang-orang Yahudi dan Nashrani kepada
Rasul dalam suatu peperangan. Mereka berharap bahwa dengan cease-fire (gencatan
senjata) dan waktu tangguh yang diberikan kepada mereka itu, Rasul sekaligus
ridha dan sepakat dengan مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka. Sedangkan menurut
as-Suyuthi, mengutip Ibnu Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan pemindahan
kiblat salat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, yang membuat orang Yahudi
dan Nashrani kecewa dan berputus asa dalam mengusahakan agar Nabi ridha dengan مِلّة
(millah, pola hidup, cara berfikir) mereka. Baik salah satunya atau
kedua-duanya benar, tetap tidak bertentangan dengan fakta bahwa melalui ayat
ini Allah swt meyakinkan kita melalui Rasul bahwa إِنَّ
هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى [inna ɦudallaɦ ɦuwal ɦudā, Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar)], sehingga bagaimanapun canggih, rapih,
indah, dan sistematisnya cara mereka menarik perhatian kita untuk ridha kepada مِلّة
(millah, pola hidup, cara berfikir) mereka, kita tetap harus berkeyakinan bahwa
Islam sebagai هُدَى اللّهِ (ɦudallaɦ,Petunjuk Allah)-lah yang
benar. Dengan modal keyakinan seperti itu, kita boleh bergaul dengan siapapun
dan dengan agama atau keyakinan apapun, dengan penuh percaya diri, dan dengan
prinsip-prinsip yang tak mudah melorot. Penggunaan frase هُدَى اللّهِ (ɦudallaɦ,Petunjuk Allah) menjelaskan
dua hal. Satu, risalah yang dibawa Nabi Muhammad bukanlah inisiatif dan kreasi
pribadinya, bahkan bukan produk kejeniusan manusia atau makhluk manapun.
Risalah Islam adalah Risalah Allah, yang merupakan bukti Kasih Sayang-Nya
kepada hamba-hamba-Nya dari kalangan jin dan manusia. Allah tidak ingin
membiarkan mereka tersesat. Allah tidak ingin membiarkan mereka menderita
dunia-akhirat. Maka Dia mengutus Rasul-Nya untuk membimbing mereka menerapkan
risalah tersebut, tanpa perhitungan untung-rugi. Maka kalau manusia menolaknya,
manusia itu sendirilah yang merugi. Dua, selain dari yang dibawah oleh Nabi
Muhammad, dipastikan bukan هُدَى اللّهِ (ɦudallaɦ), bukan Petunjuk Allah. Sehingga sampai kapan pun dan dengan
formula intelektual apapun tetap tidak mampu membawa manusia keluar dari
belitan problem hidupnya (individu dan masyarakat). “...Barangsiapa yang
menjadikan syaitan (dari kalangan manusia) menjadi pelindung selain Allah, maka
sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata” (4:119).
4). Bahkan bukan hanya merugi. Siapa yang mengikuti مِلّة
(millah, pola hidup, cara berfikir) mereka, dengan meninggalkan risalah
Islamnya, maka Allah memastikan akan menarik diri sebagai Pelindung dan
Penolong mereka: وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ
وَلاَ نَصِيرٍ [wa lainit-taba’ta aɦwā-aɦum ba’dalladzĭy jā-aka
minal-‘ilmi mā laka minallaɦi min waliyyin wa lā
nashĭyr, dan jika seandainya kamu benar-benar mengikuti hawa nafsu (kehendak)
mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung
dan penolong bagimu]. Ada dua jenis pernyataan yang dikandung ayat ini:
pernyataan yuridis dan pernyataan logis. Pertama, pernyataan yuridis. Ialah
bahwa apabila Nabi atau sosok ilahi pelaksana risalah mengikuti kehendak (hawa
nafsu) mereka (Yahudi dan Nashrani), maka Nabi sekalipun, sosok ilahi
sekalipun, tidak akan dapat perlindungan dan pertolongan dari Allah. Ini adalah
hukum takwini (hukum alam) dan tasyri’i (hukum syariat) yang sangat jelas yang
perlu difahami oleh kita semua, pengikut Rasulullah, yang mencita-citakan
risalah Islam sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, pernyataan
logis. Apabila kita menjadi mangsa bangsa-bangsa lain, menjadi pecundang,
menjadi korban ipoleksosbudhan, menjadi bahan mainan, menjadi korban represi
dan opresi, menunjukkan kita tidak mendapatkan pertolongan dan
perlindungan-Nya. Dan tidak mendapatkan pertolongan dan perlindungan-Nya,
logikanya, kita mengikuti kehendak (hawa nafasu) mereka, masuk dalam perangkap
yang mereka pasang.
Pertanyaannya, apakah ayat ini menunjukkan bahwa Rasul
sekalipun ‘nyaris’ masuk ke dalam perangkap mereka sehingga diingatkan oleh
ayat ini? Tidak. Karena penggalan ayat ini dimulai dengan sebuah pengandaian: وَلَئِنِ (wa
lain, dan jika seandainya). Pengandaian bukanlah kejadian. Ayat ini hanya
bersifat tarbiyah (pendidikan) kepada kita agar tetap berpegang teguh dan patuh
kepada sosok ilahi pelaksana risalah. Begitu lepas dari sosok ilahi ini, kita
pun dengan serta-merta diterkam oleh pukat harimau mereka (bangsa Yahudi dan
Nashrani). “Dan demikianlah, Kami telah menurunkan (al-Qur'an) itu sebagai
hukum (peraturan yang benar) dalam Bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak
ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (13:37)
2.
QS. Al-Mumtahanah ayat 7-9
عَسَى
اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ
مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٧) لا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٨) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ
قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى
إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ.(٩)
Artinya: “Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah
kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir
kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang
siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang yang zalim.”
Asbab Nuzul
Imam Bukhari meriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar
yang berkata, “Suatu hari, ibu saya mengunjungi saya. Ketika itu, ia terlihat
dalam kondisi cenderung (kepada islam). Saya lalu bertanya kepada Rasulullah
tentang apakah saya boleh menyambung silaturahmi dengannya? Nabi SAW lalu
menjawab, ‘ya, boleh’. Berkenaan dengan kejadian inilah, Allah lalu menurunkan
ayat ini”.
Imam Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan satu riwayat,
demikian juga dengan al-Hakin yang menilainya shahih, dari Abdullah ibnuz
Zubair yang berkata, “Suatu ketika, Qatilah datang mengunjungi anaknya, Asma
binti Abu Bakar. Abu Bakar telah menalak wanita itu pada masa jahiliah. Qatilah
datang sambil membawa berbagai hadiah. Akan tetapi, Asma menolak untuk
menerimanya dan bahkan tidak membolehkannya masuk ke dalam rumahnya sampai ia
mengirim utusan kepada Aisyah untuk menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah.
Aisyah lalu memberitahukannya kepada Rasulullah. Beliau lantas menyuruh Asma
untuk menerima pemberian-pemberian ibunya tersebut serta mengizinkannya masuk
ke dalam rumahnya. Allah lalu menurunkan ayat, ‘Allah tidak melarang kamu
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam
urusan agama . . . .’”.
Tafsir
Allah SWT berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman setelah menyuruh mereka memusuhi orang-orang kafir, “Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dan orang-orang yang kamu musuhi di
antara mereka.” Yaitu, cinta setelah benci dan keterikatan hati setelah
keterasingannya.
“Dan Allah adalah Mahakuasa.” Mahakuasa untuk
menyatukan perkara-perkara yang saling bertentangan, sehingga Dia dapat
melunakkan hati setelah sebelumnya terjadi permusuhan, lalu semua itu menjadi
bersatu. Sebagaimana firman Allah ketika memberikan kenikmatan kepada
orang-orang Anshar. “Dan ingatlah nikmat yang telah diberikan Allah kepada
kalian, ketika kamu semua saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan hati-hati
kamu, sehingga dengan nikmat itu kamu semua menjadi bersaudara.”
Selanjutnya Allah berfirman, “Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” Yaitu, Allah akan memberikan ampunan keoada orang-orang
yang kafir bila mereka bertobat kepada Tuhan mereka dan tunduk kepada-Nya.
3.
QS. al-Kafirun ayat 1-6
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا
أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا
أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya: “Katakanlah: “Hai
orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Rabb yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang
aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun:
1-6)
Asbab
Nuzul
Ayat
ini termasuk surat Makiyyah yaitu surat yang turun pada periode Makkah dan
turun di Makkah. Sebagaimana surat-surat Makiyyah lainnya surat ini berbicara
tentang prinsip dan keyakinan seorang Muslim. Sebab turunnya surat ini
berkaitan dengan tawaran dari orang-orang musyrik yang menginginkan agar antara
orang-oraang Islam dan mereka saling memberikan penghormatan berupa pergantian
menyembah tuhan masing-masing. Sehari menyembah Alloh ta'ala dan sehari lagi
menyembah patung-patung yang menjadi tuhan-tuhan mereka. Ketika tawaran itu
sampai pada nabi maka turunlah ayat ini.
Tafsir
Surat
ini adalah sebuah prinsip tegas yang harus dimiliki oleh setiap muslim bahwa
tidak boleh ada penggabungan dari berbagai tuhan-tuhan yang disembah oleh
manusia dengan Tuhan Alloh yang Maha Esa. Sikap tegas ini sebagai bukti
keimanan seorang muslim.
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menafsirkan ayat ini "Katakanlah"
bermakna ucapkanlah kepada orang-orang kafir secara terang-terangan dan jelas.
Ucapan yang harus disebutkan yaitu “Aku tidak menyembah apa yang kamu
sembah" artinya aku berlepas dari dari semua yang mereka sembah selain
Alloh ta'ala baik secara dhahir (nyata) atau secara bathin.
Ayat
selanjutnya dari surat ini adalah konsekuensi dari ayat-ayat sebelumnya, bahwa
kalian juga orang kafir tidak akan menyembah Tuhan yang aku sembah. Hal ini
sebagai bentuk perbedaan yang mendasar antara seorang kafir dan mukmin, yaitu
bahwa tidak boleh ada penyembahan pada dua Tuhan yang berbeda. Penyembahan
kepada Allah ta'ala haruslah dibarengi dengan peniadaan adanya tuhan-tuhan yang
lainnya. Sehingga tidak mungkin ada dalam diri seorang hamba iman kepada Allah
ta'ala dengan iman kepada sesembahan-sesembahan lainnya.
Dalam
surat Al-Kafirun ini setiap muslim diwajibkan untuk bersikap tegas dengan
orang-orang kafir, hal ini berlaku pada hal-hal prinsip yaitu masalah-masalah
aqidah dan masalah keagamaan lainnya. Adapun jika berkaitan dengan masalah
keduniaan dan muamalah maka tidaklah mengapa jika berbuat baik kepada mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Ahmad
Mushthala Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maroghi, jilid 28, (Semarang: PT.
Karya Toha, 1986)
Ø Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Ø M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Ø Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an Majid An-Nuur, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000)
Ø Teungku
Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Al Bayan, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002)
Ø Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir jilid 10,
(Jakarta: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2008)
Komentar
Posting Komentar