MATAN HADIS (NAQD AL-MATN/KRITIK INTERNAL)

MATAN HADIS (NAQD AL-MATN/KRITIK INTERNAL)

1.      Pendahuluan
Hadis telah terkontaminasi oleh pemalsuan karena berbagai kepentingan seperti politik dan fanatik aliran. Pada sisi lain, fatwa para ulama pasca Rasulullah menjadi rujukan yang perlu didokumentasi. Maka pekerjaan mendokumentasi Hadis Nabi dituntut memilah mana yang berasal dari Rasulullah dan mana yang bukan. Dokumen atau catatan Hadis karena tidak terlepas dari keragaman daya tangkap para periwayat, maka kualitas Hadisnya pun beragam. Maka munculnya aksi kritik Hadis tidak dimaksudkan menguji ajaran Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan kejujuran para periwayat. Menolak Hadis bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi menolak klaim bahwa riwayat itu dari Rasulullah. Maka kritik Hadis memberi kontribusi pemilahan Hadis yang berasal dari Rasulullah atau bukan.
Sekiranya setiap matan Hadis telah secara meyakinkan berasal dari Rasulullah, maka penelitian terhadap matan, demikian juga terhadap sanad Hadis, tidak diperlukan. Kenyataannya, seluruh matan Hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanadnya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat, maka dengan sendirinya keadaan matan perlu diteliti secara cermat juga. Oleh karena itu kajian melalui jalur matan dan pemahamannya secara tepat harus diupayakan secara sungguh-sungguh agar warisan syariat yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad saw kepada umat tersebut tidak sia-sia dan musnah bersama dengan memadatnya polusi kehidupan.
Keshahihan suatu Hadis tidak dapat ditentukan hanya oleh keshahihan sanad-nya saja, tetapi matannya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syaz atau pun illah. Dengan demikian kritik matan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi tekstual dan kontekstual atas Hadis.


2.      Pembahasan
A.    Pengertian matan
Secara etimologi matan adalah ما صَلُبَ وارتفع من الأرض[1] yang berarti tanah yang tinggi.
Adapun menurut istilah ilmu hadis, matan adalah:
ما ينتهي إليه السند من الكلام.[2]
Suatu kalimat yang menjadi tempat berakhirnya sanad.
Dengan pengertian di atas, maka yang dimaksud matan adalah materi, lafadh, teks, redaksi Hadis, yang oleh penulisnya ditempatkan setelah menyebutkan sanad sebelum perawi atau mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun Hadis).[3]

B.     Faktor-faktor perlunya kritik matan
1.         Merebaknya Pemalsuan Hadis Pada Masa Periwayatan.
a.         Sebab-sebab yang Disengaja Dalam Pemalsuan Hadis
Sebab pertama adalah niat untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Sebab kedua adalah pembelaan terhadap aliran yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1)        Pembelaan Terhadap Aliran Politik
Pertentangan-pertentangan politik di kalangan sahabat menimbulkan adanya berbagai aliran. Masing-masing aliran berusaha membuat hadis palsu demi membela aliran yang bersangkutan, terutama tentang pandangan-pandangan politiknya. Tampaknya, aliran Rafidhah merupakan aliran yang terbanyak membuat hadis palsu.
2)        Pembelaan Terhadap Agama.
Persoalan-persoalan keagamaan, baik berkenaan dengan aqidah, ushul, furu’ atau yang lain telah memasuki ruang perdebatan. Sehingga memunculkan hadis-hadis palsu yang mengukuhkan suatu pendapat atau bahkan menolak pendapat lain yang berkaitan.
3)        Pembelaan Terhadap Aliran Geografis.
Sebab ketiga, terdorong oleh motif-motif duniawi sebagaimana diuraikan berikut.
Ø  Ingin Mendekati Penguasa. Yakni ia akan membuat hadis palsu yang sesuai dengan keinginan penguasa yang dimaksudkan, sebagai upaya untuk meraih harta dan jabatan.
Ø  Mencari Pendukung (Massa). Motif ini termasuk motif duniawi, sebab periwayat (pemalsu) hadis akan merasa gagah dan bangga terhadap dirinya sendiri, tatkala banyak orang berdatangan kepadanya untuk meriwayatkan hadis darinya. Seorang periwayat akan bangga membuat hadis-hadis (palsu) yang belum pernah mereka dengar.

b.        Sebab-sebab yang Tidak Disengaja Dalam Pemalsuan Hadis
Terjadi Kekeliruan Atau Kesalahan Pada Diri Periwayat. Kadang-kadang seorang periwayat, betapapun tsiqatnya, terjerumus ke dalam kekeliruan atau kesalahan. Sehingga bisa terjadi, ia memarfu’kan suatu hadis kepada Nabi saw, yang sebenarnya hanya merupakan pernyataan sahabat atau yang lain. Tetapi hadis semacam ini, kadang-kadang disebut hadis palsu, namun kadang-kadang disebut syibh al-maudhu’ (semi palsu).
Penyusupan Hadis Palsu Dalam Karya Periwayat oleh Orang lain Tanpa Sepengetahuan Dirinya. Ini berlaku pada periwayat yang menggunakan dhabt sadr (kekuatan tulisan atau catatan), yakni bahwa seorang periwayat menjaga hadis yang diriwayatkannya di dalam catatannya yang akurat dan ia tidak sembarang menerima hadis kecuali dari periwayat yang terpercaya. Namun demikian, ada sementara ahli hadis yang diganggu oleh pihak yang bertanggungjawab, dengan menyusupkan hadis-hadis munkar ke koleksi hadis mereka, tanpa sepengetahuan mereka. Dan tanpa disedari, mereka meriwayatkan hadis itu, serta yakin bahwa hadis itu benar-benar dari mereka.

2.         Merebaknya Kekeliruan Pada Masa Periwayatan.
Melakukan kritikan dalam Hadis bisa melalui dua cara: kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal adalah kritik sanad yaitu jalan yang sampai kepada orang yang meriwayatkan suatu riwayat, yaitu orang yang mengumpulkan Hadis dari para perawi yang merunutkan periwayatan seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dan lain-lain. Adapun kritik internal yaitu kritik matan. Pembagian ini mengisyaratkan jika para ahli mengatakan tentang suatu Hadis bahwa Hadis tersebut shahih isnad, maka belum tentu shahih matan.
Dalam kritik matan—secara garis besar—bisa dilakukan dengan dua cara:
a)      Memvonis suatu Hadis dengan syaz (janggal), yaitu membandingkan Hadis dengan Hadis lain yang sama, namun Hadis pertama mempunyai sanad yang kalah shahih dengan sanad yang terdapat dalam Hadis kedua. Maka Hadis pertama disebut dengan sanad shahih namun matannya syaz. Hadis tersebut dha’if sekalipun sanadnya shahih.
b)      Memvonis Hadis dengan illah (cacat), karena salah satu perawinya diketahui kecacatan sehingga diragukan dalam menyampaikan suatu Hadis. Walau seungguhnya sepintas Hadis tersebut shahih secara sanad. Dalam illah ini memang sangat dibutuhkan kejelian dan kedalaman dalam meneliti diri perawi.

C.    Kritikan terhadap ulama muhadditsin mengabaikan kritik matan
Berbagai pihak menuduh bahwa seleksiotentitas berita yang bersumber dari Nabi saw. Sepanjang dilakukan oleh para Muhadisin selalu terbatas pada penilitian sanad. Tercatat nama Ibn Khaldun (w.808 h) pernah menyatakan demikian.[4] Menyusul kemudian kaum orientalis yang menilai pusat perhatian kaum Muhaddisin hanya terpusat pada penelitian sanad (kritik eksternal hadis).[5] Tuduhan serupa dinyatakan oleh Ahmad Amin (w.1373 h), Abd al-Mun’im al-Bahiy dan Muhammad al-Ghazali.
Muhammad al-Ghazali sebagai ulama Mesir mutakhir seperti pendahuluannya Muhammad Abu Rayyah meneliti bahwa kegiatan kritik hadis oleh para muhaddisin tercurah oleh aspek sanad, sedangkan upaya untuk mencermati matan hadis justru dilakukan oleh fuqaha mujtahidin.[6] Akumulasi tuduhan itu seakan mengulangi sindiran oleh ulama mutakalimin mu’tazilah bahwa perlaku muhaddisin tidak berbeda dengan zawamil asfar atau unta-unta pemikul kertas.[7] Kerja muhaddisin tidak lebih dari kesibukan mencari hadis dan mensosialisasikan tanpa memahami maknanya.
Persepsi Ibn Khaldun (w.808 h) tentang praktek-praktek muhaddisin dalam kritik hadis dikesankan hanya tercurah oleh aspek penelitian sanad semata, bisa dimaklumi bila dikaitkan dengan kondisi umat Islam, khususnya kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Andalusia (Spanyol) sepanjang kehidupan beliau. Persepsi itu juga tidak berlebihan mengingat kecenderungan metodologis kritik sejarah dimana Ibn Khaldun tergolong sebagai sejarawan.
Langkah metodologi kritik hadis terhitung pasca fitnah ditandai dengan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan kondisi tak terbendungnya pemalsuan hadis, telah terjadi pembalikan, bukan dimulai dari kritik matan yang telah menjadi tradisi kalangan sahabat Nabi saw justru mendahulukan kontrol sanad. Pembalikan alur kerja penelitian itu disebabkan oleh kadar integritas keagamaan (al-‘adalah) dan loyalitas umat Islam dalam membela dan mempertahankan keutuhan maupun keaslian hadis telah memudar, bahkan memprihatinkan. Seperti diketahui beragam kepentingan telah memotifisir pemalsuan dan menciptakan kerancauan hadis.
Sesuai dengan al-Dzahabi (w.748 h) pada masanya berlangsung perang salib, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Tartar, telah berakibat merosotnya keilmuan ibarat jalan ditempat (stagnasi), yakni bergerak pada tataran pensyarahan kitab hadis, penyusunan teori keilmuan hadis dalam bentuk prosa dan nadham, menghimpun rijal al-Hadis, mengoleksi hadis-hadis kedalam format dengan sistematika baru. Dengan demikian, kesibukan ilmiah dan penelitian hadis yang tampak kepermukaan lebih condong kearah operasionalisasi kaidah kritik sanad. Namun apabila diikuti dengan jeli pada kegiatan edit (istihraj), terjadi aplikasi kaidah penelitian matan, setidaknya pada tataran seleksi teks resaksinya. Demikian pula usaha koleksi hadis maudlu’, tekanan kritiknya pada konstruksi dan substansi matan. Misalnya, kaidah kritik untuk mendeteksi kemaudlu’an hadis yang dipublikasikan oeh Ibnu Qayyim al-Jauziy (w. 597 h) dalam koleksi kitab al-Maudhu’at.[8] Lebih jauh, ulasan para pensyarah terhadap setiap unit hadis pasti menyertakan kritik bahasa matan, kritik kebenaran konsep yang menjadi substansi matan dan kritik pemaknaan atas struktur maupun kosakata  ungkapan matan hadis.
Orientasi yang dilakukan para fuqaha terhadap hadis bukan tertuju pada uji kebenaran dokumen hadis melainkan terkait dengan seleksi keunggulan nilai kehujahaan. Tepat bila dikatakan bahwa perhatian terbesar fuqaha tertuju pada matan hadist. Pendekatan pada sektor sanad ditekankan pada pengamatan jumlah periwayat sejak generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in guna memastikan kadar tawatur/masyhur/ahad.
Wilayah perhatian fuqaha terpusat pada upaya penundukan hadis pada ajaran dalil-dalil hukum syara’ dan terfokuskan kesasaran aplikasi doktinalnya. Karena itu, langkah metodologis kritik mereka yang berbasis pad mu’aradhah (pencocokan) dan muqaranah (perbandingan) antar konsep atau makna yang dikandung setiap unit hadis. Media banding uji kecocokan bisa memperhadapkan al-Qur’an dan dalil-dalil perumusan hukum syara amaliyah yang lain. Target yang ingin dicapai mirip konfirmasi guna mengesahkan kebenaran doktrin hadis dan uji koherensi (ketertautan dan keterhubungan) antar doktrin hadis dan dengan doktrin dalil-dalil syara’ yang lain. Dengan demikian, matan hadis sebagai objek kritik dikalangan fuqaha lebih dekat dengan aspek subtansi doktrinalnya.[9]

D.    Penolakan terhadap kritikan terhadap ulama muhadditsin dan bukti adanya perhatian umat Islam terhadap kritikan matan
1.      Kritikan sahabat terhadap matan
Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq adalah perintis di bidang ini. Selanjutnya Umar dan Ali. Selama periode awal ini, terdapat sahabat-sahabat lain yang melakukan kritik Hadis. Maka dengan tersebarnya Hadis ke berbagai daerah di dunia Islam, kemungkinan kekeliruan pun timbul. Maka kebutuhan akan kritik pun menjadi tampak jelas.
Sementara itu dalam setiap tahap penyebaran Hadis di dunia Islam, masyarakat menghadapi kejadian-kejadian besar dan penting, dan terjadi pula pergolakan besar pada masa seperempat abad setelah wafatnya Nabi. Salah satunya adalah konspirasi politik, yaitu pembunuhan terhadap Utsman dan peperangan antara Ali dengan Muawiyah yang menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin. Di sini tampak seolah-olah pemalsuan Hadis yang mula-mula dimulai di lapangan politik, untuk mengangkat atau menurunkan citra kelompok tertentu. Pada tahap inilah kecenderungan umum dalam pelajaran Hadis menjadi ketat.
Sejak kapan muncul kritik matan Hadis, adalah sebuah pertanyaan awal mengkaji matan Hadis. Kritik matan Hadis itu sebuah upaya memilah matan yang benar dari yang salah. Mana yang otentik dari Rasulullah dan yang “palsu” yang boleh jadi disebabkan oleh kekurang cermatan dalam periwayatan, dapat ditelusuri dengan cara ini. Pada masa Rasulullah hal ini sudah dilakukan para sahabat.
عن أنس بن مالك قال  جاء رجل من أهل البادية فقال يا محمد أتانا رسولك فزعم لنا أنك تزعم أن الله أرسلك قال صدق. (رواه مسلم)[10]
Dari Anas bin Malik berkata: ada seorang dari dusun datang kepada Rasulullah, kami mendengar ia bertanya, “Hai Muhammad, telah datang kepada kamu utusanmu menjelaskan bahwa Allah mengirim Engkau sebagai Rasul?” beliau menjawab, “benar.”(HR. Muslim)
Riwayat diatas menunjukkan ada upaya mencari kebenaran berita di masa Rasulullah.[11]
Konfirmasi tentang matan Hadis dilakukan juga oleh sahabat senior semacam Abu Bakar dan Umar dengan gayanya masing-masing di saat Rasulullah sudah tiada. Contohnya Abu Bakar ketika didatangi seorang nenek untuk meminta bagian warisan dari cucunya.
عن قبيصة بن ذؤيب أنه قال: جاءت الجدة إلى أبي بكر الصديق رضي الله عنه تسأله ميراثها، فقال: "مالك في كتاب الله تعالى شىء وما علمت لك في سنة نبي الله صلى الله عليه وسلم شيئا فارجعي حتى أسأل الناس!" فسأل الناس، فقال المغيرة بن شعبة: "حضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاها السدس". فقال أبو بكر: "هل معك غيرك ؟" فقام محمد بن مسلمة: فقال "مثل ما قال المغيرة بن شعبة فأنفذه لها أبو بكر رضي الله عنه.(رواه أبي داود)[12]
Dari Qabishah, ia menjelaskan bahwa ada seorang nenek datang menghadap kepada Abu Bakar untuk menanyakan haknya dalam waris. Abu Bakar menjawab: “Kamu tidak memiliki hak sedikitpun dalam al-Qur’an dan aku tidak tahu hakmu dalam al-Sunnah. Oleh karena itu, kembalilah sampai aku menanyakan kepada orang lain, kemudian Abu Bakar menanyakan kepada Mughirah. Mughirah pun menjawab, bahwa ia pernah mengetahui Rasulullah memberikan warisan kepada nenek seperenam. Abu Bakar bertanya: “Apakah ada orang lain bersamamu”?. Muhammad bin Maslamah menjawab seperti perkataan Mughirah. Setelah itu, Abu Bakar dapat menetapkan seperenam bagian bagi nenek. (HR. Muslim)
Dengan peristiwa itu, menunjukkan bahwa Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menerima Hadis.  Bukan bermaksud menutup periwayatan Hadis. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
Kemudian pengukuhan Umar bin Khattab terhadap penerimaan Hadis:
عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِى مَجْلِسِ الأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا. قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَىَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَىَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّى أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَىَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ). فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلاَّ أَوْجَعْتُكَ. فَقَالَ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ لاَ يَقُومُ مَعَهُ إِلاَّ أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ. (رواه المسلم)[13]
Artinya:
Abu Sa’id al-Khudri, Ia berkata: "Saya berada disuatu majelis para sahabat Anshar. Tiba-tiba Abu Musa al-Asy’ari datang, seakan-akan ia sedang dalam ketakutan, kemudian ia berkata: 'Saya meminta izin (mengucapkan salam) tiga kali hendak masuk ke rumah Umar, saya tidak diizinkan, kemudian saya pulang.' Umar bertanya: 'Apa yang menghalangimu (masuk kerumahku)?' Saya (Abu Musa) menjawab: 'Saya telah meminta izin tiga kali (tetapi) saya tidak diizinkan, kemudian saya kembali karena Rasulullah saw bersabda: 'Jika salah seorang diantaramu telah meminta izin tiga kali kemudian ia tidak diizinkan kepadanya maka hendaklah ia kembali.' Umar berkata: 'Hadirkan saksi atas kebenaran sabda Rasulullah saw, jika tidak, saya akan menyakitimu.' Kemudian Ubay bin Ka’ab berkata: 'Tidak ada yang menemaninya (ketika itu) kecuali orang yang paling muda di antara kaum."  Abu Sa’id berkata: 'Aku orang yang paling muda diantara mereka'. Maka Ubay berkata: “Maka pergilah (untuk menjadi saksi kepada Umar) dengannya. (HR. Muslim)

Di sini dapat kita lihat, bagaimana kehati-hatian Umar dalam menerima khabar dari sahabat, bahkan dia memberi ancaman akan menyakiti jika Abu Musa tidak bisa menghadirkan saksi dengan apa yang diucapkannya. Tindakan Umar ini mendorong kaum muslimin melakukan pembuktian ilmiah dengan sebaik-baiknya dan bersikap hati-hati terhadap agama Allah sehingga seseorang tidak bisa dengan mudah mengatakan sesuatu atas nama Rasulullah saw.
‘Aisyah juga melakukan penolakan terhadap Hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar yang isinya menyatakan:
إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه. (رواه مسلم)[14]
Orang mati itu disiksa karena karena ditangisi oleh keluarganya,”
Hadis ini dikritik karena bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
Seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain. (QS. Al-An’am: 164)
Pada Hadis ini ada kesalahan periwayatan. Aisyah menjelaskan sebab turunnya Hadis ini. Ketika itu Rasulullah melintasi di dekat orang Yahudi yang sedang menangisi seorang anggota keluarganya yang baru saja meninggal. Kemudian Rasulullah menyatakan, “Mereka menangisinya, sementara, ia (mayit) disiksa di kuburnya.”[15] Aisyah kemudian mengatakan, “cukuplah kalian dengan al-Qur’an.”[16]
Bagaimanapun, kritik matan berangkat dari sebuah keraguan, apakah sebuah informasi berasal dari Rasulullah. Keraguan ini tiada lain dimaksudkan untuk menjaga Hadis dari pemalsuan. Para sahabat tidak mengalami kesulitan memahami Hadis Nabi secara harfiyah, karena bahasanya sesuai dengan konteks mereka. Bila ada kesulitan memahami ajaran agama mereka dapat langsung bertanya kepada Rasul. Tidak diragukan bahwa Hadis berfungsi menjelaskan al-Qur’an sehingga apa yang terkandung di dalamnya dapat diaktualisasikan. Perintah shalat, zakat, puasa, dan lain-lain tidak dapat dibayangkan melaksanakannya tanpa membaca Hadis-Hadis Nabi. Atas dasar inilah para sahabat melakukan kritik Hadis dengan cara menghadapkan Hadis yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an. Mereka menolak sebuah Hadis yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an. Di samping itu, para sahabat menghadapkan Hadis dengan Hadis lain yang temanya sama. Mereka menolak Hadis yang bertentangan dengan Hadis lain yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya.

2.      Kritikan ulama muhadditsin terhadap matan
Kritik periwayatan Hadis dilakukan juga oleh para ulama dengan cara yang dilakukan oleh para sahabat seperti contoh dimuka, terutama ketika terjadi penyebaran Hadis maudhu’ karena kepentingan tertentu, terutama kepentingan politik. Setelah terbunuhnya khalifah Usman, suhu politik dalam masyarakat Islam memanas. Dan semakin tinggi panas itu ketika khalifah Ali harus berhadapan dengan Mu’awiyah dalam perang besar. Perseturuan ini, karena harus saling menambah pendukung fanatik, maka implikasinya, mereka perlu mengeluarkan doktrin-doktrin agama berupa Hadis maudhu’. Selanjutnya, untuk mengecek apakah Hadis itu maudhu’ apa tidak, ulama Hadis melihat redaksi Hadis, apakah susunan katanya layak diucapkan oleh Rasulullah atau tidak. Di antaranya Hadis yang diriwayatkan Abu Daud:
عن سفينة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خلافة النبوة ثلاثون سنة ثم يؤتى الله الملك أو ملكه من يشاء. قال سعيد قال لي سفينة أمسك عليك أبا بكر سنتين وعمر عشرا وعثمان اثنتي عشرة وعلي كذا قال سعيد قلت لسفينة إن هؤلاء يزعمون أن عليا عليه السلام لم يكن بخليفة قال كذبت أستاذه بنى الزرقاء يعنى بنى مروان.[17]
Hadis ini mengandung informasi bahwa masa kekhalifahan itu 30 tahun, kemudian berpindah ke dinasti kerajaan. Hadis ini, kendati sesuai dengan fakta, tetapi justru dinilai maudhu’ karena diperkirakan para periwayat mencocok-cocokkan masa kekhalifahan Abu Bakar 2 tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun, sisa genapnya mencapai 30 tahun, masa kekhalifahan Ali. Nabi bukan peramal.
Berdasarkan pedoman penolakan terhadap Hadis yang isinya tidak masuk akal itu para ahli Hadis generasi berikutnya mengadakan kritik terhadap Hadis yang dipandang mencemari keotentikan Hadis, seperti Hadis yang menyebutkan bahwa Hajar Aswad itu dari surga, asalnya berwarna putih, lebih putih dari susu. Ia menjadi hitam karena banyaknya kesalahan yang dilakukan Bani Adam. Sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim itu dibuat dari Yaqut surga yang bersinar. Allah menghapuskannya. Teks Hadis itu berbunyi:
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : نَزَلَ الحَجرُ الأسودُ من الجنةِ، وهو أشدُّ بياضًا من اللبنِ، فسوَّدتهُ خَطَايَا بنى ادمَ. (رواه الترمذى)[18]
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw, berkata: Hajar Aswad turun dari surga, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adam-lah yang membuatnya sampai berwarna hitam. (HR. Tirmizi)
عبد الله بن عمرو يقول :سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الرُّكنَ والمَقَامَ ياقوتَتَانِ من ياقوتِ الجنةِ، طمسَ الله نورَهمَا, وَلَو لم يطمِس نورَهمَا لأضَاءَتَامَابَينَ المشرقِ والمغربِ.( رواه الترمذى)[19]
Artinya: Dari Abdullah ibnu Amru, bahwa Rasulullah berkata: Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Batu/Maqam Ibrahim dua batu ruby dari Surga yang dihilangkan cahayanya oleh Allah.  Kalau cahayanya tidak dihilangkan, maka dua batu ruby tersebut mampu menyinari dunia dari Barat sampai Timur. (HR. Tirmizi)
Salahuddin al-Adlibi memberi komentar Hadis tersebut sebagai tidak masuk akal. Sekiranya batu itu dulunya putih, sekarang pun tetap putih. Ia mengutip riwayat Ibnu Abbas ketika melihat Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad mengatakan, “Sungguh engkau adalah batu yang tidak memberi manfaat atau madharat. Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak pernah akan melakukannya.”[20] Ungkapan Umar ini menunjukkan bahwa Hajar Aswad itu bukan dari surga seperti yang dipersepsikan orang secara berlebih-lebihan sebagai benda keramat.

E.     Metode Kritik Matan
Kaidah umum pada matan ada dua macam, yaitu: terhindar dari syaz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat), berikut ini akan dipaparkan kedua kaidah umum tersebut:
1.      ‘Illah dan beberapa kaidah untuk mengetahuinya
‘Illah artinya sebab-sebab yang samar dan tersembunyi, yang dapat menodai kesahihan suatu hadis. ‘Illah dapat diketahui dengan jalan menghimpun beberapa jalur hadis, lalu mengkaji perbedaan riwayatnya dengan memperhatikan akurasi (dhabth) dan kemantapan hafalan para periwayatnya.[21] ‘Illah ini bisa terdapat pada sanad dan bisa pula terdapat pada matannya atau pada keduanya secara bersamaan.[22]
Menurut Isham Ahmad al-Basyir, ‘illah pada matan hadis dapat dikategorikan kepada dua bentuk.[23] Pertama, jelas dan dapat dikenali dengan mudah disebabkan memiliki indikasi tertentu yakni nyata perbedaannya dengan hadis yang sahih, dan kedua, hanya dapat diketahui melalui penelitian yang cermat dan akurat oleh seorang kritikus hadis yang mendalam ilmu dan pemahamannya, tajam pemikirannya, luas hafalannya, mengenal dengan sempurna susunan perawi serta menguasai problematika sanad dan matan hadis.
Menurut al-hakim, ‘illah terjadi karena campur aduknya matan hadis, diragukan rawi-nya, dan di mursal kan oleh rawi yang satu, tetapi di washal kan oleh rawi lainnya, atau juga karena sanadnya yang mutharib.[24] Namun demikian, Muhammad Luqman al-Salafi memberikan beberapa kriteria untuk mengetahui hadis yang dinilai ber’illah, yaitu sebagai berikut:
a.    Mengumpulkan, menyusun dan memperbandingkan beberapa riwayat hadis.
b.    Bertentangan riwayat seorang murid dengan riwayat murid lain yang lebih tsabat (akurat) dari guru yang sama.
c.    Bertentangan riwayat murid dari seorang guru hadis dengan dokumen tertulis yang lebih dahulu diperoleh murid itu dari gurunya.
d.   Melalui penegasan seorang guru hadis bahwa ia tidak pernah menyampaikan sebuah riwayat dalam bab tertentu, lalu muridnya meriwayatkan hadis tersebut darinya dalam bab tersebut.
e.    Murid tidak mendengar hadis dari guru, tetapi meriwayatkannya dari dokumen tertulis yang diperolehnya dari guru tersebut.
f.     Hadis tersebut bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah.
g.    Hadis yang dikenal berasal dari sekelompok orang yang lebih mengetahui tentang hadis tersebut serta meriwayatkannya, kemudian datang orang lain membantah hadis tersebut.
h.    Susunan kalimatnya disangsikan sebagai hadis nabi.
i.      Seorang murid meriwayatkan hadis dari sejumlah guru, sehingga riwayatnya dari mereka dinilai muttashil, sementara dari yang lain dinilai munqathi’ atau mursal.
j.      Pengetahaun para kritikus hadis yang mempunyai tentang ‘illah disebabkan mereka tahu persis dengan rawi dan hadis.[25]

2.      Syaz
Menurut ulama hadis, syaz berarti hadis yang diriwayatkan oleh orang tsiqah bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah.[26] Dalam kajian hadis, syaz dapat ditemukan pada sanad dan dapat pula ditemukan pada matan. Berkenaan dengan syaz pada matan, al-Salafi mendifinisikannya sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi berbeda dengan seorang atau sejumlah rawi lain yang lebih tsiqah darinya. Bentuknya bisa berupa penambahan, pengurangan, pertukaran matan dan lain sebagainya. Berdasarkan definisi tersebut, al-Salafi mengklasifikasikan syaz pada matan ini menjadi empat bentuk, yaitu:
a.        Idraj
Secara bahasa idraj berarti “memasukkan”. Dengan demikian idraj matan dalam kajian hadis dapat didefinisikan sebagai pernyataan yang dimasukkan oleh seorang rawi ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari Nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan itu. Idraj tersebut mungkin terjadi di awal, di tengah dan mungkin juga di akhir hadis.

b.        Qalb
Secara bahasa qalb artinya “bertukar”. Dalam kajian hadis, qalb matan ialah suatu hadis yang oleh seorang rawi bertukar sebagian matan-Nya.[27]

c.         Idhthirab
Secara bahasa idhthirab berarti “goyang atau goncang”. Sedangkan idhthirab matan berarti beberapa hadis yang matannya diperselisihkan serta tidak dapat dicocokkan atau diputuskan mana yang kuat.[28]


d.        Tashhif
Secara etimologi, tashhif berarti “berubah”, sedangkan menurut terminologi hadis, tashhif matan adalah sebuah hadis yang matan-Nya berubah “titiknya”, tetapi tetap bentuk tulisannya.[29]
Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa walaupun unsur-unsur pokok kesahihan matan hadis, hanya dua macam saja, yaitu terhindar dari syaz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat yang tersembunyi), tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan dengan tolak ukur yang cukup banyak sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.
Beberapa pendekatan mengenai penelitian matan hadis
1.        Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an
Jika ditemukan sebuah hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an, maka ada dua sudut pandang yang bisa diberikan: Pertama wurud al-Qur’an seluruhnya adalah qath’i al-wurud. Sedangkan hadis zhanni al-wurud, kecuali hadis mutawatir yang jumlahnya kecil. Bahkan hadis mutawatir sekalipun yang mencapai tingkat yang kuat dalam wurudnya tidak sampai pada tingkat qath’i wurud sebagaimana al-Qur’an.
Untuk memastikan adanya pertentangan diantara nash al-Qur’an dan hadis, keduanya haruslah sama-sama tidak mengandung kemungkinan takwil. Jika salah satunya atau keduanya mengandung kemungkinan untuk takwil dan selanjutnya memungkinkan untuk dipadukan (al-jam), maka diantara keduanya jelas tidak terjadi pertentangan dan tidak ada alasan untuk menolak hadis yang bersnagkutan semata karena dugaan bertentangan dengan al-Qur’an.
Dari sinilah terjadi kemungkinan perbedaan di kalangan ulama dan terjadi keragaman hasil ijtihad. Ulama tertentu menolak hadis tertentu karena menurutnya bertentangan dengan al-Qur’an, semetara yang lain menerima hadis tersebut karena menurut ijtihatnya dimungkinkan terjadi pemanduan (al-jam).[30]


2.        Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis shahih
Menurut Muhaddisin, sekiranya kandungan suatu matan hadis bertentangan dengan matan hadis lainnya, maka perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab Nabi Muhamad Saw. Tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan lainnya.
Hadis yang pada lahirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu Mukhtalif al-Hadis. Untuk menyatakan suatu hadis bertentangan dengan hadis lainnya, diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna universal dari yang khusus dan hadis yang nasikh dari yang mansukh.[31]

3.        Penelitian matan hadis dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh muhadditsin untuk melakukan penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbabul wurud al-hadist). Sebenarnya asbabul wurud al hadits tidak ada pengaruhnya secara langsung dengan kualitas suatu hadis. Namun yang tepat adalah mengetahui asbabul wurud mempermudah memahami kandungan hadis. Mengikatkan diri dengan asbabul wurud al-hadits dalam melakukan kritik hadis akan mempersempit wilayah kajian, karena sangat sedikit hadis yang diketahui memiliki asbabul wurud.[32]

4.      Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek: pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak. Kedua, kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa nabi, atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literatur arab modern. Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad saw sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
Dengan penelusuran bahasa, muhaddisin dapat membersihkan hadis Nabi dari pemalsuan yang muncul karena konflik politik dan perbedaan pendapat dalam bidang fiqih dan kalam.[33]

F.     Kriteria Kesahihan Matan
Kriteria kesahihan matan hadis menurut muhaddisin beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu dan persoalan masyarakat yang dihadapi.
Meskipun ulama hadis menggunakan tolak ukur dalam meneliti matan, namun mereka kesulitan untuk mengemukakan unsur-unsur kaidah khususnya secara rinci dan sistematis. Karena dimensi kritik matan sangat bervariasi, maka keakuratan hasil penelitiannya tidak hanya ditentukan oleh tolak ukur yang digunakan, melainkan juga ketetapan metodologinya.
Sebagaimana halnya kesulitan melakukan penelitian syaz dan ‘illah pada sanad, maka demikian pula untuk matan hadis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.            Adanya periwayatan secara makna.
2.            Acuan yang digunakan sebagai pendekatan bermacam-macam.
3.            Latar belakang munculnya petunjuk hadis tidak selalu mudah diketahui.
4.            Masih langkahnya kitab-kitab yang membahas secara khusus tentang penelitian hadis.[34]
Atas dasar itu, seorang peneliti hadis disyaratkan:
a.              Memiliki keahlian di bidang hadis
b.              Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam
c.              Telah melakukan kajian yang cukup mendalam
d.             Memiliki tradisi keilmuan yang tinggi.[35]
Persyaratan tersebut terkesan agak berlebihan mengingat penelitian matan melibatkan banyak kitab dan cabang ilmu pengetahuan. Di samping itu, peneliti memikul tanggung jawab yang sangat berat, baik berkenaan dengan keilmuan maupun moral keagamaan.[36] Oleh sebab itu, kesalahan pendekatan dalam meneliti matan hadis dapat menghasilkan kesalahan yang fatal tentang kualitas hadis yang diteliti.
Menurut Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.            Tidak bertentangan dengan akal sehat
2.            Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap)
3.            Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4.            Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5.            Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
6.            Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Ibn Al-Jawzi (w 597 H) memberikan tolok ukur keshahihah matan hadis secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal maupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadis mawdhu. Karena Nabi Muhammad saw. Tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqiqah dan ibadah.[37]
Adapun tolak ukur atau kaidah kesahihan matan tersebut (ma’ayir naqd al-matan) menurut Shalah al-Din al-Adlabi ada empat macam, yaitu:
1.            Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2.            Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih tinggi
3.            Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah
4.            Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[38]
Kalau disimpulan, defenisi kesahihan matan hadis menurut mereka adalah: sanadnya sahih (penentuan kesahihah sanad hadis didahului dengan kegiatan takhrij hadis dan dilanjutkan dengan kegiatan penelitian sanad hadis), kedua, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang sahih, ketiga, tidak bertentangan dengan petunjuk alqur’an, keempat, sejalan dengan alur akal sehat, kelima, tidak bertentangan dengan sejarah, dan keenam, susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri kenabian.

G.    Inkar al-Sunnah
Ingkar al-Sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah baik sebagian maupun keseluruhannya.
Menurut Imam Syafi’i ada tiga jenis kelompok ingkar al-Sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah saw secara keseluruhan dan beranggapan bahwa al-Qur’an diturunkan Allah dalam bahasa arab, dengan penguasaan bahasa arab yang baik, al-Qur’an dapat dipahami tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari sunah-sunah Nabi saw. Kedua, kelompok yang menolak hadis Nabi, yang kandungannya baik secara implicit ataupun eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Mereka  beragumentasi bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran agama Islam, karena itu lanjut mereka, hadis Nabi tidak memiliki otoritas yang menentukan hukum di luar ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Ketiga, kelompok yang menolak hadis Nabi yang berstatus ahad dan hanya meneriam hadis yang bertaraf mutawatir. Kelompk ini beranggapan bahwa hadis ahad sekalipun memenuhi persyaratan sebagai hadis Nabi adalah bernilai zhanni al-wurud (proses penukilan tidak meyakinkan).[39]
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dalil yaitu:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (QS.al-Najm: 28)
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadis Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang qath’i yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadis mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau sumber ajaran Islam.

1.      Perkembangan Ingkar Al-sunnah
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan jumlah rakaat dalam shalat, dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran karena telah menyadarkannya. Akhirnya, sebelum wafat, orang tersebut menjadi ahli fiqh.[40]
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar al-sunnah. Menurut imam Syafi’i ada tiga kelompok ingkar al-sunnah seperti telah dijelaskan di atas. Antara lain:
a)      Khawarij
Ada sumber yang mengatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Yaitu perang jamal (antara Ali dengan Aisyah) dan perang Siffin (antara sahabat Ali dengan Mu’awiyah). Dengan alasan bahwa seelum kejadian tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil. Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi saw sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian tersebut mereka tolak.[41]

b)      Syiah
Golongan syiah menganggap bahwa sepeninggal Nabi saw mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu, golongan syiah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syiah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli baiat saja.[42]

c)      Mutazilah
Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat Islam, tetapi ada beberapa hadis yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan, melainkan hanya menerima hadis yang bertaraf mutawatir saja.[43]


2.      Argumentasi Kelompok Ingkar al-Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar al-sunnah memiliki argumen-argumen yang dijadikan landasan mereka. Tanpa argument-argumen itu, pemikiran mereka tidak berpengaruh apa-apa. Argumen mereka antara lain:[44]
·         Agama bersifat konkrit dan pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada hal yang pasti. Apabila kita mengambil dam memakai hadis, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-Qur’an yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti. Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari Hadis, ia tidak akan memiliki kepastian karena hadis itu bersifat dhanni (dugaan), dan tidak sampai pada peringkat pasti.
·         Al-Quran sudah lengkap
Jika kita berpendapat bahwa al-Qur’an masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara jelas mendustakan al-Qur’an dan kedudukan al-Qur’an yang membahas segala hal dengan tuntas. Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali al-Qur’an.
·         Al-Qur’an tidak memerlukan penjelas
Al-Qur’an tidak memelukan penjelasan, justru sebaliknya al-Qur’an merupakan penjelasan terhadap segala hal. Mereka menganggap bahwa al-Qur’an cukup memberikan penjelasan terhadap segala masalah.

3.      Sebab Pengingkaran Terhadap Sunnah Nabi saw
Melihat dari beberapa permasalahan di atas yang berhubungan dengan adanya pengingkaran Sunnah dikalangan Umat Islam, dapatlah kiranya dilihat sebab adanya pengingkaran tersebut, diantaranya:
1.             Pemahaman yang tidak terlalu mendalam tentang Hadis Nabi saw. Dan kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan.
2.             Pengetahuan yang kurang tentang bahasa Arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan, pembinaan Hadis, metodologi penelitian Hadis.
3.             Keraguan yang berhubungan dengan metodologi kodifikasi Hadis, seperti keraguan akan adanya perawi yang melakukan kesalahan atau muncul dari kalangan mereka para pemalsu dan pembohong.
4.             Keyakinan dan kepercayaan mereka yang mendalam kepada al-Qur'an sebagai kitab yang memuat segala perkara.
5.             Keinginan untuk memahami Islam secara langsung dari al-Qur'an berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan melibatkan diri pada pengkajian Hadis, metodologi penelitian Hadis yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian ini, disebabkan oleh keinginan untuk berfikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaiatan dengan Hadis Nabi saw.
6.             Adanya statement al-Qur'an yang menyatakan bahwa al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (QS. Al-Nahl: 89), juga terdapatnya tenggang waktu yang relatif lama antara masa kodifikasi hadis dengan masa hidupnya Nabi saw (wafatnya beliau).


3.      Penutup
Kesimpulan dan saran
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kritik terhadap matan Hadis dilakukan dengan berbagai alat uji. Hadis diuji dengan ajaran yang terkandung dalam nash al-Qur’an; terutama Hadis-hadis yang bermuatan akidah, informasi alam gaib dan ritual. Hal ini penting karena tugas utama Hadis adalah menjelaskan al-Qur’an, dan Hadis merupakan “tuntunan praktis” dalam mengamalkannya. Hadis juga diuji dengan sesama Hadis. Bila sebuah Hadis bertentangan dengan Hadis lain, maka Hadis yang periwayatannya lebih unggul dimenangkan. Hadis yang “kalah” disebut syaz.
Di samping itu, Hadis yang memuat informasi pengetahuan perlu diuji dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, bila informasi sebuah Hadis berisi data sejarah, ia diuji dengan fakta sejarah dan dengan otoritas kebenaran lainnya. Bahkan, Hadis diuji dengan ilmu bahasa (lingusitik). Yaitu, apakah redaksi Hadis yang diriwayatkan itu pantas diucapkan oleh seorang Rasul yang fasih berbahasa Arab. Uji Hadis berarti menguji para periwayat, bukan menguji kebenaran Rasulullah. Sebuah Hadis yang “lulus test” diyakini otentik dari sumbernya, Rasulullah. Selanjutnya memahami teks Hadis untuk diambil sunnahnya atau ditolak, memerlukan berbagai pendekatan dan sarana yang perlu diperhatikan.
Diakui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari aspek penulisan maupun isi (content) makalah ini. Oleh karena itu, kontribusi pemikiran berupa kritik konstruktif penulis sangat harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Wallahu ‘a’lam


Daftar Pustaka

A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, Bandung: Diponegoro, 1996.
Abd Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah, Damaskus: Dar Yu’rib, 2004.
Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 2003.
Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Riyadh: Bayt al-Afkar al-Dauliyah.
Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Ahmad al-Basyir, Ushul Manhaj al-Naqd ‘ind ahl al-hadits, Madinah: al-Tawzi’, 1989.
Amr abd Mun’im Salim, Al-Mu’allim fi Makrifah ‘Ulum al-Hadis wa Tatbiqatih al-‘Ilmiyah, Riyadh: Dar Tadmiriyyah, 2005.
Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam,, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2004.
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Riyadh: Maktabah al-Kautsar, 1994.
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits : Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Cet Kel-1,  Jakarta: Pramadina, 2000.
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis, Kairo: Dar al-Kitab al-Misr, 2012.
Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur al-Ifriqi al-Misri, Lisan al-‘Arab, jilid 13, Bairut: Dar Sadir.
Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimam al-Muhaddisin bi Naqd al-Hadits Sanad wa Matan, Riyadh: 1987
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Nuruddin ’Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 1979.
Salahudin Ibn ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Shalahuddin Al-Adhibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadis, Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1983.
Shubh al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musththalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988.
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 1996.





[1] Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur al-Ifriqi al-Misri, Lisan al-‘Arab, jilid 13, (Bairut: Dar Sadir, tt), hal. 398
[2] Amr abd Mun’im Salim, Al-Mu’allim fi Makrifah ‘Ulum al-Hadis wa Tatbiqatih al-‘Ilmiyah, (Riyadh: Dar Tadmiriyyah, 2005), hal. 11
[3] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, Cet. I, 1996), hlm. 95.
[4] Abd Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah, (Damaskus: Dar Yu’rib, 2004), hal. 27
[5] Nuruddin ’Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), hal. 467
[6] Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis, (Kairo: Dar al-Kitab al-Misr, 2012), hal. 15-16
[7] Shalahuddin ibn Ahmad al-Adhibi, Manhaj Naqd al-Matn Inda ‘Ulama al-Hadis, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hal. 10
[8] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Riyadh: Maktabah al-Kautsar, 1994), hal. 274.
[9] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 12
[10] Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Hadis no. 12, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), hal. 34
[11] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hal.82
[12] Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Faraidh, bab fi al-Jaddah, hadis no.2894, hal. 328
[13] Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Adab, hlm. 1694
[14] Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Janaiz, Hadis no. 927, hal. 421
[15] Shalahuddin al-Adhibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadis, hlm. 114
[16] Ibid, hal. 114
[17] Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Sunnah, Bab fi al-Khulafa’, Hadis no. 4646, (Riyadh: Bayt al-Afkar al-Dauliyah, tt), hal. 507
[18] Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan Tirmizi, Kitab al-Haj, Hadis no. 878, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hal. 273
[19] Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan Tirmizi, kitab al-Haj, Hadis no. 879, hal. 273
[20] Shalahuddin al-Adhibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadis, hlm. 314.
[21] M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits : Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Cet Kel-1,  (Jakarta: Pramadina, 2000), hal. 153
[22] Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimam al-Muhaddisin bi Naqd al-Hadits Sanad wa Matan, (Riyadh: 1987), hal. 350
[23] Ahmad al-Basyir, Ushul Manhaj al-Naqd ‘ind ahl al-hadits, (Madinah: al-Tawzi’, 1989 M), hal. 69
[24] M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, hal. 150
[25] Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimam al-Muhaddisin, hal. 355
[26] Shubh al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musththalahuhu, Cet. Ke-17, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), hal. 196
[27] Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimam al-Muhaddisin, hal. 376
[28] A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, (Bandung: Diponegoro, 1996), hal. 169
[29] Ibid, hal. 170
[30] Salahudin Ibn ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 210
[31] Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam,, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 68
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 130
[35] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 428-432
[36] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, hal. 130-131
[37] Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam,, Metodologi Kritik Matan Hadis, hal. 64
[38] Shalah al-Din Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hal. 238
[39] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 207
[40] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,Ulumul Hadis, hal. 208
[41] Ibid, hal. 210
[42] Ibid, hal. 211
[43] Ibid, hal. 213
[44] Ibid, hal. 219

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis