PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH
PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH
A.
Pendahuluan
Akal merupakan salah satu anugerah Allah swt. yang paling istimewa bagi
manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala
sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan di
bawah sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.
Dua sumber pengetahuan yang di peroleh
manusia, yaitu pengetahuan yang di peroleh melalui wahyu dan pengetahuan
yang di peroleh melalui panca indra.
Demikian halnya Ibnu Miskawaih seorang anak manusia yang tumbuh
berkembang seperti manusia lainnya, mencari kebenaran baik melalui penelitian, pelatihan
untuk mendapatkan berbagai pengalaman dan dari pengalaman ia berinspirasi untuk
mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan tentang kehidupan
manusia, baik menyangkut kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Sehingga dalam
berbagai literaturnya ia juga menulis tentang kajian kedokteran, Sejarah,
Bahasa dll. Sehingga Ibnu Miskawaih tumbuh menjadi seorang filosof Muslim yang
termaktub dalam sejarah pemikiran islam. Ia memiliki tempat dalam sejarah
pemikiran.
Ibnu Miskawaih hidup di tengah tengah situasi masyarakat yang memprihatinkan,
Kehidupan lingkungannya yang di warnai praktek praktek amoral seperti
perzinahan, perjudian, perkosaan, penganiayaan dll. Keadaan ini menjadi alasan
Ibnu Miskawaih untuk lebih berkonstrasi mengkaji ilmu yang menyangkut etika
atau moral manusia karena dengan moral yang baik akan tercipta suasana
masyarakat yang damai dan bersahaja.
B.
Riwayat
hidup Ibnu Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibnu Miskawaih.
Ia lahir pada tahun 320 H/ 932 M. di
Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun
412 H/ 16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Buwaihi (320-450H./ 932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya
bermazhab Syi’ah.[1]
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang
rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar
Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari
kimia dari Abu Tayyib.[2]
Dalam bidang pekerjaan Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris,
pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab
dengan penguasa, ia juga banyak bergaul
dengan ilmuan seperti Abu Hayyan
at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan
Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar
yang kemasyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H./ 923
M.) selanjutnya juga
ia dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.
C.
Pemikiran Filsafat Ibnu
Miskawaih
Sama dengan para tokoh islam
yang lain, pemikiran ibnu Miskawaih juga sangat bermanfaat untuk manusia pada
umumnya dan umat Islam pada khususnya. Diantara pemikiran beliau adalah:
1.
Metafisika
a. Ketuhanan
Tuhan menurut Ibnu Miskawaih
adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala
aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun
yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung
kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya.[3]
Kalau dilihat sekilas pemikiran Ibnu Miskawaih ini sama dengan pemikiran
Al-kindi.
Menurut De Boer dalam
bukunya Tarikh al-Falsafat fi Islam disana ibnu Miskawaih menyatakan, Tuhan
adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas bahwa
ia adalah yang hak (Benar). Yang benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas
karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkapnya, disebabkan banyak
dinding-dinding atau kendala keberadaan yang menutupi-Nya.[4]
Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
b. Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih
juga menganut faham Emanasi yakni Allah menciptakan alam secara pancaran, namun
Emanasinya ini berbeda dengan Emanasi Al-Farabi. Menurutnya entitas pertama
yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ (akal aktif). Akal aktif ini
timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak).
Pancaran yang terus-menerus dari Allah dapat memelihara tatanan alam ini.
Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemajuan dalam alam
ini.
Dari Akal Aktif ini
timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan
atau pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan didalam
alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan berhenti kemaujudan
dalam alam ini. Berikut perbedaan emanasi antara Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih,
yaitu:
1)
Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara
pancaran (emanasi) dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut Al-Farabi
alam dijadiakan Tuhan secara pancaran (emanasi) dari sesuatu atau bahan yang
sudah ada menjadi ada.
2)
Bagi Ibnu Miskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah
Akal Aktif. Sementara bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal
pertama dan Akal Aktif adalah akal kesepuluh.[5]
c.
Tentang Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga
Menginterpretasikan kenabian secara Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil
perbedaan antara nabi dan pilosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan
antara akal dan wahyu. Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang muslim
yang memperoleh hakikat hakikat kebenaran seperti ini juga diperoleh
oleh para pilosof. Perbedaannya hanya terletak pada tehnik memperolehnya.[6]
d. Tentang
Jiwa
Kata jiwa berasal dari
bahasa arab (النفس) atau
nafs’ yang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih
sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa. Para filsuf Islam memandang jiwa
merupakan sesuatu yang mengandung daya yang terdapat dalam diri manusia.[7] Pada manusia itu terdapat
materi tubuh dan jiwanya. Tubuh dan jiwa itu mempunyai perbedaan.
Jiwa, menurut Ibnu
Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu
kesatuan yang tidak dapat terbagi bagi. ia akan hidup selalu ia tidak dapat
diraba dengan panca Indra karena ia bukan jism dan bagian dari jism. Jiwa dapat
menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya.[8]
Untuk memahami tentang jiwa Ibnu Miskawaih membedakan antara jiwa dan materi,
jiwa sebagaimana dapat dipahami lebih condrong kepada yang tidak dapat
ditangkap dan diraba sedangkan materi adalah yang berbentuk dan memiliki
berbagai unsur yang dapat diraba, selanjutnya materi dapat dilihat dengan panca
indra sebaliknya jiwa manusia itu sendiri artinya jiwa tidak dapat bermateri,
sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu
tertentu.
Ibnu Miskawaih dalam kitab
Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia
bekerja secara harmonis dan senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan
perbuatan-perbuatan moral yang akan menguntungkan bagi manusia dalam
kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung
pada faktor pendidikan yang sedemikian rupa akan membentuk tata
hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat keputusan-keputusan yang
memang diperlukan manusia dalam
merealisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena
penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan
prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu
kemestian dalam dunia pendidikan.[9]
Sehubungan dengan kualitas
dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah,
nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu
dan takabur. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai
sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.[10]
2.
Dasar-dasar Etika
Ibnu Miskawaih juga digelari
sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan Al-Farabi
sebagai guru yang kedua. Ibnu Miskawaih dianggap sebagai guru etika salah
satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzib al-Akhlak
(Pendidikan Budi) yang sudah dipakai oleh para pakar pendidikan agama islam
untuk dijadikan teori terutama tentang adab manusia. Sementara itu sumber
filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia,
ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Dalam menjelaskan Etika Islam
Menurut Ibnu Miskawaih, poin-poin penting yang relevan adalah:
a. Pengertian
Akhlak
Akhlak menurutnya adalah
suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa
pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua
unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan dan latihan.[11]
Ibnu Miskawaih adalah seorang moralis terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak
dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Akhlak adalah jamak
dari khuluq yang artinya sikap, tindakan, tindak-tanduk dan sikap, inilah yang
akan membentuk sikap kita dan inilah yang bisa dikomentar oleh orang lain
berbeda dengan khalq atau ciptaan karena tidak bisa dikomentar dalam artian
langsung ciptaan Allah swt semata seperti fisik manusia itu sendiri.
Menurut Ibnu Miskawaih,
akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq,
Yang berarti keadaan jiwa yang
mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.[13]
Dengan kata lain akhlak
adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara
spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang
berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal
dari kebiasaan latihan.[14] Dengan
demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya
yang tidak baik menjadi baik.
Ibnu Miskawaih memandang
manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya
manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki
macam-macam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa
binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang
selalu mengarah kepada kebaikan.
Dari defenisi di atas
jelaslah bahwa Ibnu Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak
mungkin dapat berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan
moralitas itu selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan
(tarbiyyah). Mengawali pembahasan tentang akhlak ini, Ibnu Miskawaih membahas
atau memberi beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni:[15]
Ø Tujuan
ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia
terletak pada pemikiran dan amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan
kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja,
yakni meluruskan akhlak dan mewujudkan kesempurnaan moral seseorang, sehingga
tidak ada pertentangan antar berbagai daya dan semua perbuatannya lahir sesuai
dengan daya berpikir.
Ø Kelezatan
indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan
akali adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Ø Anak-anak
harus di didik sesuai dengan akhlak yang mulia, disesuaikan dengan rencananya
dengan urutan daya-daya yang mula-mula lahir padanya. Jadi, dimulai dengan jiwa
keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga
dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat
berani dan daya tahan (jiwa marah) dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal
dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).
b. Kebahagiaan
(Sa’adah)
Miskawaih membedakan antara
al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah (kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi
tujuan semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai
manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat
umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.[16]
Ada dua pandangan pokok
tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan
bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih
berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua
dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati
di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan
berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan
itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih mencoba
mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada
diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi
keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya
jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda
mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya
menuju ke hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang
sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.
c. Pendidikan
Akhlak
Dalam karangan-karangan
beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material dalam kontek moral
seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat persoalan-persoalan yang
wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan
perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama manusia.[17]
Dari beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi
pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan
moral/akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral
tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih
bermamfaat ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial dipenerapannya
dalam hubungan sosial.
Dapat disimpulkan bahwasanya
sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga
sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni
keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut,
dan zalim.
Tujuan pendidikan akhlak
yang dirumuskan Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya
manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibnu Miskawaih memberikan uraian
tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu
tersebut ialah:
a)
Matematika
b)
Logika dan
c)
Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan
secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibnu Miskawaih
dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu
itu sendiri atau tujuan akademik tetapi
kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain
setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin
banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
D.
Relevansi
Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Etika Islam Bagi Resolusi Konflik
Uraian di atas, dapat memberikan
gambaran bagaimana etika menurut Ibnu Miskawaih. Baik etika kepada diri
sendiri, kepada Allah dan kepada sesama manusia. Dalam relasi etika Islam dalam
pandangan Ibnu Miskawaih dengan resolusi
konflik dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain:
Pertama, berangkat dari definisi moral, etika atau akhlak yang
dijelaskan Ibnu Miskawaih yaitu kondisi
jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
dipikirkan sebelumnya. Selanjutnya akhlak atau moral seseorang sangat mungkin
dapat berubah melalui pendidikan dan latihan-latihan. Dari pengertian dapat
ditarik kesimpulan dam hubungannya dengan reolusi konflik, misalnya ada
anggapan watak orang pemarah tidak akan berubah dan akan tetap kekal menjadi
akhlaknya, sehingga sulit dicari solusi penyelesaiannya. Anggapan tesebut
terbantahkan dan ternyata akhlak tersebut dapat diubah melalui proses
pendidikan dan latihan. Relasinya dengan resolusi konflik adalah sebesar apapun
potensi konflik yang ada dalam masyarakat dapat dicegah (preventif) dengan
proses pendidikan dan latihan. Akhirnya manusia
dengan dorongan tersebut yang menginternal menjadi pribadi menjadi
semakin cerdas dalam menangani atau memanajemen konflik.
Dalam konteks riil sekarang ini, asumsi yang mengatakan bahwa watak
kepolisian yang membabi buta, atau dengan kata lain watak penyidik tetapi
bermain (suap-menyuap) dalam menangangi kasus dapat terbantahkan atau dapat
berubah menjadi lebih baik apabila semua pihak kepolisian secara sadar dan
ingin secara terus menerus melakukan latihan untuk menghapuskan budaya
tebang-pilih dapat menyidik berbagai kasus di tanah air tercinta ini.
Kedua, konsep keutamaan etika atau moral “jalan tengah” atau al Wasath.
Hal ini penting untuk dijadikan kajian dalam ranah resolusi konflik, baik
konflik dalam skala kecil yaitu konflik individu maupun konflik dalam skala
luas yang melibatkan orang lain. Konsep ini relevan dalam proses penyelesaian
konflik, terutama posisi seseorang sebagai mediator, negisiator, arbiter dan
sejenisnya. Dari konsep ini posisi mediator misalnya, memiliki peranan penting untuk
berlaku adil, bijaksana, berani dan menjaga diri. Adil dalam pengertian tidak
berat sebelah antara pihak yang berperkara. Dan begitu seterusnya dengan
bijaksana, menahan diri dan berani. Seperti yang dijelaskan oleh Miskawaih
bahwa konsep jalan tengah bersifat fleksibel, sehingga dalam konteks
penyelesaian konflik dibutuhkan sifat ini. Dengan kata lain, sifat jalan tengah
ini dapat menyesuaikan dengan konteks masalah yang dihadapi dan manusia yang
sedang bertikai.
Ketiga, konsep kabaikan dan
kebahagiaan. Bila ditarik hubungan dengan resolusi konflik bahwa ada
titik temu antara konsep kebaikan yang telah disepakati oleh suatu masyarakat
secara umum, misalnya seseorang akan kecewa apabila di zalimi, sehingga dengan
konsep kebaikannya ia akan menghindari atau berusaha menjauhkan diri dari
prilaku-prilaku kezaliman. Namun demikian, bagi orang yang menggunakan daya akalnya atau Nafs Nathiq,
ia akan tetap bahagia terhadap kezaliman yang diterimanya. Karena salah satu
perinsip orang yang bahagia adalah tidak memiliki musuh atau dengan kata lain
ia akan selalu bersahabat kepada siapapun dan berusaha untuk meberikan manfaat
bagi mereka.
Keempat, konsep mahabbah yang dijelaskan Miskawaih juga menjadi penting
untuk renungan, karena pada dasarnya potensi cinta suci yang dimiliki manusia
lebih dominan dari pada potensi cinta hewani. Namun realitasnya banyak manusia
yang lebih mengagungkan dan mengembangkan potensi cinta hewani, sehingga yang
menjadi objeknya adalah kesenangan. Tetapi apabila manusia mampu mengembangkan
potensi cinta suci, baik cinta kepada Allah maupun kepada sesama manusia dengan
baik, maka ia akan memperoleh kebahagiaan. Adapun yang menjadi objeknya adalah
kebaikan. Relasinya dengan resolusi konflik dapat dilihat dalam aplikasinya,
yaitu sebagai mediator misalnya dapat mengetahui aspek psikologis dan jenis
cinta yang dikembangkan seseorang dalam penyelesaiaan konflik, serta mencari metode
yang tepat agar dapat meresolusi terhadap masalah yang ada.
E.
Penutup
Ibnu Miskawaih seoarang filofos muslim yang memusatkan perhatiannya pada
etika Islam. Meskipun sebenarnya ia adalah seorang sejarahwan, tabib, ilmuan
dan sastrawan. Pengetahuannya sangat luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi,
Persia,dan India disamping ia menguasai filsafat Yunani.
Ibnu Miskawaih juga menganut faham Emanasi yakni Allah menciptakan alam
secara pancaran, namun Emanasinya ini berbeda dengan Emanasi Al-Farabi. Menurut
nya entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ ( akal aktif
). Akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah
planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus ari Allah dapat memelihara
tatanan alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti
kemajuan dalam alam ini.
Konsep akhlak yang dikembangkan Ibnu Miskawaih lebih dekat bila
dikatakan sebagai etika religius-filosofis, karena pemikirannnya yang
diutarkannya selalu didasarkan atas tuntunan ajaran agama. Sehingga tidak
jarang apabila dalam tulisanya ditemukan berbagai ayat al Quran dan Hadits
sebagai pendukung argumentasinya. Sementara itu, ia juga mengambil
pemikiran-pemikiran para filosuf sebelumnya, terutama filsafat Aristoteles. Namun
selanjutnya, menjadi lebih khas tulisan-tulisannya adalah ia memadukan antara
hasil kerja filosuf dan ajaran syariat Islam.
Dalam kaitannya dengan resolusi konflik, etika menurut Ibnu Miskawaih
ini menjadi penting untuk di ajarkan kepada masyarakat. Karena secara potensial
manusia telah memiliki daya-daya yang telah Allah pancarkan kepada mereka,
sehingga pancaran-pancaran dapat bercahaya dapat dilakukan melalui proses
pendidikan dan latihan-latihan, selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Daftar
Pustaka
A. Mustafa, Fisafat Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 1997
Abu Bakar Atjeh,
Sejarah Filsafat Islam, 1970.
Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003
Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Harun Nasution, Akal
dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1983
Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam, Jakarta:
Radar Jaya Jakarta, 2002.
Ibn Miskawaih, Tahzib
al-Akhlaq, Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan
Filsafatnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Komentar
Posting Komentar