DINAMIKA MAHKAMAH KONSTITUSI


Pendahuluan
Kehadiran State Auxiliary Institution / Lembaga Sampiran Negara di Indonesia bukanlah sebuah fenomena yang baru. Seperti yang telah diketahui, Indonesia memiliki banyak Lembaga Sampiran Negara yang jumlahnya paling tidak mencapai 14 lembaga yang dibentuk di tingkat nasional (Komnas HAM; Komisi Hukum Nasional; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; Komisi Kejaksaan; Komisi Kepolisian Nasional; Komisi Perlindungan Anak; Komisi Nasional Perlindungan Perempuan; Komisi Ombudsman Nasional; Komisi Pengawas Persaingan Usaha; Komisi Pemberantasan Korupsi; Komisi Pemilihan Umum; Komisi Penyiaran Indonesia; Komisi Yudisial; dan Mahkamah Konstitusi).

Sebelumnya, perlu dilihat juga latar belakang munculnya lembaga-lembaga tersebut. Kelahiran Lembaga Sampiran Negara berhubungan dengan Trias Politica, yang dilontarkan oleh Montesqiueu, yang mana mensyaratkan adanya suatu bentuk pemisahan kekuasaan (dispersion of power) antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun sekarang nampaknya mulai muncul limitasi dari desain kelembagaan negara yang berbasis pada pemisahan kekuasaan ala Montesqiueu tersebut dalam merespons perkembangan baru1. Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada sudah mencapai tahap klimaksnya. Ketidakpercayaan terebut muncul karena kegagalan-kegagalan lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Disamping itu juga disebabkan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut, semisal: korupsi, kolusi dan nepotisme yang nampaknya sudah menjadi sesuatu yang jamak.
Dipandang dari sudut yang lain, proses kelahiran lembaga-lembaga sampiran negara merupakan refleksi dari kontestasi dua kecenderungan klasik yakni kecenderungan sentripetal – konsentrasi kekuasaan – dan kecenderungan sentrifugal – pemencaran kekuasan. Keduanya merepresentasikan dua entitas politik yang saling berhadap-hadapan dalam kerangka zero-sum-game theory – hubungan saling meniadakan – yakni negara dengan kecenderungan konsentrasi kekuasaannya dan kekuatan non-negara dengan kecenderungan pemencaran kekuasaan. Dilihat dari sudut ini, kehadiran lembaga-lembaga sampiran negara dapat dibaca sebagai raut negosiasi yang berujung pada kemenangan kekuatan non-negara dalam mempenetrasi wilayah dominasi negara. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kekuatan non-negara yang mengalami peminggiran dan atau kooptasi, menemukan momentumnya kebangkitan, baik sebagai akibat dari proses perapuhan negara yang sangat serius di hadapan tekanan ideologi anti-negara, maupun lewat kebangkitan gagasan-gagasan dan praksis civil society. Jika pada awalnya kekuatan non-negara membatasi perjuangan mereka hanya untuk merebut ruang bagi diri sendiri yang telah dipilah-pilah secara ketat – state, civil society dan economic society –, dalam perkembangan sejak reformasi, telah memperluas hasratnya untuk juga menjangkau kontrol atas ranah negara. Dalam logika seperti ini, lewat lembaga-lembaga sampiran negara, aktor non-negara bisa mengkonversi diri secara cepat sebagai aktor yang dapat bertindak atas nama dan untuk kepentingan publik yang selama ini dimonopoli oleh negara. Negara bukan lagi sebuah institusi yang tunggal dan otonom atas masyarakatnya, tapi bergeser menjadi arena kontestasi dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam negara dan masyarakat. Dominannya aktor-aktor non-negara -para aktivis, ilmuwan, dsbnya- dalam menguasai struktur pengambilan keputusan dalam berbagai lembaga sampiran negara mengindikasikan hal ini.

Sekilas Berdirinya Komisi Yudisial
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi) diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

Dinamika Mahkamah Konstitusi
Dalam lima tahun perjalanannya, Mahkamah Konstitusi menjelma menjadi sebuah lembaga yang penting dan strategis. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang yang kuat. Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi: (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b) memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa, (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan tambahan tersebut berupa; (a) pembubaran partai politik, (b) perselisihan hasil pemilihan umum, (d) pemberian putusan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan atau wakil presiden.
Jika dilihat dari segi performa Mahkamah Konstitusi sendiri, banyak pihak menilai kinerja Mahkamah Konstitusi sampai saat ini angin-anginan, karena kadang-kadang putusan Mahkamah Konstitusi sangat konservatif dan kaku, dan di saat lain putusannya progresif. Terakhir putusan Mahkamah Konstitusi memberikan izin bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak disukai parpol yang selama ini menjadi satu-satunya kendaraan menuju kekuasaan. Namun keputusan ini, walaupun menuai banyak kritik, dianggap sebagai putusan yang tepat ditengah menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik.
Selain itu, dengan banyaknya Undang-Undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, seperti: UU Ketenagalistrikan (dibatalkan karena pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik mereduksi makna “cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup dikuasai oleh negara), UU KUHP Tentang Penghinaan Presiden (Dibatalkan, karena dapat mengekang kebebasan, membungkam kekritisan, dan menghambat demokrasi) dan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Dibatalkan, karena tidak memberi kepastian hukum dan keadilan bagi pelanggar HAM di masa lalu) disisi lain menimbulkan pertanyaan baru; apakah kerja DPR dan Pemerintah membuat undang-undang selama ini tidak becus ataukah kerja dari Mahkamah Konstitusi yang terlalu berlebihan?
Ada aksi, ada reaksi. DPR mulai terusik dengan polah Mahkamah Konstitusi yang banyak membatalkan undang-undang buatan DPR. Kemudian muncul wacana untuk sedikit membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan merevisi UU yang mengatur Mahkamah Konstitusi dengan argumen bahwa dalam hal-hal tertentu Mahkamah Konstitusi tidak bisa begitu saja membatalkan undang-undang. Lebih lanjut ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, dengan merevisi undang-undang sehingga Mahkamah Konstitusi tidak bisa membatalkan undang-undang yang telah disetujui 2/3 dari anggota DPR. Kedua, mensyaratkan bahwa untuk membatalkan sebuah undang-undang haruslah didukung suara mayoritas Mahkamah Konstitusi, yaitu 8 dari 9 anggota.
Dari wacana tersebut, terlihat sebuah usaha yang menginginkan untuk mereduksi kekuatan Mahkamah Konstitusi yang pada akhirnya akan bisa merusak sistem check and balance dan membuat legislatif dan eksekutif yang bila sampai pada titik nadirnya kelak akaqn membuat Indonesia kembali ke dalam pemerintahan otoriter. Sebenarnya usaha untuk melemahkan suatu komisi negara tidak hanya terjadi kali ini saja.. Komisi yang didesain untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu akhirnya bubar. Demikian juga yang menimpa Komisi Yudisial. Kewenangan pengawasan yang diberikan kepadanya dicabut, setelah sejumlah hakim agung mengajukan uji materi. Ironisnya lagi, kedua lembaga negara diatas ”diekskusi” oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah kemudian di waktu yang akan datang giliran Mahkamah Konstitusi yang akan diekskusi?

Kesimpulan dan Saran
UUD RI 1945 telah mendistribusikan kewenangannya kepada beberapa lembaga negara. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut sangat mungkin akan terjadi dimana satu lembaga negara menggunakan kewenangannya melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga melanggar kewenangan lembaga lain. Dengan adanya perubahan UUD RI 1945, hubungan antar lembaga negara diposisikan secara fungsional, dan tidak secara hirarkis, maka diperlukan sebuah lembaga yang secara final dapat memutus perselisihan kewenangan antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi berperan sebagai lembaga peradilan yang memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara. Sebelumnya peran ini dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana sebagai sebuah lembaga pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang omnipotent, yang berwenang untuk melakukan apa saja termasuk didalamnya untuk menmyelesaikan persengketaan yang timbul antar lembaga negara. Dapat diartikan bahwa peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dalam sistem check and balances antar lembaga negara. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana tata cara pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

Daftar Pustaka:

Asshiddiqie, Jimly. Mahkamah Konstitusi: Fenomena Hukum Tata Negara. 2003. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis