Oposisi dalam Demokrasi Islam


“Agama itu nasehat. Kami bertanya : Bagi siapa? Nabi menjawab : Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR Muslim, hadits ketujuh dari rangkaian hadits Arba’in An Nawawiyah)
Nasihat bagi Allah, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya berarti kesanggupan untuk menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as Sunah. Sementara nasihat kepada para pemimpin ditujukan bagi para penguasa, wakil-wakilnya, atau para ulama. Caranya, mengikuti perintah mereka selama dalam kebaikan dan kebenaran, namun berani meluruskan mereka, apabila melenceng dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tak ada kebaikan bagi masyarakat yang tidak mau menasihati penguasanya, dan masyarakat yang tidak mau mengatakan kepada penguasanya yang zalim,”Anda zalim!”. Juga tidak ada kebaikan bagi penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang yang berusaha menasihatinya, menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar suara kebenaran. Begitulah Dr. Musthafa Dieb al Bugha Muhyidin Mitsu dalam Al Wafi fi Syarh al Arba’in an Nawawiyah menjelaskan hadits itu dengan indah.

Pemerintahan Umar bin Khathab menjadi contoh yang baik bagaimana penguasa membutuhkan oposisi. Sejak hari pertama pemerintahannya Umar membuka kesempatan terhadap oposisi dengan pidato pelantikannya, “… Maka bertakwalah Anda kepada Allah, dan bantulah saya terhadap diri Anda semua dengan jalan mengontrol saya, serta bantulah saya terhadap diri saya sendiri dengan jalan amar ma’ruf nahi munkar, serta memberi saya nasihat mengenai tugas yang diserahkan Allah kepada saya dalam mengatur urusan Anda semua…” Umar juga membentuk majelis permusyawaratan yang beranggotakan wakil-wakil terpercaya dari kalangan Muhajirin dan Anshor. Majelis tersebut berfungsi mengambil keputusan setelah melakukan perdebatan bebas. Dan sebelum membahas masalah vital, anggota majelis lazimnya meminta pendapat masyarakat sebelum memasuki ruang sidang. Begitulah sistem pemerintahan Umar yang dipaparkan oleh Syibli Nu’mani dalam “Al Farooq, Life of Omar the Great, Second Caliph of Islam”
Selain mewadahi secara formal, Umar juga sangat biasa menerima kritik bahkan memintanya. Cerita indah mengenai rekasi Umar saat bertanya apa yang akan dilakukan rakyatnya jika ia melakukan penyimpangan direkam dengan indah dalam buku “Khulafa ar Rasul”. Saat itu, seorang lelaki mengacungkan tangannya bagaikan pedang terhunus, “Kalau begitu, pedang kamilah yang akan berbicara!”. Umar yang semula terkejut, justru berdoa dengan berseri-seri, “Semoga Allah merahmati Anda. Segala puji bagi Allah yang telah menyediakan di kalangan umat, orang yang akan membetulkan kesalahan saya”. Dan Umar tidak hanya menyambut baik kritik yang diberikan saat ia meminta. Umar mendengarkan saat tiba-tiba Khaulah binti Hakim menghentikannya dan menasihatinya panjang lebar Begitu pula, saat seorang wanita memprotes keputusan Umar tentang mas kawin yang tidak boleh melebihi 40 ugiah. Umar dengan tersenyum berkata, “Benarlah wanita itu, dan salahlah Umar!” setelah mendengar argumentasi wanita tersebut adalah surat An Nisa 20.
Gambaran ini penting karena pemerintahan Umar dianggap sebagai yang paling kuat sepanjang sejarah pasca Nabi Muhammad SAW. Tampilnya pemerintahan yang kuat tersebut ternyata diimbangi oleh hadirnya kelompok kritis dan kesadaran publik yang tinggi serta kebebasan berpendapat. Umar justru menyingkirkan orang-orang yang berwatak penjilat, dan ditinggikannya kedudukan orang-orang yang berani menyanggahnya. Huzhaifah bin Yaman (pemegang rahasia Rasulullah), Salman al Farisi (teknokrat yang cerdas), dan Abu Dzar al Ghiffari (pembela kaum miskin dan tertindas) adalah beberapa orang kritis di masa Umar. Mereka menjunjung kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan, tidak takut menyuarakannya di depan penguasa yang kuat dan sholih, apalagi sekedar penguasa zalim.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis