POLITIK HUKUM TERHADAP KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH BAGI TENAGA KERJA INDONESIA (LEGAL POLICY ON LOCAL GOVERNMENT AUTHORITY FOR INDONESIAN MIGRANT WORKERS)


A. Pembahasan
Tulisan ini berisi suatu deskripsi mengenai ketentuan-ketentuan terkait dengan kewenangan pemerintah daerah bagi tenaga kerja Indonesia (selanjutnya disebut TKI), dalam perspektif politik hukum. Permasalahan utama adalah bagaimana kejelasan hukum yang terkait dengan perlindungan TKI yang harus menjadi bagian dari kewajiban pemerintah daerah. Sebagai pendekatan, beberapa pertanyaan hendak dikemukakan sebagai berikut:

* Bagaimana deskripsi politik hukum yang berpengaruh terhadap bagian dari kewajiban pemerintah daerah?
* Bagaimana substansi ketentuan yang berkaitan dengan peran pemerintah daerah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak TKI?
* Bagaimana pokok-pokok pikiran sebagai rekomendasi yang dapat ditawarkan dalam rangka optimalisasi peran pemerintah daerah ketika berurusan dengan TKI asal daerahnya?
Fokus dalam tulisan ini adalah kajian terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri- (selanjutnya disebut UUPTKILN). Kajian yang lebih jauh akan diperlukan sebagai upaya telaah yang lebih komprehensif. Dapat saja terjadi kesalahan analisa yang oleh penulis sangat harapkan untuk mendapatkan suatu koreksi dan verifikasi.

B. Perspektif Politik Hukum
Soedarto memberikan pengertian mengenai politik hukum, yaitu “… kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan” (Amrullah, 2007). Dari definisi tersebut penulis dapat mengemukakan bahwa pertama, politik hukum merupakan instrumen bagi para pembuat kebijakan mengenai bagaimana mengarahkan cara pencapaian suatu tujuan. Kedua, instrumen tersebut dibentuk dalam peraturan perundang-undangan. Ketiga, kebijakan tersebut harus merepresentasikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian akan tampak titik temu dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, di antaranya partisipasi masyarakat, yang dapat diakomodasi dalam politik hukum. Dalam hubungannya dengan hak-hak asasi TKI, dapat dimengerti jika Mette Kjoer dan Klavs Kinnerup mengatakan bahwa secara konseptual akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan akan sejalan dengan hak asasi manusia (Alfredsson, 2002)
Berdasarkan hal tersebut, maka politik hukum sebagai arah sistem hukum nasional harus memberikan arahan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan oleh para penyelenggara pemerintahan dari pusat dan sampai satuan pemerintahan yang lebih rendah. Kebutuhan akan peran pemerintahan lokal tersebut diperkuat oleh suatu pemahaman mengenai paradigma negara kesejahteraan, yang menghendaki campur tangan negara di segala bidang kehidupan masyarakat (Rahardjo, 2009).

Peran Pemerintahan Daerah: Kewajiban atau Pilihan?
Pemerintah sebagai personifikasi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa negara pihak memiliki tiga tingkatan kewajiban terhadap hak asasi manusia, yaitu untuk menghormati (to respect), untuk melindungi (to protect), dan untuk memenuhi (to fulfil) setiap hak. UNFPA mengurai tiga kewajiban tersebut sebagai berikut (Publikasi UNFPA): Pertama, kewajiban untuk menghormati, artinya bahwa negara menahan diri terhadap turut campur pada penikmatan hak seseorang. Kedua, kewajiban untuk melindungi, artinya bahwa negara membentuk hukum yang berisi mekanisme untuk mencegah pelanggaran hak asasi oleh organ negara itu sendiri atau aktor non-negara. Perlindungan ini merupakan jaminan untuk semua orang. Ketiga, kewajiban untuk memenuhi, artinya negara mengambil langkah-langkah aktif yang teriontegrasi dalam institusi-institusi dan prosedur, termasuk mengalokasikan sumber daya supaya masyarakat dapat memungkinkan menikmati hak-haknya. Suatu pendekatan berbasis hak ini mengembangkan para pemangku tugas-tugas untuk mencapai kewajiban-kewajibannya dan meningkatkan para pemangku hak untuk menuntut hak-haknya.
Sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lebih besar, pemerintahan daerah menjadi ujung tombak pelaksanaan kewajiban tersebut terhadap masyarakat lokal di daerahnya (Perwira, 2009). Dari 109 Pasal yang dimuat dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN, peran Pemerintah Daerah yang sebutkan sebagai berikut:

1. Tugas, tanggung jawab, dan kewajiban pemerintah
Pada Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri”. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) menentukan “Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas pembantuan kepada pemerintah daerah (cetak tebal penulis) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

2. Perjanjian kerja
Pasal 38 ayat (1) mengharuskan kepada Pelaksana Penempatan TKI swasta untuk membuat dan mendatangani perjanjian penempatan dengan pencari kerja yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi dalam proses perekrutan. Dalam hal ini peran Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, melalui instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, adalah untuk a) mengetahui  perjanjian penempatan kerja itu (ayat (2)); b) menerima laporan perjanjian penempatan dari pelaksana penempatan TKI swasta (Pasal 54 ayat (1)); c) menyaksikan penandatanganan perjanjian kerja (Pasal 55 (3)). Ketentuan yang menyangkut tentang perjanjian kerja ini sangat perlu jika konsekuen dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait dengan suatu fenomena bahwa para calon TKI banyak yang belum memiliki perjanjian kerja yang harus mereka pelajari terlebih dahulu sejak pra penempatan (Aritonang, 2006). Bahkan menurut Aritonang, di antara mereka baru memperoleh naskah perjanjian kerja ketika akan berangkat. Tidak sedikit pula yang tidak betul-betul memahami perjanjian tersebut.

3. Pemberangkatan
Pasal 85 ayat (2) mengatur, “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah”. Ketentuan ini menempatkan pemerintah daerah sebagai institusi yang turut terkena akibat atas suatu permasalahan terhadap pekerja migran. Jika ada masalah, pemerintah daerah harus ikut bertanggungjawab, sementara remitan masuk kepada institusi pemerintah pusat (Lestari, Statemen ATKI tentang Revisi UU No. 39 tahun 2004, publikasi Front Perjuangan Rakyat,).

4. Pengawasan
Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 92). Sebagai tindak lanjut dari ketentuan ini, Instansi yang melaksanakan pengawasan tersebut wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada Menteri (Pasal 93 ayat (1)). Dalam ketentuan tersebut tidak ditegaskan apakah penyelenggaraan penempatan yang dimaksud diartikan mulai dari pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan, atau diartikan secara khusus pada penempatan dalam arti ketika TKI sudah berada di negara tujuan pengiriman. Ketidakjelasan ini berisiko jika diartikan sebagai penempatan dalam arti yang disebutkan terakhir.
Jika demikian, terhadap ketentuan tersebut, tampak beberapa disharmoni dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pemerintah daerah hanya disebut sebagai bagian dari kategori hubungan luar negeri yang bersifat regional dan internasional (Pasal 1 angka 1). Jika pertanggungjawaban dalam rangka melaksanakan pengawasan cukup kepada instansi  yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, adalah masih signifikan. Pertimbangannya adalah bahwa urusan TKI ketika sudah pada masa penempatan di Negara tujuan adalah urusan “G to G” (government to government). Hal ini berdasarkan ketentuan bahwa kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden (Pasal 6 ayat (1)). Walaupun dapat saja Presiden menunjuk pejabat selain Menteri Luar Negeri untuk melaksanakan tugas, tetap harus melalui konsultasi dan koordinasi Menteri Luar Negeri (Pasal 7 ayat (1) dan (2)). Seharusnya yang paling bertanggungjawab dalam hal pengawasan pada masa penempatan adalah kantor perwakilan Indonesia di Negara tujuan, (Pasal 24 ayat (1)). Selain mengatur mengenai kelembagaan dan kewenangan, UU Hubungan Luar Negeri tersebut menegaskan kewajiban perwakilan RI (Pasal 19). Salah satunya adalah untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.  Jika terjadi sengketa antara sesama warga negara atau badan hukum Indonesia di luar negeri, maka Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban membantu menyelesaikannya berdasarkan asas musyawarah atau sesuai dengan hukum yang berlaku (Pasal 20). Lebih tegasnya, dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara (Pasal 21).
Jika Pemerintah daerah diikutsertakan melalui instansi terkaitnya untuk turut dalam pengawasan di Negara tujuan, maka sedikitnya akan terdapat dua risiko. Pertama, terjadi penghamburan anggaran Negara/Daerah untuk memberangkatkan aparat pemerintah daerah untuk berkeliling ke luar negeri dengan mata anggaran pengawasan pelaksanaan penempatan TKI. Pengawasan terhadap penempatan TKI akan terkait dengan hubungan diplomatik antar Negara. Tentunya, aparat pemerintah daerah yang berangkat tidak akan dapat berkapasitas sebagai penentu hubungan diplomatik. Kedua, pencantuman satuan pemerintahan daerah dalam pelaksanaan pengawasan penempatan yang demikian itu akan menjadikan ketentuan ini sebagai hukum yang tidak hidup. Artinya, bahwa ketentuan ini tidak memenuhi asas dapat dilaksanakan.

5. Penyidikan
Terdapat kemungkinan bagi Pemerintah Daerah untuk berperan dalam hal penyidikan tindak pidana (Pasal 101). Walaupun begitu, beberapa hal yang berkaitan dengan tahapan-tahapan migrasi TKI, Pemerintah pusatlah yang memiliki otoritas untuk mengkoordinasikan hal-hal tersebut. Dapat dimengerti, bahwa kemungkinan peranan pemerintah daerah dalam perlindungan TKI maksimal terbatas pada tahap perekrutan, pra pemberangkatan, dan purna penempatan, terutama masa pemulangan dan reintegrasi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas, pemberian ruang bagi pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini sangat bergantung kepada kehendak politik pemerintah pusat. Kontradiksi antara kewajiban pemerintahan daerah sebagai sub sistem penyelenggara Negara dengan ketentuan-ketentuan tersebut memunculkan suatu ambiguitas: apakah peran pemerintahan daerah terhadap urusan TKI merupakan kewajiban atau pilihan? Di satu sisi pemerintahan daerah memiliki peran yang cukup penting sebagai pelayan publik yang terdekat dengan masyarakat. Di lain pihak, pemerintahan daerah menghadapi batas-batas kewenangan.
Pertama, wacana mengenai perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN dipahami oleh sebagian kalangan sebagai isu pergerakan untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Hal ini tampak kontradiktif dengan persepsi Pemerintah mengenai pertimbangan isu perubahan UUPPTKILN, yaitu: (1) untuk melayani kepentingan PJTKI guna mempermudah perijinan supaya dapat menunjang program pencapaian target pengiriman buruh migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun; (2) mengalihkan perhatian buruh migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakkan oleh buruh migran Indonesia (Lestari, Statemen ATKI tentang Revisi UU No. 39 tahun 2004, publikasi Front Perjuangan Rakyat,). Tampaknya Pemerintah Indonesia betul-betul khawatir untuk meratifikasi Konvensi tersebut sehubungan dengan konsekuensinya. Jika permasalahan pekerja migran tergolong sebagai fenomena perbudakan, hal tersebut menjadi salah satu yang mewajibkan negara untuk mempertanggungjawabkan atas kelalaian atau pelanggaran dari kewajiban hukum internasional (Rover, 2000). Hal tersebut didukung salah satunya oleh pengamatan Donny Pradana. Menurutnya target pemerintah pada masa SBY-JK dalam hal penempatan tenaga kerja dalah sebesar satu juta per tahun (Donny Pradana WR). Bahkan ditambahkan dalam penjelasan Sri Palupi, pemerintah berniat untuk memberantas percaloan melalui kegiatan pencegahan dan penindakan. Yang terjadi adalah pemerintah hanya menindak para calo yang beroperasi di lapangan, tetapi tidak membangun sistem perekrutan yang mampu menghilangkan peran calo. Padahal peran calo tidak akan pernah hilang selama mayoritas PJTKI masih berdomisili di Jakarta dan pelayanan pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum menjangkau sampai ke tingkat desa.
Jika hanya demikian perspektif mengenai pengiriman TKI, hal ini berbeda dengan apa yang telah dilakukan Pemerintah Filipina (Wawa, 2005). Kebijakannya berdasarkan pemikiran bahwa setiap pekerja migran yang dikirim dari Filipina  harus memenuhi kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang baik. Lebih dari itu, Pemerintah Filipina  memeriksa kontrak-kontrak beserta upah yang menjadi hak pekrja migran, dan bernegosiasi mengenai hal ini sebagai bagian dari klausul perjanjian penempatan pekerja migran. Filipina mempunyai 100 atase tenaga kerja, sedangkan Indonesia hanya punya dua.
Kedua, tidak satupun urusan mengenai TKI disebutkan secara eksplisit sebagai rangkaian urusan yang didesentralisasikan kepada pemerintahan daerah otonom (Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Cara kepemilikan urusan oleh pemerintahan daerah dengan cara diberikan oleh pemerintah Pusat seperti ini masih dimungkinkan secara teoritis dalam kerangka negara kesatuan. Kemungkinan tersebut dapat terlihat jika dikuatkan salah satunya oleh Ateng Syarudin bahwa paradigma dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari paham kedaulatan negara (Syafrudin, 2009). Dalam paham ini satu-satunya kedaulatan adalah pada pemerintahan Pusat. Namun dengan semakin kompleks dan meningkat pula kebutuhan masyarakat, urusan pemerintahan ada yang dipusatkan dan ada pula yang dipencarkan (Gie, 1995). Berdasarkan pemikiran tersebut, sejauhmana yang dapat dilakukan oleh pemerintahan daerah terkait urusan TKI adalah sebatas urusan pada masa pra penempatan dan purna penempatan. Tentunya hal ini mendasarkan pada prinsip kedekatan pelayanan publik, kesejahteraan, dan upaya pemberdayaan TKI. Ironisnya, pemerintah daerah yang kreatif seperti Kabupaten Banyumas, yang gencar memberantas percaloan dan pemerintahnya memperketat pengawasan terhadap kerja PJTKI (Sri Palupi). Pemerintah Daerah ini harus menghadapi kenyataan bahwa warganya banyak dimutasi ke daerah lain oleh para calo dan PJTKI. Akibatnya, daerah ini menghadapi persoalan peningkatan penempatan buruh migran secara tidak sah, termasuk pemalsuan dokumen. Sedikitnya 70 persen buruh migran dari daerah ini ditempatkan tidak sesuai prosedur.
Kendala-kendala yang tercermin dalam kondisi seperti menurut Sri Palupi seharusnya dapat mendorong pemerintahan daerah untuk membuat peraturan daerah perlindungan buruh migran di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi sehingga tidak ada lagi celah yang dapat dimainkan oleh PJTKI yang kinerjanya buruk. Peraturan daerah semacam ini juga berpeluang untuk mendorong tumbuhnya PJTKI yang berkinerja baik (Sri Palupi). Menyikapi gagasan ini penulis menilai bahwa dengan peraturan daerah seperti inilah, menjadi penting bagi pemerintahan daerah untuk mengatur dalam yurisdikasinya untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak TKI. Walaupun perda semacam ini akan terbatas materi pengaturannya pada masa pra penempatan dan purna penempatan, namun akan bermanfaat untuk mendekatkan pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan pemberdayaan TKI. Jika berkesinambungan dan konsisten, hal ini akan menjawab salah satu persoalan bahwa TKI ilegal di Malaysia sebetulnya ada di Indonesia (Wawa, 2005). Banyak pihak yang ikut menjadi kontributornya. Misalnya dalam persoalan TKI di Malaysia, aparatur pemerintahan desa, kecamatan, dan imigrasi di daerah transit TKI dengan begitu mudahnya menerbitkan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor bagi pendatang. Ada pula, kepala desa yang dikabarkan berprofesi sebagai calo TKI (Wawa, 2005). Legalitas sebagai pekerja asing seolah hanya nomor terakhir, yang terpenting yang bersangkutan dapat masuk ke Malaysia. Mereka juga tidak peduli, apakah TKI yang dikirim akan diperlakukan secara manusiawi atau tidak. Ditambahkan pula bahwa pada dasarnya, 80 persen pemicu ketertindasan TKI di luar negeri tertanam di Indonesia. Mereka bukan semata-mata calo dan perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), tetapi juga berbagai pihak lain yang ingin memperkaya diri dari ketimpangan tersebut (Wawa, 2005). Bagaimanapun hal ini metampakkan bahwa kemunculan TKI ilegal yang berhubungan dengan kecenderungan praktik trafficking selalu melibatkan aktor, dalam hal ini negara (Obokata, 2006).


C.Penutup
Kewenangan pemerintahan daerah dalam rangka menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak TKI berada dalam batas-batas yang tidak dapat dihindari. Batas-batas tersebut di antaranya adalah bahwa urusan otonomi yang diberikan kepada daerah saat ini hakikatnya adalah untuk kemandirian, bukan untuk kemerdekaan (Astawa, 2008). Walaupun demikian, bagaimana daerah dapat menjadi ujung tombak pelayanan publik, demokratisasi, dan kesejahteraan rakyat, harus menjadi bagian dari politik hukum nasional. Dalam konteks perlindungan TKI, tampaknya ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN belum memberikan arahan yang jelas bagi pemerintahan daerah untuk menjalankan perannya. Yang terjadi adalah ambiguitas materi pengaturan yang memungkinkan ketentuan tersebut menjadi tidak efisien atau malah menjadi tidak dapat dijalankan.
Jika demikian halnya, tulisan ini menawarkan setidaknya dua penegasan. Pertama, politik hukum dalam wacana perubahan UUPPTKILN perlu ditekankan kepada perspektif pelaksanaan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak TKI. Termasuk penting dalam materi perubahan UU ini adalah optimalisasi peran pemerintahan daerah terhadap urusan-urusan yang pelaksanaannya dapat berlokasi di daerah. Sebagai contoh adalah pemeriksaan kesehatan, pelatihan, maupun pengurusan dokumen. Penegasan peran pemerintahan daerah seperti itu tentunya harus sesuai dengan batas-batas kewenangan dalam konteks Negara Kesatuan. Kedua, melalui urusan otonom yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan saat ini, daerah perlu memberdayakan perannya untuk membentuk peraturan daerah, walaupun daya jangkauan materinya terbatas pada masa pra dan purna penempatan TKI. Saat ini terdapat beberapa contoh daerah yang telah memiliki Perda perlindungan TKI, seperti Kabupaten Cianjur dan Blitar, sedangkan beberapa daerah lainnya seperti Kabupaten Cirebon sudah diusulkan untuk menjadi agenda pembahasan antara Pemerintah Daerah dan DPRD setempat.
Tentunya, berbagai uraian dalam tulisan ini masih memiliki berbagai keterbatasan mengenai data maupun ketajaman analisa, sehingga hasilnya belum memuaskan. Hal tersebut tidak terlepas dari suatu kesadaran bahwa permasalahan mengenai TKI serta hubungannya dengan negara adalah tidak sederhana. Untuk itu, ke depan masih diperlukan kajian yang lebih komprehensif. Salah satu tujuannya adalah untuk pengembangan internasionalisasi norma yang terkait dengan penegakan Hukum HAM pada pekerja migran, yang di antaranya dibutuhkan suatu kebijakan nasional (Lyon, 2006). Selain itu yang lebih penting adalah untuk dapat memberikan perlindungan kongkrit yang optimal bagi TKI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis