DAMPAK DARI PENENTUAN BATAS MASA HADHANAH
Batas Masa Hadhanah karena Baligh
(dewasa)
Secara
tersurat, dalam Al-Qur’an tidak akan di temukan ayat yang berkaitan, tetapi
jika diteliti lebih lanjut, ada dua ayat Al-Qur’an, yaitu surah An-Nur ayat 32
dan surat An-Nisa’ ayat 6 yang memiliki korelasi dengan masa baligh
terutama pada kata-kata shalihin dan rusydan.
Firman
Allah dalam al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 6:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى
إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ
يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا
عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا. (النساء: ٦)
Artinya:
“Dan ujilah anak-anak yatim sampai
mereka mencapai masa nikah. Apabila kalian menemukan kecerdasannya maka
serahkanlah harta-harta itu kepada mereka. Dan janganlah kalian memakannya
dengan berlebih-lebihan dan jangan pula kalian tergesa-gesa menyerahkannya
sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (dari kalangan wali anak yatim itu)
berkecukupan, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim)
dan barangsiapa yang miskin maka dia boleh memakan dengan cara yang baik.
Apabila kalian menyerahkan harta-harta mereka, maka hadirkanlah saksi-saksi.
Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. An-Nisa’: 6)
Makna
Umum dari ayat 6 adalah bila seorang wali hendak menyerahkan harta anak-anak
yatim kepada mereka, dia harus menguji mereka terlebih dahulu, apakah anak
tersebut sudah bisa mengelola harta atau belum. Tidak boleh tergesa-gesa dan
langsung memberikan tanpa diketahui apakah anak tersebut mampu atau tidak
mengurusi hartanya. Ini dilakukan agar hartanya bisa terjaga dari mudharat
apapun bentuknya.[1]
Apabila
anak yatim memang sudah bisa mengurus harta, maka tidak apa menyerahkan harta
kepada mereka. Selama wali mengurus anak yatim dan hartanya, tentu saja wali
berhak untuk mendapatkan imbalan, sebagai ganti dari keringat dan jerih
payahnya. Dia boleh mengambil harta anak yatim sesuai dengan standar gaji
pengasuh. Tidak boleh melebihi itu, apalagi mengkorupsinya. Namun, apabila
seorang wali anak yatim itu kaya, kehidupannya serba ada dan tidak kekurangan,
sebaiknya tidak mengambil harta anak yatim meskipun dia mempunyai hak untuk
itu.
Apabila
wali menyerahkan harta kepada anak yatim, Allah memerintahkan untuk
mendatangkan saksi yang menyaksikan bahwa wali telah menyerahkan harta kepada
anak yatim. Tujuan dari hal ini adalah untuk anak yatim dan wali itu sendiri.
Untuk wali supaya dia tidak melakukan kezhaliman apapun dan untuk anak yatim
supaya tidak terjadi kericuhan bila suatu saat nanti dia merasa ada harta yang
belum dikembalikan. Perintah ini adalah wajib. Makna dari perintah di sini
adalah keharusan seorang wali untuk mempersaksikan bahwa amanah yang ada di
pundaknya kini telah pindah kepada pemiliknya di depan dua lelaki atau satu
lelaki dan dua perempuan. Sehingga ketika suatu saat nanti bila si yatim
mengaku bahwa wali belum menyerahkan hartanya, mereka bisa bersaksi. Sebab,
bila tak ada saksi, maka yang dipakai adalah perkataan yatim. Dan cukuplah
Allah sebagai sebaik-baik pengawas dan saksi. Dia tak bisa dibodohi atau
dibohongi. Tak ada syahid yang lebih afdhal dari Allah.[2]
Selanjutnya
firman Allah dalam al-Qur’an Surat An-Nur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ
إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ. (النور ٣٢)
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
Kata
baligh baik didalam al-Qur’an maupun
hadits dan literatur-literatur fiqh tidak menyebutkan secara tegas berapa usia
sebenarnya seseorang bisa dikatakan telah “Baligh”. Seorang anak yang telah baligh
mempunyai hak khiyar (memilih) hadhanah
apakah ingin diasuh dan/atau dipelihara oleh ayahnya atau ibunya.[3]
Masa
mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh
berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan
antara yang berbahaya dan yang bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah
dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ayahnya.[4]
Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menceritakan seorang
wanita yang mengadukan tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak mereka
berdua, yang telah mampu menolong mengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah
menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dan mengadili “Hai anak, ini ibumu
dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya. Lalu
anak itu memilih ibunya”. Sedangkan hal ini batas umurnya dibawah umur 12 tahun
bagi yang belum mumayyiz.
Dampak
yang Ditimbulkan Akibat Adanya Penentuan Batas Masa Hadhanah
Akibat
adanya penentuan batas masa hadhanah maka akan berimplikasi kepada hak hadhanah
itu sendiri. Apabila hadhanah anak telah telah selesai atau telah sampai
batas masa hadhanah maka anak tersebut akan dikembalikan kepada ayah
atau kakeknya. Setelah itu, ayah berhak mengurus anak hingga masa baligh
dan kemudian anak berhak memilih apakah ingin hidup sendiri (mandiri) atau
memilih hidup bersama salah satu dari kedua orangtuanya.[5]
Ada
pengecualian apabila anak memiliki keterbatasan mental dan tidak mampu mengurus
dirinya sendiri, maka anak tersebut diurus oleh ayah untuk mencegah terjadinya
fitnah serta mendidik anak tersebut agar terhindar dari sesuatu yang tidak
diinginkan. Setelah anak baligh, ayah tidak wajib memberikan nafkah
kepadanya, namun tetap boleh mengurus segala keperluannya. Apabila anak yang
memiliki keterbelakangan mental maka ibu yang lebih berhak mengurusnya baik
anak tersebut laki-laki maupun perempuan.[6]
Adapun
mengenai anak perempuan, setelah mencapai batas masa hadhanah, anak
perempuan tersebut ikut bersama ayah atau kakeknya. Namun apabila anak
perempuan baik perawan maupun janda apabila akhlaknya baik, pemikirannya lurus
dan telah bermasa empat puluh tahun maka anak perempuan tersebut diperbolehkan
hidup sendiri. Ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak perempuanya
apabila menolak tinggal bersamanya.[7]
Menurut
Mazhab Maliki, ibu berhak mengasuh anak hingga anak tersebut baligh.
Menurut Mazhab Hanafi, bagi seorang budak perempuan, hak pengasuhan anak akan
berada di tangannya sampai anak menikah, dan itu merupakan sebagai hak
perempuan. Mazhab Syafi'i, apabila seorang anak sudah mencapai 8 tahun, dia
boleh memilih, dengan siapa ia akan hidup, ayah atau ibunya. Sebab pada masa
tersebut, keinginannya untuk menghafal al-Qur'an, tata cara sopan santun dan
tata cara ibadah mulai tumbuh. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara anak
laki-laki dan anak perempuan.[8]
Hadhanah
berhenti apabila anak yang diasuh itu sudah tidak lagi memerlukan pelayanan
dari pengasuhnya, ia sudah dewasa dan dapat berdiri sendiri serta mampu
mengurus kebutuhan pokoknya sendiri serta mampu mengurus kebutuhan pokoknya
sendiri. Jelasnya, ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan mampu berdiri
sendiri, Misalnya sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya. Di
kalangan Mazhab Hanafi, masa asuhan ditetapkan tujuh tahun untuk anak laki-laki
dan sembilan tahun untuk wanita.[9]
Dengan
demikian, dampak yang ditimbulkan akibat adanya penentuan batas masa hadhanah
yaitu hilangnya hak hadhanah orangtua terhadap anak. Anak dianggap dapat
mengurus dirinya sendiri ketika telah mencapai baligh (dewasa).
Kedewasaan seorang anak ditandai ketika anak tidak memerlukan pelayanan
mengenai kebutuhan pokoknya sendiri baik dari pelayanan dari orangtuanya maupun
orang yang mengasuhnya. Maka pembatasan masa hadhanah dalam fiqh
bukanlah untuk menjadikan orang yang mengasuhnya bisa melepaskan hak asuhnya
setelah anak mencapai umur yang di tentukan, akan tetapi bertujuan untuk
menjaga anak.
Analisis
Penulis
Sejauh penelusuran
penulis, pembatasan masa hadhanah menurut Mazhab Maliki terhadap anak
laki-laki sampai baligh berdasarkan ayat al-Qur’an surat An-Nur Ayat 59 serta hadits Nabi saw yang diriwayatkan Abu
Dawud dari 'Aisyah, kemudian hadits riwayat Bukhari dai Ibnu Umar dan
hadits riwayat Abu Dawud dari Atiyyah al-Qurazi. Sedangkan dalil batas masa hadhanah untuk anak perempuan sampai
menikah hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Dari Abdullah
ibn Amru ibn Ash yang mana ungkapan Rasullullah saw “Kamu lebih berhak daripada
ayahnya, selama kamu belum menikah”. Dipahami bahwa seorang anak
perempuan akan terputus masa hadhanahnya jika dia sudah menikah. Menurut analisis penulis, pembatasan masa hadhanah
dalam mazhab Maliki untuk laki-laki sampai baligh dan perempuan sampai
menikah bukanlah untuk menghentikan nafkah hadhanah sampai batas yang
ditentukan tersebut, akan tetapi lebih kepada memberikan pilihan bagi anak
laki-laki untuk diteruskan dalam nafkah dan pengasuhan orang tua atau memilih
untuk hidup mandiri. Jika batas masa baligh yang dijadikan alasan untuk
membatasi nafkah dan pengasuhan orang tua terhadap anak akan memberikan dampak
yang buruk, karena dalam masa yang baru beranjak remaja dia harus berdikari
sendiri tanpa bantuan dari orang tuanya.
Ini menjadi masalah
dalam keberlansungan hidup anak laki-laki, disebabkan pada masa remaja anak
memerlukan orang yang bisa membimbing arah hidupnya, belum lagi dalam konteks
kekinian, yang mana dalam masa setelah baligh anak masih menempuh
pendidikan, jika dia harus bekerja untuk menafkahi dirinya, maka menjadi
masalah terkait dengan ekploitasi anak di bawah umur dan tidak ada pekerjaan
yang bisa meningkatkan taraf hidupnya jika dia tidak melanjutkan pendidikannya,
ini menjadi masalah yang berkelanjutan di masa dia dewasa kelak. Hemat penulis
bahwa batasan masa hadhanah untuk anak laki-laki sampai baligh
merupakan batas minimal orang tua menafkahi anaknya jika dia tidak berkemampuan
dalam menafkahinya, namun jika orang tua si anak mampu menafkahi dirinya, bisa
jadi sampai si anak selesai menamatkan pendidikan tingkat SMU atau sampai sarjana.
Adapun terhadap wanita
dibatasi sampai menikah, ini merupakan masa maksimal orang tua dalam menafkahi
anaknya, dampak yang ditimbulkan akibat dari melepaskan hadhanah terhadap
anak perempuan sebelum menikah adalah rawannya kehidupan anak perempuan tanpa
pengawasan orangtua, baik itu secara lahiriah maupun batiniah.
Ditinjau dari sisi
positif, bahwa penetapan batas masa hadhanah demi melindungi
kemaslahatan bagi kedua belah pihak, baik pihak anak sebagai penerima hadhanah
maupun pihak orangtua sebagai pemberi. Kemaslahatan penerima, bahwa ketika
seorang anak mengetahui dirinya akan terlepas dari hadhanah orangtua
pada masa tertentu, ia akan mempersiapkan diri lebih matang sebelum ia
benar-benar hidup mandiri. Sedangkan kemaslahatan orangtua, bahwa dengan batas masa
tersebut orangtua tidak terbebani dalam waktu yang lama.
Sedangkan sisi negatif
jika dikaitkan dengan kondisi saat ini dimana banyak anak yang sudah baligh
dan mampu bekerja, tetapi masih membutuhkan nafkah dari orangtuanya karena
mereka tidak memiliki pekerjaan dan pengangguran terjadi dimana-mana. Jika
pendapat ini diterapkan, akan terdapat banyak anak yang tidak bisa hidup layak
dan mandiri.
Dengan demikian,
pendapat mazhab Maliki lebih relevan untuk dijadikan acuan, walaupun pendapat
tersebut masih memerlukan perinciannya. Pendapat ini perlu didukung dan
diperinci agar tidak terjadi ketidakpastian hukum tentang anak dan orangtuanya.
Dengan berpegang pada pendapat ini, anak perlu dipersiapkan oleh orangtua untuk
dapat hidup mandiri ketika masanya sudah baligh dan kondisinya sehat,
sehingga orangtua memiliki perencanaan yang matang bagi anak-anaknya.
[1] http://mkitasolo.blogspot.co.id/2011/11/tafsir-surat-nisa-4-ayat-6.html,
diakses pada tanggal 30 Mei 2016.
[2] Abdul Halim Hasan, Tafsir
Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana. 2011), hlm. 197-199.
[3] Korik Agustian, Tinjauan
Analitis Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Tentang Hak Hadhanah dan Batasan Umur
Mumayyiz, hlm. 7, https://docs.google.com/document/d/1-mZ_fkZgeXvBnxBSZqDC_2SAdsX5uBgia-Za6KliPkQ/edit?pref=2&pli=1
diakses tanggal 30 Mei 2016.
[4] Satria Effendi, Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Predana Media, 2005), hal 171.
[5] Muhammad ibn Ali ibn Abdurrahman
al-Hanafi al-Hashkafi, al-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 202), hlm. 257.
[6] Ahmad ibn Ghanim ibn Salim Al-Nafrawi,
al-Fawakih al-Diwani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani, juz 2, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), hlm. 111
[7] Ibid, hlm. 112
[8]
Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Al-Qur'an Wanita 1, (Terjemahan Tim
Penerjemah Pena), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm. 218.
[9] Abdul Manan, Penerapan Hukum
Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm. 427.
Komentar
Posting Komentar