PENDAPAT MAZHAB MALIK DALAM MENENTUKAN BATAS MASA HADHANAH


Berbicara tentang hak mengasuh anak (hadhanah) tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun menyangkut hartanya. Hadhanah merupakan persoalan mengenai mengasuh anak dalam arti mendidik dan menjaga anak untuk masa ketika anak-anak tersebut membutuhkan wanita pengasuh. Mengenai hal tersebut, mayoritas ulama mazhab sependapat bahwa anak tersebut merupakan hadhanahnya kepada ibu. Sedangkan mengenai lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu, syarat-syarat pengasuh, hak-hak atas upah dan batas masa hak asuh para ulama mazhab berbeda pandangan anatara satu dengan yang lainnya.[1] Dalam hal ini, akan menyajikan pandangan dari Mazhab Maliki mengenai batas masa hadhanah.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa batas masa hadhanah bagi anak laki-laki hingga anak laki-laki tersebut baligh, meskipun anak tersebut dalam keadaan kurang akal (gila) ataupun dalam keadaan sakit. Selanjutnya pengasuhan anak dalam keadaan kurang akal (gila) ataupun dalam keadaan sakit diserahkan kepada ayah.[2] Sedangkan batas masa hadhanah bagi anak perempuan adalah hingga anak perempuan tersebut menikah dan telah melakukan hubungan suami istri walaupun ibu anak tersebut kafir. Apabila ibu dari anak tersebut telah bercerai atau ditinggal mati oleh suami ataupun jika masih berstatus sebagai istri maka hadhanah terhadap anak perempuan tersebut adalah hak suami istri. Dengan demikian, batas masa hadhanah bagi anak laki-laki yaitu semenjak dilahirkan hingga baligh, sedangkan batas masa hadhanah untuk anak perempuan hingga menikah.[3]
Penentuan batas masa hadhanah menurut Mazhab Maliki sampai anak tersebut telah baligh bagi laki-laki atau telah menikah bagi perempuan. Adanya perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal masa berakhir hadhanah. Dengan demikian, tidak ada kejelasan terkait batas masa hadhanah secara konkrit. Akan tetapi, tergantung kondisi dari anak tersebut apakah telah dewasa atau telah menikah. Dalil yang digunakan dalam membatasi masa hadhanah adalah dalil umum berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Dalil dari al-Qur’an surat An-Nur Ayat 59
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
Artinya:
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nur: 59)

Dalil hadits Nabi saw.
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: رفع الْقلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن الصبي حتى يحتلم. (رواه أبي داود).[4]
Artinya:
Dari 'Aisyah radliyyallaahu 'anha: Sesungguhnya Rasulallaahi shalallaahu 'alaihi wasallama pernah bersabda: Pena pencatat amal & dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yg tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, anak kecil hingga ia mimpi. (HR. Abu Dawud).

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: عرضت على النبي صلى الله عليه وسلم يوم أحد، وأنا ابن أربع عشرة سنة، فلم يجزني، ولم يرني بلغت، وعرضت عليه يوم الخندق، وأنا ابن خمس عشرة سنة، فأجازني. (رواه البخري)[5]
Artinya:
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, namun beliau belum membolehkanku (untuk ikut berperang) dan belum menganggapku telah dewasa. Aku dihadapkan lagi pada waktu perang khandaq ketika aku berumur 15 tahun dan beliau membolehkanku.” (HR. Bukhari)

عن عطية القرظي قال: عرضت على رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم قريظة فشكوا في فأمر النبي صلى الله عليه أن ينظر إلي هل أنبت بعد فنظروا إلي فلم يجدوني أنبت بعد فألحقوني بالذرية. (رواه ابي داود)[6]
Artinya:
Dari Atiyyah al-Qurazi berkata: aku di usulkan kepada Rasulullah saw (untuk dibunuh) maka para sahabat masalahku kepada beliau, lalu beliau menyuruh para sahabat memeriksaku apakah sudah tumbuh bulu kemaluan. Mereka memeriksaku namun mereka tiddak menemukan bulu sehingga aku digolongkan kepada anak-anak. (HR. Abu Dawud)
Sedangkan dalil batas masa hadhanah untuk anak perempuan sampai menikah antara lain adalah:
1.      Hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
عن عبدالله بن عمرو بن العاص أن امرأة قالت يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن ينتزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنت أحق به ما لم تنكحي. (رواه أبو داود)[7]
Artinya:
Dari Abdullah ibn Amru ibn Ash bahwa seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.” (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan ungkapan Rasulullah “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah”. Hadits di atas dipahami oleh Mazhab Maliki menjadi dalil bahwa seorang anak perempuan akan terputus masa hadhanahnya jika dia sudah menikah, namun jika belum menikah maka ia masih mendapatkan hadhanah dari orangtuanya.[8]
2.      Anak perempuan memerlukan pengawasan dan penjagaan yang lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki. Dengan balighnya anak perempuan tidak bisa mengakibatkan hilangnya hak pengasuhan kepadanya, karena anak perempuan diperuntukkan untuk laki-laki yang akan menikahkannya. Dengan memutuskan hak pengasuhan kepadanya sampai masa baligh tidak dapat menjaga kemaslahatan bagi dirinya sampai dia menikah kelak.
3.      Balighnya anak perempuan tidak berpengaruh dan terputus hak ayah sebagai wali ijbar baginya dalam pernikahan, begitu juga tidak berpengaruh dan terputus hak ayah terhadap pengasuhan anak perempuan.[9]




[1] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Fikih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, (Terj. Masykur A.B., dkk), (Jakarta: Lentera Basritama, 2005), hlm. 415.
[2] Al-Habib ibn Thahir, al-Fiqh al-Malikiyyah wa Adillatuhu, juz 4, (Beirut: Muassasah al-Ma’arif, tt), hlm. 290
[3] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hlm. 418.
[4] Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistāni, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Hudud, Hadits no. 4398, (Damaskus: Dār al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009), hlm. 482.
[5] Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahīh al-Bukhari, Kitab al-Syahadat, Hadits no. 2664, (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 2002), hlm. 651.
[6] Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistāni, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Hudud, Hadits no. 4404, hlm. 482.
[7] Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistāni, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Hudud, Hadits no. 2276, hlm. 259.
[8] Al-Habib ibn Thahir, al-Fiqh al-Malikiyyah wa Adillatuhu, juz 4, hlm. 290.
[9] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis