BIOGRAFI IMAM MALIK BIN ANAS


1. Biografi Imam Malik
Imam Malik memiliki nama lengkap, yaitu Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amr bin al-Haris bin Usman bin Jusail bin Amr bin al-Haris al-Ashbahaniy al-Himyariy, Abu ‘Abdillah al-Madaniy.[1] Imam Malik merupakan salah seorang ulama terkenal dan Imam kota Madinah. Dia dilahirkan pada tahun 93 H (ada juga yang menyebut tahun 90 H), dan wafat pada tahun 179 H dalam usia 87 tahun.[2]

Semasa kecilnya pendidikan Imam Malik berlangsung di Madinah. Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya menghafal Al-Qur’an sejak usia baligh, dan pada masa usia tujuh belas tahun, dia telah menguasai ilmu-ilmu Agama.[3] Dalam bidang hadits, Imam Malik belajar dari pamannya yang bernama Abu Suhail, seorang ulama terkenal pada masa itu.[4] Di samping dari pamannya Imam Malik juga belajar kepada para ulama yang berkunjung ke Madinah, selain dari ulama-ulama besar yang ada di Madinah sendiri.
Imam Malik memiliki banyak guru tempatnya menimba ilmu, bahkan ada yang menyebutkan bahwa dia mempunyai guru sampai 900 orang. Di antara guru-gurunya tersebut adalah Abd Al Rahman Ibn Hurmuz (w. 148), Muhammad Ibn Sihab al-Zuhri (w. 123/ 124 H). Nafi’ Maula ibn Umar (w. 120 H). Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad bin ali al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (148 H). Rabi’ah al-Ra’yi bin Abd al Rahman (w. 136 H). ‘Amir bin Abdillah bin al-Zubair bin al-Awwam, Na’im bin Abdillah al-Majmar, Zaid bin Aslam, ‘Abdillah bin Dinar al-Adawi, Abu ‘Abd al Rahman al-Madini Maula bin Umar (w. 127 H).[5]
Dengan kesungguhan dan ketentuan yang dimiliki oleh Imam Malik dalam menuntut ilmu, serta melalui kontribusi guru-guru yang menjadi sumber ilmu bagi Imam Malik, khususnya dalam bidang hadits dan fikih, Imam Malik kemudian lahir dan muncul sebagai ulama besar, khususnya dalam bidang hadits di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai seorang yang teliti di bidang hadits. Ibn Hibban mengatakan bahwa Imam Malik adalah orang pertama dari kalangan fuqaha di Madinah yang menyeleksi para perawi hadits. Malik menolak perawi yang tidak siqat, dan tidak akan meriwayatkan hadits kecuali yang sahih, dan begitu juga beliau tidak akan meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang siqat, Imam Syafi’i adalah salah seorang murid yang pernah belajar pada beliau.
Selain Imam Syafi’i, masih banyak ulama’ yang menimba ilmu pada beliau, baik dari Mesir dan Andalusia, yang paling popular adalah Abu Abdullah (Abd Al Rahman bin Qasim), Abu Muhammad (Abdullah bin Wahab bin Muslim), Asyhab bin Abdul Azis Al Qaisi, Abdullah bin Abdul Qasim, Ashbagh bin al Faraj, Muhammad bin Abdullah, Muhammad bin Ibrahim, Afrika, yang paling popular adalah Ali bin Ziyad Al Tunisi, Ziyad bin Abd al Rahman al Qurthubi, Isa bin Dinar, Abd al Malik bin Habib, Abd al Salam bin sa’id. Murid-muridnya yang menyebarkan mazhabnya sampai ke Irak dan Hijaz adalah Abu Marwan Abd al Malik bin Abi Salamah, Ahmad bin Mu’addzal bin Ghailan al ‘Abdi, Abu Ishaq isma’il bin Ishaq.[6]
Adapun dari segi kepribadian dan sikapnya, Imam Malik dikenal sebagai seorang yang sederhana dan rendah hati. Sebelum wafatnya Ia banyak meninggalkan warisan ilmu berupa naskah-naskah antara lain Risalah Ila Ibn Wahb fi al-Qadr, Kitab An-Nujum, risalah fi al-Aqdhiyah, tafsir li Gharib Alquran, risalah Ila Lais bin Sa’ad, Kitab Syiar, Kitab al-Manasik, Risalah Ila Abu Hasan, dan Kitab al-Muwaththa’. Pada umumnya kitab di atas tidak lagi diketahui keberadaannya kecuali kitab al-Muwaththa’ merupakan karya Imam Malik yang cukup terkenal bahkan menjadi salah satu kitab hadits yang besar di antara kitab-kitab yang ada.

2. Pemikiran dan Perkembangan Mazhab Malik
Pada awalnya Imam Malik mencurahkan studinya pada Ilmu Hadits (riwayat), fatwa sahabat ada tabi’in. selanjutnya, aspek-aspek ini menjadi pilar pokok bagi bangunan fikihnya. Selain itu, ia juga mengarahkan perhatiannya pada studi ilmu-ilmu keislaman lain. Dalam studi fikih, ia mengarahkan perhatiannya pada fikih ra’yu (penalaran) ahli Madinah yang antara lain diterimanya dari Yahya bin Sa’id al-Ansari, Ahli hadits dari kalangan tabi’in. Corak ra’yu di Madinah adalah pemaduan antara nash-nash dan berbagai maslahat yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan Atsar (sikap dan tingkah laku para sahabat), yakni metode Umar bin Khattab dalam prinsip maslahat. Oleh sebab itu, ia lebih dekat dengan pendapat yang menyerupai atsar dan yang semakna dengannya.[7]
Imam Malik juga menyelenggarakan pengajarannya di masjid Nabi Saw. (Masjid Nabawi) dan memiliki tempat yang pernah dipakai Umar bin Khattab. Dia menyelenggarakan dalam pengajarannya, yaitu khusus yang sudah terjadi. Ia tidak memberikan fatwa terhadap kasus yang belum terjadi. Selain itu, Imam Malik tidak memberikan fatwa yang berkaitan dengan wewenang hakim dan masalah pengadilan. Dalam menanggapi aneka ragam pemikiran yang timbul dalam masalah kalam (aqidah), Imam Malik selalu menempuh jalan fikih dan hadits, yaitu keharusan mengikuti sunnah dan metode yang ditempuh oleh ulama salaf terdahulu (gerakan salafiyah).
Karya Imam Malik yang terkenal yaitu kitab al-Muwaththa’, yang merupakan kitab hadits pertama yang disusun. Al-Muwaththa’ juga merupakan kitab hadits dan fikih sekaligus yang di dalamnya dihimpun hadits-hadits dalam tema-tema fikih yang pernah dibahas Imam Malik, seperti praktik atau amalan penduduk Madinah, pendapat sahabat serta tabi’in yang tidak sempat ditemuinya.[8]
Silsilah sanad hadits dari Imam Malik dipandang sebagai “silsilah emas” atau “silsilah az-zahab” (rangkaian perawi hadits yang dianggap paling sahih). Pada masa sebelum Imam Malik, periwayatan hadits terbatas pada hafalan, karena para ulama belum banyak mengenal penulisan dan pembukuan.
Adapun mazhab Maliki antara lain tersebar di wilayah Hijaz. Di daerah ini kedudukan mazhab Maliki menjadi kuat setelah Ibnu Farhun menjadi hakim pada Tahun 793 H. Mazhab ini masuk ke Mesir berkat usaha murid-muridnya, seperti Abdurrahman bin Kasim, dan Usman bin Hakam, sampai datangnya mazhab Syafi’i.
Di Tunisia tersebar juga mazhab Maliki, tetapi kemudian dikalahkan oleh mazhab Hanafi pada masa Syekh Asad al-Fatur al-Tunisia (seorang syekh pemberi fatwa pada masa pemerintahan Ziaduullah I dari dinasti Aglabid). Kemudian mazhab Maliki bangkit lagi pada masa Mu’iz bin Hadits. Sejak saat itu penduduk di wilayah magribi menganut mazhab Maliki. Mazhab ini juga berhasil menguasai wilayah Andalusia, terutama pada masa Yahya bin Yahya al Andalusia menjadi hakim di sana. Akan tetapi, mazhab ini kurang tersebar di wilayah Islam bagian timur.[9]

B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik
Imam Malik tidak pernah menyusun dasar-dasar mazhab yang dibangunnya dalam sebuah kitab, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, yang membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi sumbernya dalam menggali hukum dan menerangkan sebab-sebab yang menyebabkan dasar itu dijadikan sebagai hujjah, serta kedudukan masing-masing dasar itu dalam teori istidlal.[10]
Oleh karena itu, untuk mengetahuinya harus dilakukan penelusuran terhadap karya-karya besar beliau yang ada di kalangan kita, di antaranya kitab al-Muwaththa’ dan kitab fatwa beliau al-Mudawwanah al-Kubra’. Dalam kitab al-Muwaththa’ diterangkan sebab-sebab Imam Malik menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama. Selain itu, Imam Malik juga menerangkan alasannya menggunakan ijma’ ahl Madinah sebagai dasar hukum dan dasar penggunaan qiyas untuk menetapkan hukum. Qadi al-Iyad dalam kitabnya al-Madarik mengatakan dasar yang dijadikan sumber dalam menetapkan hukum adalah al kitab, al sunnah, amal ahl al-Madinah dan al qiyas.[11] Imam al Syathibi mengklaim bahwa ada empat macam dasar mazhab Maliki dalam menetapkan hukum, yaitu al kitab, al sunnah, ijma’ dan al ra’yu. Adapun qaul al sahabah dimasukkan dalam kategori al sunnah, sementara maslahah mursalah, sad al zariah, ‘urf, istihsan dan istishab dimasukkan dalam kategori al ra’yu.
Adapun penjabaran masing-masing dasar sebagai berikut:[12]
1)      Al-Qur’an
Imam Malik memandang al-Qur’an sebagai pokok pangkal hukum syari’at, pegangan umat Islam yang pertama. Al-Qur’an dalam pandangan Imam Malik adalah lafadz dan makna. Karenanya tidak boleh terjemahan al-Qur’an digunakan dalam shalat. Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan zahir nass al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-mukhalafah yang dinamakan dalil dan mafhum al-muwafaqah yang dinamakan fahwa dengan memperhatikan illat-nya.

2)      As-Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik melakukan cara yang dilakukan dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki pen-ta’wilan maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah sekalipun jelas, maka yang dipegang adalah makna zahir al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh as-Sunnah tersebut dikuatkan oleh Ijma’ Ahl al-Madinah, maka beliau lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir al-Qur’an (sunnah yang dimaksud di sini adalah sunnah mutawatir dan masyhur).[13]
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa kedudukan as-sunnah terhadap al-Qur’an ada tiga:[14]
a)         Men-taqrir hukum atau mengkokohkan hukum al-Qur’an.
b)        Menerangkan apa yang dikehendaki al-Qur’an, men-taqyid kemutlakannya dan menjelaskan ke-mujmalan-nya.
c)         Sunnah dapat mendatangkan hukum baru yang tidak disebut dalam al-Qur’an.

3)      Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-madinah ini ada beberapa macam di antaranya ijma’ ahl al-madinah yang asalnya dari al-naql hasil dari mencontoh Rasulullah SAW. Bukan dari ijtihad ahl al-madinah seperti ukuran mud, penentuan tempat atau tempat dilakukannya amalan rutin. Di kalangan Mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan. Ijma’ ahl al-madinah ini ada beberapa tingkatan yaitu: [15]
a.         Kesepakatan ahl al-madinah yang asalnya adalah al-Naql.
b.        Amalan ahl al-madinah sebelum terbunuhnya ‘Usman bin ‘Affan. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl almadinah waktu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasul.
c.         Amalan ahl al-madinah itu dijadikan pendukung, pen-tarjih atas dua dalil yang saling bertentangan.
d.        Amalan ahl al-madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW.

4)      Fatwa Sahabat
Yang dimaksud sahabat di sini adalah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dari fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas dan adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum.

5)      Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah Saw., jika khabar ahad ini bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal masyarakat Madinah, sekalipun hanya dalil dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qat’i. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten, kadang-kadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah maka hal itu dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad bukan berasal dari Rasulullah Saw. Dengan demikian, khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi menggunakan qiyas dan maslahah.

6)      Al-Istihsan
Menurut Mazhab Maliki, al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari mudarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah almursalah.

7)      Al-Maslahah al- Mursalah
Al-Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash, dengan demikian maka al-maslahah al-mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syar’iat diturunkan. Asas atau pondasi fikih Islam adalah kemaslahatan umat, tiap-tiap maslahah dituntut oleh syara’ dan tiap-tiap yang memberi mudarat dilarang oleh syara’. Ini adalah dasar yang disepakati ulama. Mazhab Maliki menghargai maslahah dan menjadikannya sebagai salah satu dasar yang berdiri sendiri bahkan Mazhab Maliki kadang-kadang men-tahksiskan al-Qur’an dengan dasar maslahah.

8)      Sadd al Dzarai’
Dzari’ah menurut bahasa bermakna wasilah (perantara) dan makna sadd al dzari’ah ialah menyumbat wasilah.[16]100 Mazhab Maliki menggunakan sadd az-zari’ah sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurut golongan ini semua jalan atau sebab yang menuju kepada haram atau terlarang hukumnya haram atau terlarang, dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.

9)      Istishab
Mazhab Malik menjadikan Istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi, sesuatu yang telah diyakini tersebut hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya. Misalnya, seorang yang telah yakin sudah berwudhu, kemudian datang keraguan apakah sudah batal atau belum maka hukum yang dimilikinya adalah belum batal wudhunya.[17]

10)  ‘Urf dan Adat Kebiasaan
‘Urf adalah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya, yaitu perkara yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya atau pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang oleh satu orang ataupun kelompok. Golongan Malikiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan dengan ‘urf, disamping itu golongan Malikiyah men-takhsiskan umum dan men-taqyid-kan mutlak dengan ‘urf.


[1] Malik bin Anas, Al Muwaththa’, op. cit., hlm. 5.
[2] Ibid.
[3] Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hlm. 99.
[4] Abd. Rahman Idho’i, Shariah The Islamic Law, terj. Basri Iba dan Wadi Maskuri, cet. 1 Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 145.
[5] Malik bin Anas, Al Muwaththa’, op. cit, hlm. 5.
[6] Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islam wa Adillatuhu, jld. 1, Damsiq: Dar Al Fikr, cet. 7, 2006, hlm. 45-48.
[7] Malik bin Anas, Al Muwaththa’, op. cit., hlm. 15.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] TM. Hasbi al Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hlm. 171.
[12] Ibid.
[13] Huzaimah Tahida Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 106.
[14] TM. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit, hlm. 200-201.
[15] Ibid.
[16] TM.Hasbi al Shidieqy, op. cit., hlm. 221.
[17] Huzaimah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 112.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis