AGAMA: PENGERTIAN, SEJARAH, KLASIFIKASI
A.
Pengertian
Agama
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua
dengan umur manusia.
Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan
aktualisasi dari kepercayaan tentang
adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau
sebaliknya, agama yang ajaranajarannya teratur
dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan,
membangun sistem nilai kepercayaan,
upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman
dan tentram.1
Karena inti pokok dari semua agama adalah
kepercayaan tentang adanya
Tuhan, sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka agama-agama
yang dianut manusia di dunia
ini pun bermacam-macam pula. Karena kondisi seperti inilah Mukti Ali mengatakan:
Barangkali tidak ada kata yang paling sulit
diberi pengertian dan definisi
selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah
soal batini dan subyektif, juga sangat
individualistik…. Alasan kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara
begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama… maka dalam
membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit
memberikan arti kalimat agama itu…. Alasan ketiga, bahwa konsepsi tentang agama
akan dipengaruhi oleh tujuan orang
yang memberikan pengertian agama itu.2
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat
perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal
dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak
dan “gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.3
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan
“diin” (dari bahasa Arab)
dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa
Belanda), die religion, (bahasa Jerman).
Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang,
balasan, kebiasaan.4
Meskipun terdapat perbedaan makna secara
etimologi antara diin dan agama,
namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan “agama”.5 Kata
agama selain disebut dengan kata
diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara' itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu
wajib dipatuhi, maka disebut ad-din
dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan,
maka dinamakan syara.6
Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya
itu maka terdapat bermacam-macam
definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan delapan
macam definisi agama yaitu:
1.
Pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.
Pengakuan
terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3.
Mengikatkan
diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri
manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia.
4.
Kepercayaan
pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5.
Suatu
sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6.
Pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber
pada suatu kekuatan gaib.
7.
Pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang
terdapat dalam alam sekitar
manusia.
8.
Ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.7
B.
Sejarah
Agama
Masalah asal mula dan inti dari suatu unsur
universal seperti religi atau agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia
percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan
masalah mengapakah manusia melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang
beraneka warna untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah
menjadi obyek perhatian para ahli pikir sejak lama. Adapun mengenai soal itu
ada berbagai pendirian
dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :
a.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
b.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang
tidak dapat diterangkan dengan
akalnya.
c.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada
dalam jangka waktu hidup
manusia.
d.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian yang
luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
e.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau
emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa
kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
f.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat
suatu firman dari Tuhan.
1.
Teori
Jiwa
“Teori Jiwa”, pada mulanya berasal dari seorang
sarjana antropologi Inggris,
E.B.Tylor, dan diajukan dalam kitabnya yang terkenal berjudul Primitive Cultures (1873). Menurut Tylor, asal
mula agama adalah kesadaran manusia
akan faham jiwa. Kesadaran akan faham itu disebabkan karena dua hal, ialah :
a.
Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu makhluk pada suatu
saat bergerak-gerak, artinya hidup;
tetapi tak lama kemudian makhluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar
bahwa gerak dalam alam itu,
atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang ada di samping tubuh jasmani dan
kekuatan itulah yang disebut jiwa.
b.
Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain
daripada tempat tidurnya. Demikian manusia mulai membedakan
antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain
tempat. Bagian lain itulah yang disebut
jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan
keyakinan di antara manusia bahwa
jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa
masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu
manusia tidur dan waktu manusia jatuh pingsan. Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi
melayang, maka tubuh berada didalam keadaan yang lemah. Tetapi kata Tylor,
walaupun melayang, hubungan jiwa
dengan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang makhluk manusia mati, jiwa
melayang terlepas, dan terputuslah
hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu tampak nyata, kalau
tubuh jasmani sudah hancur berubah debu di dalam tanah atau hilang berganti abu
di dalam api upacara pembakaran mayat; maka jiwa yang telah merdeka terlepas
dari jasmaninya itu dapat berbuat semau-maunya. Alam semesta penuh dengan
jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Tylor tidak disebut
soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau mahluk halus. Demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya
akan adanya jiwa menjadi
kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya
manusia percaya bahwa mahluk-mahluk
halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk-makhluk halus tadi, yang
tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, yang bertubuh halus sehingga
tidak dapat tertangkap panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang
tak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam
kehidupan manusia sehingga menjadi obyek daripada penghormatan dan penyembahannya,
dengan berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban.
Agama serupa itulah yang disebut oleh Tylor
animism. Pada
tingkat kedua di dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan oleh
adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa
dan gejala alam itu. Sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke
laut, gunung yang meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu,
jalannya matahari di angkasa, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan sebagainya,
semuanya disebabkan oleh jiwa alam. Kemudian jiwa
alam tadi itu dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia seperti makhluk-makhluk dengan
suatu pribadi, dengan kemauan dan pikiran. Makhluk-makhluk halus
yang ada di belakang gerak alam serupa itu disebut dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga di dalam evolusi religi,
bersama-sama dengan timbulnya
susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia, timbul pula kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup
di dalam suatu susunan kenegaraan,
serupa dengan di dalam dunia makhluk manusia. Demikian ada pula suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari
raja dewa sebagai yang tertinggi,
sampai pada dewa-dewa yang terendah. Suatu susunan serupa itu lambat laun akan
menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya
merupakan penjelmaan saja dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibat dari
kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama
monotheisme.8
2.
Teori
Batas Akal
Teori Batas Akal”, berasal dari sarjana besar
J.G. Frazer, dan diuraikan olehnya
dalam jilid I dari bukunya yang terdiri dari 12 jilid berjudul The Golden Bough (1890). Menurut Frazer, manusia
memecahkan soal-soal hidupnya
dengan akal dan sistem pengetahuannya; tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin maju
kebudayaan manusia, makin luas batas
akal itu; tetapi dalam banyak kebudayaan, batas akal manusia masih amat sempit. Soal-soal hidup yang tak dapat
dipecahkan dengan akal dipecahkannya
dengan magic, ialah ilmu gaib.
Magic menurut Frazer adalah segala perbuatan
manusia (termasuk abstraksi-abstraksi dari perbuatan) untuk mencapai suatu
maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di
belakangnya. Pada mulanya kata Frazer,
manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan
pengetahuan akalnya. Agama waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat
laun terbukti bahwa banyak dari perbuatan magicnya itu tidak ada hasilnya juga,
maka mulailah ia percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang
lebih berkuasa daripadanya, maka mulailah ia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam itu. Demikianlah timbul agama.
Menurut Frazer memang ada suatu perbedaan yang
besar di antara magic
dan religion. Magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai
dan mempergunakan kekuatan
dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religion adalah segala sistem perbuatan manusia
untuk mencapai suatu maksud
dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti ruh, dewa dsb.,
yang menempati alam. Kecuali
menguraikan pendiriannya tentang dasar-dasar religi, Frazer juga membuat dalam karangannya The Golden Bough
tersebut, suatu klarifikasi daripada
segala macam perbuatan ilmu gaib kepercayaan dalam beberapa tipe ilmu gaib.9
3.
Teori
Krisis dalam Hidup Individu
Pandangan ini berasal antara lain dari
sarjana-sarjana seperti M. Crawley
dalam bukunya Tree of Life (1905), dan diuraikan secara luas oleh A. Van Gennep dalam bukunya yang terkenal, Rites
de Passages (1909). Menurut
sarjana-sarjana tersebut, dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek
perhatiannya, dan yang sering amat
menakutinya. Betapapun bahagianya hidup orang, ia selalu harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis
dalam hidupnya. Krisis-krisis itu yang terutama berupa bencana-bencana sakit
dan maut, tak dapat dikuasainya
dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau kekayaan harta benda yang mungkin dimilikinya. Dalam jangka waktu
hidup manusia, ada berbagai masa di mana kemungkinan adanya sakit dan maut itu
besar sekali, yaitu misalnya pada masa kanak-kanak, masa peralihan dari usia
muda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Dalam hal
menghadapi masa krisis
serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya. Perbuatan-perbuatan
serupa itu, yang berupa
upacara-upacara pada masa-masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari agama dan bentuk-bentuk agama yang
tertua.10
4.
Teori
Kekuatan Luar Bisa
Pendirian ini, yang untuk mudahnya akan kita
sebut “Teori Kekuatan Luar Biasa”,
terutama diajukan oleh sarjana antropologi bangsa Inggris, R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion
(1909). Sarjana ini mulai menguraikan
teorinya dengan suatu kecaman terhadap anggapan-anggapan Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia
terhadap jiwa. Menurut Marett kesadaran
tersebut adalah hal yang bersifat terlampau kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru ada pada
tingkat-tingkat permulaan dari kehidupannya
di muka bumi ini. Sebagai lanjutan dari kecamannya terhadap teori animisme Tylor itu, maka Marett
mengajukan sebuah anggapan baru. Katanya,
pangkal dari segala kelakuan keagamaan ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai
biasa di dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa
itu berasal, dan yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya
kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia di
dalam alam sekelilingnya, disebut Supernatural.
Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa
yang luar biasa itu dianggap akibat
dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa, atau kekuatan sakti. Adapun
kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal dan peristiwa-peristiwa
yang luar biasa tadi, dianggap oleh
Marett suatu kepercayaan yang ada pada makhluk manusia sebelum ia percaya kepada makhluk halus dan ruh; dengan
kata lain, sebelum ada kepercayaan
animisme. Itulah sebabnya bentuk agama yang diuraikan Marett itu sering disebut praanimisme.11
5.
Teori
Sentimen Kemasyarakatan
“Teori Sentimen Kemasyarakatan”, berasal dari
seorang sarjana ilmu filsafat
dan sosiologi bangsa Perancis bernama E. Durkheim, dan diuraikan olehnya dalam bukunya Les Formes Elementaires
de la Vie Religieuse (1912). Durkheim
yang juga menjadi amat terkenal dalam kalangan ilmu antropologi budaya, pada pangkalnya mempunyai suatu celaan
terhadap Tylor, serupa dengan
celaan Marett tersebut di atas. Beliau beranggapan bahwa alam pikiran manusia
pada masa permulaan perkembangan kebudayaannya itu belum dapat menyadari suatu
faham abstrak “jiwa”, sebagai suatu substansi yang berbeda dari jasmani.
Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum dapat
menyadari faham abstrak yang lain seperti perubahan dari jiwa menjadi ruh
apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Celaan terhadap teori
animisme Tylor itu termaktub dalam permulaan buku Les
Formes Elementaires de la Vie Religieuse, tempat beliau mengumumkan suatu teori yang baru tentang dasar-dasar agama
yang sama sekali berbeda dengan
teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya.
Teori itu berpusat kepada beberapa pengertian
dasar, ialah :
a. Makhluk
manusia pada waktu ia pertama kali timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas religi itu bukan karena
ia mempunyai bayangan-bayangan
abstrak tentang jiwa atau roh dalam alam pikirannya, yaitu suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan
gerak di dalam alam, melainkan
karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di dalam alam jiwa manusia dahulu, karena
pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b. Sentimen
kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan
yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya terhadap
masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia di mana ia hidup.
c. Sentimen
kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya
merupakan pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak
selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka
sentimen kemasyarakatan itu
menjadi lemah dan latent, sehingga perlu dikobarkan kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan kembali sentimen
kemasyarakatan adalah dengan
mengadakan suatu kontraksi masyarakat artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam
pertemuan-pertemuan raksasa.
d. Emosi
keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan suatu obyek tujuan. Sifat apakah
yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi obyek daripada emosi keagamaan
bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan sifat
megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum dalam
masyarakat. Obyek itu ada karena salah satu peristiwa kebetulan dalam sejarah kehidupan sesuatu masyarakat di masa lampau
menarik perhatian banyak orang di
dalam masyarakat. Obyek yang menjadi tujuan emosi keagamaan itu juga mempunyai
obyek yang bersifat keramat, bersifat sacre, berlawanan dengan obyek lain yang
tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu, ialah obyek yang
tak-keramat, yang profane.
e. Obyek
keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli benua Australia
misalnya, obyek keramat, pusat
tujuan daripada sentimen-sentimen kemasyarakatan, sering berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi
sering juga obyek keramat itu berupa
benda. Oleh para sarjana obyek keramat itu disebut totem. Totem itu (jenis binatang atau obyek lain)
mengonkretkan prinsip totem yang ada di
belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat, berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian tersebut pertama di atas,
ialah emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan, adalah menurut Durkheim,
pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti atau essence daripada tiap
religi, sedangkan ketiga pengertian lainnya ialah kontraksi masyarakat,
kesadaran akan obyek keramat berlawanan dengan obyek tak-keramat, dan totem
sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada inti.
Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem
akan menjelmakan (a) upacara,
(b) kepercayaan dan (c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi
di dalam sesuatu masyarakat yang
tertentu. Susunan tiap
masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang berbeda-beda ini telah menentukan adanya
beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaannya
tampak lahir pada upacara-upacara, kepercayaan dan
mitologinya. 12
6.
Teori
Wahyu Tuhan
“Teori Firman Tuhan”, pada mulanya berasal dari
seorang sarjana antropologi
bangsa Austria bernama W. Schmidt. Sebelum Schmidt sebenarnya ada sarjana lain yang pernah
mengajukan juga pendirian tersebut. Sarjana
lain ini adalah seorang ahli kesusasteraan bangsa Inggris bernama A. Lang. Sebagai
ahli kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat dari banyak suku bangsa di
dunia. Di dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering mendapatkan adanya seorang
tokoh dewa yang oleh suku-suku
bangsa bersangkutan dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan penjaga
ketertiban alam dan kesusilaan. Kepercayaan
kepada seorang tokoh dewa serupa itu menurut Lang terutama tampak pada suku-suku bangsa yang amat rendah
tingkat kebudayaannya, dan yang
hidup dari berburu atau meramu, ialah misalnya suku-suku bangsa berburu di daerah Gurun Kalahari di Afrika
Selatan, yang biasanya disebut orang
Bushman, suku-suku bangsa penduduk asli benua Australia, suku-suku bangsa Negrito di daerah hutan rimba di Kamerun
dan Kongo, Afrika Tengah, penduduk
kepulauan Andaman, penduduk pegunungan Tengah di Irian Timur, dan juga beberapa suku bangsa penduduk asli
benua Amerika Utara. Berbagai hal membuktikan bahwa kepercayaan itu tidak
timbul sebagai akibat pengaruh agama Nasrani atau Islam, maka kepercayaan tadi
malahan tampak seolah-olah terdesak ke belakang oleh kepercayaan kepada
makhluk-makhluk halus, dewa-dewa alam, ruh, hantu, dan sebagainya. A. Lang
berkesimpulan bahwa kepercayaan
kepada dewa tertinggi adalah suatu kepercayaan yang sudah amat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi
manusia yang tertua. Adapun pendiriannya
itu diumumkannya dalam beberapa karangan, antara lain dalam buku yang berjudul The Making of Religion
(1898).
Anggapan A. Lang terurai di atas, tak lama
kemudian diolah lebih lanjut
oleh W.Schmidt. Tokoh besar dalam kalangan ilmu antropologi ini adalah guru besar pada suatu perguruan tinggi
yang pusatnya mula-mula di Austria,
kemudian di Swiss, untuk mendidik calon-calon pendeta penyiar agama Khatolik dari organisasi Societas Verbi
Divini. Di dalam suatu kedudukan serupa itu maka mudah dapat dimengerti
bagaimana anggapan akan adanya kepercayaan kepada dewa-dewa tertinggi di alam
jiwa bangsa-bangsa yang masih amat rendah tingkat kebudayaannya, adalah suatu anggapan
yang amat cocok dengan dasar-dasar cara berpikir W. Schmidt dan juga dengan
filsafatnya sebagai sorang pendeta agama Khatolik.
Di dalam hubungan itu beliau percaya bahwa
agama itu berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia pada
masa permulaan ia muncul di muka bumi ini. Karena itulah adanya tanda-tanda
daripada suatu kepercayaan kepada dewa pencipta, justru pada bangsa-bangsa yang
paling rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang paling tua menurut Schmidt),
memperkuat anggapannya mengenai adanya titah Tuhan asli, atau Uroffenbarung
itu. Demikianlah kepercayaan yang asli dan bersih kepada Tuhan, atau kepercayaan
Urmonotheismus tadi itu malahan ada pada bangsa-bangsa yang tua yang hidup pada
zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Di dalam zaman kemudian,
ketika makin maju kebudayaan manusia, maka makin kaburlah kepercayaan asli
terhadap Tuhan; makin banyak kebutuhan manusia, makin terdesaklah kepercayaan
asli itu oleh pemujaan kepada makhluk-mahluk halus, ruh, dewa, dan sebagainya.
Anggapan Schmidt sebagaimana diuraikan di atas
dianut oleh beberapa orang sarjana yang untuk sebagian besar bekerja sebagai
penyiar agama Nasrani dari organisasi Societas Verbi Divini. Di samping
menjalankan tugas sebagai penyiar agama Nasrani di dalam berbagai daerah di
muka bumi, mereka melakukan penelitian-penelitian antropologi budaya
berdasarkan atas anggapan-anggapan pokok daripada guru mereka. Demikian antara
lain, sarjana-sarjana itu mencari di dalam
kebudayaan-kebudayaan di daerah mereka
masing-masing akan adanya tanda-tanda suatu kepercayaan kepada dewa tertinggi.13
Beberapa manusia dalam menghayati dan
mengamalkan ajaran agamanya
memberikan penekan-penekanan khusus pada aspek-aspek tertentu dari agamnya itu. Sebagian ada yang menekankan
pada penghayatan mistik, ada yang
menekankan pada penalaran logika, penekanan pada aspek pengamalan ritual, dan ada juga yang menekankan
pada aspek pelayanan (amal
shalih). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagaimana berikut ini:
1.
Cara
mistik. Dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan
pada pendekatan mistikal daripada
pendekatan yang lain. Cara mistik seperti ini dilakukan oleh para sufi (pengikut tarekat) dan pengikut kebatinan
(kejawen). Yang dimaksud dengan
cara mistik itu sendiri adalah suatu cara beragama pengikut agama tertentu yang lebih menekankan pada aspek
pengamalan batiniah (esoterisme)
dari ajaran agama, dan mengabaikan aspek pengamalan formal, struktural dan lahiriyah (eksoterisme).
Pada setiap pengikut agama apapun
agamanya baik agama besar maupun agama lokal, selalu memiliki kelompok pengikut yang memberi perhatian besar
pada cara beragama mistik
ini. Di kalangan pengikut agama Islam dikenal dengan sufisme, dikalangan umat Katholik dikenal dengan hidup
kebiaraan, begitu pula dikalangan
Hindu maupun Budhisme. Beragama dengan cara mistik sangat digemari oleh
masyarakat berkebudayaan tertentu, yang secara kultur dominan, mereka
menekankan pada hal-hal mistik tersebut, seperti sebagian masyarakat yang
berkebudayaan jawa.14 Kebudayaan jawa adalah tipe kebudayaan yang menekankan
pada hidup kerohanian bersifat esoteris dan menjunjung tinggi harmonitas hidup
sehingga kadangkala menyebabkan terjadinya sindritisme.15
2.
Cara
penalaran, di samping penghayatan dan pengamalan agama cara mistik, ada pula cara penalaran, yaitu cara
beragama dengan menekankan pada
aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut aliran ini, bagaimana agama itu harus dapat menjawab
masalah yang dihadapi penganutnya
dengan jawaban yang masuk akal. Beragama tidak selamanya harus menerima begitu
saja apa yang didoktrinkan oleh pimpinan agama, mereka menyenangi interpretasi
yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci atau buku-buku agama lainnya.
Dari tradisi Islam umpamanya, ada kelompok yang
disebut mutakalimin atau para
ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi Islam dengan mamakai dalil tekstual (naqli) dan dalil
rasional (aqli).
3.
Cara
amal shalih. Cara beragama yang ketiga ini lebih menekankan pengahayatan dan pengamalan agama pada aspek
peribadatan, baik ritual formal
maupun aspek pelayanan sosial keagamaan. Menurut kelompok ini, yang terpenting dalam beragama adalah
melaksanakan amal shalih, karena indikator
seseorang beragama atau tidak ialah dalam pelaksanaan segala amalan lahir dari agama itu sendiri. Tuhan
memasukkan seorang manusia ke dalam
surga adalah karena amal shalih orang tersebut yang dilakukan ketika ia masih hidup. Tidak ada artinya
pengakuan dan iman dalam hati kalau
tidak dinyatakan dalam amal perbuatan fisik dan perwujudan materi. Dalam agama Islam, kelompok ini lebih banyak
mengikuti ajaran fiqih dan hukum-hukum
agama mengenai tata cara amal shalih daripada amal yang lainnya.16
4.
Cara
sinkretisme. Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang
berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya
adalah suatu gerakan
di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan
bertentangan. Tercatat pada
abad ke-2 dan ke-4 aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan agama-agama penyembah berhala. Selanjutnya pada
masa renaisan muncul
usaha untuk menyatukan antara gereja Katholik Timur dan Katholik Barat. Pernah juga muncul gerakan
untuk mengawinkan antara aliran
lutherian dengan aliran-aliran lain dalam Protestan. Sementara itu, dalam bidang filsafat pernah muncul usaha untuk
mengharmoniskan pertentangan
antara pemikiran Plato dan Aritoteles.17
Cara sinkretisme adalah cara-cara seseorang
dalam menghayati dan mengamalkan agama dengan memilih-milih ajaran tertentu
dari berbagai agama untuk dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri
atau untuk diajarkan kepada orang lain. Dalam prakteknya cara beragama sinkretisme
ini dapat terjadi pada bidang kepercayaan, namun Tuhan umpamanya dikombinasikan
“Gustiallah” atau “Allah Sang Hyang widi”, dapat juga dalam pelaksanaan ritual,
dalam berdoa, dalam peralatan yang dipakai pada upacara keagamaan dan
sebagainya.18
C.
Klasifikasi
Agama
Ada perbagai klasifikasi yang dibuat para ahli
tentang agama19 Ahmad Abdullah
al-Maqdisi di dalam bukunya Living Religions of the world menulis: "Religion can also be classified on the
following grounds:
(1) Revealed
and non-revealed;
(2) Missionary
and non-missionary;
(3)
Geoghraphical-racial
and universal.20
1.
Revealed
and non Revealed Religions
Adapun yang dimaksud dengan "revealed
religions" (agama wahyu) ialah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan,
kepada para Rasul-rasul-Nya dan kepada Kutab-kitab-Nya serta pesannya untuk
disebarkan kepada segenap umat manusia. Sedangkan sebaliknya "non revealed
religions" agama yang
tidak memandang essensial penyerahan manusia kepada tata-aturan Ilahi. Yang dimaksud revealed religion, menurut
AL-Masdoosi, ialah Yudaisme,
Kristen dan Islam. Selebihnya termasuk pada non-revealed religions. Agama-agama wahyu bersangkutan
dengan rasa Semitik. Sedangkan
agama-agama bukan wahyu tidak ada sangkutan apa-apa dengan ras Semitik.
Di bawah ini dikemukakan perbedaan antara
agama-agama wahyu dengan
agama-agama bukan wahyu, menurut al-Masdoosi:
1.
Agama
wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan sedangkan agama bukan wahyu tidak harus demikian;
2.
Agama
wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak;
3.
Bagi
agama wahyu maka sumber utama tuntunan dan ukuran bagi baik dan buruk adalah
kitab suci yang diwahyukan, sedangkan bagi agama bukan-wahyu kitab suci yang
diwahyukan tidak essensial;21
4.
Semua
agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu, kecuali paganisme,
lahir di luar area termaksud;
5.
Agama
wahyu timbul di daerah-daerah yang historis di bawah pengaruh ras Semitik, walaupun kemudian agama termaksud
berhasil menyebar ke luar
area pengaruh Semitik. Sebaliknya, agama bukan wahyu lahir di luar area Semitik termaksud;
6.
Sesuai
dengan ajaran dan, atau historisnya maka agama wahyu adalah agama missionary. Agama bukan wahyu bukanlah
agama missionary;
7.
Ajaran
agama wahyu tegas dan jelas. Agama bukan wahyu adalah kabur dan sangat elastik;
8.
Ajaran
agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya. Para pemeluknya berpegang,
baik kepada aspek duniawi
(the worldly) maupun aspek spiritual daripada hidup ini. Tidaklah demikian halnya dengan agama bukan wahyu.
Taoisme menitik beratkan kepada
aspek hidup spiritual, sementara itu pada Confusianisme lebih menekankan pada aspek duniawi.
2.
Agama
Missionary dan Agama non-Missionary
Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching
of Islam antara lain menulis: ver since Professor Max Muller delivered his lecture
in Westmenster Abbey, on the
day of intercession for mission, in December 1873, it has been a literary common place, that the six great
religions of the world may be devided
into missionary and non missionary (pada hari mata rantai untuk misi desember tahun 1873, telah dinyatakan dengan
jelas bahwa enam agama besar di dunia
mungkin bisa dibagi menjadi agama, misi, agama misionaris dan bukan misionaris.22
Sir T.W. Arnold memasukkan Buddhisme, Kristen
dan Islam pada golongan
agama missionary. Sedangkan Yudaisme, Brahmanisme dan Zoroasterianisme dimasukkan pada golongan non
missionary. Sehubungan
dengan masalah termaksud, al-Masdoosi antara lain memberi
catatan, bahwa menurut pendapatnya baik agama Nasrani maupun Buddhisme, ditinjau dari segi ajarannya yang
asli, bukanlah tergolong agama missionary,
sebagaimana juga agama-agama lainnya (selain Islam). Jadi menurut kesimpulan al-Masdoosi hanya Islam
sajalah ajarannya yang asli merupakan
agama missionary. Namun dalam perkembangan ternyata kemudian bahwa baik agama Nasrani maupun
Buddhisme menjadi agama missionary.
3.
Klasifikasi
Rasial Geografikal
Ditinjau dari segi rasial dan geografikal agama-agama di dunia
ini dapat dibagi atas:
(i)
Semitik;
(ii)
Arya;
dan
(iii)
Monggolian.
Yang termasuk agama Semitik ialah: Agama Yahudi,
Agama Nasrani dan
Agama Islam. Sedangkan yang tergolong Agama Arya ialah: Hinduisme, Jainisme, Sikhisme dan Zoroasterianisme.
Sedangkan yang tergolong non Semitik
Monggolian ialah: Confusianisme, Taoisme dan Shintoisme. Adapun Buddhisme, tidak dapat begitu saja dimasukkan
ke dalam golongan agama non
Semitik Arya, tetapi merupakan campuran antara Arya dan Mongolian.23
1.
Abdul
Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm. 26.
2.
Mukti
Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, bagian 1, Badan Penerbit IKIP, Bandung, 1971, hlm. 4. lihat juga Endang
Syaefudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, hlm. 117-118.
3.
Taib
Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin
Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 76.
4.
Mudjahid
Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan agama, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 1.
5.
Abdul
Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 63.
6. Taib
Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.
7. Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, hlm.10.
8. Romdhon,
et. al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta, 1988, hlm. 18-19.
9. Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 40-41.
10. Koenjtaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 1972, hlm. 222-223.
11. Hilman
Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran
kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993, hlm. 32-33.
12. Koejtaraningrat,
op.cit., hlm. 223-224.
13. Romdhon,
et.al, op.cit, hlm. 22-23
14. Neils
Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gajah Mada Press, 1980, hlm. 20.
15. Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2000, hlm. 47.
16. Ibid.
17. Darori
Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hlm. 87.
18. Dadang
Kahmad. op.cit, hlm. 47-48.
19. A.
Moechtar Sjofjan, Ilmu Perbandingan Agama, Diktat Kuliah, tt, hlm. 11-16
20. Ahmad
Abdullah al-Masdoosi, Living Religions of the World: A Socio Political Study, English Rendering by Zafar Ishaq Anshari, Begum
Aisha Bawany wakf, Karachi, 1962, hlm. 11
21. Amin
Syukur, Pengantar Studi Islam, Pustaka Pelajar Offset, Semarang, 1996
22. Ibid,
hlm. 16.
23. Ibid,
hlm. 19.
Komentar
Posting Komentar