SEJARAH AGAMA DISKREPANSI DALAM BERAKIDAH
SEJARAH AGAMA
DISKREPANSI DALAM BERAKIDAH
A.
Pendahuluan
Agama adalah kebutuhan jiwa umat manusia. Di sepanjang sejarah dan di
setiap tahap evolusi umat manusia, ada agama yang diikuti oleh penduduk dunia.
Pada tahap evolusi apapun dan dalam periode manapun, kebutuhan akan agama
selalu dirasakan kehadirannya. Alasannya adalah, bahwa jiwa manusia mempunyai
lima keinginan yang mendalam dan keinginan ini terjawab oleh agama.[1]
Agama dalam kehidupan manusia sudah ditemukan dari pertama masyarakat
manusia ada sampai dewasa ini dan masa yang akan datang. Kehidupan beragama
makin komplek dan berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Karena
itu ia semakin penting dipahami untuk dapat ditangani dengan tepat oleh yang
berurusan dengan masyarakat.
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa
optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.
Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataann hidup manusia yang
ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan
masyarakat dan individu kepada kekuatan ghaib ditemukan dari zaman purba sampai
zaman modern ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi
kepercayaan keagamaan. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari
tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama.[2]
Dari sini jelaslah bahwa ide-ide keagamaan yang lebih berkembang,
misalnya keimanan kepada satu Tuhan Yang Mengatasi segalanya merupakan sumber
segala kebajikan dan yang mewajibkan untuk mencegah segala bentuk kejahatan,
beramal kebaikan dalam ketaatan kepadaNya telah ada berdampingan dengan adat
kebiasaan yang primitif dan kasar seperti penyembahan nenek moyang, fetisisme,
totemisme, dan sebagainya dari saat permulaannya dan di segala zaman.
Ide keagamaan dan amalan adalah diwahyukan oleh Tuhan kepada umat
manusia. Satu-satunya Tuhan tidak saja menciptakan dan memelihara dunia ini,
melainkan juga mengenalkan Dirinya kepada umat manusia dan membimbingnya ke
jalan yang benar. Dia tidak pernah melalaikan suatu kaum ataupun suatu bangsa
tanpa tuntunan yang sejati, sebab Dia adalah Tuhan Pemelihara dan Pembimbing
umat manusia. Segenap agama-agama wahyu dalam bentuk aslinya mengajarkan
keimanan kepada satu-satunya Tuhan.
Dalam perkembangannya agama ada dua jenis, yakni agama buatan manusia
dan agama wahyu tentu saja sangat berbeda satu dengan lainnya. Tuhan telah mengirim
para nabi dan para utusanNya agar manusia membuang agama-agama yang dibuat oleh
tangan manusia dan menggunakan agama yang diwahyukan.[3]
B.
Sejarah
Agama
Masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal seperti religi
atau agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan
yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia
melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk mencari
hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek perhatian para ahli
pikir sejak lama. Adapun mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori
yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah:[4]
a.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai
sadar akan adanya faham jiwa.
b.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui
adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya.
c.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk
menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
d.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian yang
luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
e.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau
emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa
kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
f.
Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat
suatu firman dari Tuhan.
1.
Sejarah
agama Hindu
Penduduk india pada masa awal terkenal sebagai bangsa Dravida. Bangsa
Dravida adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan
kecil dan berambut keriting. Kemudian tahun 1000 sebelum masehi dari sebelah
utara masuk ke India kaum Arya, yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran
yang memasuki India melalui jurang-jurang di pengunungan Hindu Kush. Mereka ini
berkulit putih dan berbadan tegap, bentuk hidungnya melengkung sedikit. Namun
peradabannya lebih rendah dari bangsa Dravida.[5]
Jadi dapatlah dikonstatasi dengan jelas bahwa agama Hindu tumbuh dari
dua sumber yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua
bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu. Walaupun dalam
tulisan-tulisan Hinduistis yang tertua, unsur-unsur Arya lebih dominan, namun
tulisan-tulisan Hinduistis yang kemudian justru unsur pra-Arya yang lebih
menonjol. Agama bangsa Arya kita kenal dari kitab weda. Oleh karena itu masa
yang tertua dari agama Hindu disebut masa weda.
a.
Agama
Weda
Untuk keterangan mengenai peradaban dari agama
bangsa Aria dapat dilihat dari Kitab Weda yang merupakan kumpulan puji-pujian
yang termasyhur, terdiri dari empat yang termasyhur, yakni Rig Weda, Yajur
Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda. Dari kesemuanya ini, Rig Weda adalah yang paling awal dan yang paling penting serta
berisikan 1028 puji-pujian Agama Indo-Aria sebagaimana ditemukan dalam Rig
Weda digambarkan sebagai penjelmaan alam. Dewa-dewi
agama Weda ini
adalah penjelmaan lebih kurang sebagai pengejawantahan dari daya-daya kekuatan alam. Agni adalah dewa api,
Bayu adalah dewa angin,
Surya adalah dewa matahari, dan seterusnya.[6]
b. Agama
Brahma
Dengan adanya agama baru di kalangan mereka dan
ini ditunjukkan sebagaimana adanya kitab-kitab yang disucikan oleh Brahmana
disusun oleh pendeta agama Brahmana sekitar abad kedelapan sebelum masehi untuk
menjelaskan asal usul mukjizat dan daya kekuatan pengorbanan. Kitab tersebut
juga memberi rincian secara monoton dan
tidak masuk akal bagaimana upacara suci itu dilangsungkan. Kitab itu juga dipenuhi dengan dongeng-dongeng
yang aneh-aneh, baik
dari manusia maupun dewa-dewa dalam menggambarkan upacara
pengorbanan.[7]
Perubahan yang terjadi pada jiwa pengorbanan ini
dicatat oleh banyak kalangan cendekiawan masa kini sebagai tahap masuknya
bagian-bagian magis dalam Agama Weda dan diambil sebagai tandingan perpindahan
kekuatan dari dewa-dewa kepada para pendeta”.[8] Dalam agama Brahmana ini, pertama kali kita
dapati peningkatan
kitab Weda sebagai kitab suci. Kitab Weda sendiri tidak pernah mengeluarkan
pernyataan demikian.
c. Agama
Upanishad
Tingkat selanjutnya dalam perkembangan fikiran
keagamaan di India membawa kita kepada revolusi pertama terhadap kaum Brahmana.
Buah fikiran dari para Rishi atau kisah-kisah kepahlawanan dari orang-orang
yang mendapat ilham Ilahi telah mengakibatkan perkembangan yang menakjubkan dan
ini dikandung dalam Kitab Upanishad. Professor Hiriyanna menulis: “Berbicara lebih luas lagi, ajaran Upanishad
menandakan suatu reaksi
terhadap kaum Brahmana yang sebagaimana ditunjukkan telah menanamkan suatu sistem upacara agama
yang pelik. Lebih dari
satu tempat, kitab Upanishad mengutuk nilai-nilai upacara pengorbanan”.[9]
d.
Agama Sri Krishna
Agama ini dinamakan agama Bhagvata dan nabinya Krishna. Prof. Garbae menulusuri lima tahapan
yang berbeda dalam sejarah
perkembangan agama Bhagvata.[10] Dalam taraf pertama, agama itu berkembang di
luar Brahmanisme. Agama itu bersifat monoteisme yang
menekankan kepada
ketuluasan dan melaksanakan tugas kewajiban tanpa pamrih lahiriah. Pada tahap ini, Krishna dianggap
sebagai nabi yang mendapat ilham dari Tuhan untuk mengajarkan agama yang benar. Pada tahap kedua, Sri Krishna dipertuhankan
setelah kematiannya oleh para pengikut yang terlampau fanatik dan bodoh.
Dalam tahap ketiga yang terjadi 500 tahun SM
terjadilah Brahmanisme agama Bhagawat dan Sri Krishna dianggap sebagai Dewa
Wisnu. Prof. Hiriyanna menulis: “Akhirnya keimanan monoteisme pun berubah
dengan berlalunya waktu dengan dikombinasikan ajaran Weda tentang Wishnu
Narayana; dan kombinasi ini terutama berperan dalam menciptakan Tuhan dari
ajaran Weda dan bahkan lebih dari Siwa. Akhirnya Sri Krishna nabi dari agama
Bhagawat dipertuhan-kan dan dikenal sebagai Wishnu Narayana sebagai penjelmaan
dari Dia”.[11]
Tingkat keempat dalam perubahan bentuk agama
Bhagvata adalah ajaran Weda, yang paham utamanya adalah pengabdian yang
intensif kepada personifikasi dewa Wishnu, tidak hanya sebagai pencipta dan
pengrusak alam semesta.
2.
Agama Buddha
Agama Buddha adalah
revolusi yang lain lagi terhadap agama Brahmana, dan gerakan besar ini tidak
dapat bercampur lagi dengan agama Hindu. Buddha bukanlah suatu agama yang
berbeda, melainkan suatu sistem yang positif. Namun demikian, setelah suatu
masa sukses dan popularitas yang luas, agama ini terasing dari tanah
kelahirannya oleh agama Hindu yang dibangkitkan lagi. Tetapi sebelum hal itu
terjadi, agama Buddha telah tersebar ke berbagai negeri di luar India dan
menjadi satu dari agama dunia yang besar. India dalam abad ke enam sebelum
masehi bukanlah suatu kerajaan yang luar biasa atau kekaisaran. Negeri itu
mempunyai sejumlah raja dari suku-suku serta marga tertentu yang memerintah
daerah-daerah kecil. Beberapa logat dipergunakan meskipun Sansekerta adalah
bahasa yang suci.[12]
Ajaran Sang Buddha
Sang Buddha sendirι
tidak menulis apa-apa. Tak sedikit pun dari ajarannya yang tertulis setidaknya
selama empat ratus tahun sesudah wafatnya. Yang lebih buruk lagi,
praktik-praktik para pengikutnya dalam menerangkan agama Buddha telah
menyisipkan kata-kata dan komentar sendiri dari ucapan Guru Besar itu. Karena itu
mustahil memisahkan kata-kata asli dari Buddha dengan segolongan besar
kata-kata dan ceramah-ceramah yang tersiar yang telah dinisbahkan kepadanya
dalam kitab-kitab suci agama Buddha. Cendekiawan Buddha terkenal, Chirstmas
Humpreys menulis: “Karena itu tidaklah kita mengetahui apa yang diajarkan Buddha
lebih dari apa yang diajarkan Yesus, dan saat ini sedikitnya ada empat aliran
dan masing-masing ada pembagian lagi yang menyatakan bahwa pandangan mereka
sendiri-lah yang mencerminkan apakah agama Buddha”.[13]
3.
Agama Yahudi
Sejarah Bani Israil
dimulai saat Abad Perunggu, di mana orang-orang Semit pindah dari peradaban
yang menonjol di Lembah Efrata, mengikuti hancurnya kota tua Ur, dan menetap di
negeri perbukitan yang terpisah di Kanaan Tengah dan Kanaan Selatan di tepi
Laut Tengah. Pemimpin dari keluarga ini adalah seorang laki-laki, Abraham
(belakang disebut Ibrahim), Risalah Ibrahim as. terhadap Tuhan selanjutnya
diteruskan oleh putera-puteranya, Ismail dan Ishak, dan setelah itu oleh Ya’qub.
Ya’qub mempunyai dua belas putera yang menjadi cikal-bakal dari dua belas suku
yang beberapa waktu kemudian membentuk Bani Israil.[14]
Melalui rangkaian peristiwa
dan keadaan, maka Yusuf salah seorang putera Ya’qub bangkit dari perbudakan,
dan menjadi Gubernur di Mesir yang pada saat itu diperintah oleh Hyksos,
seorang Semit keturunan asing yang dekat hubungannya dengan Yahudi. Setelah
itu, Bani Israil pindah secara besar-besaran ke Mesir.
Ketika nasib Bani
Israil menjadi benar-benar tak tertahankan lagi di bawah Fir’aun Ramses II,
Tuhan membangkitkan seorang pemimpin besar bernama Musa untuk mengangkat mereka
dari penderitaannya dan mempersatukan mereka dalam satu bangsa. Musa dibesarkan
dan diangkat oleh salah seorang ratu Mesir. Pada suatu hari, ketika beliau
sedang menggembalakan ternaknya di Gunung Sinai sampailah di bukit Horeb, dan
di sana tampak pancaran sinar yang menakjubkan di semak padang pasir yang pekat,
dan beliau mendengar suara Tuhan yang menyeru agar kembali ke Mesir untuk
mengangkat saudara-saudaranya dari penderitaan, dan memimpin mereka ke Tanah
Yang Dijanjikan.
Mengikuti seruan itu,
Musa kembali ke Mesir dan berkali-kali membujuk Bani Israil untuk berangkat
bersamanya. Di padang gersang Gurun Sinai di mana Bani Israil tiba setelah melarikan
diri dari Mesir, Musa menerima Sepuluh Perintah dan tercantum dalam Taurat
melalui sejumlah Wahyu Ilahi. Tetapi ketika beliau sedang pergi, Bani Israil
melupakan Yahweh (Yehovah), Tuhan Yang Esa, dan mulai menyembah sapi emas. Karena
penyelewengannya ini mereka terpaksa menderita dan mengembara di padang gurun
selama empat puluh tahun. Musa, Nabi Besar Bani Israil wafat sebelum beliau
dapat memimpin bangsanya ke Tanah Yang Dijanjikan.
4.
Agama Kristen
Pada saat Yesus
dilahirkan, Palestina adalah bagian dari Kekaisaran Romawi. Senat Roma menunjuk
Herodes sebagai Raja Palestina di bawah perwalian Romawi. Herodes secara lugas
harus mempertahankan kepentingan Romawi di satu pihak, tetapi di sisi lain dia
harus mendapat popularitas di kalangan bangsa Yahudi, dan ini bukan suatu tugas
yang mudah. “Pemerintahannya telah dibandingkan”, tulis Dr. Morton Scott
Enslin, “dengan pemerintahan Sulaiman as. Kenyataannya ini jauh di bawahnya”.[15]
Setelah kematian
Herodes pada tahun 4 SM., ketika itu Yesus berusia dua atau tiga tahun,
kerajaannya dibagi-bagi di antara para puteranya. Archelaus menjadi raja dari
bagian yang terbesar, termasuk Yudea, Samaria, dan Idumea; Antipasi memerintah
Galilee dan Perea; dan Philip menjadi raja dari sisa wilayahnya. Setelah
memerintah sebagai raja sekitar sepuluh tahun, Archelaus dimutasikan dan
dihukum oleh Kaisar Agustus akibat salah urus besar-besaran. Wilayahnya
dijadikan sebuah provinsi oleh Romawi dan ditempatkan langsung dibawah
kekaisaran Roma dengan seorang Gubernur yang disebut Procurator (yang
dikuasakan), dan sebagai pimpinannya. Pontius Pilatus adalah procurator ke lima
dari Yudea. Saudara laki-laki Archelaus, Antipas dan Philip menemukan nasib
yang lebih baik. Philip tetap dalam kedudukannya sampai meninggal di tahun 34
M, sedangkan Antipas lebih lama lagi hingga tahun 39 M. Jadi keduanya
memerintah sepanjang hidup Isa as. dan keterutusannya, dan di wilayah Antipas
itulah sebagaian besar kehidupannya dijalani. Umat Nabi Isa as., yakni Bani
Israil sendiri telah tercerai berai ke berbagai bagian dunia. Mereka yang tetap
tinggal di Palestina hanya sebagian kecil saja dari semua orang Yahudi.[16]
Sumber Pengetahuan Kita
Tentang Yesus
Bagian dari Kitab Suci
Kristen yang digambarkan sebagai Perjanjian Baru terdiri dari Injil Matius,
Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes; Kisah Rasul-Rasul, Surat Paulus
kepada Roma, Korinti (dua), Timothi (dua), Titus, dan Petrus (dua); Surat-Surat
dari Yahya, Surat-Surat dari Yudah, dan Wahyu dari Santo Yahya yang suci. Injil
menurut Matius, Markus, Lukas, dan Yahya menceritakan empat kisah yang berbeda
tentang kehidupan dan ajaran Yesus.
Injil pertama yang
ditulis adalah oleh St. Markus (70 M). Pengarang agaknya telah menjadi pengikut
St. Petrus. Injil yang sampai ke tangan kita sekarang ini dianggap oleh
beberapa sarjana sebagai versi yang diperluas dari Urmacus, dan adalah sulit dikatakan
apakah versi ini diperluas sendiri oleh Markus ataukah oleh beberapa orang
lain. F.C. Conybeare mengamati “Bagian besar Injil ini (yakni Injil Markus)
adalah hasil pekerjaan seseorang dengan naluri dan kegemaran yang suka
membuat-buat keajaiban.”[17]
Injil menurut St.
Matius ditulis sekitar tahun tahun 90 M. Sesuai dengan hipotesis “dua dokumen”
yang diterima luas, Injil ini adalah campuran dari Urmarcus dan Q ditambah
perkara-perkara yang berasal dari tradisi lisan. Dr. C.J. Cadoux menulis: “Namun
suatu penelitian yang lebih dekat atau perlakuan yang diberikan pada
pengambilannya dari St. Markus menunjukkan bahwa dia membiarkan suatu kebebasan
yang besar dalam mengedit dan menyusun bahan-bahannya dengan maksud sebagai apa
yang dianggapnya penghormatan yang patut terhadap junjungannya yang besar.”[18]
Injil yang ketiga yakni
Injil menurut St.. Lukas yang ditulis pada suatu tempat di Yunani sekitar tahun
100 M. untuk kepentingan Theopilus Yang Mulia. “Mengenai hasil kArya Lukas”,
tulis Ernest Renan, “nilai sejarahnya adalah yang paling sangat lemah.”[19] Dan
inilah apa yang ditulis oleh penulis yang lebih ortodoks, E.E. Kellet: “Lukas
adalah seorang penulis Yunani dan ia menulis seperti seorang sejarawan Yunani.
Dalam beberapa kasus, ditakutkan dia telah berbicara menurut maunya sendiri,
demi pahlawan-pahlawannya sendiri dari suatu kisah yang bagus seolah-olah nampak
benar, baginya hanya karena keindahan ceritanya. Seluruh kisahnya adalah suatu
legenda populer yang dicangkok dan ditulis dengan daya tarik yang menyesatkan
oleh seorang yang mendapat anugerah dari Herodotus.”[20]
Injil Markus, Matius,
dan Lukas disebut Injil Synoptic, karena umumnya bertolak dari dokumen yang
sama dan mempunyai banyak persamaan. Injil Yahya sangat berbeda dibandingkan
ketiga Injil lainnya. “Ketiga Injil atau Injil Synoptic”, kata A. Powell Davies,
“mempunyai kisah yang banyak persamaannya. Memang ada perbedaan, tetapi ada
kemungkinan sampai sejauh ini untuk mencocokkannya. Namun Injil Yahya
mengemukakan kisah yang sangat berbeda dibandingkan ketiga Injil yang lain.
Bila Injil Yahya benar, maka ketiga Injil yang lain adalah salah. Bila Injil
Synoptic benar, maka Injil St. Yahya harus dipandang sangat keliru.”[21]
5.
Agama Islam
Islam adalah agama
semua nabi-nabi yang dibangkitkan Tuhan dari masa ke masa dalam berbagai bagian
dunia yang berbeda, untuk memimpin umat manusia ke jalan yang benar. Muhammad
saw. adalah Rasul Islam yang terakhir. Kata Islam berarti (i) damai, dan (ii)
penyerahan diri kepada kehendak Ilahi. Ini adalah nama yang sangat penting,
karena hal ini menunjukkan tujuan dari agama yang benar, dan begitu pula cara
mencapai tujuan itu. Tujuan agama yang benar, katanya, adalah perdamaian yang
tak terelakkan dari ruh ini adalah keselarasan dengan Ilahi, dan kemauan baik
di antara sesame manusia, serta cara untuk mencapai kedamaian umat manusia
adalah dengan menyerahkan diri mereka baik secara pribadi maupun bersama kepada
kehendak Nya sebab Dia adalah Rumah perdamaian dan Sumber segala kemuliaan.
Jadi agama Islam mencakup agama yang sejati (yang diajarkan oleh semua nabi,
dan dibawakan secara sempurna oleh Nabi Muhammad saw). Pada abad keenam Masehi,
agama yang sejati telah mencapai titik yang lemah dan tidak murni lagi, atau
menjadi dilupakan dunia. Kemanusiaan menghadapi krisisnya yang paling buruk.
Muhammad saw. adalah
satu-satunya Nabi Dunia yang kelahirannya disinari cahaya sejarah yang
sejelas-jelasnya. Beliau dilahirkan di Mekkah pada tahun 571 Masehi. Beberapa
minggu sebelum kelahirannya, ayahnya Abdullah telah wafat, dan ketika beliau
berusia enam tahun, ibunya menyusul meninggalkan dunia ini.
Di rumah kakeknyalah
beliau dibesarkan menjadi seorang anak laki-laki yang penuh perasaan, cerdas,
penyayang, lemah lembut, dan dicintai oleh semua orang. Setelah wafat kakeknya,
Abdul Muttalib, maka pamannya Abu Thalib, orang yang paling mulia dan paling
dihormati di kalangan sukunya, memelihara beliau di rumahnya. Rasa harga
dirinya, kewajiban dan kejujurannya sangat berkesan di kalangan lingkungannya,
sehingga atas persetujuan masyarakatnya terkenal dengan julukan “Al-Amien” atau
orang jujur dan sangat dapat dipercaya.
Muhammad saw. memiliki
rasa kasih sayang yang tak terbatas kepada umat manusia. Bahkan di saat masih
kanak-kanak, beliau mengerjakan segala pekerjaan untuk membantu orang lain.
Sebagai seorang anak laki-laki beliau bergabung dalam liga yang disebut Hilf
al-Fudzul untuk membantu janda – janda dan anak-anak yatim piatu, serta
melindungi korban-korban yang tak berdaya akibat ketidakadilan atau pun
penganiayaan. Memberikan kebahagian kepada manusia lain tanpa membedakan
pangkat, derajat, atau pun kedudukkannya, adalah fikiran yang selalu diutamakan
beliau.[22]
Pada usia 25 tahun,
beliau menikah dengan Khadijah seorang janda berdarah biru dan berwatak mulia,
lima belas tahun lebih tua dari usia beliau. Atas perkawinannya dengan
Khadijah, tidak saja beliau memperoleh seorang isteri yang tercinta dan
mencintainya, melainkan juga seorang sahabat yang berbakti yang dapat memahami
dirinya, dan memberikan ketentraman di saat beliau sangat membutuhkannya, yang
memberikan rasa aman di saat beliau diburu oleh musuh-musuhnya, yang selalu
tegak di sampingnya di saat-saat yang paling gelap dari kenabiannya.
Di saat beliau berusia
empat puluh tahun, Suara Ilahi bercakap kepada jiwanya dengan kata-kata yang
tak mungkin salah, dan beliau pun dipilih Nya sebagai Utusan Nya bagi seluruh umat
manusia. Beliau mengajarkan kepada kita tentang Tuhan Yang Esa dan Satu-Satunya
Pencipta Yang Maha Penyayang, dan Pemelihara semesta alam. Keinginannya yang
terbesar ialah agar umat manusia memasuki hubungan yang benar dengan Tuhan, dan
melalui Dia menegakkan hubungan yang benar dengan sesama manusia lainnya.
Beliau mendambakan agar manusia selalu ingat akan kebajikan yang teguh dan
abadi. Beliau dengan tekun menyerukan mereka untuk meninggalkan segala jenis
kejahatan dan ketidakadilan serta hidup perdamaian dan kasih sayang satu sama lain.
Beliau menyatakan kepada mereka bahwa agama dalam pengertian yang sejati adalah
dirombaknya keinginan untuk merugikan orang lain menjadi pelayanan tanpa pamrih
pribadi kepada sesama manusia. Beliau menggempur sampai ke dasarnya pengertian
palsu tentang rasa unggul berdasarkan warna kulit, ras, kasta maupun kebangsaan
dan mengumumkan bahwa seluruh umat manusia adalah sama dan bersaudara.
Yang mula-mula percaya
kepada beliau dan risalahnya ialah yang paling mengenalnya, yakni isterinya
yang tercinta Khadijah, sahabatnya Abu Bakar, saudara sepupunya Ali, dan
pembantunya Zaid. “Hal yang dengan kuatnya mendukung ketulusan Muhammad”, tulis
John Davenport, “adalah bahwa para pemeluk Islam yang paling awal adalah
teman-teman dekatnya, dan orang-orang yang ada di rumah tangganya yang
berhubungan dekat dengan kehidupan pribadinya, dengan kata lain tak akan dapat mengelak
seandainya ada perbedaan sedikitpun atau kemunafikan dengan kelakuannya
sehari-hari di rumah.”[23]
Mayor A.G. Leonard
menulis tentang beliau, “Jikalau pernah ada seseorang di bumi ini, jikalau
pernah seseorang mempersembahkan hidupnya demi mengabdi kepada Tuhan dengan itikad
baik dan agung, maka sesungguhnya orang itu adalah Nabi dari Tanah Arab.”[24]
Alphonse Marie Louis
menjuluki beliau sebagai, “Filsuf, ahli pidato, utusan, pembuat undang-undang,
ahli perang, penakluk ide-ide, yang memperbaiki dogma-dogma menjadi rasional,
yang diagungkan tanpa patung-patung, pendiri dari duapuluh kerajaan yang
berdekatan, dan pendiri kerajaan rohani, inilah Muhammad. Dengan mengingat
segala ukuran di mana manusia dapat mencapai kebesarannya seperti ini, kita
dapat bertanya, adakah orang lain yang lebih besar dari pada beliau?”
Menulis tentang Nabi
Muhammad, John William Draper mengamati dalam buku klasiknya The Intelectual
Development of Europe: “Empat tahun setelah meninggalnya Justinian, maka lahirlah
seorang manusia untuk seluruh umat manusia yang telah mempunyai pengaruh
terbesar bagi seluruh ras manusia.” Dan Arthur N. Wollaston menulis dalam
bukunya Half Hours with Muhammad; “Nabi Islam ini telah mempunyai pengaruh yang
lebih potensial terhadap sejarah nasib umat manusia dibanding yang dapat
dicapai oleh semua anak Adam yang telah meninggalkan jejak kakinya di atas
pasir perjalanan zaman.”
C.
Penyebab
terjadinya Diskrepansi Dalam Berakidah
Agama
adalah produk dari kebodohan
Sebagian orang percaya bahwa
faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia sesuai
dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum
yang berlaku atas alam ini serta yang terjadi di dalamnya. Mungkin karena tidak berhasil mengenalnya, maka ia menisbahkan hal itu
kepada sesuatu yang bersifat metapisis. Hal ini terkait erat dengan adanya
persepsi manusia bahwa ada kekuatan yang berada di luar dirinya telah mendorong
seseorang untuk merasa takut mencari perlindungan, demi keselamatan dan
kebahagiaan hidupnya. Ketika manusia merasa takut akibat adanya bencana alam,
gempa bumi dan tsunami maka mereka bersama-sama secara individu melakukan
persembahan terhadap dewa laut, dewa alam, dewa bumi dan sebagainya. Ketika masyarakat
merasa takut terhadap angin topan yang melanda perkampungan, takut pada api
yang membakar seluruh hutan dan sawah ladangnya, maka dengan kebodohannya
mereka melakukan pemujaan terhadap dewa angin dan api. Jadi sangat mungkin
karena didorong oleh kebodohan itulah manusia menumbuhkan keyakinan terhadap “zat
yang dianggap sakral”. Keyakinan terhadap zat yang dianggap tuhan itu,
melahirkan konsekuensi peribadatan berbentuk ritual yang berdasarkan pada
aturan-aturan yang ditentukan
secara normatif.
Pendambaan
akan keadilan dan keteraturan
Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebagian orang memperkirakan bahwa
motivasi keterikatan manusia kepada agama ialah pendambaannya akan keadilan dan
keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan
agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan kejiwaannya.[25]
Kemudian Karljung dalam Yusuf Sou’yb mengartikan bahwa agama merupakan
penjelmaan tata cara hidup manusia yang dikembangkan oleh manusia untuk
mengatur kehidupannya, disebabkan karena ketakutan dan kekecewaan yang telah
tertanam di alam bawah sadar manusia.[26]
Terkait erat dengan sifat manusia itu sendiri sebagai fitrahnya maka
tidak heran jika konsep ajaran-ajarannya selalu berubah-rubah sesuai dengan
kemauan pemeluknya serta kekuatan metapisis di luarnya hingga sampai pada
keuniversalannya.
D.
Penutup
Kesimpulan dan saran
Pengalaman agama adalah soal batini dan
subyektif, juga sangat individualistis,
tiap orang mengartikan agama itu sesuai dengan pengalamannya sendiri, atau sesuai dengan pengalaman agama
sendiri. Oleh karena itu tidak ada
orang yang bertukar pikiran tentang pengalaman agamanya dapat membicarakan satu soal yang sama. Bahwa barangkali tidak ada orang yang begitu
bersemangat dan emosional lebih
daripada membicarakan agama, karena agama merupakan hal yang sakti dan luhur.
Berpijak dari pemahaman tersebut, tidak heran
jika fenomena munculnya agama-agama
baru sebagai wujud asal-usul atau latar belakang pendambaannya akan keadilan, ketenangan dan keteraturan di muka
bumi ini, karena memang aliran-aliran
yang muncul tidak pernah terlepas dari agama mainstreamnya.
Demikian yang dapat
penulis uraikan, penulis merasa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah
ini. Karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
A. Powell Davies, The Meaning of Dead Sea Scrolls,
New York: Mentor Book New American Library, 1956
A.G. Leonard, Islam: Her Moral and Spiritual Value,
London: Luzac, 1959
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam,
Semarang: Pustaka
Pelajar Offset, 1996
Burhanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007
C,J. Cadoux, The Life of Jesus, Harmondsworth: Pelican
Book, 1948
Christmas Humphreys, Buddhism, Harmondsworth: Pelican
Books, 1959
E.E. Kellett, A Short History of Religions, Harmondsworth:
Pelican Books, 1962
Ernest Renan, The Life of Jesus, New York: The
Modern Library, 1927
Hazrat Inayat Khan, Kesatuan Ideal Agama-Agama,
terj. Yulian Aris Fauzi, Yogyakarta: Putra Langit, 2003
John Davenport, Mohammed and the Teaching of the
Quran, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1945
M. Hiriyanna, The Essentials of Indian
Philosophy London: George Allen and Unwin Ltd,
1948
Morton Scott Enslin, Christian Beginnings, New
York: Harper Torchbooks, The Cloister Library, 1956
Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996
Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an
Tentang Manusia dan Agama, Bandung: Mizan, 1986
Richard Garbe, Philosophy of Ancient India, Chicago: Open Court, 1899
Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
Uflat Aziz-us-Samad, Agama-agama
besar dunia (The Great Religions of the World), Lahore: Sh. M. Ashraf, 1990
Yusuf Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia,
Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1983
[1] Hazrat Inayat
Khan, Kesatuan Ideal Agama-Agama, terj. Yulian Aris Fauzi, (Yogyakarta:
Putra Langit, 2003), hal 29
[2] Burhanuddin Agus, Agama Dalam
Kehidupan Manusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 1-2
[7] Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah
Agama-Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 11
[8] M.
Hiriyanna, The Essentials of Indian Philosophy (London: George Allen and
Unwin Ltd, 1948), hal. 17
[15] Morton Scott Enslin, Christian
Beginnings, Part I, (New York: Harper Torchbooks, The Cloister Library,
1956), hal. 47
[21] A. Powell Davies, The
Meaning of Dead Sea Scrolls, (New York: Mentor Book New American Library,
1956), hal. 107
[22] Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah
Agama-Agama…, hal. 104
[23] John Davenport, Mohammed
and the Teaching of the Quran, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1945), hal. 5
[25] Murtadha
Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 45
Komentar
Posting Komentar