BUSANA DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM

A.     Pendahuluan
Dewasa ini, pelaksanaan syari‘at Islam di Aceh menjadi tumpuan dan harapan bagi semua orang terutama dalam menerapkan ajaran-ajaran Islam ke dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat seperti aspek agama, moral/ etika, sosial budaya, politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain yang tidak tidak terlepas dari konteks tersebut. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan dalam sejumlah Qanun syari'at di Aceh adalah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Khususnya kandungan utama Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam berupaya memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No. 5/2000 tentang pelaksanaan syari'at Islam. Pasal 13 qanun ini menetapkan ketentuan tentang busana islami, yaitu pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.
Dalam kenyataannya, pelaksanaan syari'at di bidang akidah, ibadah dan syiar Islam, khusunya tentang busana islami, menjadi terhambat akibat dari kencenderungan masyarakat mengikuti arus budaya global sebagai identitas dari pergaulan bebas, mengikuti trend kemajuan zaman yang dalam batas melanggar etika agama, sosial dan budaya. Tidak jarang ditemukan kejadian pendangkalan nilai-nilai agama dan  adat budaya dalam berbusana, yang dulunya sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dampak dari itu semua melahirkan generasi yang hampa terhadap nilai-nilai keagaman dan ajaran moral. Padahal jika dihayatai ruh dari ajaran Islam tidak lain adalah pengejewantahan dari akidah Islamiyah. Akidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan dan tata pergaualan antar setiap manusia.
Berawal dari fenomena di atas akhir-akhir ini muncul kembali ke permuakaan sejumlah perbincangan di seputar busana/pakaian islami terutama dalam upaya mencarai bentuk dan model busana/ pakaian islami sesuai dengan substansi ajaran Islam yang sesungguhnya. Perbincangan ini sangat beralasan, di satu sisi praktek busana termasuk salah satu dinamika sosial dan politik yang kompleks dalam masyarakat muslim. Terkadang praktik ini digunakan sebagai bentuk penegasan identitas atau bentuk protes sosial terhadap menipisnya kultur Islam. Hal ini terlihat ketika fuqaha' membedakan jenis pakaian yang digunakan seorang muslim sesuai dengan status sosialnya.
Di sisi lain mengingat tidak adanya standar baku bentuk dan model busana/pakaian yang dirumuskan oleh ulama fiqh (fuqaha'). Dalam konteks lebih khusus, persoalan busana/pakaian dibahas oleh sumber-sumber hukum klasik di dalam bab shalat. Para fuqaha' membahas bagian tubuh mana yang harus ditutupi oleh laki-laki dan perempuan ketika shalat. Dari sinilah kemudian masalah aurat (bagian pribadi yang harus ditutupi dengan pakaian) dibahas. Dalam shalat laki-laki maupun perempuan muslim harus menutup seluruh auratnya, atau menutupi sesuatu yang oleh hukum dianggap sebagai aurat manusia. Boleh jadi apa yang dianggap aurat ketika shalat juga menjadi aurat di luar shalat. Dengan kata lain, sesuatu yang harus ditutupi dalam shalat juga harus ditutupi ketika di luar shalat.
Berangkat dari dasar pemikiran bahwa Qanun no. 10 tentang akidah, ibadah dan syair Islam sudah menjadi hukum positif sebagaimana hukum lainnya, ia berhak diperlakukan sama seperti peraturan-peraturan syari‘at yang wajib ditaati dan dilaksanakan sebagaimana hukum-hukum di bidang lain yang ketentuannya masih bersifat mengikat subjek hukum. Kendati pun demikian, terkadang dalam pelaksanaanya sering dihadapkan pada persoalan teoritis –dalam hal ini- belum adanya format baku mengenai bentuk dan model busana/pakaian dalam kajian fiqh Islam.


B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan di atas diperlukan, kiranya diperlukan kejelasan mengenai ajaran moral dan etika berbusana yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat Aceh. Jika bentuk busana dan pakaian tidak jelas, maka secara teoritis upaya meminimalisir cara berbusana yang tidak sejalan dengan ajaran Islam tidak akan banyak membantu usaha-usaha untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penegakan hukum syari'at. Selain itu, kejelasan mengenai bentuk dan model berbusana agaknya diperlukan agar diharapkan persoalan ini tidak menjadi bahan perdebatan yang tidak produktif. Untuk mengawali pembahasan selanjutnya, dua pertanyaan yang akan diajukan adalah bagaimana konsep busana/pakaian islami dalam pandangan fuqaha' dan apa yang menjadi landasan yang digunakan fuqaha dalam mencari dan menemukan format baku busana/pakaian islami.

C. Tujuan Pembahasan
            Sesuai dengan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah memeparkan jenis busana/pakaian yang ada dalam al-Qur’ān, al-hadīth serta menelaah pandangan dan pendapat fuqaha' menyangkut dengan busana/pakaian dalam kajian fiqh Islam.
            Pada tataran praktis, jika kajian ini mendapat hasil yang memuaskan diharapkan dapat menambah kejelasan standar baku berbusana/pakaian guna diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern yang selalu mengusung ide global, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Di samping itu juga dapat berfungsi sebagai bahan pertimbangan atau kerangka acu bagi para ahli yang concern mencermati dinamika perkembangan hukum Islam untuk ditindak lanjuti dalam usaha merumuskan peraturan  daerah tentang bentuk dan model busana/ pakaian Islami ke dalam sebuah

B.     Batasan Aurat dalam Fiqh Islam
 Secara bahasa istilah aurat adalah sesuatu yang cacat (نقصان او   عيبا  ) atau menjijikkan (مستقبح او قبح ). Sedangkan menurut istilah, term aurat merujuk kepada bagian-bagian tubuh manusia yang harus ditutupi dan tidak boleh terlihat ketika shalat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Definisi ini masih bersifat umum mencakup laki-laki muslim dan perempuan muslim. Dalam berbagai kitab fiqh, para fuqaha' mengkaji masalah 'aurat di dalam pembahasan shalat. Sangat beralasan jika dikatakan para fuqaha' –umumnya- mendefinisikan aurat dengan mengkaitkan pada busana/ pakaian muslim/muslimah di saat shalat. Apalagi pembahasan secara spesifik tentang 'aurat tidak ditemukan ketegasannya dalam hadis Nabi. Kendati demikian bukan berarti persoalan 'aurat tidak menjadi perhatian fuqaha. Bagi fuqaha', 'aurat seorang muslim yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 31 :
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Menafsirkan ayat di atas Al Qurthuby menyatakan bahwa seorang perempuan hendaklah tidak menampakkan perhiasan/kecantikannya kecuali yang dibolehkan pada bagian lain ayat tersebut yang tujuannya adalah “untuk mencegah terjadinya fitnah” ( حذرا من الافتتان ).  Menurut Al Qurthuby, terdapat perbedaan pendapat mengenai ukuran pengecualian itu. Ibnu Mas’ud menyatakan yang boleh ditampakkan adalah pakaian (  الثيا ب ). Ibnu Jubair menambahkan wajah si perempuan. Adapun Sa’id bin Jubair, ‘Atha’ dan Al Auzai’y menambahkan lagi kedua telapak tangan (الكفان ), jadi boleh memperlihatkan wajah, kedua telapak tangan dan pakaian.
Ath Thabary mengecualikan wajah dan tangan sampai pertengahan lengan sebagai aurat wanita dengan bersandar pada hadits Qatadah dan 'Aisyah, bahwa Rasulullah Saw.  bersabda:
لا يحل لامراة تؤمن بلله و اليوم الاخر اذا عركت –حاضت- ان تظهر الا وجهها و يديها الى ههنا – و قبض على نصف الذراع
Artinya: "Tidaklah halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat apabila telah berhaidh (cukup umur) untuk menampakkan (tubuhnya) kecuali wajah dan kedua tangannya sampai ke tempat ini, lalu beliau memegang pertengahan lengannya".

Abu Bakar al-Jashshash memahami penggalan kalimat (janganlah mereka menampakkan perhiasannya) adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahunna” yaitu janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang disitu dikenakan perhiasan. Di samping itu, ulama berbeda pendapat dalam memahami lafadz istitsna' (illa) pada kalimat:
(Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa terlihat). Perbedaan terjadi di seputar apakah lafadz استثناء (illa) menunjukkan pada anggota badan tertentu saja, atau seluruh anggota badan tidak boleh terlihat. Ada fuqaha' yang berpendapat bahwa lafadz استثناء dalam ayat di atas adalah meliputi seluruh anggota tubuh sebagai 'aurat. Argumen yang mereka  kemukakan berdasarkan surat al-Ahzab ayat 59 :
Artinya: Wahai Nabi: katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu mereka tidak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sementara itu ada fuqaha lain yang berpendapat bahwa lafadz istisna' menunjukkan hanya anggota badan tertentu saja. Dengan kata lain ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan, seperti wajah dan dua telapak tangan. Pendapat ini berasal dari pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Dalam penilaian Ibnu Jarir Ath-Thabary (w. 310 H) sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an, pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan lafadz istisna' adalah anggota tubuh tertentu saja yaitu dengan mengecualikan wajah dan dua telapak tangan. Imam Ath Thabary sebagaimana dikutip Al-Qurthubi memperluas batasan pengecualian aurat wanita mencakup wajah dan tangan sampai pertengahan lengan.
            Aurat laki-laki dan perempuan ketika melaksanakan shalat adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan. Hal ini sebagaimana terungkap dalam kandungan makna ayat al-Qur'an yang dijadikan dasar bagi para ulama untuk menjustifikasi batasan 'aurat yang harus ditutupi di saat melaksanakan shalat. Jika dicermati labih lanjut batasan 'aurat yang disebutkan dalam ayat di atas, kelihatannya batasan 'aurat yang diberikan fuqaha' ditujukan kepada 'aurat perempuan, dengan tidak menafikan 'aurat laki-laki dalam melaksanakan shalat.  Jadi, yang dimaksud dengan apa yang tampak dari perempuan berupa wajah dan dua telapak tangan adalah kedua anggota tubuh yang biasa nampak dari kalangan muslimah dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, pada saat turunnya ayat al-Qur`an. Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah 'aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan, karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :
يا اسماء ان المراة اذا بلغت المحيض لم يصلح ان يرىمنها الا هذا  و اشارالى وجهه و كفيه
"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haid) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjuk pada wajah dan telapak tangannya." (HR. Abu Dawud).
     
Adapun batasan aurat laki-laki adalah dari pusar hingga lutut. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi'i. Terjadinya perbedaan pendapat disebabkan adanya perbedaan antar hadis yang keduanya bernilai shahih.

1.      Hadis Jurhud ra.:
...قال الفخذ عورة...
Artinya: Sabda Nabi Saw.; "Paha itu merupakan aurat".

2.      Hadis riwayat Anas:
...ان النبى صلى الله عليه وسلم حسر عن فخذه وهو جالس مع اصحابه
Artinya:…bahwasannya Nabi Saw. membuka pahanya, padahal beliau duduk bersama para sahabat.
Dalil al-Qur'an dan hadis di atas digunakan fuqaha sebagai dasar hukum mengenai batasan aurat terutama untuk perempuan. Sedangkan batasan aurat wanita dan laki-laki di luar shalat (dalam beraktivitas sehari-hari) secara khusus dibahas oleh sumber-sumber hukum klasik khususnya dalam bab shalat. Dari sinilah kemudian masalah aurat (bagian pribadi yang harus ditutupi dengan pakaian) dibahas.
Dalam shalat laki-laki maupun perempuan muslim harus menutup seluruh auratnya, atau menutupi sesuatu yang oleh hukum dianggap sebagai aurat manusia. Boleh jadi apa yang dianggap aurat ketika shalat juga menjadi aurat di luar shalat. Sebagai contoh, seorang laki-laki wajib menutupi bagian tubuh yang ada di antara pusar dan lutut baik ketika shalat maupun di luar shalat. Tetapi minoritas pendapat menyebutkan bahwa aurat laki-laki hanyalah pangkal paha dan pantat. Aurat perempuan lebih kompleks seperti telah disebutkan di atas seluruh bagian tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Dalam konteks aurat perempuan di luar shalat, ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Syafi'iyah berpendapat aurat perempuan yang harus dihijabi adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Namun Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa selain muka dan telapak tangan, kedua betis perempuan pun boleh terbuka. Sedangkan Imam Hanbali mempunyai pandangan yang lebih ketat, bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat, termasuk kedua telapak tangan. Hanya wajah saja yang boleh kelihatan. Kendati berbeda dalam menentukan batas aurat bagi laki-laki dan perempuan, tetapi para fuqaha sepakat bahwa menutup aurat hukumnya fardhu, sehingga orang yang tidak menutupi aurat ketika shalat maka shalatnya menjadi tidak sah.

C.     Landasan Pemikiran tentang Busana/Pakaian dalam Fiqh Islam
Dalam literature fiqh Islam, pembahasan di seputar pakaian/busana dikaitkan dengan beberapa istilah, yaitu hijab, jilbab, khimar, dir sabigh dan milhaf. Secara sederhana, hijab adalah segala sesuatu yang menutupi bagian-bagian tubuh pribadi. Al-Quran juga mengungkapkan penutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup secara umum seperti terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 58, yang memerintahkan kepada para shahabat Nabi Saw. Pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi Saw. Untuk memintanya dari balik hijab (penutup). Hijab dalam penggunaan pakaian yang bermakna penutup tubuh perempuan, bersumber dari pemahaman terhadap dua hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibn Khuzaimah, dengan perbandingan surat An-Nur ayat 31 dan surat al-Ahzab ayat 33 yang dilengkapi dengan beberapa pandangan ulama fiqh tentang kewajiban perempuan menutup aurat.
Jilbab merujuk pada pakaian yang lebih besar dibanding dengan khimar, biasanya dipakai untuk menutupi kepala dan bagian dada perempuan, tetapi bisa juga untuk menutupi seluruh tubuh. Kadang-kadang jilbab dipakai sebagai sinonim dari khimar, dan dalam kasus yang lain digunakan sebagai sinonim bagi izar. Dalam kamus Lisan al-Arab, khimar adalah pakaian yang biasanya dipakai untuk menutupi kepala kaum perempuan. Al-Qur'an mengartikan khimar sebagai kerudung (Q.S. an-Nur ayat 31). Dalam ayat ini diperintahkan bagi perempuan menutupi dengan kerudung panjang, dada atau dada bersama leher mereka. Muhammad Syahrur berpendapat, kata khumur berbentuk jamak, tunggalnya khimaar yang berarti penutup, tetapi bukan penutup kepala saja, dan karena itu Allah memerintahakan untuk menutup semua juyub (bagian badan) yang merupakan perhiasan perempuan yang tersembunyi kecuali kepada delapan kelompok, suami, ayah, anak suami, anak mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara laki-laki mereka dan anak-anak saudara perempuan mereka.
 Dir sabigh biasanya merujuk pada pakaian longgar yang menutupi tubuh seseorang hingga ke kaki. Sedangkan milhaf adalah selimut (ditsar) atau kain penutup yang dipakai untuk menutupi pakaian yang lain.
Menurut al-Shan'ani Nabi saw. pernah mengatakan agar perempuan muslim merdeka yang sudah menstruasi harus mengenakan khimar. Jika tidak maka shalat mereka tidak diterima. Kata menstruasi digunakan sebagai acuan kedewasaan atau usia dewasa. Perempuan yang belum dewasa tidak dikenakan kewajiban ini. Dalam hadis lain disebutkan bahwa dir yang baik harus panjang dan longgar untuk menutupi kaki perempuan, tetapi tanpa khimar belumlah cukup.
Dari penulis nasional Indonesia yang memiliki pemikiran agak liberal tentang jilbab adalah Prof. Dr. Quraish Syihab yang menyatakan bahwa
         Masalah Jilbab adalah masalah khilafiah:
         Ayat2 Al-Quran tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.
         Ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat wanita bersifat zhanniy.
         Perbedaan para fuqaha tentang jilbab adalah perbedaan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat serta pertimbangan-pertimbangan nalar, bukan hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
           Membaca pemikiran Quraish Shihab di atas, dapat menimbulkan pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan "temporal”.  Banyak yang menentang kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah khilafiah.  Al-Quran tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini.  Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka, sebagaimana yang telah dicatat sebelumnya.
             Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi yang melanda masyarakat di satu pihak, dan justru munculnya arus budaya memakai jilbab di kalangan wanita muslimah di pihak lain, banyak yang menilai pemikiran tentang Jilbab dari Prof. Quraish Syihab ini, bukanlah tindakan yang bijaksana. Prof. Quraish Shihab sendiri, konon meskipun bertahan dengan pendapatnya bahwa jilbab bukan wajib tetapi sebuah anjuran, namun beliau mengaku tetap menganjurkan keluarganya untuk memakai jilbab. Dan beliau berharap, para perempuan muslimah juga berjilbab, tidak lantas melepas jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa ‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk ditutup. Jika demikian agak ganjil juga, sebab bukankah ini bermakna Prof. Quraisy Syihab menerbitkan pendapatnya justru untuk tidak diikuti ?  Lalu buat apa beliau mengeluarkan pendapat seperti itu? Oleh karena itu kiranya jauh lebih aman jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban.

D.    Model dan Bentuk Pakaian dalam Islam

Sekalipun nash Al-Qur'an tidak menetapkan model dan bentuk pakaian sepesifik yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan, bukan berarti model dan bentuk pakaian boleh dipilih sebebasnya tanpa memperhatikan ajaran moral dan etika. Seperti telah dipaparkan di atas, bahwa sebagai acuan dasar dalam menentukan model dan bentuk pakaian dapat merujuk kepada beberapa istilah-istilah di atas. Pada dasarnya syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat bagi perempuan. Bentuk dan model pakaian bagi perempuan merupakan kebebasan setiap individu untuk memilihnya. Dasarnya adalah bunyi nash yang cukup dengan mencantumkan lafadz seperti  terdapat dalam firman-Nya (QS An Nuur ayat 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud). Pakaian yang menutupi seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat dikatakan sudah menutupi. Begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya selama masih dalam keadaan longgar atau tidak ketat.
Berdasarkan hal ini setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya. Bentuk/model seperti ini dalam istilah di atas sering disebut dengan istilah khimar, atau jilbab. Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit sehingga tidak menampakkan kulit seseorang. Pandangan seperti ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:
"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, Rasul memberi isyarat dengan menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya ."

Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkan Asma’ untuk menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi kulitnya. Argumen di atas diperkuat oleh hadis riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanya oleh Nabi Saw tentang qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwa ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya :
‘Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir nampak lekuk tubuhnya.

Hadits ini merupakan petunjuk bahwa syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit.  Atas dasar ini merupakan kewajiban bagi perempuan untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
Secara sederhana, perempuan yang mengenakan celana panjang atau baju potongan boleh saja dianggap telah menutupi aurat. Di sini bukan berarti kemudian pakaian itu digunakan dihadapan laki-laki yang bukan mahram, jika dengan pakaian itu ia telah menampakkan bentuk tubuhnya. Itulah yang disebut  dengan tabarruj. Yaitu menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram. Sekalipun ia telah menutup auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’. 
Dalil mengenai pakaian sejenis jilbab sebagai pakaian dalam kehidupan umum berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah ra, bahwa dia berkata :
"Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat 'Id, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’ salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab? Maka Rasulullah Saw. menjawab: ‘hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Sesuai dengan petunjuk hadis Ummu ‘Athiyah dapat dipahamai bahwa pakaian sejenis jilbab sebagai pakaian bagian bawah (dari leher hingga kaki) merupakan pakaian yang harus digunakan perempuan ketika mereka hendak keluar rumah, di samping menggunakan pakaian sejenis khimar sebagai pakaian bagai atas, menutupi kepala hingga dada.
Khusunya pakaian sejenis jilbab yang biasanya tidak berbentuk potongan, tetapi terulur sampai ke bawah menutup kedua kaki. Ini dipahami dari firman Allah SWT (yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna = hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka). Kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal – diperkuat dengan dengan hadis Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barangsiapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata, apa yang harus diperbuat perempuan dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna). Nabi Saw. menjawab, hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran), yakni dari separuh betis. Ummu Salamah menjawab, kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap. Lalu Nabi menjawab, hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu. (HR. At-Tirmidzi).

Hadits di atas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan perempuan selain dari pakaian di rumah adalah pakaian sejenis jilbab yang diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Dari uraian di atas, kiranya perlu diluruskan anggapan selama ini bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang model baju baik berupa terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap tidak bertentangan dengan ajaran syari'at. Anggapan seperti ini melahirkan kepercayaan bagi individu menggunakan model potongan atau bercelana panjang jeans dengan alasan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna, sekalipun pada hakikatnya mereka berpakaian "setengah telanjang".
Jika pandangan ini dipertahakan, hemat penulis sangat sulit untuk dilakukan pembuktian mengingat ajaran Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana/pakaian Islami dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash al-Qur`an dan Sunnah. Menutup aurat merupakan salah satu syarat, untuk pemakaian busana/pakaian dalam kehidupan umum. Syarat lain misalnya busana/pakaian muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau membentuk lekuk tubuh. Walaupun menutup aurat tetapi kalau membentuk tubuh alias ketat sekaligus menggunakan bahan tekstil yang transparan belumlah dianggap busana/pakaian sesuai dengan ajaran syari'at secara sempurna. Kenyataan di atas perlu ditegaskan agar penentuan model dan bentuk pakaian harus benar-benar sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yaitu dengan mengedepankan norma-norma agama, etika dan moral adat istiadat setempat.

E.     Kesimpulan 
Sejauh data yang diperoleh, penelusuran terhadap model dan bentuk busana/ pakaian dalam kajian fiqh Islam masih bersifat abstrak. Dari literatur fiqh yang ditemukan, pembahasan tentang busana/pakaian masih sangat sederhana. Dengan kata lain, ulama fiqh (fuqaha) hanya menjelaskan bentuk dan cirri-ciri pakaian seperti yang dianjurkan dalam al-Qur'an dan hadis Nabi. Sedangkan model dan bentuk pakaian yang sesungguhnya seperti dimaksudkan dalam nash al-Qur'an dan Hadis Nabi tampaknya tidak ada keharusan dalam bentuk tertentu. Hal ini diketahui dari adanya sejumlah penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang membicarakan tentang busana/pakaian. Di samping itu juga tidak ditemukan format/bentuk baku busana/pakaian yang disepakati oleh fuqaha'.
Persoalan bentuk dan model busana/pakaian dalam kajian fiqh Islam bersifat fleksibel dan dinamis disesuaikan dengan norma-norma etika, moral dan adat istiadat setempat. Jika tidak berlebihan dapat dikatakan bahwa salah satu bentuk dan model busana/pakaian yang telah digariskan dalam ajaran syari'at setidaknya sejenis jilbab (menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan) dan khimar sebagai penutup kepala yang diulurkan hingga ke dada. Sedangkan model jilbab dan khimar menjadi kebebasan bagi setiap orang dalam menentukannya sesuai dengan norma agama, etika, moral dan pertimbangan adat istiadat setempat. Namun demikian dapatlah disimpulkan acuan  sederhana tentang busana perempuan yang sesuai dengan syariat Islam :
         Menutupi seluruh badan selain wajah dan kedua telapak tangan (dalam sebuah hadits diperluas nishfu dzira’
         Bentuk pakaian tidak ketat dan tidak membentuk tubuh.
         Tidak terlalu tipis sehingga warna kulit masih bisa dilihat
         Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
         Tidak dimaksudkan untuk pamer yang mengarah kepada tabarruj
wa allah a'lam bi al-sawab.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis