JUDICIAL REVIEW

PENDAHULUAN
PENGERTIAN JUDICIAL REVIEW
Terdapat perbedaan dalam pendefinisian Judicial Review, diantaranya:
Menurut Encyclopedia Britannica: “Judicial review is the power of courts of a country to determine if acts of legislature and executive are constitutional.” Judicial Review adalah kekuasaan pengadilan negara untuk memutuskan jika perbuatan badan pembuat undang-undang dan eksekutif konstitusional
Sedangkan menurut Ecyclopedia Americana: “Judicial review, power exerted by the courts of a country to examine the actions of the legislative, executive, and administrative arms of the government and to ensure that such actions conform to the provisions of constitution.”
Sri Sumantri berpendapat: Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang hak Uji materiil: Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundangundangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (pasal 1 ayat (1)).
Meskipun belum ada definisi yang baku mengenai judicial review di Indonesia, tetapi pada umumnya judicial review diberi pengertian sebagai “hak uji materiil”, yaitu “wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.”

PEMBAHASAN
MENGUJI UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW)
Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review)
Pasal 24c, Ayat (1) UUD Tahun 1945, menyatakan bahwa:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusnya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 Kewenangan Konstitusional yaitu:
    Menguji undang-undang terhadap UUD
    Memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
    Memutuskan pembubaran partai politik
    Memutuskan sengketa hasil pemilu
    Setelah diadakan Pemilu tahun 1999 dan terbentuk DPR/MPR, maka MPR dalam sidang-sidangnya telah mengamandemen UUD 1945 sebagai langkah awal reformasi hukum. Amandemen dilakukan secara bertahap sejak SU MPR tahun 1999 sampai sidang tahunan 2002 (sebanyak 4 kali amandemen). Amandemen UUD 1945 merupakan hal yang wajar untuk menuju praktek kenegaraan yang lebih demokratis, hal ini mengingat UUD tahun 1945 mengandung kelemahan-kelemahan sehingga praktek kenegaraan di Indonesia oleh gerakan reformasi dianggap kurang demokratis.

Perkembangan Judicial Review
Salah satu pilar Negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman (peradilan) yang mandiri untuk menjaga kenegaraan kekuasaan dari kesewenang-wenangan. Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang jelas dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga.
Perkembangan Mahkamah Konstitusi yang ada didunia diawali dari kasus Madison Versus Madbury di Amerika Serikat. Pada awalnya manfaat dari Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan keperluan untuk mengadakan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan parlemen. Inti perdebatan dalam kasus tersebut adalah bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshall ditantang untuk melakukan pengujian (review atau toetsting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan oleh Konggres. Keputusan Madbury melawan Madison pada thaun 1803 itu sangat popular dan diyakini sebagai awal kelahiran judicial review di USA. Kepala kehakiman John Marshall berpendapat bahwa konstitusi tertulis dan pengadilan independen menyiratkan kekuasaan juicial review ada di Mahkamah Agung, hal ini berkaitan karena adanya kenyataan ketidaksesuaian antara konstitusi dan undang-undang, sehingga tidak mempunyai pilihan lain, harus memberlakukan hukum yang lebih tinggi dan harus menganulir undang-undang yang lebih rendah.
Sedangkan di Indonesia perkembangan Judicial Review melewati tiga periode penting. Pertama, masa awal penyusunan UUD hingga tahun 1970. Pada masa ini, judicial review hanyalah sebatas gagasan dan wacana yang tidak pernah terwujud; Kedua, masa mulai dirumuskannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hingga tahun 1999. Inilah kali pertama Judicial Review dibahas secara mendalam dan diperdebatkan secara terbuka, sekaligus menjadi tonggak awal diterapkannya mekanisme tersebut; dan Ketiga, masa terjadinya perubahan UUD hingga tahun 2003. Dalam kurun waktu ini terjadi proses perubahan sistem politik dan kekuasaan negara, termasuk terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Praktek Judicial Review tidak serta-merta dilakukan oleh penguasa yang demokratis
Tiga Negara dengan konstitusi tidak tertulis, diantaranya adalah Inggris dan Kanada. serta enam Negara yang mempunyai konstitusi tertulis dan pengadilan tinggi, menolak secara tegas (eksplisit) adanya kekuasaan judicial review. Negara-negara tersebut berpendapat bahwa parlemen adalah pemberi garansi tertinggi dari konstitusi.
Sebagai kompromi antara dua pemikiran bertentangan ini, beberapa Negara mempercayakan judicial review ke pengadilan atau badan konstitusional khusus dari pada ke sistem pengadilan umum, dan badan tersebut terkenal dengan nama Mahkamah Konstitusi. Sebagai contoh kekuasaan peradilan tertinggi di USA berada ditangan Mahkamah Agung yang kekuasaannya sangat tinggi dan sangat dipercaya oleh masyarakatnya sebagai lembaga yang suci, karena keputusan-keputusannya tidak tidak pernah mengecewakan rakyat Amerika, bahkan dapat menyelesaikan perselisihan pendapat tentang hasil Pemilu Presiden.

Hak Menguji
a.    Hak menguji formal
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legeslatif seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Hak menguji formal adalah: wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.
b.    Hak menguji material
Hak menguji material adalah sesuatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan material suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
Menurut Prof Harun Alrasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang, dan hak menguji ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
Berdasarkan dari arti hak menguji formal dan hak menguji material tersebut, maka dapat diartikan bahwa:
a.    Hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD.
b.    Hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga Negara lain yang diberi kewenangan tersebutberdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif.
Dapat diambil pengertian dari definisi tersebut bahwa definisi dari suatu istilah sangat tergantung dari system hukum yang dianut oleh Negara yang bersangkutan. Definisi hakmenguji (toestsingsrecht) yang dikemukakan merupakan pengujian pada Negara yang menganut civil law system, hak menguji yang dimiliki hakim hanya dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan karena terhadap tindakan administrasi negara diadili oleh peradilan administrasi. Di Indonesia, tindakan administrasi negara yang berupa Keputusan Tata Negara Usaha diadili oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Hak Menguji Undang-Undang di Indonesia
Di Indonesia pengaturan hukum tentang judicial review menjadi suatu hal yang diperdebatkan secara serius sejak founding fathers membicarakan tentang undang-undang dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia telah merdeka. Apakah akan memasukkan judicial review atau tidak dalam konstitusinya.
Sepanjang sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, kebebasan kekuasaan kehakiman, selalu mengalami pasang surut, artinya selalu menjadi perdebatan tergantung kondisi sosial politik yang melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang baru, namun mengenai sistem Negara hukum, sudah sejak berdiri Indonesia menganut Negara hukum. Hal ini tercantum dengan jelas dalam penjelasan UUD 1945 (sebelum diamandemen) yang menyatakan antara lain bahwa Indonesia adalah Negara yang berlandaskan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).
Sebelum amandemen, UUD tahun 1945 kewenangan kekuasaan kehakiman (peradilan) berada pada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam pasal 24 UUD 1945. Kewenangan ini yang diatur dalam peraturan perundangan yang lain yaitu pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau antar Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi: Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, pasal 31 UU No 14 Tahun 1985 tenang Mahkamah Agung dan Pasal 26 UU No 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Mahkamah Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan perundang-undangn dibatasi hanya terhadap peraturan-peraturan dibawah undang-undang.
Implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu PERMA No.1 tahun 1999 yang telah dicabut dengan PERMA No.1 Tahun 1999. Sebagaimana telah diubah dengan PERMA No.02 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Prosedur/tata cara hak uji materil diatur dalam PERMA, dengan pertimbangan ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengatur hak uji materil tersebut bersifat singkat tanpa mengatur tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan hak uji materil. Seyogyanya hal ini diatur dalam bentuk undang-undang, karena berkaitan dengan masalah hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung dalam fungsi menjalankan peradilan.
Pelaksanaan hak menguji undang-undang (judicial review) dalam prakteknya belum optimal karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Hak menguji yang menjadi wewenang Mahkamah Agung terbatas kepada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, yang artinya tidak sepenuhnya berada kebawah kendali Mahkamah Agung, tetapi masih dibawah kendali birokrasi politik.
Mengingat kondisi sosial politik pada masa reformasi yang dinamis dan menghendaki praktek kehidupan demokrasi yang lebih baik, maka MPR membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar pemerintahan berjalan seimbang, tidak sewenang-wenang, lahirlah undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan lahirnya undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maka beberapa kewenangan Mahkamah Agung yang ada sekarang akan dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi yaitu hak menguji undang-undang (judicial review).
Faktor-faktor yang dijadikan dasar untuk melakukan amandemen UUD tahun 1945, karena pasal-pasal yang mengatur sistem politik, sosial, budaya kurang kondusif untuk perkembangan demokrasi dan penegakan hukum. Salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 24 UUD 1945 yang mengatur kewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. Kewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman ditambah dengan membuat aturan tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain mengatur wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar, yaitu pasal 24c ayat (1) UUD tahun 1945.
Sehubungan dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR dan Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang ini pada intinya mengatur tentang kewenangan yang besar dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan Negara, antara lain melakukan pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, menyelesaikan perselisihan kewenangan antara lembaga Negara, memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Latar Belakang Pentingnya Mahkamah Konstitusi
    Mengutip Afiuka Hadjar, dkk, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
•    Paham Konstitusionalisme
Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menurut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
•    Sebagai Mekanisme Check and Balances
    Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistim kontrol yang relevan adalah sistim kontrol judicial.
•    Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
    Sistem pemerintahan negara yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipasif.
•    Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia
Kekuasaan yang tidak terkontrol sering kali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran HAM.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi logis dari negara yang menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan sistem demokrasi modern, keberadan Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban dari keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali produk perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan kepentingan politik jangka pendek tidak mempunyai visi dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi mengakomodasikan kepentingan rakyat yang diperlakukan tidak adil dengan dibuatnya undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga rakyat dapat mengajukan judicial review.
Masyarakat sangat antusias menyambut keberadaan lembaga ini, hal ini dapat dilihat dari permohonan judicial review yang diajukan dikepanitiaan Mahkamah Konstitusi, terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang dasar negara republik indonesiatahun 1945 selalu meningkat setiap tahunnya.
Pada awal tahun pelaksanaan tugasnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan beberapa permohonan dan yang diajukan mendapat perhatian masyarakat luas. Salah satu keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yudicial review yang diajukan Delier Noer dkk dan lembaga perjuangan dan rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KRDB) yang menuntut pembatalan pasal 60 huruf g Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum yang mengatur bahwa WNI bekas anggota partai terlarang (PKI) termasuk organisasi massanya tidak mempunyai hak dipilih dalam pemilu tahun 2004, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan : bukan berkas anggota organisasi terlarang partai komunis indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya?. Mahkamah Konstitusi memandang pasal itu melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam UUD tahun 1945, oleh karena itu pasal tersebut harus dicabut.
Keputusan lain yang menjadi perhatian publik adalah keputusan gugatan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang mengajukan kegiatan judicial review terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap bertentangan dengan undang-undang 1945, dan isi pasalnya ada yang saling bertentangan, di satu pihak masih mengakui keberadaan instansi terkait termasuk KPKPN, tetapi dipihak lain menempatkan KPKPN merupakan salah satu bagian dari KPK. Permohonan ketua KPKPN ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan konsekuensinya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berlaku dan eksistensi KPKPN secara mandiri teranulir menjadi bagian dari KPK.
Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, merupakan suatu realita bahwa Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya sudah dapat menyelesaikan perselisihan para pihak yang berbeda pendapat tentang suatu pasal undang-undang.
Hal ini diharapkan akan tercipta suatu kepastian hukum terhadap konflik yang terjadi dimasyarakat.
Adanya pembatalan Undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pelajaran bagi DPR dan pemerintah, agar dalam menyiapkan/membahas undang-undang seyogianya lebih hati-hati dan memperhatikan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis serta responsif terhadap aspirasi rakyat sehingga UU tersebut mencerminkan keadilan, tidak hanya mempertimbangkan politik untuk kepentingan kelompok / golongannya melainkan mencerminkan kehendak rakyat dan tidak ada gugatan masyarakat terhadap UU tersebut.
Untuk menjaga kredibilitasnya, Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengambil keputusan dalam menguji suatu Undang-Undang hendaknya menghindari pengaruh dari kepentingan politik tertentu.

Judicial Review Peraturan Daerah
Ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya perda, didaeah otonomi daerah ternyata tidak konsisten antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain.
Era otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk membuat peraturan daerah (perda). Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Agung No. 05/HUM/2005 timbul permasalahan hukum mengenai lembaga mana sebenarnya yang berwenang menguji.
Majelis hakim agung yang diketuai Prof. Muchsan pada 21 Februari 2006 memutuskan pembatalan tiga Perda DKI Jakarta (No 13, 14 dan 14 Tahun 2004). Dalam amarnya majelis juga memerintahkan kepada gubernur dan DPRD DKI untuk mencabut tiga perda tersebut. Jika dalam waktu 90 hari tidak dilaksanakan, maka ketiga Perda tentang pritivasi rumah sakit daerah itu demi hukum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan itu sendiri berawal dari permohonan yudicial review yang sejumblah elemen pemerhati hak-hak konsumen, termasuk yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Berdasarkan pasal 24 A ayat(1) UUD 1945 dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung memberi wewenang kepada MA untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan merujuk pasal 7 UU No 10 tahun 2004 berarti peraturan perundang-undangan yang dapat diuji MA adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.


•    Kedudukan PERDA
Dalam peraturan perundang-undangan, perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan perda berada dibawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa yang sebenarnya yang berwenang mengujinya.   
Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerah ini mengingat perda adalah produk kepala daerah dan DPRD di suatu daearah yang bersifat otonom.
Menurut pasal 1945 ayat 2 UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pengujian terhadap perda tidak dilakukan oleh MA, hal itu terkait ketentuan dimana kewenangan pembatalan (berarti termasuk juga pengujiannya) perda hanya ada pada presiden apabila perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, jadi yang berwenang membatalkan perda berdasarkan UU No 32 tahun 2004 itu adalah Presiden/Pemerintah. Pemerintah dengan peraturan presiden, tapi kalau pemerintah daerah itu tidak puas, ia bisa mengajukan ke MA. Tindak lanjut pembatalan perda tersebut menurut UU No 23 tahun 2004, harus dibuat peraturan presiden yang meyatakan pembatalan perda paling lama 60 hari sejak diterimanya perda oleh pemerintah dari daerah. Kemudian, paling lama 7 hari setelah keputusan tersebut, kepala daerah harus memerhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-udangan, maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, wewenang MA terkait pembatalan Perda berdasarkan pasal 145 ayat 6 UU Nomor 32 tahun 2004 terbatas hanya menerima keberatan terhadap daerah yang tidak terima pembatalannya. Jadi MA tidak membatalkan, tapi kalau perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, maka asasnya ia tidak bisa diberlakukan karena tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Kondisi ini berarti sebagai pengecualian dari ketentuan pasal 24 A ayat 1 uud 1945 dan UU Nomor 5 tahun 2004 dimana seharusnya MA berwenang melakukan uji material terhadap segala peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Seharusnya menurut pasal 24A (UUD 1945), semua peraturan dibawah uu diuji oleh ma, tapi uu nomor 32 (tahun 2004) menyatakan kalau perda bertentangan yang lebih tinggi, dibatalkan oleh presiden. Dengan demikian, ma berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden dan seterusnya, tapi tidak termasuk perda.
Pengujian perda oleh pemerintah justru karena pemda merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif) karena pemda ada dibawah pemerintah.jadi pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana kewenangan atributifnya diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004, ditemukan bahwa Peraturan Daerah adalah juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa peraturan daerah dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu perda.

•    Kewenangan Exekutive Review Terhadap Perda
Pencabutan perda oleh pemerintah ditetapkan dalam bentuk Kepmendagri karena pemerintah telah melimpahkan kewenangan tersebut kepada Mendagri. Ada dua pengujian perda yaitu pengujian perda secara preventif yaitu Perda Pajak, Retribusi, Tata ruang dan APBD, jika tidak ada masalah maka Perda tersebut dapat diberlakukan. Sedangkan Perda Represif diberlakukan dahulu kalau bertentangan baru dicabut.
Pengujian perda oleh pemerintah merupakan sarana kontrol agar tidal terjadi masalah dimasyarakat nantinya. Namun banyak daerah yang tidak melaporkan Perda yang akan diberlakukan sehingga pengujian Perda oleh pemerintah masih bersifat Pasif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis