PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pada tanggal 24 Mei 2004, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang organik, karena melaksanakan secara tegas perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
UUD 1945, Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dalam hal Presiden tidak menandatanganinya sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945, dan Menteri Sekretaris Negara tidak pula menjalankan kewajiban konstitusional untuk mengundangkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, telah mendorong timbulnya perbincangan publik yang melahirkan berbagai tanggapan.
Sebagian berpendapat bahwa berdasarkan konstitusi suatu rancangan undang-undang yang telah memperoleh persetujuan bersama DPR dan Presiden namun Presiden tidak menandatanganinya setelah melampaui batas waktu 30 hari, maka rancangan tersebut sah menjadi undang-undang, hanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat orang banyak (legally binding force) jika belum dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan tidak ada nomornya. Pendapat lain mengatakan bahwa hak veto Presiden berdasarkan konstitusi untuk tidak mengesahkan undang-undang berarti Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. Pandangan lain menyebutkan Sekretaris Negara dianggap tidak menjalankan kewajiban konstitusi jika tidak mengundangkan suatu undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama walaupun Presiden tidak menandatangani (mengesahkan) nya.Ada pula pendapat lain yang menganggap undang-undang belum ada, karena persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 persetujuan tadi oleh Presiden diwujudkan dengan pembubuhan tandatangan Presiden atas undang-undang sebelum dimuat dalam lembaran negara.

PembentukanUndang-Undang dalam Konstitusi
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya Undang-Undang Dasar, yaitu:
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
(2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat;
(3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; dan
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah (diamendemen) dengan empat kali perubahan.
UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Mengenai proses pembentukan undang-undang hanya menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya. Selain itu pada bagian lain, yaitu mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja, UUD 1945 menyatakan bahwa hal itu ditetapkan dengan undang-undang, dan apabila DPR tidak menyetujui yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (Pasal 23 ayat (1).
Konstitusi RIS (1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal mengatur tentang pembentukan undang-undang. Pasal 127 – Pasal 143 Konstitusi RIS memuat Bagian II tentang “Perundang-undangan” yang mengatur tentang kekuasaan perundang-undangan federal. Bagian II UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal juga memuat pengaturan tentang “Perundang-undangan” (Pasal 89 – Pasal 100).
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1), sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum.
Perubahan UUD1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan, sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan Presiden, terdapat berbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antara lain sebagai berikut:
a. Beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dari presiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2);
b. Kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.(Pasal 20 ayat (4);
c. Sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejak persetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidak disahkan oleh Presiden (Pasal20 ayat 5);
d. Kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5).
e. Adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tatacara pembentukan undang-undang (Pasal 22A); dan
f. Tugas pengundangan peraturan perundang-undangan diserahkan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. (Pasal 48).

Undang-undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan
Memenuhi amanat Pasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum danTata Urutan Peraturan Perundang-undangan, DPR bersama dengan Presiden telah membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24 Mei 2004. Pada dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Substansi UU P3 terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum dan pasal perpasal dan lampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang dahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999 setelah diadakan modifikasi dan penyempurnaan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan mengenai asas peraturan perundang-undangan (asas pembentukan, materi muatan, jenis dan hierarki ), materi muatan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan pengesahan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pengundangan dan penyebarluasan, dan partisipasi masyarakat dalam penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undangan rancangan peraturan daerah.
UU P3 meningkatkan status berbagai pengaturan yang terdapat dalam Keputusan Presiden Nomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (dimuat dalam lampiran UU P3), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 mengenai mekanisme penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan di daerah dan berbagai produk lain yang pernah ada yang sifatnya mengatur tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa sudah ada undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 54 UUP3, semua teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pernah ada harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3.
UU P3 mengikat Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR, Mahkamah Agung, BPK, Bank Indonesia, Mahkamah Konstitusi, menteri, kepala badan, lembaga dan komisi yang setingkat dan yang lainnya dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menaatinya. Ketentuan UU P3 yang mengatur tentang asas, jenis dan hierarki, materi muatan, pembentukan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan menjadi landasan bagi kebijakan unifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh Indonesia, sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda makin lebih sederhana karena sudah ada pedoman mengenai proses dan teknik yang harus ditaati.

Asas, Jenis, danMateri
Ada 7 “asas pembentukan peraturan perundang-undangan” yang dicantumkan dalam dalam Pasal 5 huruf a s/d g. Di samping itu ada 10 “asas materi muatan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a s/d j. Asas pembentukan perturan perundang-undangan lahir dari asas negara berdasar hukum, yang berarti suatu penetapan penggunaaan kekuasaan yang secara formal dibatasi dalam dan berdasarkan UUD 1945, yang kemudian ditegaskan kembali di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.Asas P3 dibedakan pada asas formal dan asas material. 7 Asas tersebut diseleksi dari berbagai asas yang dikembangkan oleh para ahli perundang-undangan dan disesuaikan dengan P3 di negara kita. Menurut Hamid Attamimi, asas formal adalah tentang “bagaimananya” (het ‘hoe’) suatu peraturan, dan asas material yang berhubungan dengan ‘apanya’ (het ‘wat’) suatu peraturan.
Van der Vliesmembahas asas P3 dan menyebutnya sebagai “beginselen van behooorlijkeregelgeving” (asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik). Asas berkaitan dengan norma yang harus terwujud dalam perbuatan pemerintahan dan yang dapat dipaksakan berlakunya oleh hakim. Misalnya asas tentang perlakuan yang sama terhadap semua warganegara (gelijkheidsbeginsel).
Dikaitkan dengan hukum administrasi, asas P3 dibedakan pada asas yang berkaitan dengan:
a. Proses persiapan dan pembentukan keputusan (hetprocess van voorbereiding en besluitvorming);
b. Asas yang berkaitan dengan motivasi dan pembentukan keputusan (de motivering en inrichting van het besluitvorming); dan
c. Asas isi keputusan (de inhoud van het besluit).

Ketiga asas diatas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat dirumuskan lagi sebagai berikut:
a. Asas terwujudnya suatu peraturan (de totstandkomingvan een regel);
b. Asas sistematika dan pengundangan (pengumuman) suatu peraturan (de systematiek en bekendmaking van een regel);
c. Asas kemendesakan dan tujuan dari peraturan (denoodzaak en de doelstelling van een regel); dan
d. Asas isi (muatan) suatu peraturan (de inhoud van eenregel).
Tidak dicantumkannya asas alasan (motivasi) pembentukan peraturan perundang-undangan secara eksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan karena asas tersebut sudah inklusif dalam asas tentang kejelasan tujuan dalam Pasal 5 huruf a yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa setiap P3 harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas motivasi lebih mencerminkan tentang kehendak yangsebenarnya dari P3 yang sangat mungkin ditumpangi atau disusupi oleh kepentingan kelompok tertentu atau berlatar belakang KKN seperti yang banyak disinyalir akhir-akhir ini.
Dalam UU P3, apakah asas undang-undang harus tercantum secara eksplisit dalam batang tubuh? Pembentuk undang-undang mungkin memerlukan pencantuman asas, dan jika demikian asas dapat dimasukkan dalam bab “ketentuan” umum dan bukan dalam tersendiri. Namun ketentuan umum sebaiknya hanya “mencerminkan “ asas, maksud dan tujuan.
UU P3 telah menyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis peraturan perundang-undangan secara cukup memuaskan. Selama ini masih dipersoalkan tentang kedudukan “keputusan menteri” yang secara eksplisit tidak tercantum sebagai jenis peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Tertib Hukum. Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 ditetapkan 5 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang tidak dicantumkan “peraturan menteri” di dalamnya. Namun dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Penjelasan ayat 4) menyebutkan secara luas tentang jenis peraturan perundang-undangan, sehingga meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, PP, Peraturan Presiden, dan Perda, terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain dengan kualifikasi sebagai berikut:
a. Diakui keberadaannya;
b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. Dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ; dan
d. Dibentuk oleh badan yang diberi kewenangan.
Dalam jenis dan hierarki tersebut terdapat instrumen hukum yang disebut “peraturan presiden” (yang digunakan dalam masa orde lama) pengganti dari “keputusan presiden” yang bersifat mengatur. Penggantian instrumen hukum tersebut tentu dimaksudkan untuk menyederhanakan penyebutan jenis peraturan perundang-undangan dan untuk menghindari peran ganda keputusan presiden, baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking).Disadari bahwa penggantian itu dikritik oleh sejumlah ahli perundang-undangan karena pengaturan yang lama (keputusan presiden yang bersifat mengatur) masih cukup valid.
UUP3 memberikan pedoman pasti tentang materi muatan bagi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Desa/yang setingkat, dan materi muatan ketentuan pidana. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan teliti oleh pembentuk rancangan undang-undang. Khusus untuk materi Peraturan Presiden, disebutkan bahwa materi Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sepintas lalu terlihat bahwa Peraturan Presiden tidak bersumber dari Pasal 4 ayat (1) yaitu peraturan yang dikeluarkan Presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, melainkan adalah materi muatan delegasian dari Undang-Undang atau materi melaksanakan Peraturan Pemerintah. Jika demikian, pemikiran mengenai materi muatan Peraturan Presiden memang berbeda dengan paradigma konsepsional Keputusan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 ayat (1).

Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi RUU
Substansi Pasal 18 ayat (2) tentang pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU mirip dengan substansi Keppres No. 188/1998. Tugas koordinasi masih tetap dibebankan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang harus melewati mekanisme tertentu, yaitu pembahasan bersama Panitia Antar Departemen (PAD) agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam sebuah RUU. Menteri dibidang perundang-undangan diserahi tugas koordinasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai pembantu Presiden dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang hukum pembinaan hukum nasional.
Bagaimana jika instansi pemerintah yang memprakarsai RUU tidak menempuh prosedur tersebut? Bagaimana pula dengan prosedur yang harus ditempuh dalam rangka mempersiapkan rancangan peraturan daerah? Memang tidak ada pengaturan yang tegas memberikan semacam sanksi. Sebab hal itu sepenuhnya tergantung kepada kewenangan Presiden, apakah masih akan menerima sebuah rancangan undang-undang yang akan disampaikan kepada DPR tanpa memenuhi ketentuan Pasal 18 atau menolaknya?
Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang berfungsi sebagai pembantu Presiden seharusnya menyadari bahwa kewajiban Pasal 18 dimaksudkan sebagai upaya pengawasan bersama oleh Panitia Antar Departemen yang bersifat mencegah terhadap kemungkinan sebuah rancangan mengandung cacat hukum (preventief toezicht), yang tidak terlihat dengan jeli oleh departemen pemrakarsa. UUD 1945 memang memberikan peluang bahwa rancangan yang tidak disetujui oleh Panitia Antar Departemen dapat diteruskan ke DPR sebagai usul hak inisiatif, namun produk awal (initial draft) yang dikirimkan tersebut mungkin akan mengandung berbagai norma yang berbenturan dengan peraturan perundang-undangan dari departemen lain (conflicting norms),sehingga akan menyulitkan Presiden atau menteri yang bersangkutan dalam pelaksanaannya. Sangat terbuka kemungkinan bagi para pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang yang“bermasalah” (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini.

Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan
Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentangpengesahan, yaitu
(1) Pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
(2) Pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jika telah melewati waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang disetujui bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: “Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanya dilakukan Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanis perundang-undangan menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalam sistem pemerintahan yang berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepadaDPR jika dia merasa masih ada keberatan terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR.
Pengundangan (bekendmaking) peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menempatkan peraturan perundang-undangan pada: Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (Pasal 45). Pengundangan peraturan perundang-undangan yang ditempatkan dalam Lembaran Negara atau dalam Berita Negara dilakukan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perundang-undangan. (Pasal 48)
Ketentuan mengenai pengundangan tidak secara tegas menyebutkan status Tambahan Lembaran Negara yang selama ini berlaku sebagai tempat pengundangan bagi penjelasan peraturan perundang-undangan. Apakah ini berarti bahwa untuk masa akan datang tidak dikenal lagi Tambahan Lembaran Negara?
Penyebarluasan (afkondiging) peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara dan Berita Negara dibebankan kepada Pemerintah, sedangkan penyebarluasan Peraturan Daerah dan peraturan di bawahnya yang dimuat dalam Berita Daerah dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Fungsi penyebarluasan sebenarnya tidak termasuk dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun terkait dengan teori fictieleer yang masih dianut dalam frasa penutup sebuah undang-undang “agar setiap orang mengetahuinya”, karena pada umumnya masyarakat mengetahui adanya undang-undang bukan dari Lembaran Negara atau Lembaran Daerah melainkan dari pemberitaan mass-media atau publikasi khusus perundang-undangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis