Contoh-contoh Hadits Yang Berkaitan Dengan ‘umūm al-balwā

   Contoh Pertama
عن عروة يقول دخلت على مروان بن الحكم فذكرنا ما يكون منه الوضوء فقال مروان ومن مس الذكر فقال عروة ما علمت ذلك فقال مروان أخبرتني بسرة بنت صفوان أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول "من مس ذكره فليتوضأ". ) رواه أبي داود [1](
Artinya: Dari Urwah, dia berkata, “Aku pernah menghadap kepada Marwan bin Hakam, maka kami menyebut-nyebut sesuatu yang mengharuskan berwudhu’. Lalu Marwan berkata, “karena menyentuh kemaluan?” Maka Urwah berkata, “aku tidak mengetahui tentang hal itu.” Setelah itu Marwan berkata, “Bahwa Busrah binti Safwan memberitahukan kepadaku, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memegang kemaluannya maka hendaklah berwudhu.” (HR. Abi Daud)


Menurut Mazhab Hanafi, hukum menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’, karena hadits yang diriwayatkan Busrah binti Safwan merupakan permasalahan khabar ahād yang bertentangan dengan ‘umūm al-balwā dan tidak bisa dijadikan hujjah menurut mazhab Hanafi. Namun dalam penolakannya terhadap hadits dari Busrah, mazhab Hanafi berhujjah dengan hadits yang lain,
عن قيس بن طلق عن أبيه قال قدمنا على نبي الله صلى الله عليه وسلم فجاء رجل كأنه بدوي فقال: يا نبي الله ما ترى في مس الرجل ذكره بعد ما يتوضأ فقال هل هو إلا مضغة منه أو قال بضعة منه. (رواه أبي داود)[2]
Artinya: Dari Qais bin Thalq, dari bapaknya berkata: “Kami pernah datang menemui Nabi saw. Lalu tibalah seorang laki-laki yang nampaknya ia dari kalangan Arab baduwi. Ia bertanya: “Wahai Nabiyulllah, apa pendapatmu tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudlu?”. Maka Nabi saw menjawab: “Bukankah ia hanyalah bagian dari tubuhnya?” atau beliau menjawab: “Bagian dari tubuhnya.” (HR. Abu Dawud)

Sedangkan Menurut mazhab Syafi’i, hukum bagi yang menyentuh kemaluannya membatalkan wudhu’, berpegang pada hadits yang di riwayatkan Busrah di atas dan juga hadits-hadits lain yang semakna dan sejalan dengannya.
Contoh kedua
عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال: أَتَىٰ النبيَّ صلىٰ الله عليه وسلم رجلٌ فقال: يا رسول الله، ما تقول في رجل لَقِيَ امرأةً لا يَعْرِفُها فليس يأتي الرجلُ من امرأته شيئاً إلا قد أتاه منها غير أنه لم يُجَامِعْها؟ قال: توضَّأْ ثم صَلِّ. (رواه الترمذي)[3]
Artinya: dari Muaz ibn Jabal ra berkata: Rasulullah saw kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang tak dikenalnya dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suami-istri, tidak juga bersetubuh. Maka Rasulullah saw bersabda: “berwudhulah kamu kemudian shalatlah.” (HR. Tirmizi)

Menurut Mazhab Hanafi, hukum bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, karena hadits yang diriwayatkan Muaz ibn Jabal merupakan permasalahan khabar ahād yang bertentangan dengan ‘umūm al-balwā. Namun dalam masalah ini mazhab Hanafi berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra:
عن عائشة رضي الله عنها قال: أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل امرأة من نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ." (رواه أبي داود)[4]
Artinya: Dari ‘Aisyah ra berkata: bahwa Rasulullah saw, mencium sebagian istrinya kemudian keluar menjalankan shalat tanpa berwudhu”. (HR. Abu Dawud)
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i, hukum bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu, berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Muaz ibn Jabal di atas sebagai hujjah dan menguatkannya dengan firman Allah surah al-Maidah.
أو لامستم النساء. (المائدة: ٦)
Artinya: “Atau menyentuh perempuan.” (al-Maidah: 6)
Contoh ketiga
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال :كانَ رسولُ الله صلىٰ الله عليه وسلم يَجْمَعُ بين صلاة الظهرِ والعصرِ إذا كان علىٰ ظَهْرِ سَيْرٍ ويَجْمَعُ بين المغربِ والعشاءِ. (رواه البخاري)[5]
Artinya: Dari ibn Abbas ra berkata: “bahwa Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau pun menjama’ antara shalat Maghrib dengan shalat Isya.” (HR. Bukhari)
Menurut mazhab Hanafi, tidak dibolehkan menjama’kan shalat secara mutlak, walau bagaimana pun kondisinya. Kecuali ketika berada pada siang hari di Arafah dan pada malam hari di Muzdalifah, Karena dalil-dalil waktu pelaksanaan shalat di riwayatkan secara mutawatir, sedangkan dalil-dalil menjama’kan shalat diriwayatkan secara ahād. Mazhab Hanafi menguatkan argumentasinya dengan menggunakan hadits yang di riwayatkan dari Ibn Mas’ud ra,
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى صلاة لغير وقتها إلا بجمع، فإنه جمع بين المغرب والعشاء بجمع، وصلى صلاة الصبح من الغد قبل وقتها. (رواه البخاري)[6]
Artinya: dari ibn Mas’ud ra berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan shalat di luar waktu-waktunya, kecuali dua shalat, beliau menjama’ antara Maghrib dengan Isya, dan shalat shubuh sebelum waktunya.” (HR. Bukhari)
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, dibolehkan menjama’kan shalat bagi musafir berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan ibn Abbas di atas dan juga hadits-hadits lain yang sejalan dengan hadits dari ibn Abbas di atas.
Contoh keempat
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما: أنَّ رسولَ الله صلىٰ الله عليه وسلم كان يَجْمَعُ بين الرَّجُلين من قَتْلَىٰ أُحُدٍ في ثوبٍ واحد ثم يقول: أَيُّهم أكثرُ أخذاً للقرآنِ؟ فإذا أُشِيْرَ له إلىٰ أحدهما قَدَّمَهُ في اللحد وقال: أنا شهيدٌ علىٰ هؤلاء، وأَمَرَ بدفنهم بدمائهم ولم يُصَلِّ عليهم ولم يُغَسِّلْهم. (رواه البخاري)[7]
Artinya: dari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menggabungkan dua hingga tiga laki-laki yang syahid dalam perang Uhud dalam satu kain kafan. Kemudian beliau bersabda: “Siapakah di antara mereka yang lebih banyak hafalan Al-Qur`annya?” ketika beliau diberi isyarat pada salah satu dari mereka, beliau pun mendahulukannya ketika memasukkan ke dalam lahad. Beliau bersabda: “Aku bersaksi atas mereka semua.” Lalu beliau memerintahkan agar mereka dikubur dalam keadaan masih berlumuran darah, tidak dishalatkan dan tidak dimandikan.” (HR. Bukhari)

Menurut mazhab Hanafi, diharuskan menshalatkan orang yang mati syahid, mazhab Hanafi menolak hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra, karena permasalahan khabar ahad yang bertentangan dengan ‘umum al-balwa. Dalam masalah ini mazhab Hanafi berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan dari ibn Abbas ra,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أُتِيَ بِهِمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فَجَعَلَ يُصَلِّي عَلَى عَشَرَةٍ عَشَرَةٍ وَحَمْزَةُ هُوَ كَمَا هُوَ يُرْفَعُونَ وَهُوَ كَمَا هُوَ مَوْضُوعٌ. (رواه ابن ماجح)[8]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin 'Ayyas dari Yazid bin Abu Ziyad dari Miqsam dari Ibnu Abbas ia berkata, "Pada perang Uhud, mereka (para sahabat yang mati syahid) dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian beliau menshalatkan mereka sepuluh orang-sepuluh orang, jenazah-jenazah itu diangkat silih berganti, sementara Hamzah masih dalam posisi semula (hingga ia dishalati berulang-ulang).” (HR. Ibn Majah)

Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, tidak di haruskan menshalatkan orang yang mati syahid, berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Jabir ibn Abdullah ra, dan juga hadits-hadits lain yang semakna dengan hadits Jabir ra.
Contoh kelima
عن عمرو بن شعيب، عن ابيه عن جده، أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب الناس، فقال: ألا من ولي يتيما له مال فليتجر فيه ولا يتركه حتى تأكله الصدقة. (رواه الترمذي)[9]
Artinya: dari Amru ibn Syuaib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata, bahwa Nabi saw berkhutbah, “Barangsiapa yang menjadi wali bagi seorang anak yatim yang memiliki harta warisan (dari kedua orang tuannya) kemudian wali tersebut memperdagangkan hartanya dan ia tidak meningggalkannya, sehingga anak yatim itu bisa makan darinya maka itu adalah sedekah”. (HR. Tirmizi)
           
Menurut mazhab Hanafi, tidak ada kewajiban zakat pada harta anak-anak, mazhab Hanafi menolak hadits yang diriwayatkan dari Amru ibn Syuaib diatas dengan permasalahan khabar ahad yang bertentangan dengan ‘umum al-balwa. Mazhab Hanafi berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari Ali ra,
عن الحسن البصري عن علي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل. (رواه الترمذي)[10]
Artinya: dari hasan al-Basri dari Ali ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal.” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, pada harta anak-anak adanya kewajiban zakat, berdasarkan pada hadits diatas dan juga hadits-hadits lain yang sejalan dengan hadits diatas.



[1] Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistāni, Sunan Abi Daud, Juz I, Hadits no. 181 (Damaskus: Dar al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009), hlm. 130
[2] Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistāni, Sunan Abi Daud, Juz I, Hadits no. 182, hlm. 131

[3] Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, hadits no. 3113, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1985), hlm. 699
[4] Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistāni, Sunan Abi Daud, Juz I, Hadits no. 179, hlm. 129

[5] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Hadits no. 1107, hlm. 346
[6] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Hadits no. 1682, hlm. 514
[7] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Hadits no. 1343, hlm. 412
[8] Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini Ibn majah, Sunan ibn Mājah, hadits no. 1513, (Kairo: Dār al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tanpa tahun), hlm. 485

[9] Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, hadits no. 641, hlm. 162
[10] Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, hadits no. 1423, hlm. 336

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis