SISTEMATIKA DALIL DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM
Abstract
The necessary of ijtihad is required to be on going
continuity. It is stated that society as an object is always changeable, and
also the changing of developing technology, social interaction, etc. Thus, the
area of ijtihad has been more complex than before. Ijtihad is very important to
be done by Muslim today, because it is a comprehensive method to solve a
particular issues that are found in modern Muslim life. Even Islamic law was developed
by Fiqh School (Madzhab) in the past, but it
needs to be reformed today. The article clarify that new approaches and
methodologies from the other traditions are also part of new spirit of ijtihad
in Islamic legal thought
A.
Pendahuluan
Secara khusus dapat dikatakan
bahwa materi-materi yang dibahas dalam disiplin ilmu ushul fikih adalah hal-hal
yang berhubungan dengan tata cara atau metode-metode istinbath (penetapan)
hukum Islam yang harus dikuasai oleh para mujtahid dengan bersandarkan pada
dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan secara umum, obyek yang dikaji dalam
ushul fikih meliputi empat pembahasan pokok, yaitu:
1.
Pembahasan mengenai
kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengistinbathkan hukum syara’. Kaidah
dimaksud adalah kaidah-kaidah ushuliyah al-lughawiyah dan
kaidah-kaidah ushuliyah al-tasyri’iyah.
2.
Pembahasan mengenai
berbagai materi yang dipergunakan dan berhubungan dengan metodologi istinbath
hukum. Materi dimaksud berupa uraian mengenai hukum syara’, hakim,
mahkum fih dan mahkum ‘alaih.
3.
Pembahasan mengenai tata
cara dan langkah-langkah istinbath hukum dari dalil-dalilnya. Termasuk dalam
pembahasan ini adalah materi tentang ijtihad dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
4.
Pembahasan mengenai sumber
hukum, dalil hukum dan permasalahan yang berhubungan dengannya.
Obyek pembahasan ushul fikih di
atas dibahas oleh para ulama ushul dengan sistematika yang berbeda-beda, sesuai
dengan fokus perhatian individu masing-masing. Oleh karenanya, ada ulama yang
membahasnya dalam satu jilid buku saja, seperti yang dilakukan oleh Abdul Wahab
Khallaf dan M. Abu Zahrah, ada juga yang membahasnya dalam bentuk
berjilid-jilid.
Bagi penulis, cenderung
sependapat dengan para penulis yang mengedepankan pembahasan dalil dari pada
pembahasan yang lainnya, karena jika merujuk pada substansi kajian ushul fikih,
maka sebenarnya ia adalah mengkaji dasar-dasar dan dalil-dalil fikih (hukum
Islam) secara umum. Dengan memahami berbagai dalil hukum syara’ ini, para
mujtahid akan lebih mudah dalam menetapkan dan menganalogikan materi hukum
syara’ sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (syarat-syarat menggunakan
dalil-dalil tersebut).
Dalil menurut bahasa berarti menunjukkan dan menuntun;1
atau sesuatu yang menunjukkan kepada hal-hal yang dapat ditangkap secara
inderawi atau maknawi kepada yang baik dan yang buruk.2
Menurut Istilah dalam ushul
fikih, dalil adalah sesuatu yang dengan penelitian yang benar dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis baik
dengan jalan qath’iy (pasti) maupun dengan jalan yang dhanniy
(dugaan kuat).
Uraian di atas menunjukkan,
bahwa dalil hukum berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai landasan
atau dasar pijakan yang digunakan oleh para mujtahid di dalam menemukan dan
menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan akurat.
Dalam proses penetapan hukum
syara’, penggunaan dalil sangat berperan. Karena di dalam menetapkan suatu
hukum atas berbagai permasalahan yang dihadapi harus dilandaskan pada alasan
atau suatu dalil tertentu. Ketepatan seorang mujtahid di dalam menggunakan
suatu dalil dalam proses istinbath hukum akan melahirkan sebuah ketetapan hukum
yang benar. Sebaliknya, jika seorang mujtahid kurang tepat dalam penggunaannya,
maka akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang kurang valid.
Di dalam ushul fikih, dalil
hukum sering pula disebut dengan istilah adillat al-ahkam (dalil-dalil
hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum), mashadir al-ahkam (sumber-sumber
hukum), adillat al-Syari’ah (dalil-dalil syari’at), asas
al-tasyri’ (dasar-dasar penetapan hukum syara’), atau ushul
al-syari’ah (pokok-pokok hukum syara’). Selain itu dikenal pula istilah mashadir
al-syari’ah dan mashadir al-tasyri’ (sumber-sumber hukum syara’).
Dari istilah-istilah dalil di
atas, yang mudah dipahami oleh kita adalah istilah adillat al-ahkam (dalil-dalil
hukum). Sebab jika menggunakan istilah yang berhubungan dengan sumber hukum
seperti mashadir al-ahkam, atau mashadir al-syari’ah, maka
dalam pemahaman kita di Indonesia ,
semua dalil dapat berarti sumber hukum. Padahal sumber hukum Islam hanya dua,
yaitu Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalil, mengacu pada pengertian atas sesuatu
yang dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk selanjutnya dapat dianggap sebagai
dasar pijakan atau dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum.
Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Yusuf Qardlawi, diketahui bahwa terjadinya berbagai penyimpangan
dalam menetapkan suatu hukum salah satunya diakibatkan oleh penggunaan dalil
yang bukan pada tempatnya. Jika pernyataan ini benar, maka dapat dipastikan
terdapat beberapa ketetapan hukum yang landasan dalilnya tidak tepat.
Konsekuensi dari langkah berpikir seperti ini adalah lahirnya produk hukum yang
bisa saja menimbulkan “kontroversial” di tengah-tengah masyarakat.
Di sinilah letak pentingnya
uraian mengenai sistematika penggunaan dalil dalam menetapkan hukum syara’.
1.
Macam-Macam Dalil Hukum Syara’
Dilihat dari segi asalnya, dalil dibagi kepada
dua bagian, pertama; dalil yang bersumber dari wahyu, dan kedua; dalil yang
bersumber dari ra’yu (penalaran). Dalil yang bersumber dari wahyu berupa
al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan yang bersumber dari ra’yu sangat beragam, di
antaranya adalah ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahat mursalah.
Dalil yang bersumber dari wahyu dikenal juga
dengan istilah dalil manshush, yaitu dalil-dalil hukum yang
keberadaannya secara tekstual terdapat di dalam nash. Sedangkan dalil yang
bersumber dari ra’yu dikenal dengan istilah dalil ghairu manshush,
yakni dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan di dalam nash
al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua macam dalil tersebut pada prakteknya
(ketika digunakan) saling berhubungan satu sama lain, karena dalam menggali
suatu dalil yang bersumber dari wahyu, pada hakekatnya membutuhkan penalaran
akal di dalamnya. Begitu juga sebaliknya, hasil penalaran akal tidak dianggap
sebagai dalil syara’ kecuali bila disandarkan kepada wahyu.3
Mengenai pembahasan dalil syara’ ini, Hasbi
al-Shiddieqy mengemukakan, bahwa dalil syara’ yang pernah digunakan oleh para
ulama ushul jumlahnya mencapai 46 (empat puluh enam) macam dalil.4
Dalil dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:
- al-Qur’an
- al-Sunnah
- Ijma’ seluruh mujtahid
- Ijma’ shahabat
- Ijma’ ulama Madinah
- Ijma’ ulama Kufah
- Ijma’ Khulafa al-Rasyidin
- Ijma’ al-Syaikhaini
- Ijma’ al-Itrah
- Fatwa khalafa al-arba’ah apabila mereka sepakat pendiriannya
- Fatwa shahabi (madzhab shahabi)
- Fatwa Shahabi yang menyalahi qiyas
- Madzhab Kibari al-Tabi’in
- Qiyas
- Istidlal
- Istishhab
- Maslahat mursalah
- Bara’ah al-Ashliyah
- Saddu al-Dzara’i
- Istihsan
- ‘Adat
- ‘Urf
- Ta’amul
- Istiqra’
- Al-Taharri
- Al-Ruju’ ila al-Manfa’ah wa al-Madlarrah
- Al-Qaulu bi al-Nushush wa al-Ijma’ fi al-‘Ibadat wa al-Muqaddarati, wa al-Qaul bi I’tibari al-Mashalih fi al-Mu’amalat wa Baqi al-Ahkam
- Taghyir al-Ahkam bi Taghayyuri al-Achwal wa al-Azman
- Al-Akhdzu bi al-Akhaffi maa Qila
- al-Ishmah
- Syar’u man qablana
- Al-‘Amal bi al-Dhahir aw al-Adhhar
- Al-Akhdzu bi al-Ihthiyat
- AL-Qur’ah
- Al-‘Amal bi al-Ashli
- Ma’qul al-Nash
- Syahadat al-Qalbi
- Tahkimu al-Hal
- ‘Umum al-Balwa
- Al-‘Amal bi Aqwa al-Shabahaini
- Dalalat al-Iqtiran
- Dalalat al-Ilhami
- Ru’ya al-Nabiy saw
- Al-Akhdzu bi aisari ma Qila
- Al-Akhdzu bi Aktsari ma Qila
- Faqdu al-Dalil ba’da al-fihshi.5
Semua dalil di atas oleh sebagian ulama dapat
dikembalikan kepada empat dalil saja, yaitu:
- Al-Kitab
- Al-Sunnah
- Ijma’
- Al-Ra’yu
Secara umum dapat pula dikembalikan kepada tiga
macam dalil, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan dalil ijtihadi.
Dalam prakteknya, dalil di atas tidak digunakan
secara keseluruhan oleh para ulama ushul. Misalnya dalam madzhab Hanafi, dalil
yang dijadikan pegangan dalam menginstinbathkan hukum hanya ada delapan, yaitu;
Qur’an, Sunnah, atsar, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf. Madzhab Maliki dalam
menetapkan suatu hukum berpegang pada dalil Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas,
perbuatan ahli Madinah, maslahat mursalah, istihsan, dzara’i, ‘urf, dan
istishhab. Sedangkan pada kalangan al-Syafi’i, dalil yang digunakan pada umunya
berupa Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.6
Dengan demikian, meskipun dalil-dalil hukum itu
jumlahnya banyak, tetapi dalam penerapannya para ulama berpegang pada
dalil-dalil yang diyakininya saja sebagai dalil hukum yang dianggapnya dapat
dijadikan sebagai hujjah.
Dalil-dalil tersebut dilihat dari segi
kualitasnya dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil qath’i dan dalil dhanni.
Dalil qath’i adalah dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang jelas, tidak
mungkin dita’wilkan dan dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil qath’i
ialah ayat-ayat Qur’an yang dalalahnya sangat jelas dan hadits-hadits
mutawatir. Sedangkan dalil dhanni berarti sebaliknya, ia menunjukkan sesuatu
yang belum jelas, sehingga ada kemungkinan untuk dita’wilkan atau dipahami
lain. Yang termasuk ke dalam dalil ini adalah selain dari kedua jenis dalil di
atas.
Dengan demikian, istilah dalil qath’i dan dhanni
berhubungan dengan nilai dan kualitas sesuatu dalil, hal-hal yang qath’i atau
tegas tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dhanni baik dalam
fungsinya maupun di dalam tempatnya. Mengenai kehujjahannya, dalil yang
bernilai qath’i baik dari segi wurudnya maupun dari segi dalalahnya
(penunjukannya) adalah dalil yang tertinggi nilainya dan merupakan
pegangan yang mutlak untuk dijadikan dasar suatu hukum, ia juga bukan lapangan
ijtihad. Sedangkan dalil yang dhanni merupakan lapangan ijtihad, dan hasil
ijtihadnya pun bernilai dhanni pula.
Dilihat dari segi cakupan maknanya, dalil-dalil
hukum syara’ dibagi kepada dalil kully dan dalil juz’iy.
dalil kully adalah dalil yang maknanya mencakup keseluruhan dan
bersifat umum, ia tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari
perbuatan mukallaf. Sedangkan dalil yang juz’iy ialah dalil yang menunjuk
kepada suatu persoalan dan suatu hukum tertentu.7
Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat
al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah yang kully. Contoh dari ketiganya ialah:
- Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
هُوَالَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu
yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh
untuk dipergunakan oleh manusia. Kata مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala
sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup semua yang ada di darat dan di
laut.
Dari ayat ini diambil dasar kaidah:
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
- Hadist Nabi yang berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Dari
Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh
memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu
Majah dan Daru Quthniy).
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala
ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.
- Kaidah fikih yang berbunyi:
االمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:
يَآ أَبـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang
kully dengan lafadz ‘am, dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas.
Istilah ‘am dan khas, dikenal di dalam kajian lafadz
atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana
yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.
1.
Tugas Mujtahid dalam Menetapkan Hukum
Proses penetapan hukum dalam Islam disebut dengan ijtihad. Secara lengkap
al-Syaukani mengemukakan pengertian ijtihad sebagai berikut:
بَذْلُ الوُسْعِ فِى نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِىٍّ عَمَلِىٍّ بِطَرِيْقِ الاِ سْتِنْباَطِ
“Mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum
syara’ yang bersifat opersasional dengan cara istinbath (mengambil
kesimpulan).”
Secara rinci definisi di atas diuraikannya sebagai berikut:
1. Kata بَذْلُ الوُسْعِ (mencurahkan kemampuan), hal ini
engecualikan huku-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan
makna “pencurahan kemampuan” adalah sampai dirinya merasa tidak mampu lagi
untuk menambah usahanya.
2. حُكْمٌ شَرْعِىٌّ (hukum syara’) mengecualikan hukum bahasa,
akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya
dalam bidang hukum tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fikih.
3. Begitu juga mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah
atau i’tiqadiyah, walaupun menurut ilmu kalam hal yang demikian itu disebut
ijtihad.
4. Kata بِطَرِيْقِ الاِ سْتِنْباَطِ (dengan cara mengambil
istinbath) mengecualikan pengambilan istinbath hukum dari nash yang dhahir atau
penghafalan beberapa permasalahan, atau menanyakan pada seorang mufti ataupun
dengan mencari hukum permasalahan dari buku-buku. karena yang demikian itu
tidak termasuk dalam ijtihad menurut istilah meskipun termasuk ijtihad dari
segi bahasa.8
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan proses
penggalian hukum Islam yang dilakukan oleh seorang fakih dengan suatu upaya
yang bersifat maksimal yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih
sempit dan lebih spesifik daripada yang kemudian digunakan pada masa al-Syafi’i
dan di masa sesudahnya. Istilah ini mengandung arti pertimbangan bijaksana yang
adil atau pendapat seorang ahli. Sebagai contoh, ada satu riwayat mengenai Umar
bin Khattab bahwa pada suatu hari pada bulan Ramadlan, ia mengumumkan tibanya
saat berbuka ketika matahari tampaknya telah terbenam. Setelah beberapa saat,
ia diberitahu orang bahwa matahari terlihat kembali di ufuk Barat (karena
sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan: “Bukan soal
yang gawat, kami sudah berijtihad (qad ijtahadna).9
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Orang yang dianggap sebagai
mujtahid adalah orang yang sudah dianggap memiliki beberapa persyaratan dan
keahlian sebagai berikut:
1. ilmu yang memungkinkannya mengetahui berbagai macam dalil dan
syarat-syarat dalil yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan
hukum.
2. mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, sehingga
memungkinkan bagi simujtahid untuk memahami dengan baik perkataan Arab dan
cara-cara mereka menggunakan bahasanya. Dengan pengetahuan ini, diharapkan
dapat diketahui; makna-makna lafadzdi dalam al-Qur’an atau Sunnah, seperti
makna lafadz yang wadhih, dhahir, mujmal, haqiqat, majaz,
dan sebagainya.
3. mengetahui nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Sehingga simujtahid dapat mengetahui mana ayat yang mahkum
dalam arti masih diakui keberadaannya, dan mana ayat atau hadits yang sudah mansukh
dalam arti sudah tidak efektif lagi.
4. mengetahui ilmu riwayat dan dapat memdekan mana yang shahih,
mana yang hasan, dan mana yang dha’if.10
Mengenai persyaratan mujtahid ini, memang para ulama ushul memiliki kriteria
yang berbeda-beda. Berbeda dengan uraian di atas, Yusuf Qardlawi mencatat
sekitar delapan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Syarat-syarat
dimaskud ialah:
1. mengetahui al-Qur’an.
2. mengetahui al-Sunnah.
3. mengetahui bahasa Arab.
4. mengetahui tempat-tempat ijma’.
5. mengetahui ilmu ushul fikih.
6. mengetahui maqashid al-syari’ah (maksud-maksud
syari’at).
7. mengenal kondisi sosial dan problematika kemasyarakatan di
sekitarnya.
Meskipun persyaratan mujtahid yang dikemukakan oleh para ulama ushul
beragam, namun pada hakekatnya persyaratan tersebut merupakan sebuah upaya agar
orang-orang yang berijtihad memiliki standar keilmuan tertentu. Di samping itu,
tidak memberi peluang kepada orang yang tidak memiliki persyaratan di atas
untuk melakukan ijtihad terhadap permasalahan yang belum ditetapkan hukumnya di
dalam masyarakat.
Lebih lanjut Yusuf Qardlawi mengemukakan, bahwa syarat-syarat ijtihad di
atas adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh siapa saja yang hendak
mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam arti ijtihad dalam semua cabang fikih
dan permasalahannya. Adapun seorang mujtahid yang berijtihad dalam beberapa
masalah, menurut mayoritas ulama ia tidak diwajibkan untuk memiliki semua
persyaratan tersebut karena ijtihad itu dapat dibagi ke dalam beberapa bagian.
Mengenai hal ini Qardlawi mengutif pernyataan al-Ghazali sebagai berikut:
“…terkumpulnya delapan macam pengetahuan ini
hanya disyaratkan atas seorang mujtahid mutlak, yang memberi fatwa dalam
berbagai cabang hukum. Menurut saya (al-Ghazali), ijtihad merupakan martabat
yang bisa dibagi. Bahkan boleh dikatakan bahwa seorang alim itu mencapai derajat
mujtahid di bidang sebagian hukum saja. Maka barang siapa yang mengetahui cara
mencari dalil dan menggunakan qiyas, boleh baginya berfatwa dalam
masalah-masalah qiyas, walaupun ia kurang menguasai ilmu hadits. Dan barang
siapa membahas masalah-masalah musytarakah (salah satu jenis pembagian
harta pusaka) cukuplah bila ia adalah seorang fakih dan mengetahui pokok-pokok
ilmu faraidl dan pengertian-pengertiannya, walaupun dia belum mengerti
hadits-hadits yang menjelaskan larangan minuman keras atau masalah nikah tanpa
wali, karena ia tidak memerlukan hadits tersebut dan tidak ada hubungannya
dengan masalah musytarakah tadi…..”.12
Predikat mujtahid memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid mutlak. Mereka adalah mujtahid yang membangun madzhab
hukum tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, beserta orang-orang yang setaraf dengan para
imam madzhab seperti Zaid bin Tsabit, Ja’far al-Shadiq, al-Tsauri,al-Auza’i,dan
sebagainya.
2. Mujtahid fi al-madzhab (mujtahid madzhab). Mereka
adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya akan tetapi bila terdapat
sesuatu permasalahan yang tidak ditemukan dalam pendapat imamnya, mereka
berijtihad menurut kaidah yang dipergunakan dalam madzhabnya, lalu mengeluarkan
pendapatnya menurut cara-cara yang dipergunakannya. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, dan Zufar dalam madzhab
Hanafi; al-Muzany dalam madzhab Syafi’i.
3. Mujtahid fi al-masa’il (mujtahid fatwa). Mereka adalah
mujtahid yang mendalami madzhab imamnya dan mampu menentukan pendapat mana yang
kuat dan mana yang lemah, serta mampu menetapkan cara berdalil yang kuat dan
cara berdalil yang lemah yang dipergunakan para shahabat dan para imam
madzhabnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Thahawi dalam madzhab
Hanafi, al-Ghazali dalam madzhab Syafi’i, dan al-Khiraqi dalam madzhab Hanbali.
4. Mujtahid muqayyad atau ashhab al-Takhrij (Ahli
takhrij). Mereka adalah orang-orang yang mengikatkan diri dengan
pendapat-pendapat salaf dan mengikuti pendapat mereka. Hanya saja mereka
mengetahui madarik al-ahkam dan memahami dalalah-dalalahnya. Mereka
juga memiliki kemampuan untuk menentukan mana yang lebih utama dari
pendapat-pendapat yang berbeda dalam suatu madzhab dan dapat membedakan riwayat
yang kuat dari riwayat yang lemah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
al-Karakhi dan al-Qaduri dalam madzhab Hanafi, al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam
madzhab Syafi’i.
Kembali pada uraian di atas, ijtihad merupakan sebuah proses kerja yang
dilakukan oleh seorang mujtahid dengan upaya yang maksimal dalam menemukan dan
menetapkan hukum syar’i.
Dalam Istilah ushul fikih, hukum syar’i didefinisikan sebagai:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو
تخييرا أو وضعا
“Firman Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa ketetapan”.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa Syari’
atau pembuat hukum adalah Allah, karena hukum Islam adalah
peraturan-peraturan agama yang bersumber pada kewahyuan. Wahyu di sini ada yang
redaksinya langsung dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad saw, dan ada yang redaksinya disampaikan langsung oleh Nabi.
Jenis wahyu pertama disebut dengan al-Qur’an, dan jenis wahyu yang kedua
disebut dengan al-Sunnah.
Kedua wahyu tersebut selanjutnya dikenal secara
familiar sebagai sumber hukum Islam. Keduanya mengandung makna sebagai tempat
atau rujukan utama dan asal dari segala hukum Islam. Dalam hal ini, Ahmad Hasan
menyatakan bahwa sumebr materi pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Sementara itu,
qiyas dan ijma’ sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk menetapkan suatu
hukum mengenai masalah-masalah baru di mana tidak ada bimbingan atau petunjuk
langsung dari Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikannya.13
Oleh karenanya, qiyas dan ijma’tidak dipandang sebagai sumber hukum, ia lebih
tepat disebut dengan dalil hukum. Kebenaran dalil-dalil ini akan ditentukan
oleh sejauh mana kedua dalil ini sesuai dengan ruh dan syari’at yang terdapat
dalam Qur’an dan Sunnah.
Berkenaan dengan Syari’ atau pembuat hukum, para
ulama sepakat bahwa hak untuk menentukan hukum syar’i adalah hak mutlak Allah.
Hukum yang dibuat-Nya disampaikan kepada manusia melalui wahyu, baik secara
langsung melalui perantaraan malaikat maupun secara tidak langsung, yakni
disampaikan melalui “kebijakan” Nabi. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk
menciptakan hukum syar’i berdasarkan pada keinginan dan pertimbangan
kemanusiaannya semata.
Tugas manusia dalam kaitannya dengan hukum
syar’i, secara teknis terbatas pada penafsiran terhadap kehendak Tuhan dalam
menentukan hukum-hukumnya. Secara rinci tugas manusia (yang lebih kompeten;
para mujtahid) dalam kerangka istinbath hukum adalah:
1. menerangkan wahyu Allah baik berupa al-Qur’an maupun al-Sunnah
apabila dirasakan tidak cukup jelas, sehingga dapat diketahui apa isi
perintahnya atau apa norma-norma yang terkandung di dalamnya.
2. memperluas hukum atau norma yang ada, sehingga dapat diterapkan
pada berbagai perbuatan atau masalah sejenis yang tidak ditemukan aturannya
(tidak di atur secara rinci dalam al-Qur’an dan Sunnah).14
Dari uraian di atas kiranya perlu dipahami bahwa tugas para mujtahid dalam
menetapkan hukum Islam secara substantif adalah menerangkan wahyu Allah yang
dianggap belum jelas isi dan kandungan perintahnya, dan memperluas hukum syara’
atas semua peristiwa atau masalah sejenis yang tidak diatur secara jelas di
dalam wahyu-Nya. Kata memperluas hukum di sini dapat dilakukan dengan melalui
analogi dan semisalnya.
Dengan demikian tugas mujtahid dapat diarahkan
pada dua hal, yaitu menafsirkan ayat-ayat hukum yang belum diketahui dengan
pasti ketetapan hukumnya, dan menerapkan hukum yang telah ada serta
menjadikannya sebagai sandaran di dalam menetapkan hukum atas permasalahan yang
baru di mana ketetapan hukumnya belum diketahui.
Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi
lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum syara’ yang tidak ada padanya
dalil qath’i (dalil yang sudah jelas maknanya). Dalam kalimat lain, lapangan
ijtihad adalah masalah-masalah hukum yang dalil-dalilnya bersifat dhanni,
terutama masalah-masalah furu’ (cabang) yang bersifat praktis.
Dalam hal ini ijtihad tidak terbatas pada ruang lingkup masalah
yang baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan
khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah
yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan
kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan yang
paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan
manusia. Sesuai dengan kaidah fiqih bahwa, “perubahan fatwa itu disebabkan
karena perubahannya zaman, tempat dan keadaan”.
Dalam kaitannya dengan ruang lingkup ijtihad di atas, maka tugas mujtahid
sekarang diarahkan pada dua hal, yang pertama; tugas yang berhubungan dengan
masa lalu yakni dengan melakukan upaya-upaya peninjauan kembali atas
masalah-masalah yang sudah dibahas oleh para mujtahid sebelumnya kemudian
disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa kini; serta melakukan
upaya-upaya tarjih (mencari pendapat yang terkuat) dan pendapat yang
dianggap sesuai dengan kondisi sekarang yang didasarkan pada maqashid
al-syari’ah dan kemashlahatan umum. Yang kedua; tugas yang berhubungan
dengan masa kini, yakni menemukan dan menetapkan hukum serta menerapkannya pada
masalah-masalah baru yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf.
Itulah sebabnya (barangkali), kenapa mujtahid jika ketetapannya salah dia
masih mendapatkan pahala. Setidaknya ada dua alasan; pertama: masalah yang
diijtihadi adalah masalah-masalah dhanni, dan kedua: ia diberi pahala karena
pengabdiannya atas usahanya itu secara maksimal, akan tetapi ia tidak mencapai
kebenaran itu lantaran kurangnya bukti-bukti dan dalil-dalil atau minimnya
pengetahuan yang dimiliki oleh mujtahid yang bersangkutan tentang permasalahan
yang dibahasnya.
C. Langkah-langkah Penetapan Hukum Islam
Di dalam perkembangan sejarahnya, para mujtahid
dalam melaksanakan tugasnya sebagai “penafsir” wahyu Allah telah menyusun
seperangkat pola dan metode penetapan hukum syara’. Salah satunya adalah metode
penetapan dalil-dalil hukum syara’.
Secara umum metode penetapan dalil-dalil hukum
syara’ ini diketahui dari dialog Nabi dengan Mu’adz bin Jabal ketika ia dikirim
ke Yaman sebagai qadli. Secara lengkap dialog tersebut diriwayatkan oleh
al-Baghawi sebagai berikut:
“Dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah ketika mengutusnya ke Yaman
bersabda: “bagaiman engkau menghukum jika engkau berkewajiban memberi hukum?
jawab Mu’adz: “Saya menghukum dengan kitabullah”. Jika tidak kau dapati? Jawab
Mu’adz: “saya menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Jika tidak kau dapati? Jawab
Mu’adz: “ saya berijtihad menurut pendapatku dengan tidak mengurangi daya
ikhtiarku”. Kemudian Rasulullah menepuk nepuk dadanya sambil bersabda: “Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasululah (yakni:
Mu’adz), bagi apa yang diridhai Rasulullah.
Dari dialog tersebut dapat dipahami bahwa tahapan-tahapan yang harus
ditempuh dalam menetapkan hukum Islam secara umum adalah sebagai berikut:
1. Mencari dalil yang terdapat di dalam nash-nash al-Qur’an
2. mencari dalil yang terdapat di dalam sunnah Rasul (baik yang
bersifat fi’ly, qauly, maupun taqriry)
3. melakukan ijtihad dengan tetap memperhatikan ruh syari’at yang
terdapat dalam Qur’an dan Sunnah Nabi.
Tentu saja masing-masing tahapan harus dilalui
dengan penelitian yang sungguh-sungguh. Sebab bukan tidak mustahil ada sebagian
“mujtahid” yang tanpa penelitian mendalam cepat mengambil kesimpulan bahwa
masalah yang dihadapinya tidak disinggung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Senada dengan pernyataan hadits di atas, adalah pernyataan Umar bin Khattab
yang dituangkan dalam surat
yang kirimkan kepada Syureih dan lain-lain, sebagai berikut:
أَنِ اقْضِ بِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ ص م فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَاقْضِ بِمَا قَضَى بِهِ الصَّالِحُوْنَ وَ إِلاَّ
فَاجْتَهِدْ رَأْيَكَ.
“Hendaknya kamu memberi hukum dengan kitab Allah (al-Qur’an), jika kamu
tidak mendapatkannya, maka dengan Sunnah Rasulullah, bila tidak kamu dapatkan
maka hendaklah dengan apa-apa yang telah diputuskan oleh orang-orang shalih,
dan bila tidak ada maka hendaknya berijtihad dengan pendapatmu”.
Pernyataan Umar di atas dapat dikatakan sebagai
perluasan atas riwayat mengenai dialog Nabi dengan Muadz bin Jabal. Ini bisa
dimaklumi karena proses penetapan hukum setelah Nabi wafat (masa shahabat) pada
umumnya menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an;
2. Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasulullah;
3. Memusyawarahkan masalah itu, di mana khalifah mengundang para
tokoh shahabat untuk dimintai pendapatnya tentang hukum sesuatu masalah yang
dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata sepakat, khalifah melaksanakan hasil
musyawarah itu. Apabila tidak mendapatkan kata sepakat, maka khalifah mengambil
alih dan menentukan atau mengemukakan suatu pendapat yang dipandang lebih
maslahat.
Dengan demikian, pernyataan Umar: “hendaklah
harus dengan apa-apa yang telah diputuskan oleh salaf al-shaleh”. Mengandung
arti bahwa sebelum melakukan ijtihad secara individu, hendaknya seorang
mujtahid melihat terlebih dahulu hal-hal yang sudah dibahas oleh para tokoh
shahabat. Pendapat para tokoh shahabat ini, pada perkembangan selanjutnya ada
yang memaknai sebagai sebuah konsensus atau ijma’.
Pada masa ini, proses ijtihad menempuh dua cara,
yaitu: mengeluarkan hukum dengan cara menggunakan ra’yu (pendapat
pribadi secara mendalam), dan mengeluarkan hukum dengan cara mengadakan ijma’
(kesepakatan kelompok secata mendalam).
Pada masa selanjutnya, dikenal pula langkah-langkah
lain seperti; qiyas (analogi), istihsan, maslahat mursalah, dan istishhab.
Mengenai hal ini, secara rinci Hasbi
al-Shiddieqy menyatakan bahwa langkah-langkah yang harus ditempuh seorang
mujtahid dalam menyelesaikan maslah-masalah hukum adalah:
1. Hendaklah ia memperhatikan nash-nash al-Qur’an, lalu khabar
mutawatir. Sesudah itu khabar ahad.
2. Jika tidak ditemukan, hendaknya berpegang pada dhahir-dhahir
al-Qur’an dan Sunnah, serta dari mantuq dan mafhum keduanya.
3. Jika tidak ditemukan, hendaknya memperhatikan
perbuatan-perbuatan Nabi, lalu ketetapan-ketetapannya (taqrirnya).
4. Jika tidak ditemukan, hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa
shahabat.
5. Jika tidak ditemukan, barulah ia menetapkannya dengan qiyas atau
salah satu dalil yang dibenarkan syara’ dengan memperhatikan kemaslahatan dan
menolak kemafsadatan.
Di dalam menghadapi dalil-dalil yang dianggap
berlawanan, Hasbi menyatakan: “Hendaknya mendahulukan sistem mengumpulkan atau
mengkompromikan dalil-dalil itu menurut cara-cara yang dibenarkan kaidah. Jika
tidak mungkin dikompromikan dan dikumpulkan, barulah dicari cara menguatkan
salah satu dari dalil itu”.15
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa
langkah-langkah penerapan suatu dalil dalam menemukan dan menetapkan hukum
syara’ secara makro ada tiga, pertama; menjadikan al-Qur’an sebagai dalil hukum
yang pertama, kedua; menjadikan Sunnah Rasulullah sebagai dalil yang kedua; dan
ketiga; menjadikan ijtihad sebagai metode dalam menemukan dalil hukum sesudah
al-Qur’an dan Sunnah dengan berpegang pada prinsip sesuai dengan ruh keduanya
serta bepijak pada tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah).
Dalil yang dihasilkan dari al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah dalam istilah ushul fikih disebut dalil al-nash (petunjuk
tekstual), sedangkan dalil yang dihasilkan melalui proses ijtihad disebut dalil
al-ijtihad (petunjuk yang bersifat ijtihadiyah). Dalil ijtihad ini
merupakan dalil yang dilahirkan melalui proses pemikiran ulang dan penafsiran
ulang atas suatu hukum secara independen. Alat pokok yang digunakan dalam
berijtihad adalah ra’yu (pertimbangan mendalam dari suatu pendapat
pribadi).
Dalam perjalanan sejarahnya, jumlah dalil
ijtihad ini mencapai sekitar empat puluhan bahkan lebih. Dari jumlah ini, yang
populer sekitar delapan dalil saja, yaitu: ijma’, qiyas, istihsan, maslahat
mursalah, istishhab,‘urf, madzhab shahaby, syar’u man qablana. dua
dalil yang pertama; ijma dan qiyas, disepakati penggunaannya sebagai dalil oleh
jumhur ulama, sedangkan yang lainnya para ulama masih berselisih di dalam
penggunaannya. 16
Mengenai kedudukan dalil ijtihad –apakah ia
menjadi hujjah dalam menetapakan hukum sesutu masalah atau tidak?- akan
ditentukan oleh seberapa dekat kesesuainnya dengan kedua sumber hukum pokok
dalam Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
D. Penutup
Makalah ini salah satu upaya “pelurusan” kembali
tentang beberapa langkah yang semestinya dijadikan sebagai tolok ukur dalam
penerapan dalil pada proses ijtihad hukum.
Upaya ini dilakukan karena masalah-masalah baru
baik berhubungan dengan masalah ekonomi, sosial, kedokteran, politik dan
sebagainya terus bermunculan di tengah-tengah masyarakat dan secara naluri
membutuhkan kepastian hukum. Bila langkah-langkah yang dilakukan oleh para
mujtahid dalam menemukan dan menetapkan hukum atas sesuatu masalah dimaksud
keluar dari ketentuan-ketentuan yang semestinya, maka bisa jadi produk hukum
yang ditetapkannya akan keluar dari ruh syari’at Islam. Bahkan lebih dari itu,
ia juga dapat menjadi sebuah produk hukum yang membingungkan dan kontroversial,
menyesatkan dan membahayakan.
Oleh karena itu, memahami kembali sistematika
penerapan dalil dalam menemukan dan menetapkan hukum adalah sesuatu yang
esensial. Setidaknya, para mujtahid atau ulama memahami secara mendalam teori
umum dari langkah-langkah yang harus ditempuh ketika mereka dihadapkan pada
permasalahan baru yang membutuhkan kepastian hukumnya dalam Islam.
Langkah-langkah penerapan dalil dalam menemukan
dan menetapakan hukum dimaksud adalah mula-mula mencari jawaban di dalam
al-Qur’an melalui ayat-ayatnya yang sangat beragam baik yang bersifat qath’i
maupun dlanni, yang kully maupun Juz’iy; jika tidak didapati,
mencari jawaban di dalam Sunnah Nabi; jika masih belum ditemukan, mencari
jawaban dari ijma’; jika masih belum ditemukan, mencari jawaban dangan
menggunakan qiyas; jika masih belum ditemukan jawabannya, maka mencari jawaban
dengan menggunakan dalil-dalil lainnya yang dihasilkan melalui ijtihad.
Dalil-dalil yang dihasilkan melalui ijtihad ini
jumlahnya sangat banyak, yang populer selain dalil di atas ialah istihsan,
maslahat mursalah, istshhab, ‘urf, madzhab
shahabi, dan syar’u man qablana.
Dalil-dalil hukum di atas dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu dalil manshus (tertulis) dan dalil ijtihadi (dalil
tidak tertulis).
Dengan melalui langkah-langkah di atas,
diharapkan agar produk hukum Islam yang berkembang di masyarakat akan terus
sesuai dengan syari’at Islam dan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan ummat
manusia. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Wahab
Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar, 1990.
Ahmad
Warson Munawwir. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta :
Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Ahmad
Hasan. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj.Agah Garnadi. Bandung : Pustaka, 1993.
Al Yasa
Abubakar. Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporer dalam Majalah Ar-Raniry No.
68 tahun 1990.
A. Wahab Khlallaf. Ilmu
Ushul al-Fiqh. Beirut :
Dar al-Fikri, 1990.
Al-Syatibi.
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III. Mesir: Dar al-Fikri
al-Araby, t.t.
A. Djazuli
dan I. Nurol Aen. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000.
Fazlur Rahman. Membuka
Pintu Ijtihad. Bandung :
Pustaka,1984.
Hasbi al-Shiddieqy. Pengantar
Hukum Islam I. Jakarta :
Bulan Bintang, 1980.
Muhammad al-Hudlary. Tarikh
al-Tasyri’ al-Islamy. Jeddah: al-Haramain li al-thiba’ah wa al-nasyri wa
al-Tauzi’, t.t.
Nicolas P. Aghnides. Pengantar
Ilmu Hukum Islam. Terj. Roesli DMB. Solo: Ramadhani, 1984.
Yusuf Qardlawy. Ijtihad
Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Romli SA. Muqaranah Madzahib
fi al-Ushul. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Yusuf
Qardlawi. Ijtihad dalam Syari’at Islam. Terj. Achmad Syathori. Jakarta : Bulan Bintang,
1987.
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Arab-Indonesai,(Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 450.
2 A. Wahab Khlallaf, Ilmu Ushul
al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikri, 1990), h. 20.
3 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari’ah, Juz III,.( Mesir: Dar al-Fikri al-Araby, t.t),
h. 41.
5
Uraian lebih lanjut mengenai dalil-dalil ini, lihat Hasbi, Pengantar…,
h. 185-186.
6
Lihat Romli SA, Muqaranah Madzahib fi al-Ushul,(Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1999), h. 47-49.
7
A. Djazuli dan I, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 86.
8
Yusuf Qardlawi, Ijtihad dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), h. 2-4.
9 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum
tertutup, Terj. Agah Garnadi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h.
103-104.
10 Hasbi Ash Shddieqy, Pengantar
Hukum ….., h. 140-141.
11 Uraian lebih lanjut mengenai
persyaratan mujtahid ini dapat dilahat dalam Yusuf Qardlawi, Ijtihad dalam
Syari’at Islam. Hal. 6-67.
12 Yusuf Qardlawi. Ijtihad …..
h. 76.
13 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad…,
h. 38.
14 Al Yasa Abubakar, “Ke
Arah Ushul Fiqih Kontemporer”, dalam Majalah Ar-Raniry No. 68
tahun 1990, h.13.
15 Hasbi Ash Shiddieqy, Penganta…,
h. 152.
16 A. Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990),
h. 22.
Komentar
Posting Komentar