Kritik Penegakan Hukum Yang Legisme (Legal Positivism)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak sedikit dari masyarakat,
baik masyarakat terdidik maupun masyarakat tidak terdidik bahkan masyarakat
yang sehari-harinya menggeluti dunia hukum khususnya di Indonesia, mereka yang
terheran-heran ketika mereka memahami hukum adalah sebagai panglima untuk
menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata
tidak sedikit peraturan perundangan sebagai hukum tersebut mandul tidak melahirkan
apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Mahfud MD.
Dalam bukunya “Politik
Hukum di Indonesia” bahwa :
…Mereka
heran ketika melihat bahwa hukun tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin
kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak
sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong
kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan
berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk
hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan… [1]
Secara jujur saja kita harus katakan bahwa sebuah hukum
yang demokratis adalah selalu membesut dari bumi. Artinya, ia merupakan
perwujudan dari nilai-nilai yang melembaga didalam masyarakat yang menjadi
sasarannya, kemudian untuk dengan arif menata dan menyinergikan persilangan
kepentingan yang juga harus dipelihara, senyatanya terjadi dalam tabel hidup
dimasyarakat. Lebih dari itu, terutama didunia modren, hukum bahkan kemudian
meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial,
menciptakan sebuah masyarakat yang menjadi cita-cita sebuah bangsa yang
menamakan dirinya sebagai negara hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat,
tetapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum
seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Kalau kita
menyorot konsepsi Nonet dan Selznick bahwa “Perkembangan hukum sejalan dengan
perkembangan Negara:”
Represif, adalah saat negara poverty
of power, sumber daya kekuasaanya lemah sehingga harus represif.
Otonom,
adalah saat kepercayaan kepada negara semakin meningkat, pembangkangan
mengecil. Birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum dibuat oleh dan secara
profesional dilembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh
negara.
Responsif,
adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum terhadap perkembangan
sosial. Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada
unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan
masyarakat. [2]
Kalau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka
bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law enforcement),
bagaimana penegakan hukum kita, paling tidak ada penegakan hukum dalam arti
luas dan ada pula dalam arti sempit. Dalam arti luas adalah melingkupi
pelaksanaan dan penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, kalau dalam artian sempit adalah
kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan.
Dalam hal penegakan hukum, yang paling pokok disamping
yang lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pembudayaan hukum
sesuai dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan sehingga sistem
komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah pentingnya
adalah pendidikan hukum (law socialization and law education) sehingga
dengan pendidikan hukum tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam berhukum
termasuk pendidikan politik kaitannya dengan hukum. Philipe Nonet dan Philip
Selzbick dalam pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum
terutama dalam menganalisis institusi-institusi hukum.
Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi dalam ranah ilmu
hukum terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap perubahan dan
perkembangan didunia hukum. Nonet dan Selznick menyatakan:
…..Politik
pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan teratas dalam agenda kepentingan
publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes massal, kerusuhan kaum
urban, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan kekuasaan, semua itu, tidak
seperti masa-masa sebelumnya, dipandang sebagai masalah sosial yang sangat
urgen untuk dipecahkan…..
….perubahan
hukum akan datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan atau
keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum yag merespons tuntutan-tuntutan yang
bersifat partisan.[3]
Untuk menuntut bagaimana tahapan-tahapan evolusi bangsa
Indonesia dalam berhukum terutama kaitannya dengan ketertiban sosial politik
hukum sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan telah melalui beberapa tahapan,
namun kita harus mengakui bahwa pada zaman kolonial dengan tidak mengabaikan kejahatan
dari arti penjajahan itu sendiri, sesungguhnya dalam hal penegakan hukum adalah
sangat baik karena cara berhukumnya pada saat itu mengikuti karakteristik
perkembangan masyarakatnya, yaitu bagi golongan Eropa dihormati berlakunya
hukum Eropa dan bagi bangsa Indonesia (pribumi) dihormati diberlakukannya juga
hukum sebagaimana karakteristik budaya, adat setempat, dan sangat memelihara
(walau tidak sama dengan menghargai) nilai-nilai agama sehingga kebijakan
dualisme tersebut membuat tegaknya bangunan hukum relatif mampu mengelola bukan
saja berbagai kepentingan tetapi juga berabad-abad lamanya mampu mencengkramkan
jajahannya di Indonesia Raya ini. Dalam hal ini secara tegas Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto menyatakan dalam bukunya “Hukum dalam masyarakat bahwa:
Hukum
Eropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan Eropa, sedangkan untuk
golongan pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan, adat istiadat dan pranata
agama mereka, dengan catatan selama tidak bertentangan dengan apa yang disebut
“asas kepatutan dan adab yang baik”. Semua itu tersebut dalam pasal 75 Reglemen
Tata Pemerintahan Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dari
tahun 1854.[4]
“Perkembangan”
(development) merupakan salah satu dari gagasan-gagasan yang paling
membingungkan dalam ilmu-ilmu sosial. Perkembangan telah menjadi obyek kritikan
yang berkepanjangan bahkan sejak masa kejayaan evolusionisme pada abad ke 19.
Namun, upaya untuk merasionalkan sejarah kelembagaan tampaknya memerlukan pemahaman
mengenai kepastian arah, pertumbuhan atau kehancuran. Dalam ilmu hukum terdapat
pula pemahaman intuitif bahwa beberapa bidang hukum lebih “berkembang” dibanding
bidang hukum lainnya, bahwa perubahan hukum sering menggambarkan pola-pola
pertumbuhan atau kehancuran. Rosco Pound merupakan salah seorang diantara
mereka yang berpendapat, adalah “hal yang tepat untuk memikirkan….tahap-tahap
perkembangan hukum dalam sistem-sistem yang telah mencapai tahap kematangan”.[5]
Pemikiran Philipe Nonet dan Philip
Selznick dalam konsep berhukum, membedakan tiga jenis hukum yaitu: hukum
represif, hukum otonom dan hukum responsif. Dari bingkai pemikiran hukum yang
lebih responsive untuk keadilan sosial yang membumi digagas oleh Nonit san
Selznick tersebut diatas, kaitan dengan penegakan pembangunan hukum di Indonesia ,
dengan problematika dan solusi yang ada.
Menelisik tiga jenis hukum (Hukum
Represif, Hukum Otonom, dan Hukum responsive) sebagai optik melihat wajah
penegakan hukum di Indonesia, yang dikonsep oleh Nonet dan Selznick, maka
secara umum penegakkan hukum di Indonesia setelah penulis membuka kembali
pengamatan di lapangan, sebenarnya yang paling cocok untuk menghadapi
globalisasi hukum, seharusnya kedepan posisi Indonesia tidak pada karakteristik
tunggal, yaitu ketiga jenis hukum tersebut ada pada posisi Indonesia. Namun
bagian-bagian tertentu sangat dominan ketimbang jenis hukum represiflah yang sangat
dominant kemudian terdapat juga jenis hukum otonom dan sebagian kecil jenis
hukum responsif.
Penegakan Hukum dengan produk hukum,
walaupun saling keterkaitan bahkan saling menentukan dalam cara berhukumnya,
namun produk hukum dan penegakan hukum mempunyai masalahnya masing-masing.
Dalam hal penegakan hukum adalah mencakup setidaknya ada persoalan, yaitu
peraturan perundang-undangannya, aparat penegak hukum dan budaya masyarakatnya
itu sendiri.
B. Masalah Pokok
1. Bagaimana melakukan pembaharuan penegakan
hukum melalui peraturan perundang-undangan?
2.
Bagaimana melakukan pembaharuan penegakan hukum melalui aparat penegak
hukum?
3.
Bagaimana melakukan pembaharuan penegakan hukum melalui budaya hukum masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembaharuan
Penegakan Hukum Melalui Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagaimana
dijelaskan diatas, pada dasarnya materi peraturan perundang-undangan yang kita
gunakan selama ini, terutama yang banyak difungsikan untuk kepentingan atau
hajat hidup orang banyak seperti BW, WVS dan lain sebagainya, dalam proses
pembuatannya sangat jauh dari partisipasi masyarakat (nir-sosiologis) tidak
memerhatikan simbol-simbol kritik yang tampak di masyarakat, walaupun materinya
relative terstruktur dengan baik, namun hanyalah berlaku secara rinci dan
sistemik bagi masyarakat biasa, dan sangat lemah bagi pembuat hukumnya itu
sendiri (apalagi bagi pihak-pihak tertentu memengaruhi atas kepentingannya
dengan berbagai macam kompensasi).
Tujuan
pembuatan peraturan perundangan adalah untuk ketertiban dan legitimasi yang
juga mempertimbangkan kompetensi. Secara legitimasi, kita harus akui disamping
sebagai ketahanan sosial sebagai tujuan negara (daerah-daerah tertentu), tetapi
juga sudah mencapai legitimasi prosedural, walaupun belum kepada substantif.
Dalam
pembuatan peraturan perundangan hendaknya harus melahirkan alternatif-alternatif
yang mampu bertahan secara memadai, seperti dicontohkan Nonet dan Selznick
(dari Gemeinschaft ke Geselschaft). Untuk di Indonesia, sebagai
contoh kecil tentang pasal-pasal pencurian dalam WVS masih sangat kental
sanksi-sanksi yang seharusnya tidak lagi memberikan sanksi bagi pencuri-pencuri
kelas kecil, namun harus diberikan pembinaan sehingga memenuhi rasa keadilan
sebagaimana konsepsi yang diabstraksikan dengan baik oleh Nonet dan Selznick
yaitu dari kekerasan ke keadilan. Hal ini sangat penting, karena
dinegara-negara maju seperti Jepang tidak mengangap pencuri kelas-kelas kecil
itu sebagai penjahat, tetapi dibina sebagaimana penulis paparkan di muka.
B. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Aparat
Penegak Hukum.
Berbicara
aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatikan sebagaimana disebutkan
di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau mafia peradilan kita sudah
sebegitu buruknya dan para aparat penegak hukum itulah yang berperan utama atas
kerusakan hukum di Indonesia. Sebagus apapun materi peraturan
perundang-undangan, kalau aparatnya rusak, maka hukum pun juga bagaikan
menegakkan benang basah, dengan tidak mengabaikan ada juga beberapa
keberhasilannya, tetapi hanya mampu memproses penjahat kelas-kelas kecil,
seperti; orang-orang miskin dan bodoh yang tak punya akses pembelaan di
pengadilan dan mereka ini (ribuan orang) yang memenuhi rumah tahanan dan
lembaga permasyarakatan diseluruh penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan
Selznick menyatakan:
Produk
hukum yang dihasilkan menjadi represif karena:
- Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya, memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan kalim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
- Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang sebagai “tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klarifikasi resmi (misalnya kriteria yang memisahkan kelompok “kaya” dari kelompok miskin). Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan pola baru subordinasi.
- Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Dengan optic Nonet dan Selzenick yang menggagas hukum
secara komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum yang
lebih responsive, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum sebagai abdi
kekuasaan, hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu mengolah represif
dan melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsive adalah hukum sebagai
fasilitator dari sejumlah respons terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang
berakar-pinak di masyarakat. [6]
Ditegaskan Nonet dan Selzenick bahwa seorang penguasa
(otoritas penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan
sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan empirik tidak
bisa dipaksa untuk sesuai dengan si pembuat hukumnya. Dia akan menambah
kredibilitas dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta menarik
kemauan secara sukarela, apabila senyatanya aturan tersebut adil, merasa
terikat oleh aturan tersebut, dan yang sangat penting penyelenggaraan peradilan
tidak berpihak termasuk kepada aparat penegak hukum dengan berbagai
kepentingannya, kecuali menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia,
menurut abstraksi teori-teori Nonet dan Selzenick ini sebagaimana disampaikan
dimuka sangat tidak tepat berkarakter tunggal, tetapi campuran, yaitu mencakup
ketiga model hukum tersebut, hanya saja model hukum represif lebih dominan dari
model otonom dan terlebih model responsive sebagian kecil dan sejalan evolusinya
juga mengarah kepada hukum responsive.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan
bahwa di Indonesia
hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi monopoli atas
kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada umumnya aparat
penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga ketertiban dan
kedaulatan negara Indonesia .[7]
Persenyawaan
ini semakin menggelindan, ketika negara sangat tergantung kepada keahlian dan
ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas yang diembannya. Dan
kenyataan yang demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak berdaya. Secara
sederhana bisa kita polakan ke dalam tiga bagian yang mewarnai sistem kekerasan
yang terjadi atas nama penegakan hukum, yaitu; pertama, kekerasan yang
dilakukan aparat semurninya untuk menjaga keteraturan atau ketertiban dan
menegakkan kedaulatan negara, kedua, kekerasan yang dilakukan aparat
atas kepentingan aparat pemaksa yang sesungguhnya adalah individu-individu yang
sarat kepentingan pribadi tetapi mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu
dilakukannya karena kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi
mereka sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi
masyarakat, ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat
penegak hukum sebagai object problem
terutama bagi masyarakat kelas bawah yang miskin dan bodoh (sudah
menjadi pemandangan diseluruh penjuru negeri ini, para aparat menggusur
orang-orang miskin dan gepeng, namun tak mau berpikir mencari maknanya untuk
menggusur kemiskinan, apalgi melakukannya).
Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang
diabtraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsive oleh Nonet dan Selzenick
tersebut patut disonsong dengan upaya pembenahan aparatur penegak hukum di Indonesia yang lebih
konprehensif berlandaskan komitmen dan moralitas yang tinggi. Hal itu dilakukan
juga untuk keseimbangan antara prodik hukum dan pelaksanaan hukum dengan
menghargai budaya hukum sesuai cita diri bangsa Indonesia .
C. Pembaharuan
Penegakan Hukum Melalui Budaya Masyarakat.
Sebagaimana beberapa
pokok pikiran Nonet dan selzenick antara lain disebutkan bahwa sumber hukum
represif yang abadi adalah tuntutan konformitas budaya. Dalam hal mana
masyarakat modren, seperti juga halnya pada masyarakat kuno yang mana
kebersamaan atas aturan moral sangat mendukung kebersamaan sosial dan merupakan
sumber dan kekuatan dalam memelihara ketertiban. Kemudian Nonet dan Selzenick lebih lanjut menyatakan bahwa:
Mungkin lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah moralitas
komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan “komunitas patuh”
(community of observance). Moralisme hukum paling baik dipahami sebagai
patologin alami dari institusionalisasi, yakni upaya untuk membuat nilai-nilai
menjadi efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia. [8]
Sementara itu Esmi Warassih (2005),
mengatakan bahwa peranan kultur hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting
dan acap kali berhubungan dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana
dijelaskannya berikut:
Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat
sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange).
Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak
sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan
dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat
sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain
melalui tingkah laku warga masyarakatnya.
Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada
hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor
nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan
kultur hukum.[9]
Berangkat dari pemikiran diatas,
kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur
masyarakatnya, maka budaya hukum masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan
dimuka, sangat lah majemuk (plural society) paling tidak, ada 19
persekutuan atau keluarga hukum yang berkelindan pada masing-asing territorial
adatnya. Dari sosial budaya yang bermacam-macam termasuk perbedaan antara kota
dan desa (ada masyarakat organic dan ada masyarakat mekanik), maka tesis Nonet
danSelznick tersebut secara relatif sangat berjalan dengan fakta empirik budaya
hukum bangsa Indonesia, namun untuk secara totalitas mengondisikan kepada model
penegakan hukum yang otonom kemudian kepada responsive tampaknya perlu proses
yang lebih baik lagi. Hal ini sangat beralasan, karena disinyalir dalam tesisnya
Nonet dan Selzenick bahwa “tak ada rezim (rezim dengan model hukum) yang dapat
bertahan tanpa landasan berupa persetujuan dari warga negara yang diberikan
secara sukarela”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori-teori hukum
aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang merambah pada tataran
pemikiran ketertiban masyarakat bersejalan dengan tertib hukum sejak abad 19.
kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia, paradigma tunggal legal
positivism bukanlah berarti tidak baik, namun secara fungsionalnya dalam
memahami, manganalis dan lebih dalam untuk mengontrol karakteristik kehidupan
yang pluralistik berformat regional, nasional maupun global adalah sudah tidak
memadai dan perlunya pemikiran alernatif. Banyak aliran hukum yang digagas para
ahli, misalnya meramu; aliran legal positivism, aliran Freie
Rechtsbewegung, aliran Rechtsvinding, atau aliran-aliran dalam
format lain yang sejatinya sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia
seutuhnya.
Penegakan supremasi
hukum adalah sebuah upaya manusia untuk menggapai keteraturan atau ketertiban
yang dibutuhkannya. Dalam hal mana penegakan tersebut, yang pokok adalah
menyinergikan ketiga pilarnya; peraturan-perundangan, aparat penegak hukum dan
budaya hukum masyarakatnya.
Optik Nonet dan
Selzenick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal
positivism), mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori besarnya
“hukum responsif”. Model yang ditawarkan tersebut sangat cocok dengan
pluralisme dan realisme bangsa Indonesia
berhukum dan potensi untuk penegakan hukum sesuai modelisasi serta tahapnya
kepada hukum responsif secara totalitas sangat memungkinkan sepanjang aparat
pembuat dan penegak hukum mempunyai
komitmen dan moralitas yang tinggi.
Dalam
kekerasan aparat penegak hukum di Indonesia, tesis Nonet dan Selznick dapat
distrukturkan menjadi tiga: pertama, kekerasan murni atas kepentingan
negara, Kedua, kekerasan sebenarnya untuk kepentingan individu,
organisasi atau golongan, tetapi mengatasnamakan rakyat atau negara, ketiga,
kekerasan sebagai cara-cara lain tidak ada yang bisa dilakukan (biasanya
dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang tidak ada akses untuk
mengadvokasikan hak-haknya sebagai warga negara).
[1]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, 2001, hal. 1
[2]
Moh. Mahfud MD, Sari Kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Pada Program Doktor
Ilmu Hukum PPs. FH. UII, Yogyakarta : PPs
UII (2008).hal.2
[3]
Philipe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward
respons Law, Haper 7 Row, 1978 (Terjemahan Raisul Muttaqien) diterbitkan
oleh Penerbit Nusa Media, 2008, hal. 2, 7.
[4]
Sutandyo Wigno soebroto, Hukum Dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah.
Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya ,
2007, hal. 241
[5]
Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 23, 25-27
[6]
A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial,
Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan (1990), hal. 164
[7]
Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 47- 48
[8]
Ibid, hal. 51
[9]
Esmi Warrasih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.
Suryandaru Utama, Semarang ,
2005, hal. 78
Komentar
Posting Komentar