ANALISIS TINDAKAN KORUPSI DI LINGKUNGAN BIROKRASI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang
hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal
maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah
korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau
bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi
kebersamaan bangsa. Survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan “Political
& Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong, yang
dikutip dari nusantara news menyebutkan Indonesia merupakan negara paling
korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku
bisnis. Hasil survei PERC ini menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari
angka 10 sebagai negara paling korup 2010. Dari data PERC 2010, maka dalam
kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32
(2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik
lainnya.
Dari data tersebut bisa dilihat bahwa korupsi sudah menjadi gaya hidup di
Indonesia. Banyak orang yang begitu menikmati tindakan korupsi ini. Sedemikian
banyak manusia yang melakukan korupsi dari pusat sampai daerah.
Koruptor-koruptor ini terutama adalah pihak-pihak yang menduduki jabatan
strategis dalam berbagai institusi Negara dan administrasi, dari lapisan bawah
sampai atas. Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus /politisi
maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka. Atau dengan kata lain, korupsi merupakan
penggunaan jabatan untuk tujuan pribadi di luar kepentingan resmi. Korupsi
terdiri atas berbagai jenis bentuk suap, pemerasan, nepotisme, penggelapan, dan
sebagainya.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di
dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi
pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan administrasi dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Tindakan korupsi ini tentunya menimbulkan
banyak kerugian kepada Negara. Baik itu dari sisi keuangan Negara, perekonomian
Negara, serta menghambat pembangunan nasional bahkan lebih dari itu bahwa
korupsi di birokrasi telah membuat rakyat menjadi sengsara dan tidak
terciptanya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Oleh karena itu, agar tercapai tujuan pembangunan nasional korupsi
harus diberantas.
Dalam bukunya, Political Ethics and Public Office (1987), Dennis
F. Thompson, yang dikutip dari nusantara news, menegaskan bahwa para pejabat
sesungguhnya bukan warga negara biasa. Mereka memiliki kekuasaan atas warga
negara, dan bagaimanapun mereka merupakan representasi dari warga negara.
Dengan posisi strategis sebagai pejabat publik, para pejabat harus profesional
di bidang mereka dengan terus menjaga etika profesi sebagai pejabat negara,
dengan memperhatikan berbagai sisi etis dalam seluruh tindakan dan kebijakan
mereka. Seorang pejabat negara profesional yang mencintai profesi dan
jabatannya, yang melakukan tugas mulia dalam mengemban misi kenegaraan, akan
selalu menjunjung tinggi etika profesi jabatan yang jauh dari segala tindakan
atau praktek korupsi. Hal itu amat penting, karena apa pun yang dilakukan
pejabat publik akan berpengaruh bagi kehidupan warga negara. Karena pengaruh
tersebut, tidak ada jalan lain, yakni para pejabat harus menjaga agar perilaku
dan kebijakan mereka selalu baik serta tetap berpijak di jalur etika.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan
sebelumnya, pokok permasalahan dalam pembahasan ini adalah:
1.
Apa penyebab terjadinya tindakan korupsi di lingkungan birokrasi?
2.
Apa upaya-upaya
yang harus dilakukan dalam mengatasi tindakan korupsi di lingkungan birokrasi?
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan permasalahan
dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya tindakan
korupsi di lingkungan
birokrasi.
2.
Untuk mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan
dalam meningkatkan mutu pelayanan publik di lingkungan birokrasi.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari 4 bab, agar dapat
mencapai suatu pembahasan atas permasalahan pokok yang lebih mendalam dan mudah
diikuti. Garis besar penulisan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan tentang
Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian,
Tujuan dan Signifikansi Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II KERANGKA
TEORI
Bab ini menguraikan tentang
dasar-dasar teoritis seperti konsep konsep etika, pelayanan publik, paradigma
pelayanan publik, dan konsep birokrasi.
BAB III ANALISIS TINDAKAN KORUPSI DI LINGKUNGAN
BIROKRASI
Dalam bab ini akan melakukan pembahasan untuk menjawab pertanyaan dalam penulisan ini. Penulis juga akan
membahas dengan menganalisis berdasarkan kerangka teori yang terdapat
pada bab II.
BAB IV KESIMPULAN
Bab ini menjelaskan kesimpulan
dari analisis pada bab-bab sebelumnya, sehingga melalui penulisan ini
diharapkan dapat memberikan masukan dalam menangani maraknya tindakan korupsi
di lingkungan birokasi.
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1
Konsep Etika
Etika
berasal dari kata Yunani ethos, yang
dalam bentuk jamaknya (ta etha)
berarti adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkatian dengan
kebiasaan hidup yang baik, baik dari seseorang maupun pada suatu masyarakat
atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata
cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianur
dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke
generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang
terus berulang sebagai suatu kebiasaan.
Bertens
juga menggambarkan konsep
etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang
adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata
Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral,
yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Bertens juga mengatakan bahwa etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu (1) etika sebagai
nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim
nilai”; (2) etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal
dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang
acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat
yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika
sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules of conduct.
Tedapat
dua teori etika yang disebutkan oleh Keraf yang dikenal sebagai etika deontologi dan etika
teleologi. Pertama, etika deontologi, istilah tersebut berasal dari bahasa
Yunani yang berarti kewajiban. Karena itu etika deontologi menekankan kewajiban
manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan
itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari
tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri. Dengan kata lain,
tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan
kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari
tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi kemauan baik dan
watak yang kuat dari pelaku.
Kedua,
etika teleologi, etika ini justru mengukur baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau
bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang
ditimbulkannya baik dan berguna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika
teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa
sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan
kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi sebagaimana
dimkasud Kant.
2.2
Konsep Birokrasi
Birokrasi merupakan
instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin
terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama
negara (administrasi) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social
welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang
diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung
maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi yang
bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah
birokrasi.
Ada beberapa indikator yang biasanya
digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yang disebutkan oleh Pramuka,
yaitu sebagai berikut.
a.
Produktivitas
Konsep produktivitas tidak
hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan.
Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input dengan output.
Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General
Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas
yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki
hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
b.
Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan
cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi
pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi
publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang
diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat terh.dap
Layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan
masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan
masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas
pelayanan seringkali dapat diperoleh dan media massa atau diskusi pubilk.
Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas
layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi
publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi
parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
c.
Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini
menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan
kcbutuhan dan aspirasi.
Bentuk ideal
Birokrasi Max Weber seperti yang dijelaskan diatas, dalam realitanya tidak
mudah untuk diimplementasikan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu: (1) Manusia
Birokrasi tidak selalu ada (exist) hanya untuk organisasi; (2) Birokrasi
sendiri tidak peka terhadap perubahan sosial; (3) Birokrasi dirancang untuk
semua orang sehingga menjadi lebih sulit. Dalam kehidupan sehari-hari manusia
birokrasi berbeda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya,
sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya
dalam kinerja organisasi birokrasi. Karakter Birokrasi semacam ini dapat
disebut sebagai Organizational Slack, yakni organisasi birokrasi yang cenderung bersifat patrimonialistik
seperti berikut ini: (1) Tidak
efisien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak
objektif; (2)Menjadi pemarah
ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik; (3) Tidak mengabdi pada kepentingan umum; (4) Tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi
telah menjadi instrumen penguasa dan sering
tampil menjadi ‘penguasa’ yang sangat otoritatif dan represif.
Ciri-ciri
Birokrasi yang mengalami penyakit Organizational Slack dapat ditandai
dengan kondisi:
1. Menurunnya kualitas
pelayanan yang diberikan.
2. Masyarakat pengguna
pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah
yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm
agar pemerintah responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada
masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk
menanggulanginya
2.3
Konsep Korupsi
Korupsi berasal dari kata Corruption yang
berarti kerusakan. Menurut Kamus
Istilah Hukum Latin Indonesia Corruption berarti penyogokan. Korupsi secara harfiah berarti jahat
atau busuk. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi
juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan
manipulasi serta perbuatan-perbuatan
lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan
kepentingan rakyat.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi,
yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada
hakekatnya mempunyai
makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan
guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala
salah pakai dan
salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim dalam Lubis menyatakan
bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang
menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau
partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
2.4
Konsep Penyalahgunaan
Wewenang
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pengertian penyalahgunaan wewenang adalah perbuatan
penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau menyalahagunakan
kekuasaan untuk membuat keputusan. Perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan
perbuatan tercela, karena amanah yang diberikan kepada pejabat yang
bersangkutan disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Perbuatan tidak amanah
tersebut didasarkan kepada misalnya Surat Perintah (SP) yang merupakan wewenang
dan amanah yang diberikan kepadanya disalahgunakan. Korupsi dan komersialisasi
jabatan disinyalir telah menjalar di segala bidang, dan dilkaukan baik
dikalangan atas maupun bawahan, sehingga merupakan perbuatan kolektif. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam hukum
administrasi negara dapat diartikan
dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
undang-undang atau peraturan - peraturan lain;
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Dalam praktek, untuk
rnengetahui adanya unsur "penyalahgunaan kewenangan" harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi tugas
dan wewenang serta tanggung jawab
tersangka/terdakwa sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatumya. Selanjutnya dilihat apakah dalam kenyataannya tersangka/terdakwa melakukan atau tidak apa yang
menjadi tugas dan wewenangnya
tersebut, dan apakah ada prosedur yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menyalahgunakan kekuasaan,
sewenang-wenang menggerakkan kekuasaan
dengan cara memaksa orang lain untuk memberi sesuatu, untuk membayar dan
menerima pernbayaran dan untuk mengerjakan sesuatu.
BAB 3
ANALISIS
TINDAKAN KORUPSI DI LINGKUNGAN BIROKRASI
3.1 Penyebab Terjadinya Tindakan Korupsi Di Birokrasi
Birokrasi menurut Max Weber yang
dikutip oleh Darmawan menyebutkan bahwa birokrasi pada hakikatnya adalah pengorganisasian yang tertib,
tertata, dan teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai
prosedur kerja yang tersusun jelas dalam suatu tatanan organisasi. Namun, kata
“birokrasi,” kini seringkali dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran buram
mengenai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban,
mekanisme kerja yang tidak efisien dan kurang efektif, sumber korupsi dan penyalahgunaan
wewenang dan semacamnya. Tingginya angka korupsi di Indonesia dapat
dilihat dalam Tranparency Corruption Index Perception 2007 yang dikeluarkan oleh Tranparency
International baru-baru ini,
Indonesia berada dalam peringkat ke lima
di Asia atau peringkat 137 dari 146 di antara negara terkorup di dunia.
Jika di masa lalu korupsi sering diidentikkan
dengan pejabat atau pegawai negeri
yang telah menyalahgunakan keuangan negara maka dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi juga
telah melibatkan birokrat di administrasi.
Saat ini, fakta yang
ditampilkan melalui berbagai media massa menunjukkan masih banyak ditemukan fenomena atau gejala yang menggambarkan
praktek korupsi di birokrasi yang
semakin luas. Indonesia
mengalami krisis kepercayaan
masyarakat pada birokrasi dalam memberikan pelayanan publik yang bersih
dari berbagai macam tindakan korupsi. Meluasnya praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam tubuh
birokrasi publik semakin memudarkan upaya perbaikan birokrasi itu sendiri.
Praktik KKN telah melahirkan pelayanan publik yang bersifat diskriminatif,
karena pelayanan hanya diberikan kepada mereka yang mampu membayar. Dapat
dikatakan bahwa dalam bertindak para birokrat tidak berdasarkan kaidah etis
yang ada.
Tindakan
korupsi paling banyak dijumpai di tingkat lokal, di pemerintah daerah dan BUMN.
TII memantau setidaknya ada 21 kasus
korupsi yang terjadi saat Lebaran. Contohnya, Bupati Blitar terpantau bagi-bagi
parcel dengan menggunakan duit APBD sebesar Rp 2,5 miliar yang digunakan untuk
membagi-bagikan paket parsel Lebaran kepada 16.700 birokrat di lingkungan
Pemkab Blitar pada tahun 2010. Selain itu juga ada indikasi politik, karena
pada saat itu akan dilangsungkan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Selain itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan juga diduga melakukan tindak korupsi karena telah menyetak kartu
ucapan Idul Fitri sebanyak 450 ribu lembar yang nilainya mencapai Rp1,7 miliar
dengan menggunakan uang APBD. (http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=4629)
Berbagai jenis korupsi
yang dijumpai dalam lingkungan pemerintah daerah, antara lain;
1.
Suap
menyebabkan dana untuk pembangunan murah jatuh ke tangan yang tidak
berhak;
2.
Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan
barang dan jasa bagi pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan
perusahaan yang tidak memenuhi syarat;
3.
Kepolisian sering kali berpura-pura tidak tahu
bila ada tindak pidana yang seharusnya diusut karena telah disuap;
4.
Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana
masyarakat untuk kepentingan pribadi;
5.
Untuk mendapat surat izin dan lisensi, warga
masyarakat harus member uang pelican kepada petugas bahkan kadang-kadang harus
memberi suap agar surat izin atau lisensi bisa terbit;
6.
Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati
melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan atau peraturan
lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi anggota masyarakat yang lain;
7.
Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar sejumlah
uang tambahan di luar biaya yang resmi, menurut penelitian Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa
79 % pengusaha mengeluhkan soal biaya tambahan yang harus mereka keluarkan
dalam berhubungan dengan birokrasi. Besarnya biaya tambahan tersebut bisa
mencapai 12 % dari biaya produksi untuk daerah-daerah di luar Jawa dan 7,95 % untuk pulau Jawa.
8.
Petugas pajak memeras warga, atau lebih sering lagi, bersekongkol
dengan wajib pajak, memberikan keringanan
pajak pada wajib pajak dengan imbalan uang suap,
9.
Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh korupsi.
Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi.
Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah
kelemahan moral
(41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial
(7,08 %). Sementara
itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai
berikut :
1.
Peninggalan administrasi kolonial.
2.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
3.
Gaji yang rendah.
4.
Persepsi yang populer.
5.
Pengaturan yang bertele-tele.
6.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di
sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
1.
Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
2.
Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
3.
Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari
pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
4.
Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak
dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
5.
Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama
menyuap tidak dapat dihindarkan.
6.
Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat
menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
7.
Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi
dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1.
Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya. Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh subumya korupsi disebabkan
karena kurangnya gaji, buruknya perekonomian, mental pejabat yang
kurang balk, administrasi dan managemen yang kacau.
2.
Kultur (budaya), korupsi karena kultur adalah dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia. Budaya
pemberian hadiah, ucapan terima kasih
yang sudah menjadi budaya rakyat Indonesia mengakibatkan
semakin subumya budaya korupsi di Indonesia. Korupsi di lingkungan birokrasi saat ini dianggap
sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktek
kehidupan masyarakat sehari-hari.
3.
Kurangnya manajemen. Manajemen yang kurang baik
dapat menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat mempermudah orang melakukan korupsi.
4.
Arus modernisasi. Korupsi terdapat lebih banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan
dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.
5.
Faktor mentalitas. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal,
tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada
pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Sebenarnya, penyebab
terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa "kesempatan dan jabatan/kekuasaan" sebagai sumber utama dari
korupsi. Semua orang yang mempunyai
kedua faktor tersebut akan cenderung menyalahgunakan jabatan dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya
diri sendiri, seperti dikemukakan
oleh ilmuwan Inggris, Lord Acton : "Power tends to corrupt, absolute
power tends to corrupt absoIutely".
Korupsi di dalam tubuh
birokrasi bila telah mencapai tingkat hypercorruption, akan membawa dampak yang mematikan,
ironisnya, korupsi jenis inilah yang biasanya kita jumpai dalam tubuh administrasi
daerah dan badan usaha milik negara di berbagai negara di dunia. Korupsi sistematis
menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik,
karena meremehkan lembaga-lembaga administrasi; kerugian social, karena
kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Bila korupsi
berkembang di birokrasi maka dapat menyebabkan pembangunan ekonomi dan politik
menjadi kacau.
Masalah
korupsi terkait dengan kompleksitas masalah moral/sikap mental birokrat di
administrasi. Dalam kaitannya dengan etika, maka akan sengat erat
kaitannya dengan masalah moral, akhlak, dan baik buruknya suatu perbuatan
dilihat dari hukum positif yang berlaku di masyarakat. Kaitannya dengan sosok
pejabat publik atau penyelenggara negara, maka etika akan menggambarkan sejauh
mana kualitas mental dan moral pejabat tersebut. Perilaku korupsi,
penyalahgunaan wewenang, dan setumpuk perilaku lainnya yang meresahkan
masyarakat dapat dikategorikan sebagai hilangnya nilai-nilai etika yang
seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat publik. Apalagi jika hal tersebut
telah menjadi sebuah kultur, maka tentunya akan sangat berpengaruh terhadap
kemajuan suatu bangsa, dimana maju tidaknya bangsa tersebut sangat bergantung
kepada kualitas mental dan moral serta kemampuan para pemimpinnya.
3.2
Upaya-upaya dalam Mengatasi
Tindakan Korupsi Di Lingkungan Birokrasi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja
kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka
akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah
dan menghalalkan segala cara (the end
justifies the means).
Untuk itu, korupsi perlu ditangani secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan
korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari
berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai
berikut :
1.
Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang
dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
2.
Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana
keputusan dibuat.
3.
Melakukan perubahan organisasi yang akan
mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
Wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan
instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk
mengurangi kesempatan korupsi. Dorongan untuk korupsi dapat
dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan
korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun
korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan
struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk
korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas
membenarkan (legalized) tindakan yang semula
dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di
lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera
ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah
pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan
melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi
yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang
menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas,
pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan
kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus
dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin,
satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan
hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok
pejabat-pejabat harus ditindak pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya,
oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari
segi deduktif
saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat
apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung
jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu
mengutamakan kepentingan nasional.
3.
Para pemimpin dan pejabat memberikan
teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak,
memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi
pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.
Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan achievement dan bukan berdasarkan sistem ascription.
7.
Adanya kebutuhan pegawai negeri yang
non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.
Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9.
Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang
mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.
Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan
perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Indonesia dalam hal memberantas tindakan korupsi dapat belajar dari Negara Asia seperti Korea Selatan yang sukses mengurangi angka tindakan korupsi di negaranya. menciptakan sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi. Selanjutnya
Etika administrasi menjadi
semakin penting ketika sistem administrasi sendiri memberikan tempat bagi
adanya korupsi, campur tangan politik atas birokrasi dan sebagainya. Dalam
bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara
otonom dan bukan secara heteronom. Rendahnya etika para birokrat terjadi karena
rendahnya pemahaman dari norma–norma umum yang sangat mendasar tersebut.
Sehubungan dengan korupsi, etika kemudian lahir sebagai alat kontrol dalam
menjalankan administrasi. Hal ini dikarenakan ada seperangkat nilai yang
kemudian diyakini bahkan diamanahkan kepada pemerintah untuk dipegang teguh
dalam setiap tingkah laku administrasi. Jika etika yang kemudian dilembagakan
dalam kode etik dipegang dengan teguh, maka penyimpangan seperti korupsi tidak
akan terjadi.
Misalnya kode etik birokrat yang merupakan norma-norma
sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan birokrat yang diharapkan dan
dipertangung jawabkan dalam melaksanakan tugas pengabdiannya kepada bangsa,
negara dan masyarakat dan tugas-tugas kedinasan, organisasinya serta pergaulan
hidup sehari-hari sesama birokrat dan individu-individu di dalam masyarakat.
Lebih jauh ada etika yang kemudian terlembagakan dalam hukum, seperti Asas
Penyelenggara Negara Yang Bersih & Bebas KKN UU No 28 tahun 2000. Keseluruhan
nilai etis di atas pada umumnya berisi mengenai petunjuk dalam tingkah laku administrasi
baik sejak disumpah hingga kewajiban dan larangan. Sejak disumpah seorang
birokrat telah mendapatkan amanah dari publik dan oleh karenanya harus
bertanggung jawab kepada publik. Bahkan, ketika hal itu dipegang teguh dan
diyakini sebagai suatu amanah, maka pertanggungjawabannya bukan hanya pada
publik melainkan juga kepada Tuhan dan pribadi. Oleh karena itu, jika etika
dipegang teguh maka tindakan penyalahgunaan wewenang seperti korupsi tidak akan
terjadi dan sebagai suatu konsekuensi logis maka setiap tindakan korupsi dalam
bentuk apapun/ alasan apapun tidak dapat dibenarkan/ menyalahi etika.
Jadi dapat dismpulkan
bahwa penerapan etika dalam lingkungan birokrasi sangat penting peranannya
dalam menangani tindakan korupsi ini. Berikut adalah tindakan preventif dan
represif yang dapat diaplikasikan terkait dalam membangun etika birokrat yang
baik:
1. Preventif.
·
Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai
baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau
milik negara.
·
mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi
pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan
integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
·
Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi
mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
·
Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih
efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian
dan kebijakan.
·
Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan
politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan.
·
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai,
sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan
selalu berusaha berbuat yang terbaik.
2. Represif.
·
Perlu penayangan wajah koruptor di berbagai media
massa.
·
Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan
pejabat.
BAB IV
KESIMPULAN
Menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para
pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan
penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)
kekayaan pejabat dan pegawai.
Korupsi yang menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan
menghianati cita-cita perjuangan bangsa dapat ditangani dengan cara melaksanakan
tindakan yang bersifat Preventif dan Represif yang dalam tujuannya untuk
membangun etika birokrat yang baik. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan
adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun
pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan
milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku
pimpinan atau atasan
lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk
kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini. (1983). Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru.
CV: Rajawali Press.
Lubis, Mochtar. (1977). Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Buyung,
Bulizuar. 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Depok: Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Darmawan, Cecep. (2006) .Transparansi Birokrasi Menuju Birokrasi yang Sehat.
Bandung: Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran.
Effendi, Sofian
dkk. (1988). Alternatif Kebijaksanaan Perencanaan Administrasi. Yogyakarta:
Fisipol UGM.
K. Bertens.
(2000). Etika Seri Filsafat Atma Jaya.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Komentar
Posting Komentar