DESAKRALITAS PERKAWINAN
KAWIN CERAI ARTIS DALAM PERSPEKTIF
KELUARGA ISLAM DAN TEORI PERTUKARAN SOSIAL
Abstraksi
Menjadi semacam stereotype bahwa artis identik dengan kawin cerai.
Kawin cerai dalam konteks ini dianggap sebagai kenyataan biasa bagi artis (aktor-aktris)
apakah itu pedangdut, pesinetron bahkan artis hasil audisi. Pada era booming
media hiburan dan infotainment di televisi, kawin cerai kalangan artis,
selebritis atau public figure menjadi topik utama yang memiliki rating tinggi.
Jangan kaget jika media hiburan dan infotainment, berlomba-lomba mendapatkan
informasi eksklusif soal kawin cerai ini.
Karena itu, tidak mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu yang sumbernya antah-berantah. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.
Karena itu, tidak mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu yang sumbernya antah-berantah. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.
Dengan orientasi tidak lagi untuk sebuah informasi (to inform),
namun lebih mengedepankan aspek ’selingan semata’ (leisure). Karenanya apapun
yang dialaminya, layak untuk diketahui publik. Atau fenomena ini terjadi
persaingan yang semakin ketat diantara media hiburan sejenis. Sehingga kawin
atau cerai, tidak lebih dari fenomena orang membeli sesuatu barang, dimana pada
satu kurun waktu bakal terjadi titik jenuh dan karena telah mencapai titik
jenuh sehingga barang lama harus digantikan dengan yang baru.
Kata Kunci: Islam, Media, Perkawinan
Pendahuluan
Kata Kunci: Islam, Media, Perkawinan
Pendahuluan
Keluarga pada saat ini dikatakan sebagai sebuah bentuk gaya hidup
yang memiliki ragam interpretasi dan reeksistensi. Dalam beberapa ragam itu,
memang didapatkan dua kecenderungan pola bagi keluarga itu sendiri. Pertama,
keluarga diasumsikan sebagai sebuah konsekuensi hidup yang harus dijalani.
Kedua, entitas keluarga merupakan salah satu pilihan hidup.
Keluarga Islam secara umum dimaknai sebagai sebentuk keluarga yang
keyakinan dan kesadaran beragamanya menganut doktrin keagamaan Islam, dengan
menjadikan struktur fundamental ajaran sebagai manifestasi dari kehidupan
berkeluarga. Keluarga dalam Islam merupakan basis unit sosial kemasyarakatan.
Jika Islam dalam kiasan spasial (spatial metafor) diasumsikan menjadi sebentuk
jiwa, maka keluarga dapat dilihat secara metaforis sebagai raganya. Selama
beberapa abad yang lalu, John. L. Esposito mengatakan keluarga merupakan fokus
utama identitas emosional, ekonomi, dan politik, bukan saja dalam catatan perjalanan
peradaban Islam akan tetapi melingkupi seluruh kehidupan komunitas di dunia
(Esposito, 2001: 154).
Dalam beberapa dekade bahkan sampai sekarang, keberadaan
keluarga-keluarga yang memeluk agama Islam lebih mampu diidentifikasi menjadi
pola keluarga yang muslim bukan keluarga Islam beserta kekuatan implementatif
yang menjadi keharusan fundamental untuk dilaksanakan. Argumentasi ini
diperkuat dengan tidak ditemukannya konsepsi ideal keluarga Islam keluarga
sakinah yang secara massif membumi dan aplikatif pada masyarakat muslim. Harus
diakui konsep keluarga sakinah dirasakan sangat melangit karena lebih
berpretensi pada keinginan-keinginan ideal yang secara implementatif tidak
memiliki formulasi yang jelas dan tepat. Untuk mempertegas cita keluarga Islam
selanjutnya, diperlukan terlebih dahulu bagaimana ajaran Islam memaknai
pernikahan.
Di antara urgensi pernikahan dalam Islam adalah untuk membangun
lembaga keluarga dengan menanggung bersama tugas dan tanggung jawab yang muncul
sebagai konsekuensi dari terbentuknya sebuah lembaga keluarga. Antara lain
tugas dan tanggung jawab itu adalah menciptakan ketenangan dan kenyamanan serta
menjadikan keluarga sebagai tameng dan benteng penjaga bagi psiko-individual
dan jiwa-jiwa di dalam keluarga itu sendiri (Faiz, 2001: 156). Tujuan yang
tidak kalah pentingnya adalah pernikahan dan keluarga menjadi wadah penciptaan
generasi baru bagi kesinambungan masyarakat manusia.
Beberapa instrumen utama keluarga sakinah adalah kreasi efektif dan
gerak progresif antara mahabbah (cinta romatis) yang merupakan tingkat
permulaan dari proses hubungan laki-laki dan perempuan yang dalam psikoanalisis
freudian berkaitan dengan libido yang sangat fisikal dan biologis, mawaddah
(cinta sejati) yang berposisi setingkat lebih tinggi dari cinta romantis karena
tidak semata-mata menilik unsur jasmaniah, akan tetapi lebih dalam yang
berkaitan dengan nilai-nilai abstrak seperti kepribadian dan lainnya, cinta
mawaddah berpotensi untuk bertahan lebih lama karena ditunjang oleh unsur
kesejatian yang lebih kuat, (Madjid, 2004: 72-73).
Berangkat dari interpretasi ideal tersebut, nampaknya berbeda
dengan persepsi kalangan publik figur yang seolah melihat perkawinan sebagai
media sensasional. Karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba membaca
fenomena kawin cerai yang akhir-akhirnya justeru marak terjadi dikalangan para
selibritis atau public figure. Komentar sekaligus pertanyaan yang sering muncul
dari fenomena seperti ini adalah apakah kawin cerai artis hanya sebuah
sensasional mereka untuk mengejar popularitas? Lalu dimana fungsi perkawinan
yang oleh banyak kalangan dinilai sakral dan memiliki legitimasi teks suci? Dan
tulisan ini akan mengurai persoalaan itu dengan menitik beratkan permasalahan;
Petama, apa saja tipe dari putusnya (disolusi) sebuah ikatan perkawinan? Kedua,
seberapa jauh akibat yang dirasakan pasangan suami-isteri yang mengalami
perceraian?
Problem Teoritis Tentang Perceraian
Problem Teoritis Tentang Perceraian
Seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses
yang di dalamnya menyangkut banyak aspek seperti : emosi, ekonomi, sosial dan
pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku. dari
beberapa kajian tentang percerairan di negara-negara berkembang menyebutkan
bahwa disetiap masyarakat terdapat institusi yang menyelesaikan proses berakhirnya
suatu perkawinan atau dalam istilah umum disebut perceraian memiliki kesamaaan
ketika mempersiapkan suatu perkawinan.
William J. Goode menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki
definisi yang berbeda mengenai konflik antara pasangan suami-isteri serta model
resolusinya. Sosiolog ini beranggapan bahwa pandangan yang menilai perceraian
merupakan suatu kegagalan adalah bias, karena semata-mata mendasarkan
perkawinan sebagai lambang cinta dengan sejuta romantis. Padahal semua sistem
perkawinan setidaknya terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama
dimana masing-masing individu itu memiliki kebutuhan, hasrat, serta latar
belakang sosial yang bisa saja berbeda satu sama lain, akibatnya sistem ini
dapat memunculkan ketegangan dan ketidak bahagiaan yang dirasakan oleh semua
anggota keluarga.
Teori pertukaran dalam sosiologi melihat perkawinan sebagai proses
pertukaran antara hak dan kewajiban serta antara hak dan kehilangan yang
terjadi antara pasangan suami-isteri. karena perkawinan merupakan proses
integrasi dua orang yang hidup bersama, sementara latar belakang sosial budaya,
keinginan serta kebutuhan mereka berbeda maka keinginan dan kebutuhan itu harus
senantiasa dirundingkan serta disepakati bersama (Dawson Scanzoni, 1981).
Perceraian kerapkali diawali dengan berhentinya proses negosiasi
antara pasangan suami-isteri yang pada gilirannya menyulitkan kedua belah pihak
memproduksi kesepakatan yang dapat memuaskan kedua pihak. Pasangan suami-isteri
seolah-olah tidak dapat mencari jalan keluar, situasi seperti ini boleh jadi
dapat menimbulkan perasaan untuk memaksakan kehendak sendiri bahkan berupaya
menciptakan konflik daripada menemukan resolusi.
Jika dalam suatu hubungan suami-isteri sudah mulai melakukan
sikap-sikap apriori atau mencari-cari kesalahan, maka sesungguhnya hubungan itu
seolah telah menghilangkan tradisi memuji dan menghargai pasangan. Padahal,
pujian dan penghargaan yang diberikan kepada pasangan suami-isteri merupakan
dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. Dengan
demikian, perceraian acapkali terjadi karena lenturnya kebiasaan komunikasi
dalam upaya menghargai prinsip pasangan.
Berbicara mengenai situasional perceraian atau lebih tepatnya
proses perceraian, tampaknya banyak faktor yang menyebabkan perceraian sebagai
pilihan. dari hasil penelitian mengenai stabilitas keluarga di negera-negara
yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan Eropa, seperti yang dikemukakan
Murdock bahwa tingginya tingkat perceraian dilatari karena tingkat pendidikan
masyarakatnya yang masih rendah (Erna Karim: 1999).
Lebih jauh Murdock menggambarkan tinggi-rendahnya tingkat
perceraian bergantung dari dari kesadaran masyarakat terhadap tuntutan
pemenuhan pendidikan. Di Jepang sampai dengan tahun 1920, tingkat perceraian
lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Tingginya tingkat perceraian di Jepang
berkaitan dengan berlakunya sistem keluarga luas yang menganut garis keturunan
patrilinial dan kekuasaan patriarkhal. Sama seperti yang terjadi di masyarakat
tradisional Cina. Perceraian pada masyarakat Jepang waktu itu lebih sebagai
bentuk refleksi dari ketidak-puasan para isteri terhadap dominasi mertua.
Tetapi seiring dengan proses berlangsungnya urbanisasi serta beralihnya sistem
keluarga dari model kelurga luas menjadi keluarga konjugal, Conjugal family
dalam hal ini dapat diterjemahkan sebagai sebuah keluarga yang terdiri dari
(ayah, ibu dan anak). Lihat (Hendi Suhendi, 2001: 148). Maka tingkat perceraian
pun semakin menurun.
Sementara di negara-negara Islam, tingginya tingkat perceraian
dikaitkan dengan norma agama yang memperbolehkan para suami menjatuhkan talak
kepada istrinya. Goode mengungkapkan, tingginya tingkat perceraian di Algeria
1900 adalah empat kali lebih tinggi daripada tingkat perceraian yang terjadi di
Amerika Serikat, tetapi seiring dengan modernisasi di Algeria pada tahun 1940
tingkat penceraian pun turun menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
perceraian yang terjadi di Amerika Serikat. Dengan demikian modernisasi dapat
memberikan implikasi terhadap turunnya angka perceraian, lebih jauh Goode
memberikan kesimpulan bahwa negara-negara Islam yang belum mengalami
modernisasi sesungguhnya secara tidak langsung telah memberikan peluang bagi
keberlangsungan praktik perceraian (William J Goode, 1985).
Jika pada tahun 1940 tingkat perceraian di Amerika Serikat justeru
lebih tinggi dengan perceraian yang terjadi di Algeria, oleh Jacobson
dikomentari sebagai akibat dari tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama
menjelang Perang Dunia I. Selain itu Jacobson melihat karena adanya kaitan
antara perang dengan tingkat perceraian. Sebab bagaimana tidak, ternyata perang
telah memisahkan banyak pasangan suami-isteri untuk jangka waktu yang cukup
lama. Situasi seperti ini cukup berpotensi bagi pasangan yang berpisah lama
untuk melakukan hubungan intim diluar perkawinan yang sah oleh karena faktor
kesepian.
Dengan demikian, tingginya tingkat perceraian dalam suatu
masyarakat sebelum jauh mengelaborasi dalam konteks perceraian masyarakat kota
lebih jelasnya kalangan artis, untuk sementara dapat disimpulkan karena
pertama, hilangnya tradisi komunikasi yang saling berusaha memuji dan
menghargai. Kedua, karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap signifikansi
ilmu pengetahuan. Ketiga, belum bersentuhnya ekspansi modernisasi terhadap
suatu kawasan kultur. Keempat, masih leluasanya praktik kekuasaan model
pariarkhal. Kelima, adanya legitimasi agama terhadap para suami untuk
menjatuhkan talak dan keenam adalah karena situasi keberpisahan yang cukup lama
antara pasangan suami isteri yang berpotensi menciptakan perselingkuhan.
Berangkat dari kerangka teori diatas, setidaknya cukup
representatif jika digunakan untuk mengkaitkan dengan perceraian yang terjadi
dikalangan artis (public figure) yang akhir-akhirnya ini selalu menghiasi
tayangan media nasional bahkan kerapkali menjadi berita utama. Apakah itu
proyeksi pasar untuk meningkatkan incam atau tidak, yang jelas implikasinya
terhadap pencitraan makna keluraga mulai dipertanyakan.
Media dan Kawin Cerai Artis
Media dan Kawin Cerai Artis
Semacam stereotype bahwa artis identik dengan kawin cerai. Kawin
cerai dalam konteks ini dianggap sebagai kenyataan biasa bagi artis
(aktor-aktris) apakah itu pedangdut, pesinetron bahkan artis hasil audisi.
Karena itu, misalnya ketika seorang artis tiba-tiba menggandeng pasangan baru
atau seorang artis ditinggalkan pasangannya, hal itu dianggap sebagai peristiwa
biasa saja. Pada era booming media hiburan dan infotainment di televisi, kawin
cerai kalangan artis, selebritis atau public figure menjadi topik utama yang memiliki
rating tinggi. Jangan kaget jika media hiburan dan infotainment, berlomba-lomba
mendapatkan informasi eksklusif soal kawin cerai ini.
Mulai dari proses pengajuan gugatan di pengadilan, proses
persidangan hingga keputusan majelis hakim, merupakan peristiwa yang tidak
pernah luput dari perhatian para jurnalis infotaimen. Karena itu tidak
mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita
mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu
yang sumbernya antah-berantah. Pasangan artis dikabarkan tengah mengalami badai
rumah tangga dan berencana pisah ranjang. Namun faktanya, mereka akur-akur
saja. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news
ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi
narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.
Berikut beberapa model pemberitaan media infotaiment;
Cut Memey Takut Nikah
Berikut beberapa model pemberitaan media infotaiment;
Cut Memey Takut Nikah
ARTIS sinetron Cut Memey mengaku masih takut untuk menikah. Salah
satu alasan dia belum berani menikah sekarang, karena melihat kenyataan sesama
rekannya di kalangan artis banyak yang kawin cerai. Katanya, “salah satu
alasannya memang itu. Saya harus pikir matang-matang kalau mau menikah.”
Menurut Cut Memey, bagaimana pun kenyataan yang dialami artis yang kawin cerai
memberi dampak kepada artis lain yang belum pernah menikah. Namun, lanjutnya,
hal semacam itu jangan menjadi sesuatu yang menghantui, itu menjadi pelajaran
saja. “Kita harus pandai-pandai mengambil hikmahnya. Kalau saya penginnya
menikah sekali untuk selamanya.”
Isu Cut Keke Nikah Siri ARTIS cantik Cut Keke dikabarkan telah
menikah secara siri dengan Malik Bawazier, SH pengacara sejumlah artis. Ketika
dihubungi di di sela acara 1 Tahun Tsunami di Museum Gajah, Jakarta, Cut Keke
menolak diwawancara, “Kalau soal pribadi, aku mohon maaf. Acara ini menyangkut
musibah saudara-saudara kita di Aceh. Jadi, nggak ada hubungan dengan soal
pribadi,” kata Cut Keke.
Mengamati liputan mengenai kawin cerai para artis, nuansa
entertaintmentnya lebih kental, jika dibandingkan dengan aspek informasi dan
edukasinya. Dalam konteks perceraian, ternyata keberadaan figur menjadi sorotan
utama, daripada pokok persoalan yang mendorong mereka bercerai, atau implikasi
yang akan muncul akibat perceraian itu. Bagaimana amar putusan hakim menjadi
tidak penting, karena komentar pihak-pihak yang bercerai jauh lebih penting.
Tidak jauh berbeda dengan liputan mengenai perceraian, liputan
mengenai perkawinan tidak kalah hebohnya. Bagaimana tidak pasangan artis yang
akan menikah, diburu ramai-ramai. Kalangan media secara bersama-sama mendatangi
tempat perkawinan. Pada saat perhelatan itu dinyatakan tertutup, muncul reaksi
keras dari para wartawan infotaimen. Ujung dari situasi ini biasanya para artis
menggelar jumpa pers. Ada kesan, bahwa artis sebagai public figure telah
menjadi milik publik. Dan karena menjadi milik publik, tidak ada lagi
privilige, semuanya harus serba terbuka, termasuk prosesi perkawinan atau akad
nikah.
Kawin-cerai dikalangan artis, sebenarnya hal yang biasa, karena hal
yang sama juga menimpa kalangan masyarakat lain. Yang menjadi persoalan
kemudian adalah mengapa ada coverage besar-besaran mengenai perkara kawin-cerai
ini. Dengan orientasi tidak lagi untuk sebuah informasi (to inform), namun
lebih mengedepankan aspek ’selingan semata’ (leisure). Apakah fenomena ini
terjadi karena faktor ’ketenaran’ (magnitude) yang dimiliki para artis sebagai
public figure. Karenanya apapun yang dialaminya, layak untuk diketahui publik.
Atau fenomena ini terjadi persaingan yang semakin ketat diantara media hiburan
sejenis--termasuk didalamnya infotainment--lantaran isu soal kawin-cerai
memiliki rating tinggi, berita soal kawin cerai dikupas habis-habisan. Atau
telah terjadi pergeseran pandangan atau penilaian publik mengenai makna
perkawinan. Sehingga kawin atau cerai, tidak lebih dari fenomena orang membeli
sesuatu barang, dimana pada satu kurun waktu bakal terjadi titik jenuh dan
karena telah mencapai titik jenuh sehingga barang lama harus digantikan dengan
yang baru inilah yang oleh Lyotar disebut economic libidinal, yaitu wilayah
pribadi tidak lagi bersifat privat tetapi berubah menjadi wilayah publik.
Sekali lagi tanpaknya sosiologi dengan teori pertukaran sosial,
(Ritzer: 2003), (Poloma, 2003) sebuah teori yang dilandasi oleh prinsip
transaksi ekonomi yang bersifat elementer yaitu adanya penyedia barang atau
jasa dan berharap memperoleh imbalan atau ganjaran sesuai dengan diharapkan.
Demikian juga dengan kenyataan kawin-cerai artis dinilai memiliki muatan
kemitraan antara artis yang bersangkutan dengan kalangan media infotaiment (ada
penyedia--ada pengguna). Artis dalam situasi ini boleh jadi memposisikan diri
sebegai penyedia berupa hal-hal yang oleh sebagian kalangan dianggap tabu,
sementara media bertindak sebagai pengguna yang pada gilirannya ditransfer
sebagai komoditas pasar, demikian juga sebaliknya.
Dengan bahasa lain, kawin-cerai sengaja dieksploitasi para artis
guna mengangkat popularitas mereka yang mulai memudar atau semakin mengokohkan
popularitas yang telah diraihnya. Dari berbagai kemungkinan yang ada,
keterkaitan antara kawin-cerai dengan popularitas tampaknya ada benang
merahnya. Artis sengaja memanfaatkan momentum kawin atau cerai untuk
mendongkrak atau memperkokoh popularitasnya. Karena dengan kasus itu, ia mendapatkan
publikasi 'gratis' dalam kurun waktu yang lama. Apalagi jika dibalik kasus
kawin-cerai tadi muncul polemik berkepanjangan. Ia akan menjadi pusat perhatian
publik. Bila pada saat yang sama ia meluncurkan album baru atau membintangi
sinetron baru, kasus yang tengah melilitnya bisa menjadi 'jembatan' antara
dirinya dengan publik. Secara finansial, ini jelas menguntungkan.
Berangkat dari situasi ini, sepertinya argumentasi yang dikemukakan
Goode, Murdock dan Jacobson tentang perceraian sebagai pilihan lebih dilatari
oleh karena faktor mis komunikasi antar pasangan suami-isteri, rendahnya
tingkat pendidikan, tradisionalis, belenggu patriarkhal dan dogma agama, untuk
kasus kawin-cerai kalangan artis teori ini tidak cukup signifikan, bagaimana
tidak kalangan artis yang nota benenya adalah orang-orang yang boleh dikategori
sebagai kelompok kelas elit secara emosional maupun finansial.
Beberapa pakar sosiologi berpendapat bahwa tingginya angka
percerian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi (Randall Collin,
1988). Kasus kawin-cerai para artis ini tampaknya lebih dipicu sebagai
implikasi dari arus modernisasi yang secara tidak langsung dapat menuntut
masyarakat terutama para isteri untuk memperoleh otonomi, keadilan dan imbalan.
Kondisi pasangan dalam hal ini suami atau isteri ketika dalam sebuah keluarga
mereka tidak memperoleh imbalan berdasarkan target sebelum melakukan
perkawinan, juga bisa berujung pada perceraian.
Sembari penjelasan Goode, Murdock dan Jacobson dipergunakan pada
kasus perceraian para artis tidak cukup memadai, tetapi ketika dipakai untuk
mengkaji kasus perceraian yang terjadi dikalangan masyarakat secara umum, hemat
penulis cukup signifikan. Menyebut satu kasus saja; misalnya tingginya tingkat
perceraian di Lombok karena legitimasi adat tradisional yang membenarkan kawin
lari, sehingga banyak dari para pelakunya yang justeru masih remaja yang pada
gilirannya harus putus sekolah karena kawin di usia dini (Ryan Bartholomew,
2001). Selain legitimasi adat, faktor kemiskinan juga mengakibatkan keretakan
rumah tangga karena terlalu bergantung pada pendapatan satu pasangan saja.
Selain karena arus modernisasi, kawin cerai di kalangan artis juga
dimungkinkan sebagai aksioma negatif dari pemahaman atas dogma agama yang tidak
melarang perceraian yang dilakukan berulang-ulang kali, tipologi pemahaman
seperti ini sesungguhnya dapat menimbulkan geliat keberanian seseorang untuk
melakukan tindakan kawin-cerai. Sehingga berimplikasi pada mundurnya peradaban
kemanusiaan, karena anak sudah kehilangan media belajar paling utama yaitu
keluara (Stephen K. Sanderson, 2003).
Dengan demikian, kawin cerai yang dilakukan kalangan artis timbul
sebagai implikasi dari model pilihan hidup yang serba glamor, dimana sikap ini
betul sama-sekali tidak menguntungkan secara finansial kalaupun untung hanya
cukup sebatas pelakunya saja tetapi tidak bagi generasi berikutnya (next
generation). Betul yang dikatakan Goode kelayakan pendidikan anak dengan
keluarga yang tidak harmonis jauh lebih baik dibanding pendidikan anak dengan
orang tua yang hidup terpisah atau bercerai.
Popularitas Keluarga Sakinah dalam Konteks Keluarga Kontemporer
Popularitas Keluarga Sakinah dalam Konteks Keluarga Kontemporer
Dalam kajian sosiologi dikenal sebuah pendekatan Comte yang dikenal
dengan teori evolusi atau hukum tiga tingkatan yaitu evolusi teologis,
metafisik dan positivistis (Ritzer: 2004: 17). Demikian halnya dengan keluarga
secara sosiologis juga mengalami proses evolutif yang berkorelasi positif
dengan gerak laju perkembangan zaman. Gerak evolusi dimulai dari tipologi
keluarga tradisional, pra modern, modern dan kontemporer seperti saat ini.
Asumsi dan opini publik tentang eksistensi dan signifikansi keluarga pun
mengalami proses reinterpretasi dan rekonstruksi sesuai dengan
perubahan-perubahan sosiologis yang terjadi.
Sistem sosial Islam menjamin terpenuhinya cita-cita mulia tentang
keluarga dan anggota lain yang ada didalamnya. Islam dengan doktrin
keagamaannya membangun institusi ini di atas asas yang kuat, cermat, dan
berorientasi serta berlandaskan realitas kehidupan. Regulasi yang ditawarkan
menjamin terciptanya keluarga bahagia, lantaran nilai kebenaran yang
dikandungnya selaras dengan fitrah hanif manusia. Pada akhirnya semua aturan
Ilahi bertujuan membentuk kehidupan manusia yang ideal.
Al-Quran memberikan harapan besar dalam membangun ikatan keluarga
yang kuat untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sanggup memelihara
aturan-aturan Allah dalam berkehidupan. Untuk itu, dituntut setiap individu
muslim untuk mempersiapkan pengabdiannya di tengah masyarakat dalam lingkungan
keluarga. Penataan dan pengaturan fondasi keluarga dalam Islam sangat
berpengaruh pada kontinuitas kehidupan ummat manusia. Sehingga penataan yang
berlaku baik dari masa kelahiran manusia, tumbuh berkembang dan dipenuhi dengan
sublimasi pendidikan nurani akan berhasil dalam bentuk kemampuan menjalani
kehidupan di atas koredor fitrah dengan nyaman dan terjaga dari residu-residu
budaya dan hal-hal yang di luar fitrah manusia utuh.
Hal fundamental yang menjadi orientasi struktural bagi idealitas
keluarga dalam konteks post industri saat ini adalah universalitas Al-Quran
yang mengaitkan regulasi keluarga dengan masalah dasar keimanan yang ada dalam
doktrin keagamaan Islam, artinya aturan dan hukum Islam tentang keluarga
berasal dari Allah SWT (Faiz, 2001: 73). Pada implementasi dari upaya merajut
dan menjalankan bahtera rumah tangga bernafaskan religiusitas, maka ajaran dan
regulasi keluarga sepatutnya digariskan dengan mengacu pada sumber Al-Quran dan
Sunnah sebagai pedoman utama.
Sejak hadirnya Islam pada abad ke-7 M telah membawa perubahan
struktur keluarga waktu itu. Meskipun bagan dasar patrilinialitas sedikit
dipertahankan, akan tetapi sangat terlihat dengan jelas adanya beberapa modifikasi
pada bebrapa bagian dari konstruksi keluarga secara umum terutama pada posisi
perempuan. Nabi Muhammad pun diakui memberikan perhatian yang besar dan khusus
bagi perempuan yang sejak masa lalu diposisikan subordinatif dan dianggap
sebagai manusia yang dinomorduakan. (Esposito, 2001: 155).
Pada masa lalu dan juga pada masa sekarang, keluarga telah melalui
proses evolusi dan revolusi dalam mempola secara apik konsepsi praktis bagi
kelangsungan kehidupan keluarga di manapun berada yang dikondisikan sesuai
dengan sistem sosial tiap komunitas. Keluarga secara fungsional telah
memberikan dukungan ekonomi dan emosional kepada seluruh anggotanya. Menurut
Halim Barakat, tiap individu dalam keluarga mewarisi identitas keagamaan, kelas
dan kultural yang diperkuat oleh laku adat dan kebiasaan kelompok atau
komunitas (Halim Barakat, 1985: 48).
Lembaga keluarga secara obyektif bertahan lama sebagai bagian dari
sistem sosial kemasyarakatan karena memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.
Perubahan radikal yang terjadi di Barat baik yang berkaitan dengan struktur
keluarga baru dengan penguatan keluarga inti, institusi baru pemeliharaan anak
(child bearing) seperti tempat penitipan anak dan lainnya serta pengembanan
tanggung jawab sosial dan ekonomi dari hierarki keagamaan ke arah sekularisasi
yang menjadi ciri khas Barat ternyata tidak berlaku serupa dalam keluarga
masyarakat Islam. Dengan begitu, untuk sebagian besar potongan sejarah dalam
bingkai kesinambungan dan perubahan, ideal keluarga Islam merupakan lembaga yang
tidak saja mereproduksi entitas diri secara fisik, tetapi juga mereproduksi
nilai keagamaan dan sosial anggota secara komprehensif.
Esposito menjelaskan dalam catatan sejarah dunia Islam pada masa
awal abad-abad ke-19, di atas rata-rata seluruh negara termasuk negara Islam
yang sebagian penduduknya menganut Islam dan menjadi unit keluarga Islam
mendapatkan tekanan baru akibat kekuasaan kolonial Barat dari Mesir sampai
India, Maroko tidak terkecuali Indonesia yang secara langsung berakibat pada
penguasaan kendali politik, ekonomi, budaya, struktur sosial dan lokal yang
terdevaluasi dengan berupaya menggantikannya dengan model-model Barat
(Esposito, 2001: 156).
Unit Keluarga tidak kebal dengan hegemoni imprealisasi Barat. Namun
tanpa diduga institusi inilah yang memulai perlawanan dan berusaha menolak
keberadaan imprealisme. Unit keluarga berfungsi menjadi tempat perlindungan
keagamaan, sosio-kultural, dan pengingkaran terhadap dominasi Barat. Pada
kelanjutannya di permulaan abad ke-20, perlawanan antikolonial terorganisasi
dan tertata menjadi lebih serius dan militan, seperti yang terjadi di
wilayah-wilayah Indonesia, India dan bagian lain dunia Islam. Eksistensi
keluarga menjadi fokus perlawanan seperti itu (Esposito, 2001). Penopang kuat
realitas ini adalah pemahaman cerdas terhadap aktivitas yang memperoleh
legalitas dalam retorika yang berbicara perihal kewajiban menjaga agama dan
budaya Islam khususnya dalam keluarga di hadapan musuh bersama (public enemy)
yaitu kekuatan politik dan ekonomi Barat yang berorientasi skularistik dan
anti-Islam.
Pada saat semua negara di belahan dunia Islam terlepas dari
kungkungan imprealisme, unit keluarga Islam mengalami perubahan orientasi yang
diakibatkan oleh dialektika panjang dengan perubahan zaman dan perkembangan
dunia yang progresif. Masih banyak persoalan disisakan bagi eksistensi keluarga
Islam sendiri, termasuk menjadi sasaran beraneka ragam tekanan ekonomi dan
politik.
Keberadaan keluarga diusik kembali oleh persoalan-persoalan baru
yang lebih cenderung berusaha menegasikan pilar-pilar pranata yang telah
berlaku lama dan membudaya. Tipologi keluarga dalam konteks saat ini tengah
mengalami perubahan signifikan berbentuk kemampuan para perempuan membagi dan
atau meninggalkan ruang domestik untuk bekerja di luar rumah, tuntutan
elastisitas distribusi peran bagi perempuan, serta fenomena disorganisasi
keluarga yang menuntut koreksi dengan reformulasi dalam keluarga muslim.
Perkembangan pemikiran tentang keluarga dewasa ini juga semakin
memperkuat pandangan bahwa keluarga menjadi instrumen utama sebagai batu
penyanggah tempat berdirinya budaya dan sosialisasi keagamaan. Idealitas
keluarga Islam yang mendukung terciptanya keluarga luas (extended family) yang
menuntun pada kepaduan keluarga yang lebih besar telah menjadi harapan yang
seharusnya terpenuhi dalam perjalanan evolusi keluarga muslim kontemporer.
Tanpa menafikan proses dialektis revolusioner antara perkembangan
dunia post industri dengan entitas keluarga Islami beserta perubahan progresif
dan atau regresif yang ada, idealitas keluarga muslim tetap saja mendapatkan
tantangan berat dari upaya perubahan orientasi bagi keluarga. Seperti yang
dicatat oleh Khurshid Ahmad bahwa institusi keluarga terpaksa terfragmentasi
dan retak, keluarga sebagai fondasi masyarakat kontemporer dan lembaga budaya
dasar yang sensitif ini sedang terancam baik dari dalam maupun dari luar akibat
dari krisis budaya zaman dengan kekuatan destruktif modernisasi yang kebablasan
(Khurshid Ahmad, 1968: 98).
Untuk sejumlah pendapat para pengamat dan pemikir, keluarga Islam
tampaknya tidak terlalu terdisintegrasi dengan revolusi budaya massa yang
cenderung materialistik dan sekular, tetapi lebih pada proses evolusioner pada
upaya reformulasi dan reorganisasi keberadaan keluarga guna menanggapi kebutuhan-kebutuhan
kontemporer. Dengan beradaptasi dan berevolusi, unit keluarga muslim telah
menjadi lembaga sosial yang sangat fleksibel, interdependen dan merupakan
pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan individu maupun kelangsungan hidup
kelompok.
Kesimpulan
Kesimpulan
Barangkali krisis keluarga yang sesungguhnya bukanlah karena orang
semakin banyak hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau lebih banyak yang
bercerai. Tetapi krisis yang sesungguhnya adalah mulai meningkatnya ketidak
mampuan keluarga sebagai surga tempat mengeluh dan berbagi rasa. Keluarga
tampaknya sudah mulai lemah memberikan perlindungan bagi remaja terhadap
persaingan yang ekstrim dalam peradaban kapitalis yang semakin maju, dan
semakin menghadapkan wanita pada tekanan-tekanannya.
Apa yang terjadi dikalangan artis sebagai publik figure juga tidak
luput implikasinya terhadap masyarakat, masyarakat seolah sudah keranjingan
untuk selalu mengikuti siapa saja yang dianggapnya menyenangkan (reference
group). Pilihan cerai sebagai cara mengakhiri perkawinan dikhawatirkan
berdampak pada pengulangan tindakan serupa bagi masyarakat secara umum.
Keinginan untuk mencari resolusi konflik keluarga selain percerian mulai
ditinggalkan, bila situasi ini terus-terus dibiarkan tanpa ada tindakan praksis,
kekhawatiran berlapis berupa mencapai kemajuan menjadi kesulitan nasional.
Karena itu, produktivitas industri hendaknya disikapi secara seimbang antara
tuntutan dan manfaatnya, tidak kemudian justeru menciptakan keretakan keluarga
sebagai bias dari upaya melahirkan otonomi individu yang lebih egaliter.
Adanya formulasi tugas-tugas dan kewajiban pernikahan dan keluarga
memerlukan perencanaan, kecermatan dan tekad yang kuat dengan mempertegas
distribusi peran yang obyektif dan jelas. Banyaknya petunjuk Al-Qur’an dan
Sunnah yang membicarakan kehidupan pernikahan dan keluarga beserta model
regulasi yang melekat, menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap
institusi strategis dalam kehidupan manusia ini. Dengan munculnya formula
keluarga sakinah tentu akan menjadi ekspektasi ideal yang harus dikejar oleh
ummat manusia.
Dalam beberapa kalam Allah SWT dan Sunnah sangat memperhatikan
lembaga keluarga. Islam selalu memberikan aturan dan kiat-kiat untuk memperkuat
jalinan itu, restrukturisasi dan pemantapan fondasi bangunan keluarga dan
melindungi institusi ini dari segala unsur negatif yang dapat melemahkannya.
Pandangan egalitarian antar suami istri dijunjung tinggi dalam ideal keluarga
Islam dengan tidak membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan, dan satu kata
penutup tidak akan pernah dibenarkan perempuan diperlakukan secara tidak adil,
subordinatif dan dipandang rendah.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
- Aliraqi, Butsainan, 2002, Rahasia Pernikahan yang Bahagia. Kathur Suhardi, terj. Jakarta: Pustaka Azzam.
- Atmowiloto, Arswendo, 2005, “Skenario sebagai gagasan dan jembatan” dalam Ashadi Siregar (editor), Sinetron Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y.
- Bartholomew, John Ryan, 2001, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, (terj) Imron Rosidi. Yogyakarta: Tiara wacana.
- Berger, Peter L. Dan Hansfried Kellner, 1985, Sosiologi Ditafsirkan Kembali Esei Tentang Metode dan Bidang Kerja. terj. Herry Joediono. Jakarta: LP3ES.
- Collin, Randall, 1988, Sociology of Marriage and The Family: Gendr Love and Property. Chicago: Nelson Hall.
- Esposito, John. L. (ed)., 2001Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern. terj. Eva Y.N. dkk. Bandung: Mizan.
- Goode, William J., 1985, Sosiologi Keluarga (terj) Lailahanoum Hasyim.(Jakarta: Bina Aksara.
- Karim, Erna 1999, “Pendekatan perceraian dari perspektif sosiologi” dalam T.O. Ihromi (penyuting) Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: YOI.
- Karno, Rano, 2005, “Serpihan pengalaman dan lintasan pemikiran” dalam Ashadi Siregar (editor), Sinetron Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y.
- Madjid, Nurcholish, 2004 Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina,
- Sanderson, Stephen K., 2003, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (terj) Farid Wajidi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Scanzoni. Letha Dawson, 1981, Men, Women an Change : A Socilogical of Marriage and Family. New York: Hill Book Company.
- Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu, 2001, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Putaka Setia.
Komentar
Posting Komentar