DESAKRALITAS PERKAWINAN

KAWIN CERAI ARTIS DALAM PERSPEKTIF KELUARGA ISLAM DAN TEORI PERTUKARAN SOSIAL
Abstraksi
Menjadi semacam stereotype bahwa artis identik dengan kawin cerai. Kawin cerai dalam konteks ini dianggap sebagai kenyataan biasa bagi artis (aktor-aktris) apakah itu pedangdut, pesinetron bahkan artis hasil audisi. Pada era booming media hiburan dan infotainment di televisi, kawin cerai kalangan artis, selebritis atau public figure menjadi topik utama yang memiliki rating tinggi. Jangan kaget jika media hiburan dan infotainment, berlomba-lomba mendapatkan informasi eksklusif soal kawin cerai ini.

Karena itu, tidak mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu yang sumbernya antah-berantah. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.
Dengan orientasi tidak lagi untuk sebuah informasi (to inform), namun lebih mengedepankan aspek ’selingan semata’ (leisure). Karenanya apapun yang dialaminya, layak untuk diketahui publik. Atau fenomena ini terjadi persaingan yang semakin ketat diantara media hiburan sejenis. Sehingga kawin atau cerai, tidak lebih dari fenomena orang membeli sesuatu barang, dimana pada satu kurun waktu bakal terjadi titik jenuh dan karena telah mencapai titik jenuh sehingga barang lama harus digantikan dengan yang baru.
Kata Kunci: Islam, Media, Perkawinan

Pendahuluan
Keluarga pada saat ini dikatakan sebagai sebuah bentuk gaya hidup yang memiliki ragam interpretasi dan reeksistensi. Dalam beberapa ragam itu, memang didapatkan dua kecenderungan pola bagi keluarga itu sendiri. Pertama, keluarga diasumsikan sebagai sebuah konsekuensi hidup yang harus dijalani. Kedua, entitas keluarga merupakan salah satu pilihan hidup.
Keluarga Islam secara umum dimaknai sebagai sebentuk keluarga yang keyakinan dan kesadaran beragamanya menganut doktrin keagamaan Islam, dengan menjadikan struktur fundamental ajaran sebagai manifestasi dari kehidupan berkeluarga. Keluarga dalam Islam merupakan basis unit sosial kemasyarakatan. Jika Islam dalam kiasan spasial (spatial metafor) diasumsikan menjadi sebentuk jiwa, maka keluarga dapat dilihat secara metaforis sebagai raganya. Selama beberapa abad yang lalu, John. L. Esposito mengatakan keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik, bukan saja dalam catatan perjalanan peradaban Islam akan tetapi melingkupi seluruh kehidupan komunitas di dunia (Esposito, 2001: 154).
Dalam beberapa dekade bahkan sampai sekarang, keberadaan keluarga-keluarga yang memeluk agama Islam lebih mampu diidentifikasi menjadi pola keluarga yang muslim bukan keluarga Islam beserta kekuatan implementatif yang menjadi keharusan fundamental untuk dilaksanakan. Argumentasi ini diperkuat dengan tidak ditemukannya konsepsi ideal keluarga Islam keluarga sakinah yang secara massif membumi dan aplikatif pada masyarakat muslim. Harus diakui konsep keluarga sakinah dirasakan sangat melangit karena lebih berpretensi pada keinginan-keinginan ideal yang secara implementatif tidak memiliki formulasi yang jelas dan tepat. Untuk mempertegas cita keluarga Islam selanjutnya, diperlukan terlebih dahulu bagaimana ajaran Islam memaknai pernikahan.
Di antara urgensi pernikahan dalam Islam adalah untuk membangun lembaga keluarga dengan menanggung bersama tugas dan tanggung jawab yang muncul sebagai konsekuensi dari terbentuknya sebuah lembaga keluarga. Antara lain tugas dan tanggung jawab itu adalah menciptakan ketenangan dan kenyamanan serta menjadikan keluarga sebagai tameng dan benteng penjaga bagi psiko-individual dan jiwa-jiwa di dalam keluarga itu sendiri (Faiz, 2001: 156). Tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah pernikahan dan keluarga menjadi wadah penciptaan generasi baru bagi kesinambungan masyarakat manusia.
Beberapa instrumen utama keluarga sakinah adalah kreasi efektif dan gerak progresif antara mahabbah (cinta romatis) yang merupakan tingkat permulaan dari proses hubungan laki-laki dan perempuan yang dalam psikoanalisis freudian berkaitan dengan libido yang sangat fisikal dan biologis, mawaddah (cinta sejati) yang berposisi setingkat lebih tinggi dari cinta romantis karena tidak semata-mata menilik unsur jasmaniah, akan tetapi lebih dalam yang berkaitan dengan nilai-nilai abstrak seperti kepribadian dan lainnya, cinta mawaddah berpotensi untuk bertahan lebih lama karena ditunjang oleh unsur kesejatian yang lebih kuat, (Madjid, 2004: 72-73).
Berangkat dari interpretasi ideal tersebut, nampaknya berbeda dengan persepsi kalangan publik figur yang seolah melihat perkawinan sebagai media sensasional. Karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba membaca fenomena kawin cerai yang akhir-akhirnya justeru marak terjadi dikalangan para selibritis atau public figure. Komentar sekaligus pertanyaan yang sering muncul dari fenomena seperti ini adalah apakah kawin cerai artis hanya sebuah sensasional mereka untuk mengejar popularitas? Lalu dimana fungsi perkawinan yang oleh banyak kalangan dinilai sakral dan memiliki legitimasi teks suci? Dan tulisan ini akan mengurai persoalaan itu dengan menitik beratkan permasalahan; Petama, apa saja tipe dari putusnya (disolusi) sebuah ikatan perkawinan? Kedua, seberapa jauh akibat yang dirasakan pasangan suami-isteri yang mengalami perceraian?

Problem Teoritis Tentang Perceraian
Seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses yang di dalamnya menyangkut banyak aspek seperti : emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku. dari beberapa kajian tentang percerairan di negara-negara berkembang menyebutkan bahwa disetiap masyarakat terdapat institusi yang menyelesaikan proses berakhirnya suatu perkawinan atau dalam istilah umum disebut perceraian memiliki kesamaaan ketika mempersiapkan suatu perkawinan.
William J. Goode menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki definisi yang berbeda mengenai konflik antara pasangan suami-isteri serta model resolusinya. Sosiolog ini beranggapan bahwa pandangan yang menilai perceraian merupakan suatu kegagalan adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan sebagai lambang cinta dengan sejuta romantis. Padahal semua sistem perkawinan setidaknya terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing-masing individu itu memiliki kebutuhan, hasrat, serta latar belakang sosial yang bisa saja berbeda satu sama lain, akibatnya sistem ini dapat memunculkan ketegangan dan ketidak bahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga.
Teori pertukaran dalam sosiologi melihat perkawinan sebagai proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta antara hak dan kehilangan yang terjadi antara pasangan suami-isteri. karena perkawinan merupakan proses integrasi dua orang yang hidup bersama, sementara latar belakang sosial budaya, keinginan serta kebutuhan mereka berbeda maka keinginan dan kebutuhan itu harus senantiasa dirundingkan serta disepakati bersama (Dawson Scanzoni, 1981).
Perceraian kerapkali diawali dengan berhentinya proses negosiasi antara pasangan suami-isteri yang pada gilirannya menyulitkan kedua belah pihak memproduksi kesepakatan yang dapat memuaskan kedua pihak. Pasangan suami-isteri seolah-olah tidak dapat mencari jalan keluar, situasi seperti ini boleh jadi dapat menimbulkan perasaan untuk memaksakan kehendak sendiri bahkan berupaya menciptakan konflik daripada menemukan resolusi.
Jika dalam suatu hubungan suami-isteri sudah mulai melakukan sikap-sikap apriori atau mencari-cari kesalahan, maka sesungguhnya hubungan itu seolah telah menghilangkan tradisi memuji dan menghargai pasangan. Padahal, pujian dan penghargaan yang diberikan kepada pasangan suami-isteri merupakan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. Dengan demikian, perceraian acapkali terjadi karena lenturnya kebiasaan komunikasi dalam upaya menghargai prinsip pasangan.
Berbicara mengenai situasional perceraian atau lebih tepatnya proses perceraian, tampaknya banyak faktor yang menyebabkan perceraian sebagai pilihan. dari hasil penelitian mengenai stabilitas keluarga di negera-negara yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan Eropa, seperti yang dikemukakan Murdock bahwa tingginya tingkat perceraian dilatari karena tingkat pendidikan masyarakatnya yang masih rendah (Erna Karim: 1999).
Lebih jauh Murdock menggambarkan tinggi-rendahnya tingkat perceraian bergantung dari dari kesadaran masyarakat terhadap tuntutan pemenuhan pendidikan. Di Jepang sampai dengan tahun 1920, tingkat perceraian lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Tingginya tingkat perceraian di Jepang berkaitan dengan berlakunya sistem keluarga luas yang menganut garis keturunan patrilinial dan kekuasaan patriarkhal. Sama seperti yang terjadi di masyarakat tradisional Cina. Perceraian pada masyarakat Jepang waktu itu lebih sebagai bentuk refleksi dari ketidak-puasan para isteri terhadap dominasi mertua. Tetapi seiring dengan proses berlangsungnya urbanisasi serta beralihnya sistem keluarga dari model kelurga luas menjadi keluarga konjugal, Conjugal family dalam hal ini dapat diterjemahkan sebagai sebuah keluarga yang terdiri dari (ayah, ibu dan anak). Lihat (Hendi Suhendi, 2001: 148). Maka tingkat perceraian pun semakin menurun.
Sementara di negara-negara Islam, tingginya tingkat perceraian dikaitkan dengan norma agama yang memperbolehkan para suami menjatuhkan talak kepada istrinya. Goode mengungkapkan, tingginya tingkat perceraian di Algeria 1900 adalah empat kali lebih tinggi daripada tingkat perceraian yang terjadi di Amerika Serikat, tetapi seiring dengan modernisasi di Algeria pada tahun 1940 tingkat penceraian pun turun menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perceraian yang terjadi di Amerika Serikat. Dengan demikian modernisasi dapat memberikan implikasi terhadap turunnya angka perceraian, lebih jauh Goode memberikan kesimpulan bahwa negara-negara Islam yang belum mengalami modernisasi sesungguhnya secara tidak langsung telah memberikan peluang bagi keberlangsungan praktik perceraian (William J Goode, 1985).
Jika pada tahun 1940 tingkat perceraian di Amerika Serikat justeru lebih tinggi dengan perceraian yang terjadi di Algeria, oleh Jacobson dikomentari sebagai akibat dari tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama menjelang Perang Dunia I. Selain itu Jacobson melihat karena adanya kaitan antara perang dengan tingkat perceraian. Sebab bagaimana tidak, ternyata perang telah memisahkan banyak pasangan suami-isteri untuk jangka waktu yang cukup lama. Situasi seperti ini cukup berpotensi bagi pasangan yang berpisah lama untuk melakukan hubungan intim diluar perkawinan yang sah oleh karena faktor kesepian.
Dengan demikian, tingginya tingkat perceraian dalam suatu masyarakat sebelum jauh mengelaborasi dalam konteks perceraian masyarakat kota lebih jelasnya kalangan artis, untuk sementara dapat disimpulkan karena pertama, hilangnya tradisi komunikasi yang saling berusaha memuji dan menghargai. Kedua, karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap signifikansi ilmu pengetahuan. Ketiga, belum bersentuhnya ekspansi modernisasi terhadap suatu kawasan kultur. Keempat, masih leluasanya praktik kekuasaan model pariarkhal. Kelima, adanya legitimasi agama terhadap para suami untuk menjatuhkan talak dan keenam adalah karena situasi keberpisahan yang cukup lama antara pasangan suami isteri yang berpotensi menciptakan perselingkuhan.
Berangkat dari kerangka teori diatas, setidaknya cukup representatif jika digunakan untuk mengkaitkan dengan perceraian yang terjadi dikalangan artis (public figure) yang akhir-akhirnya ini selalu menghiasi tayangan media nasional bahkan kerapkali menjadi berita utama. Apakah itu proyeksi pasar untuk meningkatkan incam atau tidak, yang jelas implikasinya terhadap pencitraan makna keluraga mulai dipertanyakan.

Media dan Kawin Cerai Artis
Semacam stereotype bahwa artis identik dengan kawin cerai. Kawin cerai dalam konteks ini dianggap sebagai kenyataan biasa bagi artis (aktor-aktris) apakah itu pedangdut, pesinetron bahkan artis hasil audisi. Karena itu, misalnya ketika seorang artis tiba-tiba menggandeng pasangan baru atau seorang artis ditinggalkan pasangannya, hal itu dianggap sebagai peristiwa biasa saja. Pada era booming media hiburan dan infotainment di televisi, kawin cerai kalangan artis, selebritis atau public figure menjadi topik utama yang memiliki rating tinggi. Jangan kaget jika media hiburan dan infotainment, berlomba-lomba mendapatkan informasi eksklusif soal kawin cerai ini.
Mulai dari proses pengajuan gugatan di pengadilan, proses persidangan hingga keputusan majelis hakim, merupakan peristiwa yang tidak pernah luput dari perhatian para jurnalis infotaimen. Karena itu tidak mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu yang sumbernya antah-berantah. Pasangan artis dikabarkan tengah mengalami badai rumah tangga dan berencana pisah ranjang. Namun faktanya, mereka akur-akur saja. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.

Berikut beberapa model pemberitaan media infotaiment;
Cut Memey Takut Nikah
ARTIS sinetron Cut Memey mengaku masih takut untuk menikah. Salah satu alasan dia belum berani menikah sekarang, karena melihat kenyataan sesama rekannya di kalangan artis banyak yang kawin cerai. Katanya, “salah satu alasannya memang itu. Saya harus pikir matang-matang kalau mau menikah.” Menurut Cut Memey, bagaimana pun kenyataan yang dialami artis yang kawin cerai memberi dampak kepada artis lain yang belum pernah menikah. Namun, lanjutnya, hal semacam itu jangan menjadi sesuatu yang menghantui, itu menjadi pelajaran saja. “Kita harus pandai-pandai mengambil hikmahnya. Kalau saya penginnya menikah sekali untuk selamanya.”
Isu Cut Keke Nikah Siri ARTIS cantik Cut Keke dikabarkan telah menikah secara siri dengan Malik Bawazier, SH pengacara sejumlah artis. Ketika dihubungi di di sela acara 1 Tahun Tsunami di Museum Gajah, Jakarta, Cut Keke menolak diwawancara, “Kalau soal pribadi, aku mohon maaf. Acara ini menyangkut musibah saudara-saudara kita di Aceh. Jadi, nggak ada hubungan dengan soal pribadi,” kata Cut Keke.
Mengamati liputan mengenai kawin cerai para artis, nuansa entertaintmentnya lebih kental, jika dibandingkan dengan aspek informasi dan edukasinya. Dalam konteks perceraian, ternyata keberadaan figur menjadi sorotan utama, daripada pokok persoalan yang mendorong mereka bercerai, atau implikasi yang akan muncul akibat perceraian itu. Bagaimana amar putusan hakim menjadi tidak penting, karena komentar pihak-pihak yang bercerai jauh lebih penting.
Tidak jauh berbeda dengan liputan mengenai perceraian, liputan mengenai perkawinan tidak kalah hebohnya. Bagaimana tidak pasangan artis yang akan menikah, diburu ramai-ramai. Kalangan media secara bersama-sama mendatangi tempat perkawinan. Pada saat perhelatan itu dinyatakan tertutup, muncul reaksi keras dari para wartawan infotaimen. Ujung dari situasi ini biasanya para artis menggelar jumpa pers. Ada kesan, bahwa artis sebagai public figure telah menjadi milik publik. Dan karena menjadi milik publik, tidak ada lagi privilige, semuanya harus serba terbuka, termasuk prosesi perkawinan atau akad nikah.
Kawin-cerai dikalangan artis, sebenarnya hal yang biasa, karena hal yang sama juga menimpa kalangan masyarakat lain. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa ada coverage besar-besaran mengenai perkara kawin-cerai ini. Dengan orientasi tidak lagi untuk sebuah informasi (to inform), namun lebih mengedepankan aspek ’selingan semata’ (leisure). Apakah fenomena ini terjadi karena faktor ’ketenaran’ (magnitude) yang dimiliki para artis sebagai public figure. Karenanya apapun yang dialaminya, layak untuk diketahui publik. Atau fenomena ini terjadi persaingan yang semakin ketat diantara media hiburan sejenis--termasuk didalamnya infotainment--lantaran isu soal kawin-cerai memiliki rating tinggi, berita soal kawin cerai dikupas habis-habisan. Atau telah terjadi pergeseran pandangan atau penilaian publik mengenai makna perkawinan. Sehingga kawin atau cerai, tidak lebih dari fenomena orang membeli sesuatu barang, dimana pada satu kurun waktu bakal terjadi titik jenuh dan karena telah mencapai titik jenuh sehingga barang lama harus digantikan dengan yang baru inilah yang oleh Lyotar disebut economic libidinal, yaitu wilayah pribadi tidak lagi bersifat privat tetapi berubah menjadi wilayah publik.
Sekali lagi tanpaknya sosiologi dengan teori pertukaran sosial, (Ritzer: 2003), (Poloma, 2003) sebuah teori yang dilandasi oleh prinsip transaksi ekonomi yang bersifat elementer yaitu adanya penyedia barang atau jasa dan berharap memperoleh imbalan atau ganjaran sesuai dengan diharapkan. Demikian juga dengan kenyataan kawin-cerai artis dinilai memiliki muatan kemitraan antara artis yang bersangkutan dengan kalangan media infotaiment (ada penyedia--ada pengguna). Artis dalam situasi ini boleh jadi memposisikan diri sebegai penyedia berupa hal-hal yang oleh sebagian kalangan dianggap tabu, sementara media bertindak sebagai pengguna yang pada gilirannya ditransfer sebagai komoditas pasar, demikian juga sebaliknya.
Dengan bahasa lain, kawin-cerai sengaja dieksploitasi para artis guna mengangkat popularitas mereka yang mulai memudar atau semakin mengokohkan popularitas yang telah diraihnya. Dari berbagai kemungkinan yang ada, keterkaitan antara kawin-cerai dengan popularitas tampaknya ada benang merahnya. Artis sengaja memanfaatkan momentum kawin atau cerai untuk mendongkrak atau memperkokoh popularitasnya. Karena dengan kasus itu, ia mendapatkan publikasi 'gratis' dalam kurun waktu yang lama. Apalagi jika dibalik kasus kawin-cerai tadi muncul polemik berkepanjangan. Ia akan menjadi pusat perhatian publik. Bila pada saat yang sama ia meluncurkan album baru atau membintangi sinetron baru, kasus yang tengah melilitnya bisa menjadi 'jembatan' antara dirinya dengan publik. Secara finansial, ini jelas menguntungkan.
Berangkat dari situasi ini, sepertinya argumentasi yang dikemukakan Goode, Murdock dan Jacobson tentang perceraian sebagai pilihan lebih dilatari oleh karena faktor mis komunikasi antar pasangan suami-isteri, rendahnya tingkat pendidikan, tradisionalis, belenggu patriarkhal dan dogma agama, untuk kasus kawin-cerai kalangan artis teori ini tidak cukup signifikan, bagaimana tidak kalangan artis yang nota benenya adalah orang-orang yang boleh dikategori sebagai kelompok kelas elit secara emosional maupun finansial.
Beberapa pakar sosiologi berpendapat bahwa tingginya angka percerian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi (Randall Collin, 1988). Kasus kawin-cerai para artis ini tampaknya lebih dipicu sebagai implikasi dari arus modernisasi yang secara tidak langsung dapat menuntut masyarakat terutama para isteri untuk memperoleh otonomi, keadilan dan imbalan. Kondisi pasangan dalam hal ini suami atau isteri ketika dalam sebuah keluarga mereka tidak memperoleh imbalan berdasarkan target sebelum melakukan perkawinan, juga bisa berujung pada perceraian.
Sembari penjelasan Goode, Murdock dan Jacobson dipergunakan pada kasus perceraian para artis tidak cukup memadai, tetapi ketika dipakai untuk mengkaji kasus perceraian yang terjadi dikalangan masyarakat secara umum, hemat penulis cukup signifikan. Menyebut satu kasus saja; misalnya tingginya tingkat perceraian di Lombok karena legitimasi adat tradisional yang membenarkan kawin lari, sehingga banyak dari para pelakunya yang justeru masih remaja yang pada gilirannya harus putus sekolah karena kawin di usia dini (Ryan Bartholomew, 2001). Selain legitimasi adat, faktor kemiskinan juga mengakibatkan keretakan rumah tangga karena terlalu bergantung pada pendapatan satu pasangan saja.
Selain karena arus modernisasi, kawin cerai di kalangan artis juga dimungkinkan sebagai aksioma negatif dari pemahaman atas dogma agama yang tidak melarang perceraian yang dilakukan berulang-ulang kali, tipologi pemahaman seperti ini sesungguhnya dapat menimbulkan geliat keberanian seseorang untuk melakukan tindakan kawin-cerai. Sehingga berimplikasi pada mundurnya peradaban kemanusiaan, karena anak sudah kehilangan media belajar paling utama yaitu keluara (Stephen K. Sanderson, 2003).
Dengan demikian, kawin cerai yang dilakukan kalangan artis timbul sebagai implikasi dari model pilihan hidup yang serba glamor, dimana sikap ini betul sama-sekali tidak menguntungkan secara finansial kalaupun untung hanya cukup sebatas pelakunya saja tetapi tidak bagi generasi berikutnya (next generation). Betul yang dikatakan Goode kelayakan pendidikan anak dengan keluarga yang tidak harmonis jauh lebih baik dibanding pendidikan anak dengan orang tua yang hidup terpisah atau bercerai.

Popularitas Keluarga Sakinah dalam Konteks Keluarga Kontemporer
Dalam kajian sosiologi dikenal sebuah pendekatan Comte yang dikenal dengan teori evolusi atau hukum tiga tingkatan yaitu evolusi teologis, metafisik dan positivistis (Ritzer: 2004: 17). Demikian halnya dengan keluarga secara sosiologis juga mengalami proses evolutif yang berkorelasi positif dengan gerak laju perkembangan zaman. Gerak evolusi dimulai dari tipologi keluarga tradisional, pra modern, modern dan kontemporer seperti saat ini. Asumsi dan opini publik tentang eksistensi dan signifikansi keluarga pun mengalami proses reinterpretasi dan rekonstruksi sesuai dengan perubahan-perubahan sosiologis yang terjadi.
Sistem sosial Islam menjamin terpenuhinya cita-cita mulia tentang keluarga dan anggota lain yang ada didalamnya. Islam dengan doktrin keagamaannya membangun institusi ini di atas asas yang kuat, cermat, dan berorientasi serta berlandaskan realitas kehidupan. Regulasi yang ditawarkan menjamin terciptanya keluarga bahagia, lantaran nilai kebenaran yang dikandungnya selaras dengan fitrah hanif manusia. Pada akhirnya semua aturan Ilahi bertujuan membentuk kehidupan manusia yang ideal.
Al-Quran memberikan harapan besar dalam membangun ikatan keluarga yang kuat untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sanggup memelihara aturan-aturan Allah dalam berkehidupan. Untuk itu, dituntut setiap individu muslim untuk mempersiapkan pengabdiannya di tengah masyarakat dalam lingkungan keluarga. Penataan dan pengaturan fondasi keluarga dalam Islam sangat berpengaruh pada kontinuitas kehidupan ummat manusia. Sehingga penataan yang berlaku baik dari masa kelahiran manusia, tumbuh berkembang dan dipenuhi dengan sublimasi pendidikan nurani akan berhasil dalam bentuk kemampuan menjalani kehidupan di atas koredor fitrah dengan nyaman dan terjaga dari residu-residu budaya dan hal-hal yang di luar fitrah manusia utuh.
Hal fundamental yang menjadi orientasi struktural bagi idealitas keluarga dalam konteks post industri saat ini adalah universalitas Al-Quran yang mengaitkan regulasi keluarga dengan masalah dasar keimanan yang ada dalam doktrin keagamaan Islam, artinya aturan dan hukum Islam tentang keluarga berasal dari Allah SWT (Faiz, 2001: 73). Pada implementasi dari upaya merajut dan menjalankan bahtera rumah tangga bernafaskan religiusitas, maka ajaran dan regulasi keluarga sepatutnya digariskan dengan mengacu pada sumber Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman utama.
Sejak hadirnya Islam pada abad ke-7 M telah membawa perubahan struktur keluarga waktu itu. Meskipun bagan dasar patrilinialitas sedikit dipertahankan, akan tetapi sangat terlihat dengan jelas adanya beberapa modifikasi pada bebrapa bagian dari konstruksi keluarga secara umum terutama pada posisi perempuan. Nabi Muhammad pun diakui memberikan perhatian yang besar dan khusus bagi perempuan yang sejak masa lalu diposisikan subordinatif dan dianggap sebagai manusia yang dinomorduakan. (Esposito, 2001: 155).
Pada masa lalu dan juga pada masa sekarang, keluarga telah melalui proses evolusi dan revolusi dalam mempola secara apik konsepsi praktis bagi kelangsungan kehidupan keluarga di manapun berada yang dikondisikan sesuai dengan sistem sosial tiap komunitas. Keluarga secara fungsional telah memberikan dukungan ekonomi dan emosional kepada seluruh anggotanya. Menurut Halim Barakat, tiap individu dalam keluarga mewarisi identitas keagamaan, kelas dan kultural yang diperkuat oleh laku adat dan kebiasaan kelompok atau komunitas (Halim Barakat, 1985: 48).
Lembaga keluarga secara obyektif bertahan lama sebagai bagian dari sistem sosial kemasyarakatan karena memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Perubahan radikal yang terjadi di Barat baik yang berkaitan dengan struktur keluarga baru dengan penguatan keluarga inti, institusi baru pemeliharaan anak (child bearing) seperti tempat penitipan anak dan lainnya serta pengembanan tanggung jawab sosial dan ekonomi dari hierarki keagamaan ke arah sekularisasi yang menjadi ciri khas Barat ternyata tidak berlaku serupa dalam keluarga masyarakat Islam. Dengan begitu, untuk sebagian besar potongan sejarah dalam bingkai kesinambungan dan perubahan, ideal keluarga Islam merupakan lembaga yang tidak saja mereproduksi entitas diri secara fisik, tetapi juga mereproduksi nilai keagamaan dan sosial anggota secara komprehensif.
Esposito menjelaskan dalam catatan sejarah dunia Islam pada masa awal abad-abad ke-19, di atas rata-rata seluruh negara termasuk negara Islam yang sebagian penduduknya menganut Islam dan menjadi unit keluarga Islam mendapatkan tekanan baru akibat kekuasaan kolonial Barat dari Mesir sampai India, Maroko tidak terkecuali Indonesia yang secara langsung berakibat pada penguasaan kendali politik, ekonomi, budaya, struktur sosial dan lokal yang terdevaluasi dengan berupaya menggantikannya dengan model-model Barat (Esposito, 2001: 156).
Unit Keluarga tidak kebal dengan hegemoni imprealisasi Barat. Namun tanpa diduga institusi inilah yang memulai perlawanan dan berusaha menolak keberadaan imprealisme. Unit keluarga berfungsi menjadi tempat perlindungan keagamaan, sosio-kultural, dan pengingkaran terhadap dominasi Barat. Pada kelanjutannya di permulaan abad ke-20, perlawanan antikolonial terorganisasi dan tertata menjadi lebih serius dan militan, seperti yang terjadi di wilayah-wilayah Indonesia, India dan bagian lain dunia Islam. Eksistensi keluarga menjadi fokus perlawanan seperti itu (Esposito, 2001). Penopang kuat realitas ini adalah pemahaman cerdas terhadap aktivitas yang memperoleh legalitas dalam retorika yang berbicara perihal kewajiban menjaga agama dan budaya Islam khususnya dalam keluarga di hadapan musuh bersama (public enemy) yaitu kekuatan politik dan ekonomi Barat yang berorientasi skularistik dan anti-Islam.
Pada saat semua negara di belahan dunia Islam terlepas dari kungkungan imprealisme, unit keluarga Islam mengalami perubahan orientasi yang diakibatkan oleh dialektika panjang dengan perubahan zaman dan perkembangan dunia yang progresif. Masih banyak persoalan disisakan bagi eksistensi keluarga Islam sendiri, termasuk menjadi sasaran beraneka ragam tekanan ekonomi dan politik.
Keberadaan keluarga diusik kembali oleh persoalan-persoalan baru yang lebih cenderung berusaha menegasikan pilar-pilar pranata yang telah berlaku lama dan membudaya. Tipologi keluarga dalam konteks saat ini tengah mengalami perubahan signifikan berbentuk kemampuan para perempuan membagi dan atau meninggalkan ruang domestik untuk bekerja di luar rumah, tuntutan elastisitas distribusi peran bagi perempuan, serta fenomena disorganisasi keluarga yang menuntut koreksi dengan reformulasi dalam keluarga muslim.
Perkembangan pemikiran tentang keluarga dewasa ini juga semakin memperkuat pandangan bahwa keluarga menjadi instrumen utama sebagai batu penyanggah tempat berdirinya budaya dan sosialisasi keagamaan. Idealitas keluarga Islam yang mendukung terciptanya keluarga luas (extended family) yang menuntun pada kepaduan keluarga yang lebih besar telah menjadi harapan yang seharusnya terpenuhi dalam perjalanan evolusi keluarga muslim kontemporer.
Tanpa menafikan proses dialektis revolusioner antara perkembangan dunia post industri dengan entitas keluarga Islami beserta perubahan progresif dan atau regresif yang ada, idealitas keluarga muslim tetap saja mendapatkan tantangan berat dari upaya perubahan orientasi bagi keluarga. Seperti yang dicatat oleh Khurshid Ahmad bahwa institusi keluarga terpaksa terfragmentasi dan retak, keluarga sebagai fondasi masyarakat kontemporer dan lembaga budaya dasar yang sensitif ini sedang terancam baik dari dalam maupun dari luar akibat dari krisis budaya zaman dengan kekuatan destruktif modernisasi yang kebablasan (Khurshid Ahmad, 1968: 98).
Untuk sejumlah pendapat para pengamat dan pemikir, keluarga Islam tampaknya tidak terlalu terdisintegrasi dengan revolusi budaya massa yang cenderung materialistik dan sekular, tetapi lebih pada proses evolusioner pada upaya reformulasi dan reorganisasi keberadaan keluarga guna menanggapi kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Dengan beradaptasi dan berevolusi, unit keluarga muslim telah menjadi lembaga sosial yang sangat fleksibel, interdependen dan merupakan pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan individu maupun kelangsungan hidup kelompok.

Kesimpulan
Barangkali krisis keluarga yang sesungguhnya bukanlah karena orang semakin banyak hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau lebih banyak yang bercerai. Tetapi krisis yang sesungguhnya adalah mulai meningkatnya ketidak mampuan keluarga sebagai surga tempat mengeluh dan berbagi rasa. Keluarga tampaknya sudah mulai lemah memberikan perlindungan bagi remaja terhadap persaingan yang ekstrim dalam peradaban kapitalis yang semakin maju, dan semakin menghadapkan wanita pada tekanan-tekanannya.
Apa yang terjadi dikalangan artis sebagai publik figure juga tidak luput implikasinya terhadap masyarakat, masyarakat seolah sudah keranjingan untuk selalu mengikuti siapa saja yang dianggapnya menyenangkan (reference group). Pilihan cerai sebagai cara mengakhiri perkawinan dikhawatirkan berdampak pada pengulangan tindakan serupa bagi masyarakat secara umum. Keinginan untuk mencari resolusi konflik keluarga selain percerian mulai ditinggalkan, bila situasi ini terus-terus dibiarkan tanpa ada tindakan praksis, kekhawatiran berlapis berupa mencapai kemajuan menjadi kesulitan nasional. Karena itu, produktivitas industri hendaknya disikapi secara seimbang antara tuntutan dan manfaatnya, tidak kemudian justeru menciptakan keretakan keluarga sebagai bias dari upaya melahirkan otonomi individu yang lebih egaliter.
Adanya formulasi tugas-tugas dan kewajiban pernikahan dan keluarga memerlukan perencanaan, kecermatan dan tekad yang kuat dengan mempertegas distribusi peran yang obyektif dan jelas. Banyaknya petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah yang membicarakan kehidupan pernikahan dan keluarga beserta model regulasi yang melekat, menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap institusi strategis dalam kehidupan manusia ini. Dengan munculnya formula keluarga sakinah tentu akan menjadi ekspektasi ideal yang harus dikejar oleh ummat manusia.
Dalam beberapa kalam Allah SWT dan Sunnah sangat memperhatikan lembaga keluarga. Islam selalu memberikan aturan dan kiat-kiat untuk memperkuat jalinan itu, restrukturisasi dan pemantapan fondasi bangunan keluarga dan melindungi institusi ini dari segala unsur negatif yang dapat melemahkannya. Pandangan egalitarian antar suami istri dijunjung tinggi dalam ideal keluarga Islam dengan tidak membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan, dan satu kata penutup tidak akan pernah dibenarkan perempuan diperlakukan secara tidak adil, subordinatif dan dipandang rendah.

Daftar Pustaka
  1. Aliraqi, Butsainan, 2002, Rahasia Pernikahan yang Bahagia. Kathur Suhardi, terj. Jakarta: Pustaka Azzam.
  2. Atmowiloto, Arswendo, 2005, “Skenario sebagai gagasan dan jembatan” dalam Ashadi Siregar (editor), Sinetron Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y.
  3. Bartholomew, John Ryan, 2001, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, (terj) Imron Rosidi. Yogyakarta: Tiara wacana.
  4. Berger, Peter L. Dan Hansfried Kellner, 1985, Sosiologi Ditafsirkan Kembali Esei Tentang Metode dan Bidang Kerja. terj. Herry Joediono. Jakarta: LP3ES.
  5. Collin, Randall, 1988, Sociology of Marriage and The Family: Gendr Love and Property. Chicago: Nelson Hall.
  6. Esposito, John. L. (ed)., 2001Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern. terj. Eva Y.N. dkk. Bandung: Mizan.
  7. Goode, William J., 1985, Sosiologi Keluarga (terj) Lailahanoum Hasyim.(Jakarta: Bina Aksara.
  8. Karim, Erna 1999, “Pendekatan perceraian dari perspektif sosiologi” dalam T.O. Ihromi (penyuting) Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: YOI.
  9. Karno, Rano, 2005, “Serpihan pengalaman dan lintasan pemikiran” dalam Ashadi Siregar (editor), Sinetron Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y.
  10. Madjid, Nurcholish, 2004 Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina,
  11. Sanderson, Stephen K., 2003, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (terj) Farid Wajidi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  12. Scanzoni. Letha Dawson, 1981, Men, Women an Change : A Socilogical of Marriage and Family. New York: Hill Book Company.
  13. Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu, 2001, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Putaka Setia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis