ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KORUPSI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH (APBD) DI MALANG RAYA


Abstract
Corruption has been widely discussed in many forum. Public budget (APBD) corruption is abuse action public budget to private or their groups interest. Many factor caused corruption, about: individual behaviour, government organization, law enforcement, and controling.The objective of this study are to obtain empirical evidences and to test factors that effect APBD corruption in Malang Raya. The hypothesis are tested using the partial regression and multiple regression. The Sampel in this researh are Civil Organization such as NGo, public figure, public organization, student, academic etc, amount 165 respondent.The result of study show that as partial individual behaviour not significat effect, government organization significat effect, law enforcement significat effect, and controling significat to APBD corruption occurred. The test used multiple regression support test used partial regression.  
Key Word : Individual Behaviour, Government Organization, Law Enforcement, Controling, Public Budget (APBD) Corruption.
  1. PENDAHULUAN
      Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua, anggota dewan memiliki otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan bersama-sama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran (Mardiasmo, 2003).
      Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.
      Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).
      Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
      Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).
      Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media. Pidana korupsi APBD kebanyakan melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatra Barat 43 anggota DRPD telah dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah 112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih banyak lagi (Kompas, 8/9/04)
      Demikian pula kasus korupsi APBD juga terjadi di wilayah Malang Raya yang menjadi objek penelitian. Di Kota Malang misalnya kasus sisa anggaran 2,1 M dan pesangon dewan senilai 1,7 M sampai saat ini belum ada kepastian hukum sementara uang tersebut sudah masuk ke kantong anggota dewan yang terhormat. Di Kabupaten Malang penyimpangan dana APBD juga dilakukan untuk kepentingan pejabat dan keluaraganya seperti penyelewengan sekwan 22,5 juta, umrah gate dan Dem-deman Mobil. Di Kota Batu mark-up APBD telah digunakan untuk kepentingan Pilihan Kepala Daerah (MCW,2004).
      Kalau dicermati penyimpangan PP 110/2000 untuk pos keuangan DPRD yang dikorupsi dalam APBD rata-rata dapat berupa: tunjangan keluarga dan beras, uang kehormatan, uang rapat, biaya perjalanan dinas, biaya pemeliharaan rumah, biaya tunjangan perumahan, biaya kegiatan adeksi, biaya lain-lain penunjang kelancaran tugas, biaya penunjang anggota fraksi, biaya kegiatan fraksi, biaya kegiatan, panitia legislasi, biaya penunjang kegiatan sosial kemasyarakatan, bantuan biaya peningkatan SDM, bantuan biaya koordinasi pimpinan daerah, bantuan biaya komunikasi, serta biaya purna tugas (Data diolah yang tidak berdasarkan PP 110/2000).
      Penelitian komprehensif mengenai berbagai tindak pidana korupsi APBD di masing-masing daerah dalam rangka memberikan pemikiran tentang tata pemerintahan lokal yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang bersih dan bebas dari korupsi sangat diperlukan. Sepengetahuan penulis, penelitian tentang korupsi masih sangat sedikit khususnya di Malang Raya. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk meneliti permasalahan ini, sehingga dapat dirumuskan sebuah permasalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Malang Raya?
      Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khususnya di Malang Raya. Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bukti kongkrit dalam diskursus korupsi dan upaya strategi pemberantasan korupsi, juga sebagai bahan untuk mendidik publik untuk mengetahui struktur dan komponen APBD atau kelompok anggaran yang selama ini di korupsi serta besarnya ongkos sosial ekonomi yang ditimbulkan dari korupsi APBD.
  1. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
  1. Pengertian Korupsi
      Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.
  1. Pola-Pola Korupsi
      Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.
         Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
         Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
         Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.
  1. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
      Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.
      Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya korupsi APBD di wilayah Malang Raya yaitu: 
  1. Aspek Prilaku individu
      Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hiduop yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-ajaraan agamaa kurang diterapkan secara benar.
      Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan tinggi. Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% korupsi terjadi karena aspek individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi (MCW, 2004). Berdasarkan hasil pooling tersebut penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
H1: Aspek prilaku individu berkorelasi negatif dan secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD. 
    1. Aspek Organisasi Kepemerintahan
      Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
      Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing sudah berkurang. dengan demikian hipotesa yang bisa dikembangkan penulis adalah :
H2: Aspek organisasi  kepemerintahan berkorelasi negatif dan secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD. 
    1. Aspek Peraturan Perundang-Undangan
      Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat. 
         Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan  yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang  berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
         Hasil pooling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan jawaban dari 9273 responden menunjukan bahwa sekitar 22,2% korupsi terjadi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (MCW, 2004). Bentuk korupsi ini terjadi karena lemahnya peraturan perundang-undangan didaerah. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
H3: Aspek peraturan perundang-undangan berkorelasi negatif dan secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
    1. Aspek Pengawasan
      Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya  (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
      Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
H4: Aspek pengawasan berkorelasi negatif dan secara signifikan mempengaruhi terajdinya korupsi APBD.
D. Korupsi APBD
      Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi, 2004).
    Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
    Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun.
    Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)
    Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
    Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia? Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
Pos Anggaran
Catatan
Pendapatan
  1. Darimana komponen PAD berasal, dan bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat. Apakah keinginan daerah untuk mengejar target PAD seringkali ditempuh dengan cara membebani masyarakat, misalnya menaikkan pajak dan retribusi.
  2. Dana Perimbangan (selain DAU dan DAK) memang terlihat memiliki angka prosentase yang cukup besar bagi daerah. Namun sumber-sumber daya tersebut hanya berada di beberapa daerah tertentu.
Belanja Aparatur Daerah
  1. Pada dasarnya, selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran dalam belanja aparatur daerah potensial untuk dimanipulasi daan digunakan oleh pegawai pemerintah untuk mencari pendapatan tambahan.
  2. Adanya pos-pos titipan dari unit kerja lain, misalnya, tunjangan anggota DPRD yang dititipkan di Sekwan.
  3. Pemberian honor kepada petugas atau unit tertentu, padahal tugas tersebut sebenarnya adalah tugas pokok dan fungsinya sendiri.
  4. Jumlah anggaran yang diperbesar, misalnya dengan mempertinggi frekuensi kegiatan atau acara-acara pejabat dengan anggaran yang bisa diambil dari dana taktis dan sesudahnya dikembalikan berdasar pembebanan atau urusan dari dinas-dinas. Contoh lain adalah pengadaan barang/ATK/Kendaraan dinas/percetakan yang disertai pemberian komisi atau potongan yang tidak dicatat.
  5. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber untuk tujuan perjalanan yang sama, misalnya dari biaya rutin kantor dan dari anggaran beberapa proyek. Selain itu, sering terjadi penyimpangan berupa perhitungan yang dilebihkan, jumlah orang diperbanyak dan biaya perjalanan dinas yang tidak wajar.
  6. Pengeluaran tidak wajar atas suatu kegiatan tertentu dan penggandaan jumlah kebutuhan dalam kaitan dengan belanja barang misal ATK tidak dibelikan karena sudah dipenuhi dari anggaran proyek dinas tersebut.
  7. Overlapping sumber pengeluaran, misalnya dana untuk pembelian obat-obatan atau peralatan Rumah sakit yang sangat banyak sumbernya.
Belanja Pelayanan Publik
  1. Pemerintah cenderung tidak mengakomodir adanya perbedaan atau karakteristik masing-masing daerah. Adanya penyeragaman pos-pos pengeluaran menyulitkan daerah untuk optimalisasi dana yang ada pada jenis-jenis pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
  2. Dari segi alokasi dana, dalam belanja pelayanan publik masih belum dilandasi ukuran/indikator kinerja yang jelas.
  3. Sering terjadi suatu proyek diselenggarakan lebih dari satu kali, telah masuk dalam satu sektor tetapi masuk juga dalam sektor lain.
  4. Pos anggaran biaya administrasi proyek potensial untuk dijadikaan side income bagi pejabat.
      Berdasarkan hipotesis yang telah dikembangkan maka model penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD di Malang Raya “ ditunjukan oleh gambar 1.
  1. METODOLOGI PENELITIAN
    1. Desain Penelitian
      Desain penelitian ini adalah survey. Data penelitian yang di butuhkan adalah data primer dalam bentuk persepsi responden (subjek) penelitian. Pengambilan data menggunakan survey langsung dan instrumen yang di gunakan adalah kuesioner (angket). Kuesioner yang digunakan disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang terkait.
B.   Sampel (Responden)
      Sampel dalam penelitian ini adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan, organisasi profesi, akademisi, tokoh masyarakat, media masa, mahasiswa dan lain-lain. Pemilihan sampel berdasarkan metode acak (random sampling). Total Kuesioner yang di sebarkan sejumlah 300 kuesioner. Dari jumlah tersebut, kuesioner yang kembali sebanyak 180. Dan dari jumlah yang kembali tersebut yang pengisiannya tidak lengkap 15, sehingga total kuesioner yang akan diolah sejumlah 165 seperti yang terlihat dalam tabel berikut.
      Insert Tabel 1: Pengiriman dan Tingkat Pengembalian Kuesioner
    1. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel
    1. Variabel Dependen
      Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah korupsi APBD yang terjadi di wilayah Malang Raya. Korupsi APBD adalah tindak pidana yang berupa penyelewengan dana APBD untuk kepentingan individu atau kelompoknya yang dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mark up anggaran, titipan anggaran, duplikat anggaran dan lain-lain.
2.  Variabel Independen
      Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu aspek prilaku individu, aspek organisasi kepemerintahan, aspek peraturan perundang-undangan, dan aspek pengawasan. Aspek individu dan perilaku adalah penyebab korupsi yang berasal dari sikap mental seseorang yang berupa dorongan dari dalam dirinya. Aspek organisasi kepemerintahan adalah penyebab korupsi yang berasal dari buruknya sistem organisasi kepemerintahan termasuk sistem birokrasinya. Aspek peraturan perundang-undangan adalah penyebab korupsi yang berasal dari lemahnya sistem perundang-undangan yang ada. Aspek pengawasan adalah penyebab korupsi karena minimnya atau bahkan tidak adanya pengawasan baik oleh pihak internal maupun eksternal.
    1. Pengukuran Variabel
      Masing-masing variabel diukur dengan model Skala Likert yaitu mengukur sikap dengan menyatakan setuju atau ketidaksetujuannya terhadap pertanyaan yang diajukan dengan skor 5 (SS=Sangat Setuju), 4 (S=Setuju), 3 (TT=Tidak Tahu), 2 (TS=Tidak Setuju), dan 1 (STS=Sangat Tidak Setuju).

    1. Uji Reliabilitas Dan Validitas
      Untuk  melihat reliabilitas masing-masing instrumen yang digunakan, peneliti menggunakan koefisien Cronbach Alpha. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai  Cronbach Alpha lebih besar dari 0,5 (Nunnally, 1967). Untuk mengetahui bahwa pertanyaan yang digunakan dalam instrumen valid, maka digunakan Factor Analysis. Instrumen dikatakan valid jika memiliki nilai Kaiser,s MSA lebih besar dari 0,5 sehingga construct validity tepat (Kaiser dan Rice, 1976). Disamping itu, instrumen dapat dikatakan valid jika Eigen value lebih dari satu. Hasil pengujian reliabilitas dan validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel 2.
Insert Tabel 2: Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas dengan  Sampel Dewan 
    1. METODE ANALISIS DATA
      

Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 +b4X4+  e  ......................(1)

 Hipotesis dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan multiple regression, yaitu berdasarkan nilai p-value, nilai t, nilai F dan kemudian juga akan dianalisis koefisien regresi dan koefisien determinasi. Untuk menganalisis data, digunakan software SPSS for window realesed 10.05 programe. Adapun persamaan regresi dalam penelitian ini adalah:

Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 +b4X4+  e  ......................(1)

      Keterangan:
 Y : Korupsi APBD
 a : Konstanta
 b1, b2, b3, b4 : Koefisien regresi
 X1  : Aspek Prilaku individu
 X2 : Aspek Organisasi Kepemerintahan
 X3 : Aspek Peraturan Perundang-undangan
 X4 : Aspek Pengawasan
e : Eror 

  1. ANALISIS HASIL PENELITIAN
  1. Data Demografi Responden
Dari 165 responden yang telah memenuhi kriteria untuk diolah, 103 orang diantaranya laki-laki dan 62 orang diantaranya perempuan, rata-rata berusia antara 30-39 tahun, dan rata-rata pendidikannya adalah S1 (sarjana). Tabel 3 menyajikan demografi responden. 
Insert Tabel 3. Demografi Responden
  1. Pengujian Hipotesis I dan Pembahasan
Insert Tabel 4. Hasil Regresi Hipotesis Pertama
      Hasil analisis regresi terhadap hipotesis 1 dapat dilihat bahwa aspek prilaku individu tidak berpenagruh secara signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD dengan melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.20. Hubungan yang ditunjukan oleh koefisien regresi adalah negatif -0,06, artinya semakin buruk aspek prilaku individu maka korupsi APBD semakin rendah. Seharusnya semakin buruk aspek prilaku individu maka korupsi APBD semakin tinggi. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 1,26 dimana t hitung ini lebih kecil dari t tabel (1,98), artinya hipotesis pertama tidak didukung (ditolak). Dilihat dari F hitung sebesar 1,61 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung < dari F tabel, sementara nilai sig sebesar 0,20 adalah > dari 0,05 sehingga model regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel prilaku individu terhadap terjadinya korupsi APBD. Berdasarkan hasil statistik dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 di tolak. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek prilaku individu sebesar hanya 1%. hal ini tidak sesuai dengan teori perilaku individu yang sangat mempengaruhi perilaku organisasi..
  1. Pengujian Hipotesis II dan Pembahasan
Insert Tabel 5: Hasil Regresi Hipotesis Kedua
      Hasil analisis regresi terhadap hipotesis kedua dapat dilihat bahwa aspek organisasi kepemerintahan berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD dengan melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00. Hubungan yang ditunjukan oleh koefisien regresi adalah negatif 0,27, artinya semakin baik aspek organisasi kepemerintahan maka korupsi APBD akan menurun. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 4,64, dimana t hitung ini lebih besar dari t tabel (1,98), artinya hipotesis kedua didukung. Dilihat dari F hitung sebesar 21,61 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel, sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek organisasi kepemerintahan terhadap korupsi APBD. Berdasarkan hasil statistik dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua diterima. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek organisasi kepemerintahan terhadap terjadinya korupsi APBD sebesar 11,7%. Artinya dari 100% faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi APBD 11,75% dipengaruhi oleh aspek organisasi kepemerintahan.
  1. Pengujian Hipotesis III dan Pembahasan
Insert Tabel 6: Hasil Regresi Hipotesis Ketiga
      Hasil analisis regresi terhadap hipotesis ketiga dapat dilihat bahwa aspek perundang-undangan secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD dengan melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00. Hubungan yang ditunjukan oleh koefisien regresi adalah negatif 0,25, artinya semakin berkualitas sistem perundang-undangan maka korupsi akan semakin rendah. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 5,93, dimana t hitung ini lebih besar dari t tabel (1,98), artinya hipotesis pertama didukung. Dilihat dari F hitung sebesar 35,24 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel, sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek perundang-undangan terhadap korupsi APBD. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek peraturan perundang-undangan terhadap terjadinya korupsi APBD sebesar 17,8%. Artinya dari 100% faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi 17,8% dipengaruhi oleh berkualitas tidaknya sebuah sistem perundang-undangan.
  1. Pengujian Hipotesis IV Dan Pembahasan
Insert Tabel 7: Hasil Analisis Hipotesis Keempat
      Hasil analisis regresi keempat dapat dilihat bahwa aspek pengawasan berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD dengan melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00. Hubungan yang ditunjukkan oleh koefisien regresi adalah negatif 0,30, artinya semakin tinggi pengawasan yang maka korupsi APBD akan semakin rendah. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 7,76, dimana t hitung ini lebih besar dari t tabel (1,98), artinya hipotesis keempat didukung. Dilihat dari F hitung sebesar 60,25 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel, sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek pengawasan terhadap variabel korupsi APBD. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek pengawasan terhadap terjadinya korupsi APBD sebesar 27%, Artinya dari 100% faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan terjadinya korupsi 27% disebabkan karena lemahnya pengawasan.
  1. Pengujian Hipotesis Secara Simultan
Insert Tabel 8: Hasil Multipel Regresi
      Hasil analisis regresi secara simultan menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel aspek perilaku individu, aspek organisasi kepemerintahan, aspek peraturan perundang-undangan dan aspek pengawasan berpengaruh signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD di Malang Raya dengan melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00. Hasil analisis secara simultan mendukung analisis secara secara partial. Dilihat dari F hitung sebesar 19,13 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel, sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek pengawasan terhadap variabel korupsi APBD. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek perilaku individu, aspek organisasi kepemerintahan, aspek peraturan perundang-undangan dan aspek pengawasan secara bersama-sama sebesar 32,4%. Hal ini berbeda jika menggunakan analisis regresi partial.  
  1. SIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN IMPLIKASI
  1. Simpulan
    Tujuan penelitian ini adalah menguji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khusunya di Malang Raya. Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bukti kongkrit dalam diskursus korupsi dan strategi upaya pemberantasan korupsi, juga sebagai bahan untuk mendidik publik tentang besarnya ongkos sosial ekonomi yang ditimbulkan dari korupsi.
      Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertama, aspek prilaku individu tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD. Kedua,  aspek organisasi kepemerintahan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD. Hubungan yang di tunjukkan adalah negatif artinya semakin baik organisasi kepemerintahan maka semakin rendah korupsi APBD yang terjadi. Ketiga, aspek peraturan perundang-undangan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD. Hubungan yang di tunjukkan adalah negatif artinya semakin berkualitas peraturan perundang-undangannya maka semakin rendah korupsi APBD yang terjadi. Keempat, aspek pengawasan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD. Hubungan yang di tunjukkan adalah negatif artinya semakin tinggi tingkat pengawasan yang dilakukan maka semakin rendah korupsi APBD yang terjadi. Sementara hasil analisis secara simultan mendukung hasil analisis secara partial, artinya secara bersama-sama faktor individu prilaku, organisasi kepemerintahan, peraturan perundang-undangan, dan pengawasan secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
  1. Keterbatasan Penelitian
      Keterbatasan penelitian ini adalah responden yang yang diambil dari masyarakat yang dipilih secara random. Sekalipun mereka mewakili institusi/kelompok yang akhir-akhir ini terlibat dalam diskursus, kajian atau mengikuti ekspose publik kasus korupsi APBD. Tetapi, apakah mereka benar-benar mengetahui permasalahan korupsi dan mempunyai kesadaran yang tinggi untuk meminimalkan terjadinya korupsi APBD sampai mereka mau melakukan advokasi APBD.
  1. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya
      Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan literatur akuntansi khususnya akuntansi sektor publik dan lebih spesifik mengenai korupsi APBD. Implikasi bagi penelitian selanjutnya mengembangkan sampel yang lebih luas kepada masyarakat. Diharapkan sampel yang diambil adalah yang benar-benar mewakili pendapat masyarakat yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel lain seperti pola-pola atau modus korupsi APBD, dampak-dampak korupsi APBD, serta strategi pemberantasan korupsi APBD. Selain analisis, penelitian ini juga bisa dikembangkan ke dalam berbagai model penelitian korelasional yang berpengaruh terhadap korupsi APBD, seperti partisipasi masyarakat,  trasparansi dan akuntabilitas, performance budget, disiplin anggaran, value for money, keadilan anggaran, anggaran peka gender dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ardyanto, Donny, 2002, Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta
Baswir Revrisond, 1993, Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai  Terpilih, BPFE, Yogyakarta.
______________, 1996, Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat, BPFE, Yogyakarta.
Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta
Bernardi R.A. 1994, Fraud Detection : The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style, Auditing : A Journal of Practice and Theory 13 (Supplement), hal. 68-84 
De Asis, Maria Gonzales, Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the Anti-Corruption Summit, World Bank Institute, November 2000.
Fadjar, Mukti, 2002, Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar Kurniawan, L, 2002, Menyingkap Korupsi di Daerah, Intrans Malang
Halim, Abdul, 2003, Bunga Rampai Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
Helmi, dkk, 2003, Memahami Anggaran Publik, Idea Press, Jogjakarta
Hermien H.K., 1994, Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kaiser, H. Dan Rice, J., 1974, Educational and Psycological Measurement, Volume 34, No.1, hal 111-117.
Khudori, Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004
Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia, Jakarta
Malang Corruption Watch, 2004, Laporan Investigasi kasus APBD Malang Raya, tidak diterbitkan.
Mardiasmo, 2003, Konsep Ideal Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi Layanan Publik, Majalah Swara MEP, Vol. 3 No. 8 Maret, MEP UGM, Jogjakarta.
Nunnaly, 1967, Psycometric Theory, McGraw-Hill, New York.
Peraturan perundang-undangan Nomor 110 tahun 2000 dan  24 tahun 2004
Republik Indonesia, 2001, Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung.
Saptaatmaja, TS. Korupsi dan Hipokrisi, Kompas, Rabu, 8 September 2004
Sopanah & Wahyudi, Isa, 2004, Analisa Anggaran Publik : Panduan TOT, Malang Corruption Watch (MCW) dan Yappika, Jakarta
Sulistyantoro, HT., Etika Kristen dalam Menyikapi Korupsi, Kompas, Senin, 2 Agustus 2004
Susanto, AA, 2002 Mengantisipasi Korupsi di Pemerintahan Daerah di ambil dari http://www.transparansi.or.id/artikel/artikelpk/artikel15.html
Tunggal I.S. dan Tunggal A.W, 2000, Audit Kecurangan dan Akuntansi Forensik, Harvarindo, Jakarta.
Tanzi, Vito, 1998, Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures, IMF Working Paper, WP/98/63, May 1998.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis