SUMBER HUKUM ISLAM
ABSTRAK
Secara umum, makalah ini
membahas tentang berbagai macam sumber hukum dalam agama islam. Mulai dari
Al-qur’an yang merupakan mukjizat terbesar bagi umat manusia yang dijadikan
sebagai sumber hukum utama dalam islam. Namun, karena ayat Al-qur’an bersifat
sangat universal, maka dibutuhkan sebuah penjelas dari ayat-ayat Al-qur’an.
Disinilah peran Al-hadits atau As-sunnah dibutuhkan. Selain Al-qur’an dan
As-sunnah, ada Ijma dan Qiyas yang muncul karena ada masalah khusus yang tidak
dijelaskan secara detil baik dalam Al-qur’an maupun dalam As-Sunnah. Untuk penjelasan
lebih mendalam, pembaca bisa menelisik lebih lanjut isi dari makalah ini. Kami
selaku penulis makalah ini berharap mampu menyajikan bahan ajaran ini dengan
baik dan memuaskan.
BAB II
ISI
2.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Sebelum membahas
lebih jauh tentang al-qur’an sebagai sumber hukum islam, mari kita kaji
terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah firman
Allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara
berangsur-angsur melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup
bagi umatnya dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an ini turun pada sekitar
tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad s.a.w.
Telah kita ketahui
bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam dan merupakan pedoman hidup
yang abadi. Dikatakan abadi karena kemurniannya sejak diturunkan sampai di
akhir zaman senantiasa terpelihara. Allah s.w.t. menjamin pasti kemurnian
al-Qur’an, seperti dalam firmannya yang berarti “Sesungguhnya kami-lah yang
menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”(QS. Al-Hijr,
15:9).
Al-Qur’an merupakan
pedoman hidup yang pertama dan utama bagi umat islam. Pada masa rasulullah
s.a.w. setiap persoalan solusinya selalu di kembalikan kepada al-Qur’an.
Rasulullah sendiri dalam perilakunya sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an.
Oleh karena itu kita sebagai seorang muslim kita harus menggunakan al-Qur’an
sebagai pedoman hidup.
Sepeti dalam
firman-Nya yang berarti “Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah s.w.t.
dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20). Ayat tersebut mengandung dua
perintah yang pertama adalah perintah untuk taat kepada allah, taat berarti
kita harus menjalankan smua perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam al-Qur’an, jadi
kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada
dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya
kita harus taat kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun
larangannya.
Fungsi dari
al-Qur’an itu sendiri ada 4 yaitu petunjuk, penjelas, pembeda dan obat.
Petunjuk artinya al-Qur’an merupakan suatu aturan yang harus diikuti, layaknya
sebuah papan jalan yang di temple pada jalan-jalan. Seseorang yang tidak
mengetahui jalan, jika ia mengabaikan petujuk jalan itu dan dan berjalan tidak
sesuai dengan petunjuknya sudah pastilah orang tersebut akan tersesat. Sama
seperti orang hidup di dunia ini, jika ia mengabaikan petunjuk dari Allah maka
pastilah jalannya akan tersesat.
Fungsi yang kedua
adalah penjelas artinya di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan tentang segala
sesuatu yang ditanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya al-Qur’an harus dijadikan
rujukan dari semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh
membuat aturan sendiri tanpa ada dasar-dasarnya dari al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai
pembededa, maksudnya sebagai pembeda antara yang benar dan salah. Kita bisa
mengetahui suatu hal apakah itu benar atau salah dari al-Qur’an. Selain itu
juga pembeda antar muslim dan luar muslim, antar nilai yang diyakini benar oleh
orang mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.
Selanjutnya fungsi
al-Qur’an sebagai obat. Ibarat resep dari seorang dokter, pasien sering sulit
untuk membacanya bahkan memahaminya. Tetapi seorang pasien percaya bahwa resep
tersebut tidak mungkin salah karena dokter diyakini tidak mungkin berbohong.
Sama seperti halnya dengan al-qur’an, al-qur’an adalah resep yang diberikan
oleh Allah dan sudah pasti resep tersebut tidak mungkin salah karena Allah maha
besar. Dengan demikian tidak menjadi masalah apabila ada beberapa ayat dalam
al-Qur’an yang belum kita mengerti maksud dan tujuannya, maka jalankan sajalah.
Sebab kalau harus menunggu kita memahami semua maksudnya bisa-bisa waktu kita
di dunia ini habis terlebih dahulu sebelum kita menjalankan semua
perintah-perintah-Nya.
Selain itu, obat
yang diberikan oleh dokter tidak semuanya manis kadang ada yang pahit dan
manis. Tetapi dokter berpesan agar meminum obat tersebut dengan teratur dan
sampai habis, sebab kalau ridak teratur dan habis penyakitnya tidak sembuh.
Begitupula dengan al-Qur’an adalah obat, tidak semua perintah dalam al-Qur’an
sesuai dengan keinginan dan kemauan manusia, tetapi Allah menghendaki kita
untuk mengamalkan semua firmannya tanpa terkecuali. Tidak ada pemilihan dan
pemilahan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan yang lain dibirkan.
2.2 Al-sunnah
Sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam tradisi hukum
Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad
SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada
”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup,
pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini
mereka namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan
sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan
perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam
realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an
membicarakanya, Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak
dibicarakan sama sekali. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin
atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum
sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
2.2.1 Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber
Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan
sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1.
Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54,
al-Maidah: 92).
2.
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13,
Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
3.
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang
pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk
memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan
secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama.
2.2.2 Hubungan Al-hadits/As-sunnah Dengan
Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan penjelas daripada
ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an
itu adalah sebagai berikut :
- Bayan Tafsir: yaitu
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti
hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni
ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat).
2. Bayan
Taudhih: yaitu
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an
dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang
yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.
2.2.3 Dapatkah
As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah
dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits
adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak
disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah
berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan
pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan,
khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan
adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya
berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga
Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti
apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit,
apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad
Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai
Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’)
adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang
keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin
atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah
ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an
sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini”
(Al-An’am : 38). Sebenarnya
kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan
keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada
atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya
membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena
sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang
berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada
ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama
mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang
apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah
saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain
sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang
barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun
secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat
sama dengan pihak yang pertama
2.2.4 Perbuatan Nabi Muhammad SAW Berfungsi Sebagai Sumber Hukum
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran
sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang
Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa
tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang
betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan
panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah,
ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal
yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada
amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga
yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa
kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya. Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya. Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
a. Puasa wishal adalah puasa yang tidak
berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya.
Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara
umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita. Contoh
lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan
umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a. Shalat Dhuha’: Shalat dhuha’ yang
hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
b. Qiyamullail: Demikian juga dengan shalat
malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib
bagi Rasulullah SAW
c. Bersiwak: Selain itu juga ada kewajiban
bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
d. Bermusyawarah: Hukumnya wajib bagi Nabi
SAW namun Sunnah bagi umatnya
e. Menyembelih kurban (udhhiyah): Hukumnya
wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
a. Menerima harta zakat, Semiskin apapun
seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal
yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
b. Makan makanan yang berbau: Segala jenis
makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang
dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat
kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal,
setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih
halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
c. Haram menikahi wanita ahlulkitab: Karena
isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi
beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi. Sedangkan
bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan
oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas,
perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber
hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan
dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin.
Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang
sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita
mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar
Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil
istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di
dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW. Tidak semua perbuatan Nabi
Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti
perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
2.3 Ijtihad
Sebagai Sumber Hukum Islam
Menurut istilah,
ijtihad berarti penggunaan rasion atau akal semaksimal mungkin guna menemukan
sesuatu ketetapan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara tegas dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah.
2.3.1 Kedudukan Ijtihad :
Ijtihad menduduki
posisi yang ketiga dalam hukum Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam
ijtihad ini timbullah sumber hukum lainnya yaitu ijma’(consensus ulama),
qiyas(analogi berdasarkan sebab atau illat masalah), urf(adat kebiasaan
setempat), maslahah mursalah(kepentingan umum), dan istihsan.Ijtihad dilakukan
oleh para imam, para kepala pemerintahan, para hakim, dan oleh para panglima
perang untuk menemukan solusi dari permasalahan yang berkembang di kalangan
mereka berdasarkan bidang mereka masing-masing.
2.3.2 Lapangan Ijtihad :
Sesuai dengan
namanya, ijtihad berarti mencari sesuatu yang tidak secara eksplisit didapat di
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, berarti mengartikan, menafsirkan, dan mengambil
kesimpulan dari kedua sumber tersebut, maka ijtihad terikat oleh
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
· Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Karena urusan ibadah mahdhah telah diatur oleh al-Qur’an dan al-Hadist secara jelas dan terperinci.
· Hasil ketetapan ijtihad sifatnya kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku bagi oranng lain. Juga berlakunya kadangkala hanya untuk satu masa atau tempat tertentu saja.
· Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
· Ketetapan ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolute, tetapi sifatnya relative.
· Dalam proses berijtihad harus mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek lingkungan, aspek manfaat dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran Islam.
· Ijtihad mencakup bidang mu’amalah (ihwal ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal kekeluargaan), dan da’wah (misson), kedokteran, sains dan teknologi dan sebagainya.
· Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Karena urusan ibadah mahdhah telah diatur oleh al-Qur’an dan al-Hadist secara jelas dan terperinci.
· Hasil ketetapan ijtihad sifatnya kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku bagi oranng lain. Juga berlakunya kadangkala hanya untuk satu masa atau tempat tertentu saja.
· Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
· Ketetapan ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolute, tetapi sifatnya relative.
· Dalam proses berijtihad harus mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek lingkungan, aspek manfaat dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran Islam.
· Ijtihad mencakup bidang mu’amalah (ihwal ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal kekeluargaan), dan da’wah (misson), kedokteran, sains dan teknologi dan sebagainya.
2.3.3 Syarat-syarat ijtihad :
Seseorang yang ingin
mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan,
diantaranya :
· Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hokum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayatuntuk menggali hukum.
· Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist yang berhubungan dengan masalah hukum.
· Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar ia berijtihad tidak bertentangan dengan ijma’.
· Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
· Menguasai bahasa arab secara mendalam. Sebab al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa arab yang sangat tinggi gaya bahasanya.
· Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh.
· Mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist.
· Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hokum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayatuntuk menggali hukum.
· Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist yang berhubungan dengan masalah hukum.
· Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar ia berijtihad tidak bertentangan dengan ijma’.
· Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
· Menguasai bahasa arab secara mendalam. Sebab al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa arab yang sangat tinggi gaya bahasanya.
· Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh.
· Mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist.
2.3.4 Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Masyarakat Islam:
Ijtihad memiliki peranan penting dalam pembinaan hukum Islam; diantaranya :
Ijtihad memiliki peranan penting dalam pembinaan hukum Islam; diantaranya :
- Agar hukum Islam dapat ditetapkan secara fleksibel sehingga tidak kaku.
- Agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
- Dapat memudahkan penerapan ajaran Islam menurut situasi dan kondisi yang ada
- Dapat mengembangkan intelektualitas umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Dapat meningkatkan dinamika masyarakat Islam yang heterogen, namun senantiasa hidup toleran dengan ukhuwah Islamiyah.
2.4 Qiyas
Sebagai Sumber Hukum Islam
Qiyas menurut ulama ushul adalah
menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan
cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Ada juga membuat definisi lain, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang
sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar , nash hukumnya telah dijelaskan
dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(Qs.5:90) Haramnya meminum khamr yang berdasar illat hukumnya adalah
memabukkan. Maka setiap minuman yang memabukkan sama saja dengan khamar dalam
hukumnya, maka minuman tersebut adalah haram hukumnya untuk dikonsumsi.
Berhubung qiyas
merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama
jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,
mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui
adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash
termasuk menyingkap alasan- alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum
yang sesuai dengan illat . Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks
nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat . Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat . Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Jumhur ulama kaum
muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum
yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam
suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan
dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
mereka pun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat mempertahankan mereka
dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah
yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati
mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan orang- orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Qs.59:2)
Dari ayat di atas
bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’ .
Kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada
yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok
kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan.
Hal yang
diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’
memiliki pengertian melewati dan melampaui. “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud
dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah),
tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda- tanda kecenderungan, apa
yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini dapat
diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara diantara
dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasarkan pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni
ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw,
diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan
salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah
ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata
‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di
samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan
hujjah dan wajib diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya
tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata:
“Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika
(pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang
dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”.
Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di
jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat
adalah dalil rasional. Pertama , bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak
lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang
dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun
hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum agama. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah .
Qiyas memiliki
empat rukun, yaitu:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs .
3. Hukmu al-asal , yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’ .
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs .
3. Hukmu al-asal , yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’ .
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
2.5 Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam
2.5.1 Definisi Ijma’
Secara Etimologi
(Bahasa) Ijma’ berasal dari kata “ajma’a”,“yujmi’u”,“ijma'an” dengan isim maf’ul mujma yang
memiliki dua makna :
1. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat
وَشُرَكَاءَكُمْ أَمْرَكُمْ فَأَجْمِعُوا
1. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat
وَشُرَكَاءَكُمْ أَمْرَكُمْ فَأَجْمِعُوا
“…Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinsakanku)…” (QS. Yunus : 71)
2. Ijma’ secara etimologi juga memiliki makna sepakat
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ
2. Ijma’ secara etimologi juga memiliki makna sepakat
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ
“Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur” (QS. Yusuf : 15)
Adapun
definisi secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna
Ijma’ menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan
kaidah dan syarat Ijma’. Namun definisi Ijma’ yang paling mendekati kebenaran
adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad (mujtahid) dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam pada masa
tertentu akan suatu perkara agama.
2.5.2 Hakikat Ijma’
Seperti
yang ditegaskan oleh Syakhul-Islam Ibnu Tamiyah, Ijma’ ialah kesepakatan para
ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma’ telah diputuskan secara
permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan
Ijma’ tersebut, karena mustahil umat islam sepakat dalam kesesatan. Tetapi
boleh jadi, banyak masalah yang diklaim berdasarkan Ijma’ ternyata tidak
demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari Al-Qur’an dan As-sunnah. [Majmu’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah]
Ijma’
merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga agama Islam
setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak terdapat ketetapan Ijma’ yang menentang
kebenaran, kecuali tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka suatu
keutamaan bagi para ulama ahli ijtihad untuk berijma’ berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah.
Ibnu
Hazm rahimahumullah berkata, “Tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan nash agama,
baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun dari
perbuatan atau perilaku beliau.” [Al-Ihkam fî Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm]
2.5.3 Peran Ijma’ dalam Penetapan Hukum
Sebagian
besar ulama berpandangan, ijma’ memiliki bobot yang sangat kuat dalam
menetapkan hukum-hukum yang bersifat
ijtihadiyah setelah Al-Qur’an dan Sunnah, karena ijma’ berdasarkan dalil syar’i
baik secara eksplisit maupun secara implisit. Bahkan sebagian besar ulama
berpandangan, ijma’ wajib diaplikasikan.
Tidak
sedikit pula yang menolak ijma’ seperti kalangan Syi’ah dan Khawarij. Namun,
itu tidak usah dihiraukan, karena para ulama Islam telah sepakat menjadikan
Ijma’ sebagai salah satu pegangan selain Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu
didasarkan pada :
1) Ijma’ menurut Al-Qur’an
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” [QS. Ali Imran : 103]
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa: 115]
2) Ijma’ menurut As-Sunnah
Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.” [Shahih, HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin". [Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i]
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa Ijma’ bisa dikatakan sebagai salah satu landsan hukum islam selain Al-Qur’an dan Sunnah. Namun isi dari Ijma’ itu tersendiri harus didasari pada dalil-dalil syar’i, karena hakekatnya sebaik-baiknya pedoman kita di akhir zaman seperti ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
1) Ijma’ menurut Al-Qur’an
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” [QS. Ali Imran : 103]
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa: 115]
2) Ijma’ menurut As-Sunnah
Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.” [Shahih, HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin". [Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i]
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa Ijma’ bisa dikatakan sebagai salah satu landsan hukum islam selain Al-Qur’an dan Sunnah. Namun isi dari Ijma’ itu tersendiri harus didasari pada dalil-dalil syar’i, karena hakekatnya sebaik-baiknya pedoman kita di akhir zaman seperti ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sebagai umat islam,
kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam merupakan
merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan
semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari
seluk beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam
yang harus kita pedomani.
Komentar
Posting Komentar