makalah ushul fiqh, ijtihad


I.              PENDAHULUAN
Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuthi (wafat 911 H)
telah menuliskan risalahnya yang amat berharga
dengan judul “Bantahan terhadap orang yang
mengabadikan taklid di bumi dan tidak tahu
bahwa ijtihad di setiap zaman adalah pardu”.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan umat islam kepada ijtihad merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru. Hal ini tidak berarti bahwa kita menganggap remeh terhadap keagungan fiqh dari berbagai madzab, melainkan meletakan fiqh pada proporsinya, bahwa fiqh hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum islam. Dan karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fiqh tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.
Disamping itu, sejarah menunjukan bahwa periode formulatifnya, fiqh merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Alquran da as-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang. Kondisi yang demikian ini, ditandai dengan munculnya madzab yang mempunyai corak sendiri-sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, ulama terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum islam bukan saja di benarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan.
II.           PERMASALAHAN

Dalam makalah ini akan membahas mengenai ijtihad, dengan sub tema :
1.    Pengertian ijtihad
2.    Syarat-syarat mujtahid
3.    Macam-macam atau tingkatan mujtahid
4.    Contoh ijtihad
Diharapkan para pembaca dapat mengetahui substansi dari sub tema yang telah disebutkan di atas yang akan di jelaskan dalam makalah ini.

III.        PEMBAHASAN

1.         Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata jahada dengan mengikuti wazan ifti’al yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih) dalam perbuatan, yaitu “mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan”. Sedangakan secara istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’”. Ijtihad dalam istilah ahli ushul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat.[1]
Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas) dan qath’i dari segi sumbernya dan pengertianya yang menunjukan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i kedatanganya dan keluarnya dari Allah san Rasul-Nya bukanlah tempat suatu pembahasan dan penumpahan jerih payah.
Pada materi 29 dari Lembaga Struktur Mahkamah Ahliyyah (Mesir) disebutkan, bahwasanya : “Jika tidak ditemukan nash yang jelas dalam undang-undang maka hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan keadilan”.[2]

2.        Syarat-syarat Mujtahid
Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu[3] :
1.        Menguasai bahasa arab
Di kalangan ulama ushul telah ada kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Persyaratan ini sangat penting karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah memahami nash-nash Alquran dan hadist yang notabene keduanya berbahasa arab.
 Dalam masalah penguasaan bahasa arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang harus diketahui oleh mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan) bangsa arab dan adat kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab.[4]

2.        Mengetahui nash-nash Alquran
Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang terdapat dalam Alquran dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil atau memetik hukum itu dari ayatnya. Berdasarkan inilah mujtahid mengistimbatkan hukum.
Akan tetapi, apakah seorang mujtahid harus hafal seluruh Alquran yang terdiri atas 30 juz dan 114 surat tersebut? Di kalangan ahli ijtihad terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan semacam itu. Imam syafi’i, konon diberitakan sebagai salah satu ulama yang mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran. Sebagian ulama lain tidak mensyaratkan keharusan semacam itu, akan tetapi menganggap cukup hanya dengan mengetahui ayat-ayat hukum sehingga kapan dan dimana perlu mujtahid dapat merujuk kepadanya. Imam Gazali salah seorang dari kalangan madzab syafi’i yang tidak mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran.

3.        Mengetahui tentang sunnah
Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah nabi, sekiranya mujtahid mampu menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanadnya, dari segi keshahihanya  atau kedhaifanya dalam periwayatan.
Persyaratan ini dipandang penting bagi mujtahid antara lain karena mengingat fungsi hadist (temasukdi dalamnya hadist-hadist hukum) sebagai penjelas (mubayyin) Alquran.

4.        Mengetahui segi-segi qiyas
Mujtahid harus mengetahui tentang ‘illat dan hikmah pembentukan hukm yang karenanya hukum disyari’atkan. Mengetahui jalur-jalur yang dipergunakan oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat hukumnya. Mujtahid juga harus mengetahui terhadap ihwal manusia dan muamalah mereka, sehingga mujtahid dapat mengetahui suatu kasus yang tidak ada nashnya yang terbukti ‘illat hukumnya. Dan juga harus mengetahui tentang kemaslahatan manusia dan adat istiadat mereka, serta suatu yang menjadi perantara kepada kebaikan dan keburukan mereka.

Dari uraian di atas sudah jelas betapa ijtihad sangat diperlukan guna memahami dengan benar maksud-maksud syari’at dan bagaimana dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di samping itu, dapat di mengerti pula bahwa tidak semua orang mampu dan boleh berijtihad, mengingat betapa kompleksnya upaya ijtihad. Ulama telah menyepakati beberapa persyaratan bagi siapa yang dapat dianggap sebagai mujtahid. Hal ini semata-mata digariskan oleh ulama sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal sehat dan juga mengambil teladan dari imam besar, mujtahid di masa lalu yang memiliki sifat-sifat itu.

3.        Macam-macam atau tingkatan mujtahid
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah[5]
1.        Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
2.        Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.
3.        Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
4.        Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.
5.        Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.

4.        Contoh ijtihad[6]
a)    Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang yang pada melalaikan membayar zakat, para qori’ banyak yang meninggal dunia dan Umar khawatir Alquran akan hilang bersama kematian para penghafal Alquran. Maka Abu bakar disarankan agar menulis dan mendewankan Alquran. Beliau menolak saran itu dengan mengatakan : “apakah aku harus melakikan sesuatu yang tidak di kerjakan oleh Rosulullah SAW?” lalu beliau mengutus menghadap Zaid bin Tsabit dan mengemukakan saran Umar tersebut. Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun menghindarinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Abu Bakar. Dalam pertemuan itu Umar mengemukakan alasan bahwa perbuatan seperti itu tidak mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan mengandung kebaikan bagi islam dan kaum muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah persepakatan dan terus di bentuk panitia yang terdiri atas para penghafal Alquran yang terpercaya untuk melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.
b)   Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya menentang hukum Allah. Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan, sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.
c)    Pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan, kitab-kitab fiqh klasik tidak memberikan batasan umur untuk melakukan perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara jelas mengatur umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

IV.      KESIMPULAN

Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
1.      Menguasai bahasa arab
2.    Mengetahui nash-nash Alquran
3.    Mengetahui tentang sunnah
4.    Mengetahui segi-segi qiyas
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Beberapa tingkatan mujtahid adalah
1.      Mujtahid Mustaqil
2.      Mujtahid Muntasib
3.      Mujtahid Madzab
4.      Mujtahid Murajjih
5.      Mujtahid Mustadil

V.          PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami  sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra Group, 1994.
Yusdani, Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi, Yogyakarta : UII PRESS, 2004.
Yahya, Muhtar dan Rahman, Fatkhur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum fiqh Islami, Bandung : PT Alma’arif, 1986.
Abdullah, Amin, “madzhab” Jogja, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002.
Labib, Muhsein, Dasar-Dasar Hukum Islam, Malang : Yayasan Al-Kautsar, 1994.




[1] Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan legislasi, (Yogyakarta: UII PRESS. 2004), hal. 12
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group. 1994), hal. 340
[3] Ibid. Hal. 340
[4] Amir Mu’allim Yusdani, loc.cit. hal. 61
[5] Ibid. Hal. 59
[6] Muktar Yahya dan Fatur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Alma’arif. 1986) hal. 378

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis