Perempuan dalam Hukum Keluarga di Indonesia

Pengantar
Dalam kerangka hukum yang responsif, desakan untuk perubahan hukum merupakan hal yang wajar. Sebab, hukum seharusnya dilihat sebagai sebagai sebuah aturan yang lekat dengan realitas sosial. Adanya realitas sosial yang berubah, biasanya diikuti dengan rasa keadilan masyarakat yang berubah, dan semestinya hukum pun mengalami perubahan (Soetandyo W: 2002). Realitas kehidupan masyarakat, khususnya relasi laki-laki dan perempuan telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu.  Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal; perkembangan ekonomi, teknologi, pendidikan dan arus global. Dalam kondisi yang demikian maka melihat kembali bagaimana pengaturan hukum keluarga menjadi penting. Bukan saja untuk mendekatkan hukum pada realitas yang sebenarnya tapi juga untuk memperjuangkan bahwa dalam realitas yang ada nilai-nilai keadilan senantiasa penting untuk diketengahkan.



Banyak yang percaya bahwa wajah dunia sangat dipengaruhi bagaimana pola relasi dalam keluarga dibentuk. Ada yang melihat bahwa pembentukan dunia diawali dengan mekonstruksi relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga melalui hukum. Oleh karenanya hukum keluarga senantiasa menjadi areal kontenstasi berbagai kelompok kepentingan. Bagi negara yang represif dan anti perempuan; upaya untuk mengontrol perempuan demi sesuai dengan nilai-nilai dan kepentingan rezim pemerintahannya adalah dengan mengubah hukum keluarga. Bagi Negara yang demokratis dan menjunjung tinggi-tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka dapat dipastikan hukum keluarganya akan mencerminkan nilai-nilai tersebut.
Pola relasi dalam keluarga, meskipun seringkali dikonstruksi atau dilegitimasi oleh hukum Negara, tidak senantiasa dipengaruhi hanya karena hukum tersebut. Dalam banyak praktek di berbagai Negara, hukum keluarga bisa menjadi sebuah dokumen hukum yang tidak terlalu dekat dan bahkan sangat berjarak dengan realitas (WLUML; 2006). Praktek-praktek kehidupan berkeluarga dalam masyarakat tidak selalu dipengaruhi oleh hukum, apalagi dalam situasi dimana hukum hanya dekat dengan dan atau menjadi permainan kelompok elit semata. Namun, praktek-praktek tersebut dipengararuhi dengan cara pandang dan bagaimana pemahaman masyarakat terhadap kehidupannya. Bagi masyarakat seperti di Indonesia, pemahaman terhadap agama dan praktek-praktek keagamaan, praktek budaya juga sangat mempengaruhi dan bahkan jauh dari apa yang diatur dalam hukum keluarga. Selain itu, bagaimana para petugas (aparat) pemerintah dan para politisi di berbagi level (mulai dari desa hingga tingkat nasional) bertindak atas nama hukum pun mempengaruhi bagaimana persepsi masyarakat terhadap hukum dan keefektivan hukum itu sendiri. Hukum bisa menjadi sebuah dokumen semata.
Keberadaan Hukum Keluarga di Indonesia, khususnya UU Perkawinan akan selalu kontraversi, meski sudah 35 tahun sejak UU No. 1 tahun 1974 disahkan. UU ini, di satu sisi dianggap sangat maju dalam konteks menata hubungan personal yang selama ini mengacu pada kebiasaan adat dan praktek-praktek agama ke dalam hukum Negara yang menasional dan berlaku untuk semua. Bersamaan dengan itu, UU Perkawinan dianggap progresif pada zamannya karena pengaturannya memberi perlindungan kepada perempuan dibandingkan praktek-praktek sebelumnya yang bersandar pada hukum kolonial, adat, agama dan kebiasaan lainnya yang  cenderung semena-mena terhadap perempuan. Disisi lain, sesuai dengan perkembangan pemikiran dan gerakan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusi,  UU ini dinilai  masih mengandung pengaturan yang  mensubordinasi perempuan dan karenanya masih diskriminatif.
Disamping tantangan besar untuk mengubah beberapa pasal UU Perkawinan yang masih merugikan perempuan, penerapan pengaturan yang relatif  memadai di dalam UU Perkawinan masih menjadi pertanyaan. Dalam implementasinya, akses perempuan terhadap hak-haknya yang relatif dijamin di dalam UU Perkawinan masih jauh dalam; akibat kuatnya budaya dan praktek-praktek yang lebih bersandar pada pemahaman terhadap adat, kebiasaan dan penafsiran keagamaan ketimbang kebijakan Negara. Praktek-praktek demikian masih meletakkan perempuan subordinat di wilayah domestik dan marginal di publik.
Reformasi hukum keluarga menjadi agenda besar bagi upaya untuk memposisikan perempuan sebagai makhluk yang setara. Reformasi tidak saja dalam kebijakan Negara namun juga pada institusi-institusi hukum, sosial dan di dalam pola pikir masyarakat yang senantiasa masih tetap mengadopsi nilai-nilai yang patriarki (mengutamakan laki-laki).

Pengaturan hukum Keluarga sebelum UU No 1 tahun 1974 dan Pasca UU No. 1 tahun 1974; Kebijakan dan Prakteknya
Sebelum adanya UU No. 1 tahun 1974, pengaturan tentang hukum keluarga di Indonesia tersebar dan berbeda-beda pemberlakuannya pada setiap orang.  Ada banyak sumber hukum seperti BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan HOCI (Ordonansi Perkawinan orang Indonesia -Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon-1933) yang merupakan hukum yang dibangun pada jaman kolonial, hukum islam dan praktek-praktek hukum adat dan kebiasaan lainnya di masyarakat. Pluralitas dalam hukum tersebut merupakan peninggalan dari pemberlakuan hukum kolonial sebelum Indonesia merdeka dimana pemberlakuan hukum didasarkan pada penggolongan kewarganegaraan.[1] Dalam prakteknya terkait pengaturan perkawinan pada masa kolonial hingga sebelum tahun 1950 di Indonesia berlaku sebagai berikut:
  1. Bagi orang Indonesia Asli yang beragama   Islam ;berlaku hukum agama Islam yang telah diresepier dalam hukum adat--dan hukum adat.
  2. Bagi orang Indonesia Asli yang beragama  Kristern; berlaku HOCI (Ordonansi Perkawinan orang Indonesia -Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon-1933)
  3. Bagi orang Timur Asing keturunan Cina dan Indonesia keturuan Cina;  berlaku KUH Perdata dengan beberapa perubahan atau bagian.
  4. Bagi Orang Timur Asing lainnya dan Indonesia keturuan Timur Asing;  berlaku hukum adat mereka
  5. Bagi orang Eropa dan Indonesia keturunan Eropa yang disamakan ; berlaku KUHPerdata.
Disamping itu, setiap orang dapat memilih hukum mana yang ingin diberlakukan padanya (Penundukan hukum).
Dalam konteks kenegaraan, khususnya setelah Indonesia merdeka, pluralitas hukum yang demikian dipandang menjadi masalah. Apalagi secara  substansi hukum-hukum yang ada pada umumnya meletakkan perempuan sebagai subordinat. Namun, karena Indonesia belum berhasil menyusun peraturan baru hukum keluarga/perkawinan, sempat terjadinya  terjadi kekosongan hukum. Dalam kondisi demikian, sistem hukum yang berbeda bagi penduduk Indonesia yang berlaku pada masa kolonial masih berlanjut pada tahun 1950-1960an. Penduduk Indonesia pada umumnya menggunakan sumber hukum Islam, Adat, and KUH Perdata (BW) dan mereka dapat melakukan pilihan terhadap hukum yang ada yang ingin dipakai. Bagi mereka yang beragama Islam dan memilih hukum islam maka berlaku UU No. 22 tahun 1946 tentang penyatuan administrasi pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk bagi ummat Islam. KUHPerdata—perlahan dipakai oleh banyak praktisi hukum terhadap kasus-kasus perkawinan yang masuk dalam peradilan (dalam konteks adanya penundukan diri)—terutama dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 1963—yang antara lain mencabut bahwa perempuan bukan subjek hukum (Daniel S. Lev; 1990).
Sejak tahun 1950- pemerintah yang secara berganti-ganti melakukan upaya menyusun RUU Perkawinan. Namun hingga jatuhnya Orde Lama belum ada hukum baru yang berlaku yang mengatur tentang Perkawinan/Keluarga. Baru setelah pemerintah Orde Baru, pada 1973 RUU Perkawinan mulai dibahas kembali dan disahkan menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Isu Kritis dalam Hukum Keluarga
Isu Kritis dalam hukum keluarga kita tidak saja substansi hukum tapi juga implementasinya.
Pengesahan UU Perkawinan tahun 1974 merupakan jalan yang panjang dan penuh dengan konflik kepentingan baik di pemerintah, parlemen dan masyarakat. Meski awalnya UU ini disusun untuk ‘mengangkat harkat dan martabat’ perempuan, pada kenyataannya kepentingan perempuan dikalahkan dengan kepentingan mereka yang mengatasnamakan agama. Dalam pembahasannya terjadi pertarungan antara kelompok “agama” dan kelompok “nasionalis” yang berakhir dengan kompromi. Salah satu pasal kontraversi yang dibahas adalah tentang perkawinan campur (antar agama) yang sempat menimbulkan deadlock dalam pembahasan di DPR (LBH APIK Jakarta: 2000).  Dalam proses kompromi tersebut; maka meski banyak pasal yang relatif memberi perlindungan tentang hak-hak perempuan, namun ada pasal-pasal tertentu yang tetap melanggengkan budaya patriarki demi alasan nilai-nilai agama.
Meski telah ada UU Perkawinan yang bersifat nasional, implementasi proses perkawinan tetap dilangsungkan dengan bersandar pada ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Pluralisme hukum masih terjadi dan tidak sepenuhnya hilang. Sebab, ada dua peradilan yang berfungsi untuk menerapkan hukum perkawinan; peradilan agama untuk mereka yang beragam islam dan peradilan umum bagi yang non islam.
Pada tahun 1991 Presiden mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI ini hasil dari  Tim Proyek “Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi” kerjasama Departemen Agama dan Mahkamah Agung sejak tahun 1985-1991 dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hukum materiil Peradilan Agama.  KHI terdiri dari tiga bagian; hukum perkawinan (buku I), hukum kewarisan (buku II) dan hukum perwakafan (buku III). KHI ini kemudian berfungsi sebagai Pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama dan Pegangan hukum Islam bagi masyarakat.
Meski beberapa pasal sesuai dengan UU Perkawinan yang relatif melindungi perempuan, KHI ini juga dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, nilai-nilai kesetaraan, keadilan yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan-peraturan di tingkat nasional yang menjamin hak-hak perempuan. Beberapa contoh yang dianggap sebagai persoalan adalah pengaturan soal poligami, pembakuan peran antara laki-laki dan perempuan, wali bagi perempuan (untuk menikah), dan saksi laki-laki. Bahkan KHI ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai universal islam; Keadilan (al-`adl), Kemaslahatan (al-mashlahat), Kerahmatan (ar-rahmat), Kebijaksanaan (al-hikmah),  Kesetaraan (al-musâwah) dan Persaudaraan (al-ikhâ`) karena KHI dianggap tidak sepenuhnya digali dari kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak diambil dari penjelasan normatif tafsir-tafsir ajaran keagamaan klasik, dan kurang mempertimbangkan kemaslahatan bagi umat Islam Indonesia (Marzuki Wahid: 2009).
Implementasi dari peraturan yang relatif baik yang ada di dalam UU Perkawinan juga masih menjadi kendala. Masih banyak para perempuan yang tidak mendapat informasi tentang  hak-haknya. Seorang isteri yang sudah mengalami kekerasan bertahun-tahun oleh suaminya, ketika ditanya       mengapa tidak cerai saja dengan suaminya, menjawab; "suami saya tidak mau menceraikan saya,". Si isteri tidak tahu bahwa ia sebagai isteri bisa menggugat cerai suaminya, tidak harus suaminya yang menjatuhi tala' padanya. Pengetahuan itu ia dapatkan dari  orang-orang disekitarnya. Padahal, UU Perkawinan telah menjamin hak perempuan untuk menggugat cerai dengan alasan-alasan tertentu dan bahkan Kompilasi Hukum Islam menyebutkan salah satu pihak bisa mengajukan perceraian jika pihak yang lain melakukan kekejaman dan penganiayaan berat terhadap pihak yang lain (Pasal 116; Alasan Perceraian KHI).
Disamping adanya hambatan akses informasi bagi perempuan, para penegak hukum—semisal hakim di pengadilan agama, masih bias dengan budaya patriarki.  Meski pada umumnya  pengadilan mengabulkan gugatan cerai dari isteri, dari pengalaman pendampingan kasus, seringkali putusan terhadap gugatan perwalian anak, nafkah anak dan harta bersama lebih menguntungkan suami. Di dalam masyarakat, praktek perkawinan anak di bawah umur dan  praktek pernikahan tidak tercatat yang kerap pada akhirnya lebih merugikan perempuan pun terjadi. Penipuan identitas untuk bisa menikah lagi, bahkan melibatkan aparat pemerintah dan hukum.

Agenda Perubahan ke Depan
Berbagai analisa telah banyak dikemukakan mengapa masih ada kebijakan, khususnya kebijakan keluarga yang mendiskriminasi perempuan. Persoalan ini, bukan saja terjadi di ranah Indonesia, tapi menjadi persoalan yang nyaris ditemui di  belahan dunia lain. Teori-teori hukum kritis yang dikembangkan oleh para pejuang perempuan (Pendekatan Hukum berperspektif Feminis) telah menganalisa bahwa hukum adalah produk politik yang tidak lepas dari berbagai kepentingan yang ada pada si pembuat hukum. Cara pandang si pembuat hukum sangat mempengaruhi bagaimana merumuskan hukum. Cara pandang yang bias juga mempengaruhi para pelaksana hukum dalam menafsirkan hukum yang ada untuk dipraktekkan. Pembentuk kebijakan yang memiliki cara pandang yang bias kepentingan laki-laki dan tidak sensitive gender akan berpotensi menghasilkan kebijakan yang merugikan perempuan (APWLD; 1998).
Praktek-praktek budaya patriarki seringkali dilegitimasi oleh tafsir agama yang anti perempuan dan pro status quo laki-laki. Praktek-praktek demikian mempengaruhi dan dipengaruhi cara pandang pembuat kebijakan dan pelaksananya bahkan diamini oleh masyarakat. 
Reformasi hukum keluarga sudah banyak didengungkan di Indonesia dan bahkan di Negara-negara dimana nilai, hukum dan tradisi Islam dipraktekkan. Musawah, sebuah jaringan internasional yang fokus pada upaya untuk reformasi keluarga, khususnya hukum keluarga islam meletakkan beberapa prinsip yang penting dalam merevisi hukum keluarga. Pertama, prinsip kesetaraan, keadilan, non diskriminasi dan kemartabatan dalam relasi semua manusia dalam keluarga; Kedua, kewarganegaraan yang penuh dan adil, termasuk partisipasi penuh dalam segala aspek menjadi hak atas setiap individu dalam keluarga; Ketiga,  kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah keadilan yang tidak bisa ditawar dalam keluarga (Musawah; 2009)
Wujud dari tiga prinsip ini diharapkan dipastikan oleh Musawah ada dalam hukum dan kebijakan diberbagai negara:
  1. Keluarga sebagai tempat yang aman, harmoni, dukudnang dan perkembangan personal dari setiap anggota;
  2. Perkawinan adalah kemitraan yang sejajar dan setara dengan saling menghargai, kepedulian, komunikasi dan memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan;
  3. Hak yang setara dalam memilih pasangan atau tidak menikah, atau masuk dalam perkawinan dengan sepenuhnya bersandar pada kemauan dan pemilihan bebas, dan hak yang setara untuk menyelesaikan perkawinan termasuk prosesnya;
  4. Hak yang setara and tanggungjawab yang sama terhadap harta bersama, termasuk pengambilalihan, kepemilikan, penikmatan, pengelolaan, adminsitrasi, penunjukan dan waris termasuk dalam keamanan keuangan untuk seluruh anggota keluarga;
  5. Kesetaraan hak dan tanggung jawab orangtua terkait dengan anak.
Nah bagaimana dengan UU Perkawinan Indonesia ke depan?
  1. Ada pengaturan yang lebih jelas terkait dengan pencatatan perkawinan—sebagai sebuah solusi terhadap isu pernikahan tidak tercatat;
  2. Ada revisi terhadap pengaturan poligami; pembatasan poligami yang disandarkan pada seksualitas perempuan sudah tidak memiliki argumentasi yang kuat;
  3. Perubahan tentang usia nikah laki-laki dan perempuan:
  4. Perubahan tentang peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dan publik;
  5. Penegasan terhadap hak perempuan atas harta perkawinan yang adil sesuai dengan peran dan tanggungjawab
  6. Pengaturan yang setara soal jangka waktu tunggu proses perceraian.
Tantangan Ke depan dan Rekomendasi
Mengingat hukum keluarga menjadi satu pijakan dasar yang banyak kontestasinya: “kekuasaan” di ranah domestik  akan mempengaruhi “kekuasaan” di ranah publik; kekuatan lain yang memiliki keinginan mempertahankan hukum dan penafsiran yang ada demi kepentingan status quo juga menguat. Tantangan terbesar kemudian adalah membangun kekuatan bersama bagi mereka yang mencintai keadilan dan kesetaraan. Sebab, dalam sejarah pembentukan hukum di Indonesia, penyusunan UU Perkawinan telah menimbulkan kontraversi yang cukup besar. 
Oleh karena itu sosialisasi tentang nilai-nilai keadilan masih harus dilanjutkan sembari mendorong berbagai pihak yang peduli terhadap perempuan mewarnai para pembentuk kebijakan dan mengontrol para pelaksana kebijakan. Beberapa hal yang penting untuk segera dilakukan dalam melakukan advokasi RUU yang lebih mengakomodir perempuan adalah;
  1. Pendokumentasian kasus-kasus perempuan yang mengalami berbagai masalah karena pengaturan UU yang bias;
  2. Penyebaran informasi yang memadai dan penemuan ikon untuk kampanye: bahwa UU Perkawinan sudah tidak sesuai. Pendekatan cultural menjadi penting—memasuki kelompok-kelompok strategis; agamwan, budayawan dan media populer
  3. Pensinergian dengan berbagai pihak yang sama-sama mengusung isu kesetaraan—perlu analisa terhadap berbagai isu mana yang perlu dinegosiasikan.
  4. Pelibatan para aparat hukum dalam berbagai diskusi guna sosialisasi dan penggalangan dukungan.
Referensi:
  1. Daniel, S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, 1990.
  2. Sejarah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pembakuan Peran Gender dalam Perspektif Perempuan, Laporan Penelitian, LBH APIK Jakarta, 2000.
  3. Liza Hadiz dan Sri Wiyanti Eddyono, Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia, LBH APIK Jakarta, 2003.
  4. Prof. Dr. R. Soepomo, S.H., Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, 1997.
  5. Ratna Kapoor, Feminist Legal Theory and Practice, Manual Training, APWLD, 1997.
  6. Marzuki Wahid, Perempuan dalam Hukum Perkawinan Indonesia, materi presentasi pada konsultasi nasional Reformasi Hukum Keluarga, Komnas Perempuan, 2009.
  7. Zainah Anwar, Wanted; Equality and Justice in the Muslim Family, Musawah, 2009.



[1] Pada 1830an ada upaya Pemerintah Kolonial untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum--realitasnya sampai era 1900an berlaku pluralitas hukum  berdasarkan penggolongan penduduk (IS 163; Indonesia, Eropa--Bumiputera--Timur Tengah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GHARAWAI, MUSYARAKAH, AKDARIYAH

Idhafah

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis