TREND KRIMINALISASI DALAM HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM
A. Pendahuluan
Salah satu trend reformasi hukum keluarga di
Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi).
Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum,
misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja
membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu
masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal.
Dalam hal poligami misalnya, meskipun
kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang
berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan
dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini.
Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah
lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain
memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin
Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra
dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern.
Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara
non-Muslim (negara Barat).
Seperti disebut dalam judul di atas, tulisan ini
hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim: Turki, Tunisia, Irak,
Malaysia, dan Indonesia,[1] dengan menggunakan
pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum negara-doktrin hukum
klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara); komparasi diagonal (tingkat
dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan perbandingan yang lebih luas,
penulis juga akan melengkapi tulisan ini dengan tinjauan terhadap
kebijakan hukum mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara
Barat).
B. Pemberlakuan Sanksi Hukum dalam Hukum
Keluarga Negara Muslim
Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu
ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara umum sanksi
hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan,
perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan
hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini rincian
sejumlah persoalan tersebut:[2]
1.
Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia nikah)
Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian
dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman
(Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara
tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum terhadap
pelanggaran masalah ini.
Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di
bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal
1000 taka; atau kedua sekaligus.[3] Sedangkan di
Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia
nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun.[4]
Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18
tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1
bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.[5] Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak
yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di
bawah umur (nikah).[6] Demikian pula terhadap
mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya
kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan
dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah
umur.[7] Sedangkan terhadap setiap pihak (pria)
yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait
pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut
melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi
hukuman penjara maksimal 3 bulan.[8]
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang
berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran
(pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara
lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia
maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun),
dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun;
atau keduanya sekaligus.[9]
2.
Perkawinan secara paksa
Irak dan Malaysia merupakan negara
yang mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini.
Di Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap
pihak yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapat
dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya
adalah pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3
tahun tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka
dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau kurungan
minimal 3 tahun.[10]
Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di
berlakukan oleh Malaysia. Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja
yang memaksa seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘
dapat dikenakan hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau penjara
maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.[11]
3.
Pencegahan terhadap perkawinan yang dibolehkan syara’
Tampaknya hanya Malaysia yang secara
eksplisit menerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun yang
mencegah seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘,
menurut Hukum Keluarga Malaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 1000
ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.[12]
4.
Perkawinan yang dilarang
Jika pada Hukum Keluarga negara-negara Muslim
yang lain cenderung hanya memuat sejumlah bentuk perkawinan yang dilarang dan
menetapkan batalnya perkawinan tersebut, Somalia dan Srilanka
tampaknya mengambil langkah yang lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi
terhadap pelanggaran atas hal tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi
kembali mantan istri yang dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut
menyelesaikan masa iddahnya dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan
sudah pernah berhubungan biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut,
dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh.[13]
Srilanka memberlakukan hukuman penjara maksimal
3 tahun bagi setiap pria muslim yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau
telah atau berupaya untuk mendapatkan (hak) berhubungan badan dengan
perempuan-perempuan yang dilarang syara‘ untuk dinikahi.[14] Hukuman yang sama juga berlaku bagi wanita
muslim (berusia di atas 12 tahun) yang secara sengaja melakukan perkawinan,
atau mengizinkan untuk berhubungan badan dengan pria yang dilarang syara‘ untuk
menikahinya.[15]
Hukum Srilanka juga memberlakukan sanksi
terhadap setiap wanita muslimah yang selama masa iddahnya mengikat tali
pernikahan atau ikut serta sebagai pengantin dalam suatu upacara perkawinan,
dan setiap orang yang mendukung atau membantu terselenggaranya ikatan
perkawinan atau perlaksanaan upacara perkawinan tersebut. Para pelaku
tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.[16]
5. Pendaftaran
dan pencatatan perkawinan
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah
ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga
negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan
ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan),
Yordania, dan Srilanka.
Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan
terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya
adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp.
7.500.,-[17] Sedangkan di Iran sanksi hukum
diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak
bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1 – 6
bulan.[18]
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda
maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus
terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung)
melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU
No.1/ 1974.[19] Sementara di Yordania, mempelai
(yang melangsungkan pernikahan), pihak pelaksana dan para saksi terkait
perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi pihak berwenang) dapat
dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal
Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar.[20]
Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka,
meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih
banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang
diberlakukan di sana.[21] Hal tersebut
tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut:
a. Membuat
data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar
perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.[22]
b. Melanggar
ketentuan Ps. 81:
- Mempelai
pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau
lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan suatu pernikahan;
- Siapa
saja yang mendukung atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh
atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai
dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain;
- Qadi, petugas pencatatan, dan pihak
yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56
ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang
lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas
terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas
pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai
daftar suatu perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara
mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain.
Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk
pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang
kedua /selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara maksimal 6 bulan
atau keduanya sekaligus (denda dan penjara).[23]
c. Petugas
pencatatan yang sengaja melakukan pencatatan, dan pihak lain yang
mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan
aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24
ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda maksimal
100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[24]
d. Setiap
pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk
mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini,
atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan
akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda 100
rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus [25]
e. Setiap
pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu
pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang
pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan
pengantin dan wali pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau
penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[26]
f. Setiap
petugas pencatatan:
1) Lalai atau
menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan;
2) Kecuali dalam kasus
yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang
diadakan di luar wilayah tugasnya;
3) Melakukan pencatatan
suatu perkawinan yang melanggar kondisi-kondisi atau batasan yang terdapat
pada surat tugasnya;
4) Mencatat suatu
perkawinan yang tidak dihadirinya;
5) Sengaja menolak
untuk melaksanakan atau yang terkait dengan pencatatan suatu
Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau
ps. 58;
6) Sengaja melanggar /
menentang berbagai aturan dalam UU ini. Dapat dikenakan hukuman Denda maksimal
100 rupee.[27]
6.
Perkawinan diluar Pengadilan
Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar
pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1
tahun; denda minimal 300 dinar & maksimal 1000 dinar.[28] Melakukan
perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih
berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun &
maksimal 5 tahun.[29]
7.
Mas kawin dan biaya perkawinan
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India)
persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis
dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi
(non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan
memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus
dan menggariskan aturan sanksi hukum dalam masalah ini.
Di Bangladesh, memberi atau mengambil atau
bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam dengan hukuman
penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau keduanya
sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hantaran
kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria.[30] Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam
masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and
Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara
maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang
diatur UU ini; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas
kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak
sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal
untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU
ini.[31]
8.
Poligami & hak istri dalam poligami
Poligami merupakan masalah yang paling banyak
dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim
modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang
gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8
negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah
poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan,
Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia,
dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi
praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan
mendatang.
9.
Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian
Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan,
Yordania, dan Srilanka mencantunkan sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum
Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, misalnya, para suami yang
melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan talak/cerai yang
dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1 – 6
bulan.[32]
Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia,
penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000
ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[33] Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on
Personal Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100
1985 Pasal 23 A, suami yang tidak melakukan pendaftaran
perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200
pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak
atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi
penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir.[34]
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan
permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa
memberikan salinan (copy)nya kepada istri, dapat dihukum
penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya
sekaligus.[35] Dalam pada itu, Yordania memberlakukan
hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang menceraikan
istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi.[36] Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada
pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat
dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun[37]
10. Hak-hak istri yang dicerai suaminya
Tunisia tampaknya
bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang
menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat
dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12 bulan dan denda antara 100
hingga 1000 dinar. [38]
- Masalah
hak waris perempuan
Harus diakui, mungkin,
hanya Libya yang secara khusus memberikan perhatian dalam masalah
ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak memberi) hak
warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan wanita
bersangkutan diberikan/dipenuhi.[39]
12. Pelanggaran terhadap UU
Hukum keluarga yang berlaku (diluar pasal-pasal yang sudah ditentukan
sanksi hukumnya)
Jika dalam Hukum Keluarga mayoritas
negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi hukum dalam beberapa pasalnya,
tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga Muslim Srilanka. Di luar
pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumnya, setiap
pelanggaran di luar pasal-pasal tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal
100 rupee.[40]
Dari keterangan di atas dapat ditarik sejumlah
catatan sebagai berikut:
a. Bahwa
poligami menempati urutan teratas (8 negara) dalam daftar persoalan Hukum
Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum (kriminalisasi poligami), menyusul
masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa registrasi (6 negara), dan
berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan (5 negara).
b. Meskipun
secara umum sanksi yang dijatuhkan masih diarahkan kepada si pelaku
pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku, hukuman juga dijatuhkan
kepada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas berwenang yang terkait
dengan pelanggaran.
c. Sanksi
yang diberikan pada umumnya berupa hukuman penjara/kurungan; atau denda; atau
keduanya sekaligus. Meskipun bersifat relatif, hukuman tertinggi terdapat di
Irak yakni 10 tahun & minimal 3 tahun penjara dalam kasus perkawinan
secara paksa. Sedangkan sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1
bulan penjara dalam kasus petugas pencatat yang menolak/tidak melaksanakan
tugas pencatatan.
d. Srilanka
tercatat sebagai negara terbanyak mencantumkan sanksi hukum dalam
Hukum Keluarga Muslim (sekitar 11 masalah); sedangkan Libya (tentang hak waris
wanita) dan Somalia (larangan menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebelum
dipenuhi persyaratannya) sejauh ini menjadi negara yang paling
sedikit meletakkan sanksi dalam Hukum Keluarga mereka.
C. Kriminalisasi Praktik Poligami: Identifikasi
Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak
dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai
peristiwa pidana oleh masyarakat.[41] Dengan
demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap yang
mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime),
yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana
denda.[42]
Adapun istilah poligami
berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)[43] atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari
akar kata polus (banyak)[44] dan gamos (kawin).[45] Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan
dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik
atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang
dilakukan pada satu waktu (bersamaan).[46] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu yang bersamaan.[47]
Jika menilik definisi poligami di atas, tampak
tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami)
atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan
pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka
praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum,
istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi
perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan
yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini.
Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri.[48] Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:[49]
“Poligamy is a form of poligamy in which one
male is married to more than one female. Poliandry is a form of poligamy in
which one female is married to more than one male.”
Lawan kata poligami adalah monogami, berasal
dari bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa
Yunani, mono dan gamy,[50] yang
berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian)[51] dan gamos (perkawinan).[52] Secara simpel monogami dapat diartikan dengan
perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara
terminologi, monogami memiliki dua pengertian:[53]
a. Suatu
kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang
(pasangan) pada satu waktu.
b. Suatu keadaan dimana
perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai
sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain,
yakni monogini.[54]
Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap
menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam
penggunaan istilah poligami dan monogami sebagaimana dikemukakan di
atas untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur”
lebih populer dikenal.
D. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam
Perspektif Doktrin Hukum Islam Konvensional
Pembahasan mengenai kriminalisasi poligami
dilihat dari sudut doktrin hukum konvensional setidaknya memerlukan dua segi
tinjauan: pertama, konsep kriminalisasi; kedua, status hukum poligami. Segi
yang pertama diarahkan pada kajian hukum jinayat (pidana Islam), sementara segi
yang kedua ditinjau dari kajian tafsir nas dan pandangan mazhab fikih.
Identifikasi kedua sudut tersebut penting diungkapkan dalam rangka memahami seberapa
jauh langkah kriminalisasi poligami punya keterkaitan atau tidak dengan doktrin
hukum konvensional.
Dalam kajian hukum jinayah, dilihat dari segi
kualitas dan kuantitas sanksi hukum (‘uqb±t), fuqaha umumnya
mengklasifikasikan tindak pidana (jar³mah) kepada tiga bagian:
pertama, jar³mah ¥udd; kedua, jar³mah qi¡±¡-diy±t;
ketiga, jar³mah ta‘z³r. [55] Berikut
ini gambaran umum mengenai ketiga kategori tersebut:
Kategori pertama, ¥udd (bentuk
jamak dari kata ¥ad), adalah jenis hukuman
yang bentuk dan ukurannya telah ditetapkan (oleh syara‘), terkait dengan hak
Allah atau demi kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang
dikategorikan sebagai jar³mah ¥udd ada tujuh macam,
yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan tuduhan zina 3) mengonsumsi minuman keras 4)
pencurian 5) perampokan 6) pindah agama 7) pemberontakan.[56]
Adapun kategori kedua, qi¡±¡-diyat,[57] mencakup tindak pidana: 1) pembunuhan dengan
sengaja 2) pembunuhan semi sengaja 3) pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan
secara sengaja 5) penganiayaan yang keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak
pidana qi¡±s-diyat, secara variatif, meliputi: qi¡±s-diyat, kafarat,
terhalang dari hak waris, terhalang dari hak wasiat.[58]
Kategori ketiga adalah pidana ta‘©³r,
suatu tindak pidana berupa perbuatan maksiat atau jahat yang dikenai sanksi
hukuman yang tidak ditentukan oleh syara‘ (non-¥ad dan non-kaff±rat), baik
yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak hamba.[59] Dengan
kata lain hukuman ta‘z³r adalah hukuman yang dijatuhkan pada
perbuatan jinayah selain kedua kategori di atas (jar³mah ¥udd dan jar³mah qi¡±¡-diyat).
Kebijakan pidana ta‘©³r sendiri merupakan otoritas ulul
amri (pemerintah/yudikatif) dimana bentuk sanksi hukumannya pun
beragam bisa berupa pemukulan, penahanan
(kurungan/pemenjaraan), teguran/peringatan, dan bentuk hukuman
lainnya sesuai dengan pertimbangan kontekstual.[60] Malah
sebagian ulama, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penjatuhan
hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali atau sadis,
homo seksual, pelecehan agama/simbol agama, perbuatan sihir (santet), dan
perbuatan zindiq. Semua langkah hukum ini diletakkan dalam kerangka
siyasah berdasarkan pertimbangan hakim mana yang dipandang lebih maslahat
(tepat).[61] Sedangkan, kalangan Malikiyah dan
Hanabilah juga memasukkan perbuatan spionase dan bid’ah dalam
kategori ta‘z³r yang dapat dijatuhi hukuman mati.[62]
Adapun mengenai jenis tindak pidana yang dapat
dikenai ancaman hukuman kurungan/penjara, dalam hal ini, ulama berbeda
pendapat. Kalangan Hanafiyah menetapkan hukuman kurungan/penjara dapat
dikenakan pada semua jar³mah ta‘©³r. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak berlaku pada semua jar³mah
ta‘©³r. Menurut mereka hanya 8 (delapan) tindak pidana yang
dapat dikenai hukuman kurungan /penjara, yaitu: (1) percobaan pembunuhan; (2)
pelarian diri oleh budak; (3) pengingkaran penunaian kewajiban; (4) pengakuan
palsu atas kebangkrutan; (5) perbuatan maksiat; (5) keengganan melaksanakan
kewajiban sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan; (7) pengakuan kepemilikan
secara paksa; (8) keengganan melakukan kewajiban ibadah (hak Allah) yang tak
dapat diwakilkan.[63]
Dalam hal dapat diberlakukan tidaknya hukuman
denda, para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian ulama tidak membolehkannya
dengan alasan hal itu sama dengan pengambilan harta secara zalim. Sedangkan Abu
Yusuf, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi‘i (salah satu qaul-nya), dan
Imam A¥mad ibn ¦anbal membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah dan sahabatnya, Khalifah Umar ibn Kha¯¯±b dan Khalifah Ali ibn
Abi Talib.
Sedangkan mengenai hukuman fisik (berupa
pemukulan misalnya) ulama sepakat membolehkannya berdasarkan praktik yang
pernah diterapkan oleh Rasulullah dan Khulafa’ ar-Rasyidin, meskipun dalam hal
ketentuan dan batas maksimalnya terdapat perbedaan pendapat.[64]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
poligami, jika dilihat dari kategori dan bentuk hukum pidana Islam
di atas, bukanlah termasuk tindak pidana kategori pertama (¥udd) dan
juga tidak termasuk kategori kedua (qi¡±¡-diyat). Jika demikian, dapat
disimpulkan bahwa hanya ada satu kemungkinan bahwa poligami lebih cenderung diposisikan
dan dilihat dalam wilayah kategori ketiga, yaitu tindak pidana ta‘z³r, dimana
peran politik hukum (siyasah) memerankan peran dominan dalam penentuan kategori
dan bentuknya. Dari sudut tinjauan ini, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa
kriminalisasi poligami tetap relevan dengan doktrin hukum Islam konvensional,
khususnya yang terkait dalam wilayah jin±yah. Namun, apakah
poligami dapat dianggap perbuatan maksiat atau jahat sehingga
dapat dijatuhi hukuman ta‘z³r atau tidak? merupakan pertanyaan
yang perlu ditelusuri jawabannya.
Mengenai masalah poligami, sepanjang penelusuran
pustaka oleh penulis, fokus pembicaraan dalam literatur mazhab fikih pada
umumnya sama sekali tidak mempersoalkan kebolehan poligami. Hal yang
diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri yang boleh
dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami ayat Alquran yang memuat
persoalan poligami (S. an-Nisa: 3).[65] Berbagai
ulasan fikih lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban berlaku
adil kepada istri/istri-istri mereka.[66] Sikap
yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik
khususnya) ketika memahami pernyataan nas tersebut. Berbagai uraian dalam
masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka
atas sejumlah pernyataan Alquran dan as-Sunnah.
Di dalam Alquran, surat an-Nisa: 3,
dinyatakan:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)
“Dan jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Para mufasir sepakat bahwa sebab turun
ayat diatas berkaitan dengan perbuatan para wali yang tidak adil
terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan
mereka. Ada sejumlah riwayat mengenai asb±b an-nuzl ayat
ini, di antaranya riwayat :
Ab Bakr at-Tam³m³ telah mengabarkan kepada
kami, ‘Abdullah ibn Mu¥ammad telah mengabarkan kepada kami, katanya: Ab Ya¥y±
menceritakan kepada kami, katanya: Sahl ibn ‘U£m±n menceritakan kepada kami,
katanya: Ya¥ya ibn Z±’idah menceritakan kepada kami, dari Hisy±m ibn ‘Urwah,
dari ayahnya, dari ‘²isyah ra. mengenai firman Allah (wa in khiftum alla
tuqsi¯…), ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang
laki-laki yang menjadi wali seorang anak yatim perempuan yang
memiliki harta sementara tak ada seorang pun yang melindunginya, ayat ini
melarang laki-laki tersebut menikahi anak perempuan tersebut hanya karena
menginginkan hartanya, namun menyengsarakan dan menyakitinya, sehingga Allah
berfirman: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi. Allah (dalam kondisi seperti ini seolah-olah ingin,
pen.) mengatakan: Aku tidak menghalalkannya bagimu karena itu tinggalkanlah
(Riwayat Muslim dari Ab³ Kuraib dari Ab³ Us±mah, dari Hisy±m).[67]
Setelah Allah melarang mengambil dan
memanfaatkan harta anak yatim secara tidak benar (an-Nisa : 2), bagian
berikutnya Allah mengingatkan agar tidak berbuat aniaya terhadap
diri (individu) anak-anak yatim tersebut. Allah menegaskan: Dan jika kamu
khawatir tidak akan dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, di sisi lain
kamu merasa cukup percaya diri dapat berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan selain mereka, maka nikahi apa yang kamu senangi sesuai
keinginanmu dan halal dari perempuan-perempuan tersebut, kamu dapat menikahi
mereka dua, tiga, atau empat orang, tapi jangan lebih, dalam waktu bersamaan.
Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dalam kebutuhan dan
persoalan lahiriah, bukan dalam soal perasaan/cinta) apabila kamu mempunyai
lebih dari seorang istri, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah
hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu (menikahi selain anak
yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan mencukupkan satu orang istri) adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu pada
keadilan.[68
Sedangkan hadis yang sering dikemukakan antara
lain adalah:
حدثنا هناد حدثنا عبدة عن
سعيد بن أبي عروة , عن معمر, عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن ابن عمر : أن
غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وله عشرة نسوة في جاهلية , فأسلم
معه. فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير أربعا منهن .
“Dari Ibn Umar : bahwa Ghail±n ibn Salamah ketika masuk Islam
memiliki 10 orang istri (yang disuntingnya di saat jahiliyah), maka Nabi saw.
memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang di antara mereka sebagai
istri.”[69]
Dalam memahami ayat-ayat Alquran yang terkait dengan
poligami, kecuali batasan maksimal jumlah istri yang boleh dipoligami, secara
umum hampir tidak terdapat perbedaan penafsiran di kalangan tradisionalis.
Mayoritas ulama, dengan berdalilkan petunjuk ayat dan hadis di atas serta
praktik generasi salaf menegaskan jumlah maksimal poligami adalah empat orang
istri. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi
ayat yang sama (S. an-Nisa ayat 3), antara aliran ar-R±fi«ah (salah
satu sekte Syi‘ah) berpendapat jumlah maksimal adalah sembilan orang istri;
pendapat lain (aliran ahl a§-¨±hir) menyatakan delapan belas istri.[70]
Interpretasi juga lebih ditekankan kepada seruan
berlaku adil terhadap para istri. Hal ini dimotivasi pesan historis ayat,
sebagaimana terlihat dalam asb±b an-nuzl di atas, yang
berbicara mengenai perlakuan zalim terhadap anak-anak yatim perempuan (obyek
eksploitasi) sehingga menghimbau kepada kaum Muslimin (para suami) untuk
berlaku adil kepada mereka, ketika muncul kekhawatiran tidak dapat berlaku adil
maka sepatutnya membatasi nikah hanya dengan seorang istri, atau dengan hamba
sahaya perempuan miliknya.[71] Tampaknya
penafsiran dalam kerangka ini lebih bertendensi pada telaah tekstual, di
samping dukungan historis praktik Rasulullah, para Sahabat dan generasi
setelahnya yang menunjukkan bahwa poligami bukanlah suatu yang dilarang. Dalam
pengertian lain, menurut penafsiran tradisional izin berpoligami mempunyai
kekuatan hukum, sedangkan keharusan untuk berbuat adil kepada para istri,
meskipun sangat penting, terserah kepada kebaikan sang suami (walaupun hukum
Islam tradisional memberikan hak kepada para wanita untuk meminta pertolongan
atau perceraian apabila mereka diperlakukan suami mereka dengan buruk). Dari
sudut normatif, keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini
tergantung pada kebaikan suami, meskipun pasti akan dilanggar.
Sebaliknya kalangan modernis cenderung
mengedepankan keharusan bersikap adil dan pernyataan Al-Qur’an bahwa perlakuan
adil tersebut adalah mustahil, firman Allah:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(129)
“Dan kamu tidak akan dapat
berbuat adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (S. an-Nis±’: 129)
Mereka menegaskan bahwa izin berpoligami itu
hanya bersifat tentatif dan untuk tujuan-tujuan tertentu.[72]
Menurut Muhammad Abduh (1849-1905)
persoalan poligami yang terdapat dalam ayat 3 an-Nis±’ berkaitan erat dengan
konteks ayat perihal anak yatim dan larangan memanfaatkan harta mereka meskipun
dengan perantaraan perkawinan. Ketika seseorang merasa khawatir
(akan) mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim yang bakal dinikahinya maka ia
wajib tidak menikah dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk menikah
dengan perempuan-perempuan lain hingga empat orang. Namun apabila ia juga
khawatir tidak akan mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib baginya
menikah dengan satu orang istri saja.[73]
Adapun ungkapan “fa in khiftum all± ta‘dil
fa w±¥idah” (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
[nikahilah] seorang saja), Abduh menjelaskan bahwa hal itu terkait dengan
alasan “©±lika adn± all± ta‘l” (Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat zalim), yakni lebih dekat kepada tidak terjadi perbuatan
dosa dan kezaliman. Hal ini memperkuat adanya syarat dan kewajiban agar berlaku
adil. Sikap adil ini sendiri adalah hal yang langka, Adapun adil yang dimaksud
dalam firman Allah dalam ayat 129 di atas (wa lan tasta¯³‘ an ta‘dil
baina an-nis±’ wa lau ¥ara¡tum…) adalah adil dalam hal kecenderungan hati,
yang jelas tak seorang pun mampu melakukannya.
Berdasarkan dua ayat di atas dapat dipahami
bahwa pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal yang
amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat,
pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat
berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau
anak-anaknya). Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang
cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan
bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan
poligami secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang
istri cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan
para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut,
karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara
anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan
individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat,
selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara.[74]
Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi
akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk
memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan
menepis segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar’ al-maf±sid
muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di
saat timbul kekhawatiran tidak adanya keadilan maka hukum poligami adalah
haram.[75]
Dalam pada itu muridnya, Muhammad
Rasyid Ri«±, menjelaskan bahwa ayat 3 surat an-Nisa’
juga mengandung pesan agar berlaku adil dan bersikap hati-hati
terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab perlakuan tidak adil
terhadap kedua kelompok ini akan merusak tatanan hidup yang berujung pada
kemurkaan Allah. Pemahaman ini terefleksi dari jalinan beberapa komponen dalam
ayat, yakni ungkapan ayat “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya)” dijawab dengan “maka
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi” yang selanjutnya diperkuat
dengan “Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat
zalim.” [76]
Rasyid Ri«± menambahkan bahwa poligami
secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya
perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan.
Poligami hanya untuk kondisi darurat, seperti dalam situasi perang, selain itu
juga disertai syarat yang ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa dan
ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan
manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami.[77]
Rasyid Rida juga melihat poligami sebagai
persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi
perlu pertimbangan multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup
persoalan watak dan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana
hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu juga terkait
dengan keseimbangan jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan, problem
kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau
sebaliknya; atau posisi kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut
sejarah perkembangan manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki
satu pasangan (istri). Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana
konsepsi Alquran mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan
agama dan sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukh¡ah (dispensasi)
yang dibolehkan dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang
ketat.
Berpijak dari pertimbangan dan sudut pandang di
atas Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada prinsipnya kebahagiaan dalam suatu
perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya dapat dibangun oleh suami yang
hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang semestinya dibangun oleh semua
orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami sendiri sebetulnya bukanlah
potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya dipraktikkan dalam jumlah terbatas
oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.[78]
Meskipun demikian Rasyid Rida juga memaklumi
bahwa poligami tetap punya sisi positif (maslahat), baik bagi individu maupun
kolektif. Sebagai contoh kasus, pada pasangan yang tidak dikaruniai
anak, suami terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan
keturunan akibat mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri
mengalami sakit parah atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak
memungkinnya untuk melayani suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang
jika tidak dapat dicarikan solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan
suami kepada perbuatan zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah
manakala terjadi ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki,
seperti kondisi yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan
dan beberapa negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras
menghidupi keluarga dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat
dengan tingkat resiko yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis
bahwa pembolehan poligami ini tak jarang disalahgunakan sebagian
kaum laki-laki (suami) hanya untuk melampiaskan keinginan biologisnya tanpa memperhatikan
upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena itu, sejatinya rumah
tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami hanyalah sebagai rukhsah (keringanan),
bukan anjuran apalagi kewajiban.[79] Selain itu,
pembolehannya pun lebih cenderung dihubungkan pada situasi dan kondisi darurat
yang bernuansa sosiologis.[80]
Melengkapi penjelasannya di atas, Rasyid Rida
sekali lagi menekankan bahwa poligami merupakan penyimpangan dari prinsip dan
idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang (sak³nah,
mawaddah wa ra¥mah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga.
Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri yang tidak membangun
pondasi-pondasi luhur tersebut dan pasangan yang berorientasi
kepuasan biologis semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang Muslim
menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai keyakinan
mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sak³nah, mawaddah wa
ra¥mah.[81]
Pendapat dari sudut yang lain namun tetap
senafas dengan dua tokoh di atas dikemukakan oleh Qasim Amin (1865-1908), ia
membenarkan bahwa ayat 3 surat an-Nisa itu sepintas mengisyaratkan kebolehan
poligami, namun sebenarnya sekaligus tersirat ancaman bagi pelaku poligami.
Pada hakikatnya seorang suami yang akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya
sebenarnya tidak mampu berlaku adil. Jadi sebelum melakukannya, ia sudah
diliputi perasaan takut (khawatir). Oleh karena itu kebolehan poligami hanya
ditujukan bagi orang-orang tertentu yang sangat yakin bahwa dirinya tidak akan
terjerumus dalam prilaku tidak adil, dan yang tahu persis tentang hal ini hanya
Tuhan dan dirinya sendiri.[82]
Sementara Ahmad Mustafa al-Maragi (w. 1952)
berpendapat bahwa kebolehan yang disebut pada surat an-Nis±’ :3
tersebut merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya,
poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Poligami, katanya, hanya dapat
dilakukan jika dalam kondisi sebagai berikut: pertama, istrinya terbukti mandul
sementara pasangan suami-istri ini sangat menginginkan keturunan;
kedua, suami memiliki libido seks yang sangat tinggi, sementara istri tidak
sanggup melayaninya; ketiga, suami memiliki kekayaan yang mampu menopang segala
kebutuhan istri dan anak-anaknya; keempat, kuantitas wanita lebih banyak
dibandingkan pria akibat peperangan, sehingga banyak anak yatim dan janda yang
perlu dilindungi. Seperti halnya Abduh, dalam persoalan ini al-Maragi juga
mengacu kepada kaidah fiqhiyyah dar’ al-Maf±sid muqaddam
‘ala jalb al-ma¡±li¥ di atas.[83] Mengenai
pengertian adil pada ayat 129 surat an-Nis±’, menurut al-Maragi yang
dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan kemampuan manusia, seperti
dalam hal memberi fasilitas sandang, pangan, dan tempat tinggal,
sedangkan dalam hal cinta (kecenderungan hati) maka hal itu di luar kemampuan
manusia.[84]
Berdasarkan pendekatan fikih dan perspektif
tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas bahwa poligami adalah hal yang
legal menurut doktrin hukum Islam konvensional, oleh karena itu pelarangan dan
kriminalisasi terhadap poligami merupakan deviasi dari ketentuan doktrin
“Syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh sejumlah mufasir modern di atas
tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik poligami
dan mencegah efek negatif dari penyalahgunaan poligami dalam masyarakat.
Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah negeri
Muslim untuk memberlakukan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik poligami
di dalam Undang-Undang mereka.
E. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum
Keluarga Negara-negara Muslim Modern
Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di
negara-negara Muslim modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum
Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan
tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya dalam masalah poligami. Aturan
fikih konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau
kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada
upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara umum ketentuan (perundang-undangan)
berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern, dikaitkan aturan
poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama, negara-negara yang
sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua,
negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif
ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia.
Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar,
seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar.[85]
Dari ketiga kategori tersebut, kategori kedua
menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan
poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling
lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di Libanon,
berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani
pada tahun 1917,[86] poligami tidak dilarang namun
diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh
berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang
berlaku di sana.[87]
Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan
pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan
perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi
dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan
atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri.
Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun
1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977.[88] Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU
Status Pribadi Maroko tahun 1958.[89]
Di samping itu, ada pula yang mempersyaratkan
kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya, diatur dalam pasal 3 ayat
(1) dan (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun
1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk
beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya
mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No.
10 tahun 1983, poligami praktis dilarang.[90] Hal
yang hampir sama berlaku di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan
setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang
dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan,
dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.[91]
Seperti yang tampak pada contoh yang terakhir
disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori perbuatan yang
dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian negara-negara
Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum Keluarga
mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal tercatat
8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap
masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut
adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia,
dan Indonesia.
Khusus mengenai tiga negara pertama secara garis
besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
Di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi
(berpoligami) maka wajib memenuhi dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon
istrinya bahwa ia sudah beristri. 2) Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran
atas salah satu hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan
Hukum Keluarga yang berlaku di Iran, poligami yang dilakukan dengan
memalsukan keterangan atau tanpa pemberitahuan kepada calon istri tentang
eksistensi perkawinan sebelumnya, dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman
penjara 6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku
poligami tanpa izin Pengadilan.[92]
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan
berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis
Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan
mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.[93]Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin
lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a)
wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo
(cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar,
maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar
keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka
pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan
denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.[94]
Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami (beristri
dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang
dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan
tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau
penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit
tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga.[95] Meskipun
tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam pasal-pasal
yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun
Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait
pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan
perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya mengenai
bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda
maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus.[96] Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di
Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat
dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hokum.
Adapun mengenai kriminalisasi poligami dalam
Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang menjadi
model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan
berikut:
1. Turki
Secara geografis, Republik Turki (Turkiye
Cumhuriyeti) yang didirikan pada 29 Oktober 1923 ini terletak di kawasan
Asia Kecil (97%) dan Eropa Tenggara. Di bagian barat berbatasan dengan Laut
Aegean dan Yunani, dan di bagian Barat Laut berbatasan dengan
wilayah Bulgaria. Di utara berbatasan dengan Laut Hitam. Di bagian Timur
Laut berbatasan dengan Georgia, di bagian timur berbatasan
dengan Armenia, dan di bagian tenggara berbatasan
dengan Iran dan Irak. Sedangkan di selatan berbatasan
dengan Syria dan Laut Tengah. Luas wilayah Turki meliputi 755.693 km2
di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan 23.763 km2 di Eropa Tenggara,
sehingga luas keseluruhan Turki adalah 779.456 km2.
Berdasarkan sensus 21 Oktober 1990, populasi
penduduknya mencapai 56.473,035 jiwa yang menempati wilayah seluas 779, 456
km2. Mayoritas penduduk Turki adalah Muslim, sebagian besar beraliran Sunni,
namun diperkirakan di sana juga terdapat sekitar 10 hingga 20 juta Muslim
Syi’ah. Sedangkan sisanya adalah Yahudi, Ortodok Yunani, Ortodok Armenia,
dan Kristen Assyria.[97]
Sebagai sebuah negara pengganti yang tercipta
dari reruntuhan Kesultanan Usmaniyah pasca Perang Dunia I, Turki menjadi negara
sekular pertama di Dunia Muslim. Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah
sistem hukum sekular berdasarkan aturan–aturan hukum Barat, serta
pendeklarasian sebuah republik sekular pada 1928, merupakan penyimpangan
radikal dari tradisi.[98]
Sebelum lahirnya kebijakan legislasi
undang-undang--yang dikodifikasi secara eklektikal, mazhab Hanafi merupakan
mazhab utama yang mendasari kehidupan keberagamaan tradisional Turki hingga
tahun 1926. Adalah Undang-Undang Sipil Islam yang dikenal dengan Majallat
al-ahkam al-‘adliyyah, sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi
yang telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876, sekalipun belum memuat hukum
keluarga dan hukum waris di dalamnya. Hukum mengenai perkawinan dan perceraian
sebagian dibuat pada tahun 1915 dan dikodifikasi pada tahun 1917. Revolusi
politik di negara tersebut menyebabkan kehancuran Dinasti Ottoman sekaligus menghapus
kekhalifahannya. Baik UU Sipil Islam 1876, berbagai hukum keluarga
yang diberlakukan pada tahun 1915 dan tahun 1917, maupun hukum waris
mazhab Hanafi non-kodifikasi, semuanya diganti oleh UU Sipil baru yang
komprehensif yang diberlakukan pada tahun 1926.[99]
Berdasarkan the Turkish Civil Code 1926,
poligami sama sekali dilarang dan jika terjadi maka perkawinan tersebut
dinyatakan tidak sah. UU Turki tersebut melarang perkawinan lebih dari satu
selama perkawinan pertama masih berlangsung. Pasal 93 menegaskan bahwa seorang
tidak dapat menikah, jika dia tidak dapat membuktikan bahwa perkawinan yang
pertama bubar karena kematian, perceraian, atau pernyataan pembatalan. Kemudian
dalam pasal 112 (1) dikemukakan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan tidak
sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat
menikah.[100]
Ketentuan di atas juga dipertegas dalam the
Turkish Family (Marriage and Divorce) Law of 1951. Dalam pasal 8
disebutkan:[101]
“No person shall marry again unless he proves to
the satisfaction of the Court that the former marriage has been declared
invalid or void or has been dissolved by divorce or the death of the
other party.”
Selanjutnya dalam pasal 19 (a) dinyatakan:
“A marriage shal be declared invalid where:
(a) at the date of the marriage one
of parties is already married;”
Meskipun Turki tidak secara eksplisit
menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa
perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).[102]
Dari ketentuan kriminalisasi praktik poligami di
atas tampak jelas bahwa hukum positif yang berlaku di Turki telah mencitrakan
deviasi yang signifikan dari ketentuan mazhab Hanafi bahkan hukum
Islam (konvensional) dari berbagai mazhab yang ada. Ketidaksahan
poligami merupakan hal baru yang belum pernah diwacanakan oleh kalangan ulama
klasik.[103] Pembolehan poligami oleh Alquran
dalam kondisi tertentu telah dirubah oleh Muslim Turki. Alasannya, sebagaimana
dinyatakan oleh beberapa tokoh intelektual Turki, bahwa legalisasi Alquran atas
poligami merupakan “sebuah perbaikan besar terhadap praktik poligami tak
terbatas pada masa Arab pra-Islam melalui cara monogami.” Perubahan kondisi
sosial dan ekonomi di Turki telah membuat kondisi qur’ani poligami tidak dapat
direalisasikan.[104]
2. Tunisia
Tunisia merupakan negara berbentuk republik
yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini
menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar
98 %) adalah muslim Sunni,[105] bermazhab
Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab
tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang
pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan
yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah
dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian
pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun
memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada
tahun 1883.[106]
Langkah nasionalisme
bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang
dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi
(memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara
mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak
menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar
nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam
sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang
pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan
hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour.
Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya
pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba
sebagai presiden pertamanya.[107]
Setelah merdeka pada 20 Maret
1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi
hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan
pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum
keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang
kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib
Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami.[108] Majallat itu sendiri
mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang
berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan
selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun
1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi
lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981.
Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite
di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan
undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi
dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari
hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan
Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga
kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada
tahun 1956.[109]
Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal
yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum
memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami
tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini
diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa
modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.
Ada sejumlah alasan pembentukan dan
pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:[110]
1) Untuk
menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2) Untuk penyatuan
pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3) Untuk membentuk
undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4) Untuk menyatukan
pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari
mazhab klasik;
5) Untuk
memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua
warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan
Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU
baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah
kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.[111]
Berkaitan dengan kriminalisasi poligami
di Tunisia, pasal 18 menyatakan:
a. Poligami
dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya
benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama
satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b. Siapa yang
telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun
1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak
pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan
hukuman yang sama.
c. Siapa
yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman,
menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman
yang sama.[112]
UU mengenai Status Perorangan tahun
1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang.
Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain dalam
Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang
istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa
[4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu
(Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan
tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan
alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja
dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang
dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang
dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.[113]
Ada dua alasan yang
dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak
dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam,
tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua,
bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri,
sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya.[114]
Sebelum kehadiran hukum ini para kadi
di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab
Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang
hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua
orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi
orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua
jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden
Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa
lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani
manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan
hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat
ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia
untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya
dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan
pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.[115]
Selain itu, para reformis
di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus
memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga
mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan
Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral,
namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak
satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti
dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan
adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya
sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami
tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan
“poligami adalah dilarang.” [116]
Tunisia dapat dianggap contoh terdepan
bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang
dinyatakan sebagai hak negara Muslim, lewat penguasanya, untuk
berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU
Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran
ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan
keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta
dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil
kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi
sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak
mungkin memenuhi persyaratan Alquran.[117]
Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan
menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman,
bukan berarti telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih
dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885
sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris,
meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis melakukan
kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal
di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka
memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia.
Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah
kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang
kemudian melahirkan Khalduniyyah Colleg yang menjadi pusat gerakan ”The
Young Tunisians”.[118]
Jadi terobosan yang
dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi
“fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan
di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.
3. Irak
Irak merupakan negara yang menganut sistem hukum
campuran yang diinspirasi dua aliran, fikih Sunni dan Syi‘i, sebagai landasan
hukum yang diterapkan di Pengadilan Syariah. Pada abad
ke-17, Iraq yang merupakan tempat lahirnya mazhab
Hanafi, masih berada di bawah kekuasaan dan hukum Imperium Ottoman. Mulai 1850
sejumlah hukum sipil, pidana, dagang, diadopsi oleh Imperium Ottoman
berdasarkan model Eropa (terutama Perancis), namun Undang-Undang OLFR yang
diberlakukan pada tahun 1917 tersebut tidak pernah dimplementasikan di Irak
akibat hilangnya pengaruh imperium dan hadirnya kekuatan Inggris di sana.
Pemerintahan Inggris sendiri tidak mengadopsinya dikarenakan tidak mencitrakan
hukum dan adat setempat di samping dalam realitasnya Irak dipengaruhi oleh
hukum Sunni dan Syi‘i dalam proporsi yang berimbang.Pada tahun 1921,
Raja Faisal mendirikan sebuah kerajaan monarki Irak dengan kemerdekaan penuh
diraih pada 1932. Melalui sebuah kudeta militer
pada tahun 1958 kerajaan monarki akhirnya digantikan dengan berdirinya republik
Irak.[119]
Hukum yang berhubungan dengan poligami
sebagaimana yang diberlakukan saat ini di
Irak terdapat dalam the Iraqi Law of
Personal Status 1959 senada dengan Amendment Law 1963 yang
memodifikasi pasal 13 dari Undang-Undang tersebut. Menurut pasal 4 dan 5,
seorang pria yang ingin menikah lagi (bigami) harus meminta izin dari
Pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin kepadanya berdasarkan tiga syarat:
pertama, ia harus memiliki kemampuan finansial menafkahi lebih dari satu orang
istri sekaligus; kedua, terdapat kepentingan yang sah secara hukum
(kemaslahatan syar‘i) melalui perkawinan kedua; ketiga, tidak ada kekhawatiran
terjadinya perlakuan tidak adil terhadap para istri.[120]
Setiap pria yang berpoligami namun tidak dapat
memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijatuhi hukuman
penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 dinar; atau kedua-duanya
(pasal 6). ketentuan-ketentuan pasal 4 dan 5 dipandang tidak berlaku
bagi mereka yang berpoligami dimana wanita yang dinikahinya tersebut adalah
janda. Sedangkan dalam pasal 7 ditegaskan bahwa bagi mereka yang
menikah (berpoligami) tanpa ada izin dari pengadilan akan dijatuhi
hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun.[121]
Jika diperhatikan dari ketentuan pasal di atas,
dapat dikatakan pada prinsipnya ketentuan tersebut merupakan pengembangan lebih
jauh dari pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i[122] yang
dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami.
Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami
yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda.[123]
4. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di
AsiaTenggara dengan wilayah territorial berada di bagian Selatan semenanjung
Melayu dan bagian Utara pulau Kalimantan. Negara federasi dengan ibu kota Kuala
Lumpur ini meliputi 13 negara bagian: 11 negara bagian
Semenanjung Melayu dan 2 negara bagian Sarawak dan Sabah di
Kalimantan, dengan populasi penduduk 21.169.000 jiwa (sensus 1996) terdiri dari
58 % etnis Melayu dimana hampir keseluruhannya adalah beragama Islam, 27 %
etnis Cina, 8 % etnis India, dan sisanya etnis pribumi (suku asli).[124]
Sebelum kehadiran penjajah, hukum yang berlaku
di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat.[125] Namun selama masa pemerintahan
kolonial Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif
lokal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi
lembaga peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi
adiministrasi institusi social-legal Islam diberlakukan di
seluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum
waris. Kondisi ini terus berlanjut di saat Malaysia memperoleh
kemerdekaannya.[126]
Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya,
konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun
1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Di negeri yang
bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara
resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri
Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara
bagian, Sabah dan Sarawak, penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang
memiliki jumlah penduduk Muslim lebih sedikit dari Sarawak, memakai
adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan
Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di
Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.[127]
Dalam konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya
di rantau Asia Tenggara—boleh jadi malah skup Dunia
Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara pertama melakukan
langkah ini, ditandai oleh lahirnya Mohammedan Marriage
Ordinance, No. V Tahun 1880 di negara-negara Selat (Pulau Pinang,
Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah negara-negara Melayu
Bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration
of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi
negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan,
Terengganu, Perlis, Kedah, dan Johor), yang dipelopori oleh Kelantan
adalah The Divorce Regulation Tahun 1907.[128]
Namun demikian, jika dilihat dari era pasca
berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh Dunia,
perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa kali
pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung pada
tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan
pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic
Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri
Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan
wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang.[129] Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga
terjadi di Terengganu (1985), Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor
(1990), Sarawak (1991), Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18
tahun 1992.[130]
Mengenai kriminalisasi poligami dalam hukum
positif di Malaysia, antara lain tergambar dalam UU Hukum
Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123
disebutkan:[131]
Any man who, during the subsistence of a
marriage, contracts another marriage in any place without the prior permission
in writing of the court commits an offence and shall be punished with a fine
not exceeding one thousand ringgit or with imprisonment not exceeding six
months or with both such fine and imprisonment.
Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang
masih terikat dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah
mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi mereka yang melanggar ketentuan
ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal
6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus.
Pemberian izin poligami oleh pengadilan amat
terkait dengan hasil pertimbangan institusi tersebut terhadap keterangan yang
diberikan pemohon dan para istri yang lebih dahulu dinikahinya. Dasar
pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin poligami berkaitan dengan
kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2)
Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja
tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan
pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung
istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3)
Perkawinan itu tidak menyebabkan «ar±r syar‘i (bahaya bagi
agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda) istri yang telah lebih
dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat
istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau
tidak.[132]
Secara umum Hukum
Keluarga Malaysia tampaknya masih berpegang pada konsepsi
mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami.
Ditetapkannya sejumlah alasan poligami terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih
mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara
peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami
merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan
memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran
baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan langkah perlindungan
pada kaum wanita juga menjadi bagian inheren dari alasan dasar ditetapkankannya
pasal-pasal tersebut.
Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di
Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan
poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas
pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial
Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat
mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan
institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut
(Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk
menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan
laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan
dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan
memperoleh izin dari Pengadilan Agama.[134] Meskipun
hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya
tidaklah mudah, secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak
tersebut secara sewenang-wenang.[135]
Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam
Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991.[136] Pengadilan dalam hal ini memainkan peran
penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian
baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak
yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku
poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.[137] Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas
pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau
denda maksimal Rp. 7.500,-.[138]
Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat
dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang
ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau
atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu
hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin
PNS.[139]
Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No.
1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya tidak
bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i.
Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang
ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami yang
diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dan
dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri
yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum
ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan memberikan
perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan
Sunnah Rasul.
Meskipun kini perkawinan poligami telah dan
agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas
hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor
penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp.
7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini.
Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain
itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional
versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih
berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa
khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam
“produk negara”. Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun
cukup berat namun disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.
Sebelum kedatangan Islam, poligami sudah dikenal
di kalangan mayoritas bangsa-bangsa kuno. Ia dibolehkan dan telah
dipraktikkan di Mesir, Persia, Cina, dan kalangan masyarakat Yahudi
(ajaran hukum Nabi Musa). Dalam agama Kristen, meskipun Perjanjian Baru
mengabsahkan monogami sebagai bentuk ideal perkawinan, tidak ada secara
eksplisit melarang poligami selain terhadap uskup dan pembantu
gereja. Para tokoh agama Kristen era awal tidak menemukan keperluan
mengutuk poligami karena monogami adalah hal biasa di kalangan masyarakat sebagaimana
diajarkan dalam agama Kristen. Bahkan, tak satupun lembaga gereja di abad awal
yang menyalahkan poligami, jadi tidak ada halangan mempraktikkannya.
Sebaliknya, banyak tokoh agama membicarakan poligami dengan nuansa
penuh toleransi. Sebagai contoh, Saint Augustine sama sekali tidak
pernah menyalahkan poligami, begitu pula Martin Luther, menyetujui perkawinan
bigami yang dilakukan Philip Hesse. Hingga abad ke-16, sejumlah tokoh reformis
Jerman menerima sahnya perkawinan yang kedua kali, bahkan perkawinan ketiga.
Pada tahun 1650, beberapa tokoh Kristen memutuskan seseorang boleh menikahi dua
orang perempuan.[141] Lebih belakangan,
ditemukan doktrin sekte Brigham Young’s Mormon, yang mengabsahkan
praktik poligami hingga tahun 1880-an, saat Konggres Amerika Serikat mensahkan
sebuah resolusi larangan praktik poligami.[142] Poligami
juga merupakan bagian dari kebiasaan di kalangan suku-suku Afrika
dan Australia. Begitu pula dengan hukum perkawinan Hindu yang tidak
membatasi jumlah istri yang boleh dimiliki oleh seorang laki-laki.[143]
Singkatnya, dalam masalah praktik poligami,
orang-orang Kristen tidaklah sebanyak orang Yahudi ataupun Muslim. Namun,
penting untuk ditekankan bahwa ajaran Kristen tidak pernah mengintrodusir
monogami kepada dunia Barat, juga tidak pernah mengukuhkan perlunya
mereformasi masyarakat. Tampaknya monogami hanyalah bentuk legal dari
perkawinan di masyarakat Barat dimana agama Kristenlah yang pertama kali
diperkenalkan. Hal ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa tradisi
kuatnya monogami formal merupakan hal yang lazim di Yunani dan Roma. Selain
itu, kenyataannya ajaran Kristen telah mengakar di kalangan masyarakat kelas
atas tempo dulu, yang bukan saja tidak berpoligami, namun lebih jauh mereka
mendukung monogami.[144]
Gambaran historis di atas perlu dikemukakan
untuk melihat rentang sejarah praktik poligami di masyarakat Dunia dan
sejauhmana titik hubungnya dengan perkembangan di Dunia Barat era
modern. Tak dipungkiri bahwa negara-negara Barat, era modern, sama
sekali menolak keberadaan poligami dalam kehidupan institusi keluarga mereka.
Hal ini ditunjukkan dan dikukuhkan oleh produk hukum negara mereka yang secara
umum menempatkan poligami sebagai sesuatu yang illegal atau malah dianggap
sebagai perbuatan kriminal. Ketentuan yang sama berlaku bagi komunitas lain
yang menetap di negara Barat yang diikat keharusan tunduk pada ketentuan UU
di sana. Namun demikian seiring semakin meningkatnya jumlah komunitas
Muslim dan keberadaan mereka yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Barat
perlahan menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah negara Barat dalam
merespon kepentingan seluruh elemen masyarakatnya. Bahasan ini akan mencoba
menyoroti, dan membatasi hanya pada beberapa contoh negara Barat seperti
Perancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
Di Perancis, suatu perkawinan menurut tata cara
Islami tidak memiliki kekuatan hukum apabila perkawinan tersebut mengambil
tempat di wilayah Perancis. Poligami tidak hanya menjadi halangan untuk
mendapat nasionalisasi Perancis namun pasal 147 Civil Code Perancis
secara khusus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi perkawinan kedua kecuali
jika perkawinan pertama telah bubar. Sebagai akibatnya, meskipun pasangan suami
istri tersebut berasal dari negeri yang mengizinkan poligami, tidak ada lembaga
poligami dapat secara legal diakui di Perancis. Perkawinan kedua sama sekali
dinyatakan batal. Atas dasar inilah pengadilan beberapa kali menolak
kepentingan wanita muslim tinggal di Perancis dalam ikatan perkawinan poligami.
Pada tahun 1992, misalnya, Cour d’Appel de Versailles (Pengadilan
Banding) menolak jaminan keamanan sosial bagi istri kedua dari
suaminya yang muslim dan pada tahun 1988 Cour d’Appel d’Aix-en-Provence juga
menolak pemberian hak tunjangan cerai seorang wanita muslim dengan alasan bahwa
dia istri kedua dan bahwa poligami dianggap bertentangan dengan tatanan
(ketertiban) publik Perancis.
Namun demikian, jika upacara secara Islami itu
diadakan di negeri asal pasangan suami-istri tersebut, perkawinan itu dianggap
memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak
menyalahi tatanan publik Perancis. Cour de Cassation berulang
kali menegaskan bahwa poligami bukanlah pelanggaran pokok dari aturan publik
Perancis menurut adat tradisi mereka, sekalipun lembaga yang sama
dinyatakan sama sekali tidak sah jika dilangsungkan di Perancis. Sebagai
konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang
wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa
melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Apabila istri pertama
telah menerima fasilitas keamanan sosial, maka istri kedua tidak dapat
menuntutnya juga, sekalipun istri pertama tidak lama hidup di Perancis. Oleh
karena itu, para suami muslim dipaksa untuk membayar nafkah anak meskipun anak
tersebut berasal dari buah perkawinan secara agama bukan melalui upacara sipil.
Hingga tahun 1980, reunifikasi keluarga poligami
dilarang di Perancis: Pemerintah Perancis menolak kewarganegaraan penuh bagi
para istri dan anak-anak dari para suami yang telah lebih dahulu menetap di
Perancis dengan istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam kasus Montcho pada
tahun 1980, bagaimanapun juga, Conseil d’Etat untuk
pertama kalinya memberikan status kewarganegaraan penuh bagi istri kedua dari
seorang laki-laki Aljazair, suatu pemberian signifikan bagi hak penyatuan
kembali keluarga. Pengadilan beralasan bahwa, untuk tujuan terbatas fasilitas
keamanan sosial, poligami adalah sesuatu yang berbeda, tetapi
meskipun begitu format perkawinan sah. Yang jelas, pemerintah Perancis
bereaksi melawan ekspansi poligami di wilayah Perancis. Menurut UU baru yang
disahkan pada Agustus 1993, suatu perkawinan poligami tidak lagi memberi
hak suami untuk membawa istri keduanya dan anak-anak mereka ke Perancis.
Anak-anak hasil perkawinan poligami yang tinggal di luar negeri tanpa ayahnya
hanya dapat menghubungi ayahnya yang berada di Perancis di saat ibu mereka yang
berada di negeri asal telah meninggal dunia. UU 24 Agustus 1993 Pasal 30
selanjutnya menyatakan:
“Ketika seorang warga asing yang
berpoligami menetap di wilayah Perancis bersama istri pertamanya,
kepentingan/hak penyatuan keluarga kembali tidak dapat diberikan kepada
istrinya yang lain. Kecuali jika istri pertama tersebut meninggal dunia atau
kehilangan hak sebagai orang tua, anak-anaknya tidak mendapat hak dari
penyatuan kembali keluarga yang lain.”
UU ini dikritik oleh banyak organisasi imigran
karena dinilai memperlakukan wanita muslim secara tidak adil yang, berhadapan
dengan kemustahilan secara legal hidup bersama suami mereka, sering masuk ke
negara tersebut secara illegal dan kemudian ditempatkan pada posisi yang mudah
diserang/kritik.[145]
Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum
keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan
hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili.
Sebagai contoh, penerapan hukum dalam kasus perceraian pasangan Syria yang
perkawinannya dilangsungkan di Syria adalah didasarkan pada hukum
keluarga Islam atau Syria, termasuk tuntutan tunjangan bagi mantan istri
pasca perceraian. Hukum setempat hanya akan diterapkan dalam kasus tuntutan
nafkah anak atau kewarganegaraan yang majemuk dari pihak tertentu.
Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi
Jerman yang terkemuka, sebagaimana diatur oleh § 1306
BGB. Oleh karena itu, tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami
secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan
perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada
suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap
perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh
fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya
pemeliharaan anak.
Adapun mengenai hak menyatukan keluarga kembali
(reunifikasi), OVG Nordrhein-Westfalen menetapkan bahwa
seorang wanita Muslim Yordania tidak berhak berkumpul dengan suami dan istri
pertama di Jerman. Dalam kasus yang sama, beberapa pengadilan menetapkan bahwa
para istri (poligami) tidak punya hak untuk berkumpul dengan suaminya di
Jerman, sekalipun suatu ketika mereka berada (tinggal) di negeri itu dengan
suami mereka, penuntutan tidak bisa diajukan karena poligami tidak
dianggap sebagai perbuatan melawan tata aturan publik Jerman.[146]
Berbeda dengan kedua negara di atas, Inggris
cenderung memberlakukan kebijakan yang lebih tegas. Dari potret historis, dapat
dikatakan sampai tahun 1604, tidak ada satu pun UU Inggris yang
mendefinisikan dan menetapkan hukuman bagi bigami/poligami sebagai perbuatan
kriminal. Hukum Inggris mengenai hal ini lebih terkebelakang dari hukum Skotlandia,
yang lebih dahulu pada tahun 1551 menyatakan bigami sebagai sebuah perbuatan
kriminal yang dapat dijatuhi hukuman ancaman sumpah palsu, penyitaan harta
harta, kurungan, dan perlakuan buruk (siksaan). Melalui UU Inggris 1604, yang
menjadi contoh hukum-hukum Inggris dan Amerika Serikat di kemudian
hari, ditegaskan bahwa siapa saja yang melangsungkan perkawinan
dalam wilayah Inggris atau Wales, sementara suami atau istri pertamanya masing
hidup, dinyatakan sebagai kesalahan/kejahatan pidana perkawinan.
Sedangkan UU Inggris 1861, yang berlaku
sekarang, hanya membebaskan perkawinan kedua dari hukuman jika salah satu
pasangan (suami/istri) raib selama 7 tahun berturut-turut, dan pasangan yang
menikah lagi tidak tahu bahwa suami atau istrinya ternyata masih hidup pada
saat itu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini menurut UU dapat dijatuhi hukuman
maksimal 7 tahun dan minimal 3 tahun atau kurungan tidak lebih dari 2 tahun.
Bigami merupakan tindakan kriminal menurut UU, jika dilakukan oleh orang Inggris,
maka kapanpun dapat diambil tindakan.
Tidak jauh berbeda dengan sikap hukum Inggris,
boleh jadi turut dipengaruhi oleh ikatan sejarah kedua negara, Amerika Serikat
memberlakukan larangan poligami di wilayahnya, kecuali jika salah satu pasangan
dinyatakan hilang (tidak diketahui rimbanya) selama 5 tahun, tidak diketahui
apakah ia masih hidup dan diyakini ia telah meninggal dunia, atau terjadi
perceraian, atau penghapusan/pembatalan oleh pengadilan [menyangkut]
perkawinan yang sebelumnya. Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelakunya
adalah berupa denda maksimal 500 dolar dan penjara tidak kurang dari 5 tahun.[147]
Beberapa kitab UU dari sejumlah negara (bagian)
Amerika Serikat berisi hukum–hukum yang dibuat atas, dan dengan
peraturan-peraturan yang lebih kurang sama dengan, UU hukum Inggris 1604, dan
mendefinisikan bigami, atau dalam per-UU-an beberapa negara bagian disebut
poligami, sebagai suatu perbuatan kriminal. Tadinya oleh
hukum Virginia dan hukum North Carolina, pelaku bigami dijatuhi
hukuman mati. Sekarang hukuman poligami di Virginia adalah
dipenjara maksimal 8 tahun dan minimal 3 tahun. Sedangkan
di North Carolina maksimal 10 tahun dan minimal 4 bulan. Di New York
hukumannya maksimal 5 tahun, dan masa raib [yang] membebaskan perkawinan
yang kedua ditetapkan lima tahun, istri atau suami terdahulu yang raib dari
pasangan yang menikah lagi tanpa diketahui olehnya (suami/istri) pada waktu itu
masih hidup dan yang diyakininya (suami/istri) telah mati. Perceraian
(kecuali jika untuk menggagalkan satu pihak untuk kawin kembali) mendapat izin
pengadilan, atau pembatalan perkawinan sebelumnya, atau hukuman penjara
terhadap suami atau istri juga dapat membebaskan kawin lagi. Raib, karena itu,
tidak membatalkan perkawinan sebelumnya, atas dasar bukti bahwa suami atau
istri yang telah dinyatakan meninggal dunia ternyata masih hidup, perkawinan
kedua dapat dihukumkan batal. Tidak ada hukum atas sangsi bagi
bigami yang mengakui dua perkawinan sah secara bersamaan/ dalam waktu yang
sama. Menurut hukum New York, perkawinan yang terdahulu berhenti mengikat
hingga salah satu dari 3 pihak pada dua perkawinan memperoleh suatu keputusan
hukum yang menyatakan perkawinan kedua tidak berlaku lagi.[148]
G. Analisa Komparatif
Dari uraian di atas dapat diperoleh
pemahaman bahwa secara vertikal, langkah kriminalisasi poligami
kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu keberanjakan Hukum
Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Keberanjakan tersebut
bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung memakai metode extra-doctrinal
reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan larangan mutlak
terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sebagian
sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai
hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang ada. Demikian
pula Tunisia mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan
dalam bentuk yang lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab,
baik mazhab mayoritas di kedua negara tersebut (Hanafi untuk Turki
dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab lainnya paling tidak dalam masalah
poligami telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang
dititikberatkan pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
UU Irak pada prinsipnya ia merupakan
pengembangan pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan
dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian
poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang
dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih
berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal
kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh
konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya
fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan
kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang
bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan
poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah
poligami dan semakin tingginya perhatian terhadap hak-hak kaum wanita juga
menjiwai penetapan dan pemberlakuan aturan kriminalisasi
poligami tersebut. Dengan demikian Irak, Malaysia, dan Indonesia,
dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya dalam persoalan
poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal sekaligus.
Secara horizontal, kecuali Turki, empat negara
lainnya memiliki kesamaan dalam hal bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada
pelaku poligami, yakni hukuman penjara dan atau denda. Tunisia, Irak,
dan Malaysia malah menetapkan kemungkinan penjatuhan hukuman penjara
dan denda sekaligus. Sementara Indonesia hanya memberlakukan hukuman
denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi petugas pencatat perkawinan
poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk
sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami
adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
Turki dan Tunisia merupakan pengusung
terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan poligami. Sedangkan
Irak, Malaysia, dan Indonesia mengambil arah kebijakan poligami
bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami sepanjang telah mendapatkan izin
dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh UU. Mengenai hal
yang terakhir ini, Malaysia dan Indonesia memiliki aturan
yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor kondisi/prilaku
baik dari suami maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh pengadilan.
Sedangkan Irak hanya mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam hal kemampuan
finansial dan adanya kebutuhan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i), di
samping dapat berlaku adil pada para istri. Irak punya ‘ciri khas’ lain dengan
mengecualikan kasus poligami bagi janda, suatu hal yang tak diatur baik dalam
Hukum keluarga Malaysia maupun Indonesia. Berbeda dengan Turki
dan Tunisia, baik Irak, Malaysia, maupun Indonesia, meskipun memberlakukan
sanksi hukum dalam poligami, namun tidak mengisyaratkan penolakan keabsahan
poligami yang dilakukan. Pada bagian lain, Tunisia dan Indonesia memiliki
kesamaan dalam hal penjatuhan sanksi yang dapat menjerat pihak diluar pelaku
poligami, suatu ketentuan yang tidak ditemukan baik pada Turki, Irak,
maupun Malaysia.
Secara diagonal, Tunisia tampak telah
beranjak paling jauh dan radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya
melalui pelarangan mutlak disertai hukuman bagi pelanggarnya. Kemudian menyusul
Turki dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi keabsahan perkawinan
poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia pada
prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni membolehkan
praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran Pengadilan
dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak agaknya
sedikit berada di bawah Malaysia karena sikapnya yang tampak lebih
longgar dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi pengizinan terhadap
poligami terhadap janda. Diikuti Indonesia, meskipun UU
perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut tidak terefleksi
pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan,
sehingga Indonesia dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling
lunak. Dengan demikian, dari sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga
hirarkisnya adalah Tunisia, kemudian Turki, Malaysia,
Irak, dan terakhir Indonesia.
Dari komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh
gambaran bahwa poligami mutlak dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal.
Inggris dan Amerika Serikat tampak tidak memberi sedikit pun ruang bagi
poligami, para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dan malah di Amerika
disertai dengan denda. Dibanding kedua negara tersebut, Perancis dan Jerman
relatif lebih moderat. Meskipun Perancis melarang dan menolak keabsahan
poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas sosial yang diberikan negara
bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di negeri asal pasangan
suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia
tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan
kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya
sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap
sah secara hukum. Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum
waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional
yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Monogami adalah
salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka sehingga tidak mungkin
memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan
Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara
hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami.
Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian
bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu
pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak. Di bagian lain, baik
Perancis maupun Jerman tetap melarang reunifikasi keluarga poligami.
Dari perbandingan sejumlah aturan hukum dan keputusan Pengadilan di
negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu hirarki dari sudut yang paling
tegas hingga relatif lunak adalah Inggris, Amerika Serikat,
Perancis, dan Jerman.
Dalam perspektif titik hubung antara Hukum
Keluarga di Dunia Islam modern dan hukum yang berlaku di Dunia Barat, khususnya
yang terkait dengan poligami, antara keduanya terdapat kemiripan—jika tidak
dapat dikatakan malah dipengaruhi. Sejumlah hal itu adalah asas monogami,
sanksi penjara dan denda, pelarangan dan penetapan poligami sebagai suatu
tindak kriminal, dan status perkawinan poligami yang dinyatakan invalid (tidak
sah). Fenomena Hukum Keluarga di Turki dan Tunisia sedikit banyak
merepresentasikan hal tersebut.
H. Penutup
Masuknya komponen kriminalisasi dalam masalah
poligami menjadi bagian inheren dalam reformasi Hukum Keluarga di negeri-negeri
Muslim modern. Ia menjadi bagian dari implementasi semangat dasar
Hukum Keluarga negara-negara Muslim modern yakni melindungi hak-hak dan
meningkatkan derajat kaum perempuan. Pengaruh pemikiran yang digagas dan
diprakarsai sejumlah tokoh cendikiawan Muslim modern dalam mereinterpretasi
sumber ajaran/nas menjadi sisi lain bagaimana negara dapat memberlakukan suatu
ketentuan keluar dari konsepsi khazanah klasik. Kolaborasi antara ijtihad yang
mengusung prinsip maslahat dan siyasah syariah menjadi trend penting dalam
pembangunan dan penerapan Hukum Islam di negeri Muslim modern.
Disadari bahwa kajian ini masih berada dalam
lapisan apa yang digariskan dalam Undang-Undang di sejumlah negeri Muslim
modern. Seberapa jauh UU tersebut berlaku efektif di lapangan dan bagaimana
sesungguhnya yang terlaksana di masyarakat belum dapat terjawab oleh kajian
ini. Memperhatikan kekurangan tersebut, studi tersendiri dan tajam otomatis
menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan.
[1]Pemilihan ke lima negara ini
sebagai model lebih didasari pada pertimbangan subyektifitas penulis, dengan
memperhatikan tingkat variasi dan relevansinya dengan topik yang diangkat
(kriminalisasi praktik poligami). Selain itu penulis juga berupaya menghindari
pengulangan seminimum mungkin dari tulisan-tulisan penulis lain sebelumnya.
[2] Identifikasi ini
berpijak dari hasil telaah penulis terhadap sejumlah UU/ Hukum Keluarga
Negara-negara Muslim. Sumber rujukan yang digunakan adalah dua karya Taher
Mahmood, yaitu Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi
PVT, Ltd., Bombay, 1972, dan Personal Law in Islamic Countries
(History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New
Delhi, New Delhi, 1987.
[4] The Marriage
Law 1931-1937 Pasal 3.
[5] Child Marriage
Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8
/1961) Pasal 4.
[6] Ibid., Pasal
5.
[7] Ibid., Pasal
6 ayat (1).
[8] Ibid., Pasal
12 ayat (5).
[9] Family
Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49.
[10] The Code
Personal 1959 Pasal 9 (2).
[11] Islamic Family
Law (Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984) Pasal 37.
[12] Ibid.,.
[13] The Family Code
1975 (UU No. 23/1975) Pasal 15.
[14] Muslim Marriage
and Divorce Act 1951 Pasal 80 ayat (1).
[15] Ibid., Pasal
80 ayat (2).
[16] Ibid., Pasal
87
[17] Peraturan
Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2).
[18] The Marriage
Law 1931-1937 Pasal 1
[19] Family
Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49. Di antara bentuk perkawinan yang
bertentangan dengan UU ini adalah perkawinan yang melanggar ketentuan usia
minimal dan selisih usia calon mempelai, bigami tanpa izin Pengadilan setempat.
[20] The Code of
Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No. 25
/1977) Pasal 17 ayat (3).
[21] Hal ini tampaknya
dilatarbelakangi oleh keberadaan komunitas Muslim yang relatif signifikan
di sana. Atas dasar itu pulalah penulis cenderung
memasukkan Srilanka dalam daftar negara-negara Muslim yang dibahas dalam bagian
ini, tentu dalam konteks pemberlakuan sanksi dalam Hukum Keluarga Muslim.
[22] Muslim Marriage
and Divorce Act 1951 Pasal 79.
[23] Ibid., Pasal
81 poin (a), (b), dan (c).
[24] Ibid., Pasal
82.
[25] Ibid., Pasal
83
[26] Ibid., Pasal
85
[27] Ibid., Pasal
86
[28] The Code
Personal 1959 Pasal 10 ayat (5)
[29] Ibid., Pasal
10 ayat (5)
[30] Dowry
Prohibition Act 1980 dan Amandemennya (Ordonansi No. 64/ 1984) Pasal 3
dan 4
[31] Dowry and
Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dan amandemennya Ordonansi
No.36 /1980 Pasal 9 ayat (1). Disebutkan dalam pasal ini bahwa Jika
orang tua dari pihak mempelai pria melanggar atau gagal memenuhinya tersebut
terdiri dari ayah dan ibunya maka yang dikenakan hukuman adalah sang ayah saja.
Sedangkan jika pihak orang tua pria hanya ibunya maka cukup dikenakan denda,
bukan hukuman penjara.
[32] The Marriage
Law 1931-1937 Pasal 1.
[33] Islamic Family
Law (Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984) Pasal 124
[34] Law on Personal
Status 1929 dan Amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A
[35] The Muslim Laws
Ordinance 1961 (Ordinance No.8/1981) dan amandemennya (Ordonansi No.
21 & 30/1961) Pasal 7 (2)
[36] The Code of
Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No.25/1977) Pasal 101.
[37] Muslim Marriage
and Divorce Act 1951 Pasal 79
[38] Code of
Personal Status 1956-1981 Pasal 53 A
[39] Law on
Protection of Women’s Right to Inheritence 1959 Pasal 5
[40] Muslim Marriage
and Divorce Act 1951 Pasal 92
[41] Tim
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001, hlm. 600.
[42] Andi Hamzah, Asas-Asas
Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 5. Secara umum hukum
pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat
tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Secara kusus hukum pidana—sebagai
bagian dari hukum publik—memiliki sejumlah fungsi, yakni (1) melindungi
kepentingan umum dari perbuatan yang bersifat menyerang atau memperkosa
kepentingan hukum tersebut; (2) memberi dasar legitimasi bagi negara dalam
rangka menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum; dan (3)
mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka melaksanakan fungsi
perlindungan atas kepentingan hukum. Lihat Satochid Kartanegara, Dasar-Dasar
Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm.7.
[43] William
Morris, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language,
Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979, hlm. 1016.
[44] Ibid.
[45] Ibid., hlm.
542.
[46] Ibid., hlm.
1016.
[47] Tim
Depdikbud, op. cit., hlm. 885.
[48] Poligini adalah
sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita
sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poliandri adalah sistem
perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu
orang dalam waktu yang bersamaan. Lihat Ibid. Dalam pada itu
terdapat pula istilah lain yang dikenal dengan bigami (bi dan gamous),
yaitu beristri atau bersuami dua dalam waktu bersamaan. Dalam konteks hukum Islam,
istilah bigami lebih ditujukan bagi istilah wanita yang bersuami dua yang
secara absolut sama seperti poliandri dalam praktinya dilarang oleh Islam.
Lihat Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV,
Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997, hlm. 1185.
[49] Lihat entri Marriage dalam
Bernard S. Cayne (Ed.), The Encyclopedia Americana, vol. XVIII,
Grolier Incorporated, New York, 1996, hlm. 345.
[50] William
Morris, op. cit., hlm. 849.
[51] Ibid., hlm.
848.
[52] Ibid., hlm.
542.
[53] Ibid., hlm.
849.
[54] Monogini adalah
prinsip hanya punya satu istri. Lihat Tim Depdikbud, op. cit., hlm.
664.
[55] ‘Abdurra¥man
al-Jaz³r³, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999, hlm 12.
[56] ‘Abd al-Q±dir ‘Audah, at-Tasyr³‘
al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn al-Wa«‘³, Mu’assat
ar-Ris±lah, Beirut, 1997, hlm. 634. Menurut catatan Wahbah az-Zuhaili,
mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dikategorikan sebagai jar³mah
¥udd terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut kalangan
jumhur ulama jar³mah ¥udd mencakup tujuh macam tindak pidana,
yaitu (1) pencurian; (2) perzinahan; (3) penggunaan minuman khamar; (4)
penggunaan sesuatu yang berefek memabukkan non-khamar; (5) tuduhan zina palsu (qa©f);
(6) qi¡±¡; (7) riddah (pindah agama). Sedangkan kalangan Hanafiyah
hanya mengintrodusir 5 macam jar³mah ¥udd dengan
tidak memasukkan dua kategori terakhir sebagai bagian dari jar³mah ¥udd. Perbedaan
ini muncul antara lain dilatarbelakangi perbedaan terminologis yang
digunakan kedua pihak. Kalangan jumhur mendefinisikan ¥ad sebagai hukuman (uqbah)
yang telah ditentukan (bentuk dan ukurannya) oleh syarak, baik yang terkait
dengan hak Allah maupun hak hamba (manusia). Sedangkan kalangan Hanafiyah
mendefinisikan ¥ad sebagai hukuman yang telah ditentukan oleh Allah sehingga
tak seorang pun boleh menepikannya, dan ia lebih terkait pada hak-hak Allah.
Lihat Wahbah az-Zuhail³, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII,
D±r al-Fikr, Damaskus, 1997, hlm. 5275.
[57] Qi¡±¡ adalah
menghukum seorang pelaku jinayah (tindakan kriminal) dengan hukuman yang sama
dengan perbuatannya. Seperti perbuatan membunuh maka hukumannya adalah dibunuh,
begitu pula dengan penganiayaan. ‘Abd al-Q±dir ‘Audah, op. cit., hlm.
663.
[58]Ibid. Lihat penempatan
masing-masing sanksi tersebut pada tindak pidana qi¡±¡-diyat dalam ibid.., hlm.
664-682.
[59] Wahbah
az-Zuhail³, op. cit., hlm. 5591.
[60] Ibid., hlm,
5592.
[61] Ibid., hlm.
5594.
[64] Lihat lebih jauh
dalam ‘Abdurra¥man al-Jaz³r³, op. cit., hlm. 349-351.
[65] Jumhur ulama
menetapkan jumlah istri yang boleh dipoligami adalah empat orang, berdasarkan
petunjuk ayat …ma£n±, wa £ula£a wa rub±‘ (S. an-Nisa: 3) dan
hadis tentang Gail±n ibn Salamah a£-¤aqaf³ yang diminta Nabi saw. untuk memilih
dan mempertahankan empat dari sepuluh istri yang dimilikinya pada masa
Jahiliyah (sebelum memeluk Islam) dan menceraikan sisanya (Redaksi hadis akan
ditampilkan dalam uraian mendatang). Sedangkan sekelompok ulama yang lain,
dengan berlandaskan petunjuk ayat yang sama, berpendapat bahwa jumlah maksimal
istri adalah 9 orang, menurut mereka ungkapan ayat …ma£n±, wa £ula£± wa
rub±‘ menunjukkan makna kumulatif (2+3+4=9). Lihat Ibn Rusyd, Bid±yat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995,
hlm. 33.
[66] Ibid., Jld.
IV, hlm. 221; Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 6669-6670.
[67] Riwayat lain
berasal dari Sa‘³d ibn Jubair, Qat±dah, ar-Rab³‘, a«-¬a¥¥±k, dan as-Sud±, bahwa
para wali tersebut menginginkan harta anak-anak yatim, mereka juga
menikahi wanita manapun yang mereka inginkan, adakalanya mereka
berlaku adil; adakalanya tidak, tatkala mereka mempertanyakan soal anak-anak
yatim tersebut maka turun ayat al-yat±m± : wa ²tu
al-yat±m± amw±lahum…, dan ayat : wa in khiftum all± tuqsi¯ f³
al-yat±m±…, Allah (seakan-akan hendak, pen.) menegaskan: Sebagaimana
kekhawatiranmu tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kamu juga semestinya khawatir tidak
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, oleh karena itu janganlah kamu
nikahi perempuan melebihi dari kesanggupanmu memenuhi hak-hak
mereka, karena para perempuan itu keadaannya sama dengan para yatim yang lemah
dan tak memiliki kekuatan. Demikian pendapat Ibn ‘Abb±s dalam riwayat
al-W±¥id³, Asb±b an-Nuzl, D±r al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996,
hlm. 101.
[68] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000, hlm. 321.
[69] Lihat hadis no.
1131 (Kit±b an-Nik±¥) dalam at-Tirmi©³, Sunan at-Tirmi©³, juz
II, D±r al-Fikr, Beirut, 1994, hlm. 368; hadis no. 2240 (Kit±b a¯-°al±q)
dalam Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994, hlm.
515.
[70] Lihat argumentasi
mereka dalam al-Qur¯b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V,
t.p., Kairo, t.t., hlm. 17.
[71] Lihat antara lain
Mu¥ammad Ibn Jar³r a¯-°ab±r³, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n,
juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988, hlm. 236-237; az-Zajj±j, Ma‘±n³
al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut, 1988, hlm. 8-10;
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993,
hlm. 77-82.; al-Qur¯b³, op. cit. hlm. 12. Dalam
pada itu patut dicatat bahwa sedikit berbeda dengan kebanyakan ulama
tradisionalis, az-Zamakhsar³ (467-538 H.) cenderung memberi tekanan (perintah)
lebih tegas agar membatasi pada seorang istri saja jika peluang keadilan lebih
dapat direalisasikan. Lihat az-Zamakhsyar³, juz I, D±r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, hlm. 458; Sedangkan Ibn al-‘Arabi (468–543
H.) bahkan menegaskan bahwa berlaku adil kepada para istri adalah wajib, lihat
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut, 1988, hlm. 409.
.
[72] Fazlur
Rahman, Major Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia: Tema-tema
Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung,
1996, hlm. 69.
[73] Ukuran
kekhawatiran di sini adalah jika tingkat kemungkinan dirinya tidak dapat
berlaku adil mencapai setidaknya 50% - 50% (syakk ), malah pada
tingkat wahm (25 %) sekalipun dapat menjadi ukuran, meskipun
untuk yang terakhir ini masih dapat ditoleran. Sedangkan perasaan dapat berlaku
adil harus didasari dengan keyakinan atau paling tidak mencapai §ann (dugaan
kuat). Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999, hlm. 284.
[74] Ibid., hlm.
284-285.
[75] Ibid.
[76] Ibid., hlm.
283.
[77] Ibid., hlm.
286.
[78] Ibid., hlm.
291.
[79] Ibid., hlm.
291-292.
[80] Ibid., hlm.
293.
[81] Ibid., hlm.
302.
[82] Qasim Amin, Ta¥r³r
al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t., hlm. 155-156.
[83] Ahmad Mustafa
al-Maragi, Tafs³r al-Mar±g³, juz IV, Mu¡¯af± al-B±b³ al-¦alab³ wa
Aul±duh, 1974, hlm. 181.
[84] Ibid., hlm.
180.
[85]Tahir Mahmood, Personal
Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy
of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987, hlm. 14, 273-274.
[86]Tahir Mahmood, Family
Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972,
hlm. 37.
[88] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 80.
[90] PP No. 10/1983
Pasal 3 ayat (1): PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin
lebih dahulu dari pejabat. Pasal 4: (1) PNS pria yang akan beristri lebih dari
seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.. (2) PNS wanita tidak
diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari PNS. Sedangkan Pasal 16
menegaskan: Pegawai Negeri Sipil melanggar ketentuan Ps.3 ayat (1) dan Ps.4
(1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah ini kini sudah direvisi oleh PP No.45/1990 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.10/1983, disebutkan bahwa (PP terakhir
ini) mengubah ketentuan Ps.16 dan selanjutnya dijadikan ketentuan Ps.15 baru,
sehingga berbunyi sebagai berikut: ayat (1) : PNS yang melanggar salah
satu/lebih kewajiban/ketentuan Ps. 2 ayat (1), ayat (2), Ps.3 ayat (1), Ps. 4
ayat (1), Ps. 14, tidak melaporkan perceraiannya, dan tidak melaporkan perkawinannya
yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 tahun
terhitung sejak perkawinan tersebut dilanjutkan dilangsungkan, dijatuhi slah
satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan
Disiplin PNS; ayat (3) Atasan yang melanggar ketentuan Ps.5 ayat (2), dan
Pejabat yang melanggar ketentuan Ps.12, dijatuhi hukuman disiplin berat
berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
[91] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm., 245-246.
[92] The Marriage
Law 1931-1937 Pasal 5 yo Family Protection Law of 1967 Pasal
14.
[93] The Muslim Laws
Ordinance 1961 (Ordinance 8/1981) dan amandemennya: Ordonansi 21 &
30 /1961 Pasal 6 ayat (1)
[94] Ibid., Pasal
6 ayat (5)
[96] Family
Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49
[97] David Waldner,
“Turkey”, dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia
of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York,
1996.
[98] Turki mengadopsi
Hukum Sipil Swiss, yang disesuaikan dengan kondisi
Turki, menggantikan hukum syariat pada 17 Januari
1926 sehingga memisahkan para ulama dari sumber pengaruh tradisional mereka.
Kemudian, pada April 1928, Majelis memutuskan untuk menghilangkan kalimat
“Agama negara Turki adalah Islam“ dari Pasal 2 konstitusi negara
menuntaskan penyingkiran Islam. Lihat Feroz Ahmad, “Tunisia” dalam John L.
Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World,
jld IV, Oxford University Press, 1991.
[99] Taher Mahmood, Family
Law Reform…, hlm.15.
[100] Ibid., hlm.
21.
[101] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm., 263-267.
[102] Ibid., hlm
267.
[103] Mazhab Hanafi
sendiri, seperti halnya mazhab yang lain, memperbolehkan praktik poligami
dengan persyaratan-persyaratan tertentu seperti mampu berlaku adil kepada semua
istrinya, secara materil maupun non-materil. Wahbah az-Zuhail³, op.cit.,
juz IX, hlm. 6669.
[104] Tahir
Mahmood, Family Law Reform…, hlm. 21.
[105] Larry
A.. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W.
Bulliet (Ed.s), op. cit., hlm. 1796.
[106] Lihat John P.
Entelis, “Tunisia” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford
Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press,
1991.
[107] Larry A. Barrie,
“Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet
(Ed.s), op. cit., hlm. 1798.
[108] Ibid., hlm.
235-239.
[109] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 152.
[110]J.N.D. Anderson, “The
Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and
Comparative Law Quarterly, 7 April 1985, hlm. 262.
[111] Kiran Gupta, “Polygamy
Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative
Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992, hlm. 121.
[112] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 155-157.
[113] Ibid., hlm.
54.
[114] Norman
Anderson, Law Reform in the Muslim World, The Athlone
Press, London, 1976, hlm. 63.
[115] J.N.D.
Anderson, Islamic Law in the Modern World, Edisi Indonesia:
Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV.
Amarpress, Surabaya, 1991, hlm. 35.
[116] Entri “Islam”
dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22,
Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003, hlm. 35.
[117] Lihat Gordon
N. Newby, “Family Law” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford
Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press,
1991.
[118]Fauzul Iman, Pemikiran
Muhammad Rasyid Ridla tentang Ijtihad dan Manifestasinya dalam Fiqh (Kajian
terhadap Kitab Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasyri‘ al-‘Am), Sinopsis
Disertasi, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004, hlm. 32.
[119] Lihat Republic of
Iraq
[120] Tahir
Mahmood, Family Law…, hlm. 138-139.
[121] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 56-59.
[122] Syiah Ja‘fari
menerima kondisi pertama, kemampuan (kafa’ah), yang didefinisikan sebagai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan seiman. Beberapa ulama Syiah
modern meragukan perihal syarat kemampuan finansial. Bagi mereka, hal tersebut
bukanlah syarat sah perkawinan. Sebagian yang lain, masih, mendefinisikan sisi
kemampuan finansial dengan pemberian nafkah, dengan segera atau secara potensi,
sementara sebagian lainnya merasa cukup dengan kemampuan untuk memberikan nafkah
semata untuk bulan pertama perkawinan. Di kalangan Sunni, kalangan
Hanafiyah dan Hanbaliyah memasukkan uang dalam definisi kafa’ah. Sebaliknya,
ulama Syafi‘iyah dan Malikiyah tidak memandangnya sebagai syarat sah
perkawinan. Bagi beberapa ulama Hanafiyah yang juga mempertimbangkan kemampuan
finansial, jumlah yang dianggap pantas adalah gabungan pemberian
nafkah dan mas kawin, meskipun nafkah memeainkan perna lebih besar dalam
kafa’ah. Namun Abu Yusuf, salah seorang ulama Hanafiyah awal,
menganggap mas kawin lebih penting daripada nafkah. Asy-Syafi‘i menggambarkan 3
pandangan berbeda tentang kafa’ah, yang definisikan sebagai kemudahan (yasar)
secara umum, atau kemudahan dalam arti kemampuan memberikan mas kawin dan
nafkah, atau sebagai kemampuan memberikan jaminan nafkah dengan pertimbangan
persetujuan yang beraneka ragam dari kekayaan dalam
masyarakat. Adapun syarat kedua dimana qadi dapat menolak poligami,
ada kepentingan yang sah menurut hukum (kemaslahatan syar‘i), tidak
didapati (referensinya) dalam kelima mazhab yang ada. Lihat Chibli Mallat,
“Shi’ism and Sunnism in Iraq: Revisiting the Codes” dalam Chibli Mallat
dan Jane Connors, Islamic Family Law, Graham &
Trotman, London, 1993, hlm. 83.
[123] Interpretasi
senada juga dikemukakan oleh seorang pemikir kontemporer Timur Tengah, Muhammad
Shahrur. Ia menegaskan bahwa seseorang yang ingin berpoligami harus memenuhi
dua persyaratan: 1) bahwa istri kedua, ketiga, atau keempat adalah para janda
yang memiliki anak yatim; 2) harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat
adil kepada anak-anak yatim tersebut. Lihat Muhammad Shahrur, Na¥w U¡l
Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia: Metodologi Fiqh Islam
Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, elSAQ
Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 428.
[124] Felix V. Gagliano,
“Malaysia” dalam Bernard S. Cayne, The Encyclopedia Americana
International Edition, vol. 18, Grolier Incorporated, 2001.
[125] David C. Buxbaum
(Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal
Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968, hlm.107.
[126] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 219.
[127] Tahir
Mahmood, Family Law…, hlm. 198-205.
[128] Khoiruddin
Nasution, “Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim”
dalam M. Atho’
Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,
Ciputat Press, Jakarta, 2003, hlm. 20.
[129] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 221.
[130] Khoiruddin
Nasution, “Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim”
dalam M. Atho’
Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Ed.s), op. cit., hlm. 21-22.
[131] Tahir
Mahmood, Personal Law…, hlm. 235.
[132] UU Hukum Keluarga
Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304) tahun 1984 Pasal 23 ayat (4). Lihat Ibid.,
hlm. 225; Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi
terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer
di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002, hlm.
112.
[133] Dalam membahas
tentang Indonesia, penulis sengaja tidak menampilkan potret umum mengenai
Indonesia, dengan alasan bahwa hal tersebut dianggap telah diketahui sehingga
bahasan dapat langsung diarahkan pada pokok persoalan, kriminalisasi poligami
di Indonesia.
[134] Disebutkan dalam
Pasal 4 : (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2)
Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Sedangkan pada Pasal 5 (1): Untuk dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
(ayat 1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istti-istri dan anak-anak mereka; c.
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
[135] Simon Butt,
“Polygamy and Mixed Marriage in Indonesia: The Application of The Marriage
Law in Courts,” dalam Timothy Lindsey (Ed.), Indonesia: Law and Society,
The Federation Press, Leichhardt, 1999, hlm. 132.
[136] Dalam KHI
persoalan poligami diatur dalam pasal 55-59, dari segi substansi pasal-pasal
tersebut mengacu dan selaras dengan ketentuan yang diatur oleh UU No. 1/1974
Pasal 3, 4, dan 5.
[137] Peraturan
Pemerintah (PP) No. 9 1975 Pasal 45 ayat (1)
[138] Ibid., Pasal
45 ayat (2)
[139] Dalam Surat Edaran
No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan
atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil,
bagian VII perihal Sanksi, disebutkan bahwa PNS dan atau atasan/pejabat,
kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman
disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS,
apabila melakukan salah satu/lebih perbuatan berikut:
a. Tidak
melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 1 tahun setelah perkawinan dilangsungkan.
b. Setiap
atasan yang tidak memberi pertimbangan dan tidak meneruskan permintaan
izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk melakukan perceraian, dan
atau untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3
bulan setelah ia menerima permintaan izin/pemberhentian adanya gugatan
perceraian.
c. Pejabat
yang tidak memberikan putusan terhadap permintaan izin perceraian/tidak
memberikan surat keterangan atas pemberitahuan adanya gugatan
perceraian dan atau tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin untuk
beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan
setelah ia menerima permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian.
[140] Istilah negara
Barat pada dasarnya digunakan dalam kerangka pemilahan bagian Dunia yang lazim
terpola pada dua kutub, Barat dan Timur. Barat sering diidentikkan
negara-negara ras merah (Eropa) dan Biru (Amerika) sementara Timur adalah
negara-negara Asia (ras kuning, coklat/sawo matang) dan sekitarnya.
Penggunaan istilah Barat-Timur ini sendiri cenderung berkembang dan mengalami
distorsi makna, bahkan bernuansa diskriminatif, seperti maju-terkebelakang,
modern-tradisional, dan sebagainya. Dalam tulisan ini Barat-Timur lebih
dimaksudkan pada pemilahan antara Muslim dan non-Muslim (terutama
Sekular/Kristen).
[141] Haifaa A.
Jawad, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St.
Martin’s Press, Inc., New York, 1998, hlm. 43.
[142] Kathryn M.
Daynes,”Mormon Polygamy”, dalam Joseph M. Hawes & Elizabeth F. Shores
(Ed.s), The Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO,
Inc., Santa Barbara California, 2001.
[143] Haifaa A.
Jawad, op. cit., hlm.44.
[144] Ibid.
[145] Pascale Fournier,
“The Reception of Muslim Family Law in Western Liberal States” dalam Canadian
Council of Muslim Women, Sharia/Muslim Law Project, 30/09/2004,
[146] Ibid.,
[147] Charles W. Sloane,
“Bigamy (in Civil Jurisprudence)”, dalam Catholic Encyclopedia,
hlm. 2.
[148] Ibid., hlm.
3.
Komentar
Posting Komentar