Standar Maslahat Menurut Islam
Dengan dalih kemaslahatan, sebuah
hukum dapat diubah ? Tetapi perubahan ini tentu tidak semudah membalik telapak
tangan, sebab dalam syari'at Islam dikenal standar-standar yang mutlak harus
dipenuhi untuk merubah status sebuah hukum. Standar-standar baku itu dibahas oleh penulis makalah ini
dengan tidak kaku dan sangat menarik.
Maslahat merupakan salah satu
tema menarik yang dibahas dalam beberapa disiplin ilmu yang berkaitan dengan
hukum Islam, dan telah mejadi bahan polemik sejak periode ulama salaf sampai
pada periode ula-ma mu’ashir (modern). Polemik itu berkembang di sekitar
permasalahan mengenai, apakah maslahat itu merupakan salah satu sumber hukum
atau tidak ? Jika maslahat itu sebagai sumber hukum, apakah ihtijaj bi
almaslahah berada di atas, sejajar atau di bawah nash?. Pertanyaan kedua ini
mengandung satu konsekwensi logis, yang apabila hujah maslahat berada di atas
nash, maka setiap hu-kum bisa ditetapkan hanya dengan pertimbangan maslahat tanpa
harus memper-hatikan nash sama sekali.
Akan tetapi, apabila hujah
maslahat berada di bawah nash maka maslahat tidak bisa dipakai untuk menetapkan
suatu hukum, kecuali kalau maslahat itu sesuai dan tidak bertentangan dengan
nash. Lalu seandainya hujjah mas-lahat sejajar dengan nash, manakah yang akan
didahulu-kan pada saat terjadi kontra-diksi antar keduanya?. Selain itu, apa
yang dimaksud dengan maslahat yang bisa dijadikan sumber hukum dan apa saja
ciri-cirinya?.
Polemik ini mencapai puncaknya
ketika salah seorang ulama pada pertengahan abad VII berpendapat bahwa apabila
terjadi pertentangan maslahat dengan nash ataupun ijma, maka kita harus
mendahulukan maslahah. Ulama tersebut sampai pada kesimpulan bahwa maslahah
adalah hujjah yang paling kuat. Jika suatu persoalan hukum mengharuskan
maslahat untuk diprioritaskan daripada nash, maka hal itu tidak selamanya
berarti menggugur-kan nash tersebut, karena maslahat mungkin dapat diletakkan
sebagai pen- takhsis (sesuatu yang mentakhsis dilalah nash) dan bukan sebagai
pengibthal (penghapus dilalah nash).(1
Pendapat ini telah merangsang
munculnya ijtihad-ijtihad spektakuler yang tidak lagi memperdulikan nash. Ia
tidak lagi dijadikan sebagai acuan dalam ijtihad tetapi hanya berfungsi sebagai
penjustifikasi maslahat. Orang-orang yang mendukung pendapat ini mengemukakan
suatu kaidah ushul fiqh di mana ada maslahah, di situlah syariat Allah berada.
Kaidah ini memberikan suatu pengertian bahwa dasar pijakan ijtihad adalah
maslahat, tanpa memperdulikan apakah maslahat itu sesuai dengan nash atau
tidak.
Dalam sebuah diskursus ilmiah di
Aljazair, seorang peserta mengemukakan satu pendapat yang cukup menarik. Ia
mengatakan bahwa shalat Jum'at bagi umat Islam Amerika bisa dilakukan pada hari
Ahad demi tercapainya kemaslahatan (kebaikan bersama), karena jika shalat
Jum'at tetap dilaksanakan pada hari Jum'at, maka hanya sebagian kecil saja umat
Islam Amerika yang bisa melaksa-nakannya. Ini disebabkan karena hari Jum'at
adalah hari kerja bagi setiap warga Amerika (termasuk umat Islam). Seandainya
shalat Jum'at dilaksanakan pada hari Ahad, maka sudah barang tentu sebagian
besar umat Islam Amerika berkesempatan untuk melaksanakannya.(2
Kemudian ijtihad di atas disusul
ijtihad-ijtihad spekta-kuler lainnya, seperti ijtihad penghalalan riba karena
riba di zaman ini menurut mereka sudah masuk dalam kategori maslahat. Demikian
juga ijti-had tentang waris yang telah menawarkan agar pembagian warisan
disesuaikan dengan era emansipasi. Begitu pula ijtihad yang menyerukan agar
hukum qishash dihapus karena pelaksanaan qishash di abad modern diklaim tidak
manusiawi.
Berpijak dari fakta itulah,
akhirnya penulis merasa terdorong untuk menelaah kembali pembahasan tentang
maslahat seobyektif mungkin. Misunderstanding terhadap maslahah akan menimbulkan
kesalahan fatal dalam ijtihad. Untuk itu penulis mencoba untuk mengkaji ulang
esensi maslahah dan hubungannya dengan nash. Apa saja kriteria maslahah menurut
hukum Islam dan apa batasan-batasannya?. Tulisan sederhana ini akan mencoba
mempresentasikan maslahat menurut hukum Islam dalam bentuk abstraksi umum.
Sehingga kerancuan-kerancuan tentang maslahat yang sering menimbulkan ijtihad
kontroversial bisa dijernihkan kembali.
Kriteria Maslahat Menurut
Syari’at
Maslahat secara etimologi berasal
dari kata shalah, yang berarti manfaat. Setiap sesuatu yang memberikan manfaat
secara langsung atau melalui perantara, dapat disebut maslahat. Menurut para
ahli ushul, manfaat (utility) itu bisa diperoleh melalui dua kategori, yaitu
jalbu almashalih upaya untuk menghasilkan maslahat) dan dar’u al-mafasid yang
berarti menolak bahaya atau kerusakan.
Menurut Imam Syatibi, maslahat
bisa dipandang valid dalam syariah (mu'tabarah) selama ia tidak bertentangan
dengan maqaasid syarii’ah yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.(3 Salah satu argumen yang memperkuat pendapat Imam Syatibi ini ialah
satu kaidah yang menyatakan bahwa syariat Allah diturunkan demi kemaslahatan
umat manusia. Kaidah ini memberikan suatu pengertian bahwa semua hukum yang
telah ditetapkan oleh syariat mempunyai nilai maslahat.(4 Maslahat dalam kaitan
ini sudah barang tentu bukan maslahah mutlaq yang memasukkan pengertian
maslahat menurut filosof, sebab maslahat menurut versi mereka hanya terbatas
pada dimensi material dan cenderung bersifat duniawi (worldly concerns).
Maslahat dalam kacamata syariat
adalah maslahat yang bukan berdimensi material dan duniawi saja, tetapi juga
berdimensi spiritual dan concern dengan masalah-masalah ukh-rawi. DR. Said
Ramadhan Al- Buthy, menjelaskan dengan panjang lebar kriteria maslahah menurut
syari’ah. Beliau menyimpulkan bahwa maslahat mempunyai tiga kriteria:
1. Maslahat harus mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan akhirat.
Dalam istilah singkatnya bisa disebut sebagai maslahat yang berwawasan dunia
dan akhirat. Bagi orang-orang yang tidak beriman, kehidupan akhirat dipandang
absurd atau kadang-kadang dipahami sebagai kehidupan yang fatamorganik. Untuk
itu mereka sering mengabaikan maslahah yang bersifat ukhrawi. Bagi orang-orang
yang beriman, kehidupan akhirat dipandang sebagai kelanjutan dari kehidupan
dunia. Karenanya mereka meyakini adanya maslahat atau manfaat yang bersifat
ukhrawi, sebagaimana halnya mereka merasakan maslahat duniawi.
2. Maslahat tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata,
tetapi juga harus mengandung norma spiritual agar maslahat tersebut bisa
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagian Filosof menentang adanya
maslahat rohaniah (yang bersifat spiritual). Karena maslahat rohani menurut
pandangan mereka akan terwujud dengan sendirinya jika kebutuhan jasmani
terpenuhi.
Kebanyakan filosof tidak mempercayai
maslahat yang bersifat spiritual ini. Karena itu setiap maslahat atau manfaat
yang tidak bisa dinikmati secara material tidaklah disebut sebagai maslahat.
Sejak jaman dulu semua orang mengerti bahwa riba itu tidak dilegalkan oleh
agama. Tapi setelah mereka tahu bahwa ternyata riba mendatangkan keuntungan
(kemaslahatan material), maka akhirnya mereka membolehkan riba demi untuk
memenuhi kebutuhan jasmani yang bersifat material. Hal itu dikuatkan oleh
analisa para ekonom.
3. Norma maslahat yang ditetapkan oleh agama merupakan dasar pijakan
bagi maslahat-maslahat lainnya. Semua maslahat harus menginduk pada norma
agama. Dan apabila pertentangan antara suatu kemaslahatan (baca: maslahat yang
mutlak) dengan kemaslahatan agama, maka maslahat agama harus didahulukan demi
menjaga dan melestarikan eksistensi agama. Pertentangan dimaksud tentunya
berupa pertentangan antar norma. Norma atau nilai yang terdapat dalam maslahat
agama berorentasi pada pandangan-pandangan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an
dan Sunah Nabi. Sedang norma kemaslahatan non agama tentu terlepas dari
pandangan-pandangan keagamaan.(5
Maslahat dan Batasan- Batasannya
Semua maslahat ini telah
diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri
merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu
bersumber dari syariah.
Sedangkan maslahah mulghah adalah
maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa
maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa
disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada.
Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Adapun maslahah mursalah ialah
maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi
sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti
keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad
nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini
disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu
Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di antara ketiga maslahat ini
hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat
dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
Sedangkan dalam maslahat
mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat
bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum.
Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil suatu
hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh
dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat
terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah
(menyeluruh).
Yang dimaksud dharuriat ialah
maslahat yang masuk dalam bagian maqashid syariah yaitu menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Dan yang dimaksud dengan qhatiyyah ialah maslahat
yang terjadi dengan pasti dan tanpa diragukan lagi. Sedangkan maslahat kulliyah
ialah suatu maslahat yang luas dan menyeluruh daya jangkaunya.
Contoh dari maslahah mursalah
yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu kasus di mana pasukan kafir
mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan tentara Islam, mereka
menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam kasus seperti ini,
membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut maslahah
mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.
Kriteria dharurah dalam kasus
tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan orang kafir terhadap negara Islam
sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat Islam. Kriteria
qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya para
tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir
tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria
kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru
ketika berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh
semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.(6
Untuk mengetahui kapan suatu
maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu
hukum, ada lima
syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak.
Kelima syarat tersebut ialah:
1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih
penting atau maslahat yang sejajar dengannya.
Kelima syarat ini merupakan
batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah
(yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat
dijadikan dasar hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan
mendalami batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang
mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana
ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana
mestinya.
Kita sering mendengar kesimpulan
para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung
pada suatu maslahat. Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi
maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan
maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas
sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada
dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada dibalik
hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak
akan ada tanpa melalui proses istinbath.
Sedangkan yang dimaksud dengan istinbath
ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil syar'i. Maka, secara simpel
bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi dari hukum dan hukum merupakan
ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya, wujud dan keberadaan maslahat
sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk itu maslahat tidak bisa
menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana halnya dalil syara
lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam hukum-hukum syari'at itu
ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut,
para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua hukum syariat pasti akan
kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan
akherat.
Maslahat dan Maqasid Syari’ah
Maqasid syari'ah sebagaimana
telah disepakati oleh para ulama, adalah menjaga lima aspek yang sangat vital dalam kehidupan
ma-nusia. Kelima aspek itu ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Sedangkan hubungan antara maqasid dengan maslahat adalah hubungan
simbiosis. Artinya, segala sesuatu yang bertujuan menjaga maqasid syariah dapat
disebut maslahat. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengarah kepada pelecehan
maqasid syariah disebut mafsadah.
Maqasid syariah selalu sejalan
dan beriringan dengan maslahat. Di mana maqasid syariah ditemukan, di situ pula
terdapat maslahat. Maqasid syariah sesuai dengan tingkat urgensinya terbagi
menjadi tiga macam yaitu Dharuriyat, Hajiyyat dan Tahsiniyat.
1. Dharuriyat. Telah disinggung di atas, yaitu memelihara lima hal yang kemudian
dalam terminologi ushul fiqh disebut dengan kulliyat khamsah.
2. Hajiyat yang dalam ushul fiqh merupakan far' dari dharuriyat.
Karenanya, hajiyat lebih cenderung bersifat komplementer mengingat bahwa
Maqasid syariah sebenarnya bisa terwakili oleh dharuriyat.
Akan tetapi bila maqasid syariah hanya
terbatas pada dharuriyat maka seorang mukalaf akan merasa sangat berat dan
selalu diliputi kondisi yang sulit lagi sempit. Agar perasan sempit dan berat
ini bisa dijauhkan maka syariah menetapkan maqasid kedua yaitu hajiyat. Dengan
kata lain hajiyat merupakan suatu unsur untuk memperingan taklif yang termaktub
dalam dharuriyat. Untuk menjaga eksistensi agama, dharuriyat menetapkan
kewajiban beribadah. Kemudian agar seorang mukalaf tidak merasa sempit dan
berat, hajiyat menetapkan rukhshah (dispensasi) dalam ibadah, seperti
dibolehkannya berbuka puasa ketika bepergian atau sakit.
Demikian juga untuk memelihara
kelangsungan hidup (hifzh al-nafs), hajiyat membolehkan berburu dan memakan
hewan-hewan yang halal dan untuk menjaga harta, hajiyat membolehkan akad salam
(pesanan), qiradl (memutar modal dengan membagi keuntungan bersama).
3. Bagian ketiga dari maqasid syariah adalah tahsiniyat. Menurut ulama
ushul, tahsiniyat ini sering disebut sebagai penghias atau sesuatu yang
memperindah hukum-hukum Islam. Karena tahsiniyat itu didasarkan pada nilai
etika dan pertimbangan adat yang positif, maka tahsiniyat yang ada hubungannya
dengan masalah agama adalah tahsiniyat yang berupa hukum-hukum yang menyangkut
barang-barang najis dan suci dan hukum-hukum yang menetapkan tentang kewajiban
menutup aurat.
Sedangkan tahsiniyat yang berhubungan
dengan masalah jiwa adalah menjauhi makanan-makanan yang khabits (tidak layak
untuk dimakan). Dan tahsiniyat yang berhubungan dengan masalah harta adalah
seperti larangan untuk menjual barang-barang najis dan berlebih-lebihan dalam
menggunakan air.(8
Adapun dalam kaitannya dengan
maqasid syariah, maslahat itu terbagi menjadi dua macam yaitu, maslahah yang
sesuai dengan maqasid syariah dan maslahah yang tidak sesuai. Maslahat yang
sesuai dengan maqasid syariah itu disebut dengan maslahah hakikiyah atau
mu'tabarah (sesuai dengan pandangan syariah). Sedangkan maslahat yang tidak
sesuai dengan maqasid syariah disebut maslahat mulghah.
Maslahat mulghah ini mempunyai
dua bentuk. Pertama, maslahat yang secara esensi bertentangan dengan maqasid
syariah seperti maslahat atau kenikmatan yang dihasilkan dari hubungan intim di
luar nikah (zina), meminum minuman keras dan lain-lain. Kedua, maslahat yang
secara esensi tidak bertentangan dengan maqasid syariah tetapi nilai maslahat
menjadi hilang dikarenakan oleh niat yang salah. Shadaqah misalnya, adalah
perbuatan terpuji yang mempunyai nilai maslahat. Tapi nilai maslahat ini akan
hilang begitu saja apabila pelaku shadaqah tidak berangkat dari niat yang
sesuai dengan syariat.
Demikian juga dalam satu hadits
dikatakan apabila seorang pemuda yang gagah berperang demi membela dirinya dan
bukan untuk membela kepentingan orang banyak, maka sesungguhnya ia berperang di
jalan Allah. Apabila ia berperang untuk membela kedua orang tuanya atau
keluarganya yang lemah dan bukan untuk membela kepentingan umat, maka
sesungguhnya ia berperang di jalan Allah. Akan tetapi apabila ia berperang hanya
untuk membanggakan keperkasaannya, maka sesungguhnya ia berperang membela
syaithan.(9 Jadi secara esensi shadaqah itu memiliki nilai maslahat, tapi nilai
maslahat ini hilang karena niat yang salah. Demikian juga perang secara esensi
tidak bertentangan dengan maslahat, tapi karena ada niat yang salah maka nilai
maslahat itu menjadi sirna.
Maslahat Dan Nash
Setiap kali kita membahas
hubungan antara maslahat dengan nash, maka pertanyaan yang muncul adalah, apa
yang terjadi seandainya maslahat bertentangan dengan nash. Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita cukup dengan mengatakan bahwa selama maslahat itu
mu'tabarah menurut syariah maka pertentangan antar keduanya tidak pernah
terjadi. Lain halnya jika maslahat itu bukan maslahat mu'tabarah (maslahah
mulghah), maka keduanya bisa saja saling bertentangan.
Nash itu sendiri menurut ulama
ushul fiqh mempunyai tiga pengertian. Pertama, nash berarti suatu lafadz yang
menunjukan maknanya secara pasti karena lafadz itu hanya mempunyai satu makna .
Ke-dua, nash berarti dalil-dalil yang berada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam
penger-tian ini, nash memiliki pe- ngertian yang lebih umum. Ketiga, nash
berarti suatu kondisi (al-washf) yang oleh Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan
sebagai 'illat hukum.(10
Dari ketiga pengertian ini maka
nash yang kita maksud-kan dalam kontek di atas adalah nash sebagaimana dalam
pengertian pertama, yaitu suatu lafadz yang dilalahnya menunjukan makna secara
pasti, seperti pada surat
al Baqarah ayat 275, "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
". Dalam ayat ini Allah membedakan antara jual beli dan riba sebagai
perbandingan antara sesuatu yang halal dan yang haram. Lafal jual beli yang ada
dalam ayat tersebut merupakan kata yang mempunyai satu makna saja yaitu tukar
menukar barang dengan cara-cara yang ditentukan oleh syara'. Dus, lafal jual
beli disebut nash karena dilalah maknanya sudah jelas dan pasti serta tidak
mempunyai kemungkinan makna yang lain. Demikian pula lafal riba dalam ayat di
atas juga disebut nash karena maknanya hanya satu dan tidak mengandung makna
yang lain. Riba itu sendiri maknanya ialah setiap pinjaman yang menghendaki
atau mewajibkan adanya interest (bunga).
Secara keseluruhan ayat itu
disebut nash karena ia mempunyai dilalah makna yang pasti (qathiy) yaitu
penegasan tentang dibolehkannya jual beli dan dilarangnya riba. Pada zaman ini
telah muncul suatu anggapan bahwa riba itu maslahat dan melarang riba akan
menyebabkan datangnya mafsadah. Pandangan tersebut sudah tentu bertentangan
dengan nash yang menetapkan bahwa riba adalah haram (tidak mendatangkan
maslahat). Benarkah realita ini merupakan suatu potret yang menggambarkan
pertentangan antara maslahat dan nash ?.
Menanggapi permasalahan itu,
ulama ushul mengajukan jawaban yang cukup kritis, yaitu bahwa maslahat yang
bertentangan dengan nash tersebut ada dua macam. Pertama, maslahah mawhumah
yaitu maslahat yang tidak disandarkan pada nash atau hukum yang telah baku . Kedua, maslahat
yang disandarkan dengan nash. Maslahat yang kedua ini nilai kemaslahatannya
ditentukan oleh nash melalui cara analogi (qiyas).
Pertentangan antara maslahat
mawhummah dengan nash pada dasarnya merupakan pertentangan antara analisa yang
tidak berdasar (wahm) dengan dalil-dalil syara' yang qathiy (pasti). Menganggap
riba sebagai maslahat tentunya merupakan pandangan yang bersifat wahmy. Ketika
terjadi pertentangan antara maslahat mawhumah dengan nash, maka nash tetap
diutamakan karena dilalah nash itu qath'iy sedang dilalah maslahah mawhumah itu
zhanny. Sedangkan bentuk pertentangan kedua, adalah pertentangan antara nash
dengan mashlahat yang disandarkan pada nash.
Pertentangan semacam ini, pada
hakikatnya, merupakan pertentangan antara nash dengan qiyas (analogi). Mengapa
demikian? Karena maslahat yang disandarkan pada nash nilai kemaslahatannya
ditetapkan me-lalui proses qiyas (analogi), karenanya analogi ini tidak bisa
terlepas dari nash. Mengingat nash dalam proses analogi menjadi bagian penting
yang sering diistilahkan dengan ashl, maka ulama ushul menyimpulkan bahwa
pertentangan seperti ini hanyalah pertentangan yang bersifat juziyyah
(parsial), sebagaimana pertentangan antara 'aam dengan khash atau antara
muqayyad dengan muthlaq. Bentuk pertentangan kedua ini berbeda dengan
pertentangan yang pertama.
Kalau pada bentuk pertama telah
terjadi pertentangan antara nash dan mashlahat mawhumah atau maslahat yang
tidak disandarkan pada syara, maka pada pertentangan kedua telah terjadi
pertentangan antara nash dengan qiyas atau pertentangan antara nash dengan nash
(dalam bentuk pertentangan parsial).
Bentuk pertentangan yang terakhir
ini sering ditemukan dalam Islam. la masuk pada ruang lingkup ijtihad, sehingga
setiap mujtahid pasti akan berbeda satu dengan lainnya dalam mentarjih dua
dalil yang bertentangan tersebut, sesuai dengan kaedah-kaedah ushul dan
kepekaan ijtihad masing-masing.(11 Contoh dari pertentangan kedua ini ialah,
QS. 4-29: (Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil kecuali dengan perniagaan yang berlaku secara suka sama
suka di antara kamu). Secara lahir ayat ini tidak membolehkan seseorang memakan
harta orang lain secara batil, baik dalam keadaan terpaksa (idhthirar) atau
dalam keadaan normal (ikhtiar).
Hukum yang terdapat pada ayat ini
ternyata bertentangan dengan hukum yang menetapkan dibolehkannya seseorang
memakan harta orang lain walaupun dengan cara batil pada saat ia dalam keadaan
terpaksa. Hukum kedua ini tentunya merupakan suatu hukum yang ditetapkan
melalui proses analogi atau qiyas, yaitu menganalogikan antara memakan harta
orang lain dalam keadaan darurat (terpaksa) dengan memakan bangkai, juga di
saat darurat. Oleh karena memakan bangkai di saat darurat itu boleh, maka
memakan harta orang lain meskipun dengan batil itu juga boleh. Illat al-jami'ah
yang ada pada analogi ini ialah darurat.
Pertentangan dua dilalah dari dua
dalil syara' atau lebih seperti itu, oleh para ulama ushul telah dibahas secara
panjang lebar dalam pemba-hasan al-'aam wa al-khash. Dan yang patut dicatat
adalah bahwa pertentangan ini bukan merupakan pertentangan yang saling
menafikan secara keseluruhan, tapi hanya menafikan sebagian dilalah saja
(parsial), sehingga pertentangan ini dalam ushul fiqh tidak disebut sebagai
pertentangan hakiki (ta'arudh), melainkan sering diistilahkan dengan takhsiis al-'aam
bi al-khaas.
Penutup
Dari uraian di atas kita bisa
menyimpulkan bahwa secara garis besar, maslahah itu terbagi menjadi dua.
Pertama, maslahah yang berada dalam ruang lingkup syariah dan ke dua, maslahah
yang berada di luar lingkup syariah. Maslahat yang berada di dalam ruang
lingkup syariah adalah maslahat yang bisa menjadi dasar hukum dan ia disebut
maslahah haqiqiyah (mu'tabarah).
Sedangkan maslahat yang berada di
luar lingkup syari’ah merupakan maslahat yang tidak bisa dijadikan dasar hukum,
karena maslahat tersebut hanya bersumber pada rasio murni atau hawa nafsu.
Selama maslahat itu di-sebut maslahah mu'tabarah, maka ia tidak keluar dari lima standar maslahah
(dhawabith al-maslahah). Kelima standar tersebut ialah: Pertama, mas-lahat itu
tidak bertentangan dengan maqasid syariah (inheren dengan maqasid sya-riah).
Kedua, tidak berten-tangan nash Al-Qur'an. Ketiga, tidak bertentangan dengan
sunnah Nabi saw. Keempat, tidak bertentangan dengan qiyas. Kelima, tidak
bertentangan dengan maslahat lain yang lebih penting atau sejajar dengannya.
Catatan kaki:
1. Pendapat ini dilontarkan oleh Al- Thufys
2. Lihat Fahmi Huwaedi, Tazyiif al- Wa'yi hal 79, terbitan Daar al-
Syuruuq, cet II, tahun 1992.
3. Lihat Al-Syatibi, Al-Muwaafaqat juz I, hal 243, terbitan damascus .
4. Lihat Ibn Qayyim Al-Jawziyah I'laam al muwaqqi'in, juz I.
5. Lihat Dr. Ramadhan Al-Buthy, Dhawaabith al-Maslahah, hal 45, terbitan
Daar al-Muttahidah, cetakan kelima tahun 1990.
6. Lihat Tahdzib syarah Al-Asnawi, ditahqiq oleh Dr.Sya'ban Moh. Ismail,
hal 103, terbitan Maktabah Al-Azhariyah Lia al-Turats.
7. Lihat Dr.Ramadhan Al-Buthy,opcit. hal 105.
8. Lihat Dr.Yusuf Al-Qardawi, Madkhal Ilaa Diraasah al-Syari- ’ah a l
Islamiah, hal 59, terbitan Maktabah Wahbah.
9. Hadits diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim (muttafaq ala'ih).
10. Dr.Ramadhan Abd Al Wadud,Al- Anwaar al-Syati'ah hal 90, cetakan Daar
al-Hudaa.
11. Dr.Ramadhan al Buthy, opcit. hal 120.
Komentar
Posting Komentar